Jumat, 23 Desember 2016

KIL-KILAN - NGARIT

Mengenang masa-masa kecil, selalu menyenangkan bagi saya. Meskipun masa kecil saya bukan hanya sekedar bermain-main saja. Sebagai anak seorang petani yang sangat jauh dari kota, saya nyaris tak pernah dibelikan mainan. Mainan saya dan anak-anak didesa lainnya, semua berasal dari apa yang ada dialam. Bahkan saat bermainpun kami langsung di sawah, di ladang bahkan di hutan.
Keluarga kami keluarga petani, yang mengandalkan penghasilan utama dari hasil pertanian. Untuk usaha sampingan, bapak saya memelihara sapi. Sedang ibu berjualan pecel di dan beberapa makanan lain. Namun tidak setiap hari, hanya sekali dalam seminggu saja, bertepatan dengan hari pekan.
Kami memelihara dua ekor sapi, satu induk dan yang satu anaknya. Setiap hari bapak saya mencari rumput untuk pakan sapi itu. Ketika anak sapi itu mulai tumbuh agak besar, rumput yang didapatkan oleh bapak tidak cukup lagi untuk pakan kedua sapi itu. Akhirnya, saya juga dapat tugas baru sebagai tugas tambahan, mencari rumput.
Mencari rumput untuk pakan ternak, orang jawa menyebutnya “ngarit”. Kata ngarit ini berasal dari kata “arit” artinya alat tradisional untuk memotong rumput, dalam istilah lain orang menyebutnya sabit atau celurit. Ngarit secara umum maksudnya adalah mencari rumput dengan menggunakan arit sebagai alat untuk memotongnya.
Hampir semua keluarga di desa saya, dulu, memelihara sapi. Jumlah sapi yang dimiliki, menjadi semacam penunjuk status sosial keluarga itu. Bila jumlah sapi yang dimiliki semakin banyak, maka status sosialnya semakin tinggi. Harta kekayaan mereka diukur dengan berapa jumlah sapinya.
Karena hampir semua keluarga memelihara sapi, maka semua anak laki-laki disana punya tugas yang sama, ngarit. Sepulang sekolah, biasanya kami beramai-ramai, sekitar enam atau tujuh anak tetangga sekitar, pergi ngarit bersama.
Ketika ngarit bersama itulah, sifat kekanak-kanakan itu tak bisa dilepaskan. Pekerjaan berat itu selalu diselingi dengan permainan khas anak-anak. Permainan yang selalu menyenangkan. Permainan itu kami namakan “kil-kilan”. Kil-kilan maksudnya adalah mengukur jarak dengan kil yang menggunakan panjang arit dan tangkainya untuk mengukur.
Permainan dimulai dengan masing-masing mengumpulkan setumpuk rumput yang ditumpuk di satu tempat. Kemudian dipasanglah tonggak dari potongan ranting kayu. Masing-masing anak berdiri berbaris sejauh kira-kira dua puluh meter dari tonggak kayu itu. Lalu, secara bergantian, melemparkan aritnya kearah kayu itu, tetapi tak boleh mengenainya. Siapa yang aritnya paling dekat dengan tonggak itu, dialah pemenangnya. Kami mengukurnya dengan menggunakan panjang salah satu arit, untuk menentukan siapa yang menang.
Bagi yang menang hadiahnya adalah setumpuk rumput yang sudah dikumpulkan tadi. Bagi yang menang, dia tak perlu ngarit lagi, karena rumput yang dikumpulkan tadi sudah lebih dari cukup untuk dibawa pulang. Sementara yang kalah, harus mencari rumput yang lain untuk dibawa pulang. Saya yang ketika itu memiliki postur yang lebih kecil dibanding teman-teman saya, nyaris tak pernah menang dalam permainan itu.
Permainan tetap permainan, anak-anak tetap anak-anak. Meskipun yang menang itu tak perlu lagi mencari tambahan rumput, tetapi tak pernah sekalipun dia lantas pulang lebih dulu. Kami selalu pulang bersama-sama. Bahkan seringkali dia membantu teman-temannya agar dapat segera pulang bersama.
Itulah dunia anak-anak, bermain adalah pekerjaan utamanya….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar