Kamis, 13 Oktober 2016

LINTAH

Ada medan survey yang paling berat yang pernah saya rasakan selama hampir sepuluh tahun lamanya pekerjaan itu saya geluti. Medan itu adalah rawa-rawa.
Penyebabnya karena dua hal, pertama, karena struktur permukaan tanah yang tidak stabil. Peralatan ukur tanah, baik Theodolith maupun Waterpass, keduanya memerlukan struktur landasan yang kokoh agar dapat beroperasi dengan baik dan teliti. Medan rawa-rawa maupun tanah berlumpur, sangat sulit untuk menopang peralatan ukur dengan kokoh karena permukaannya yang selalu bergerak.
Penyebab kedua, karena di dalam rawa-rawa itu banyak sekali terdapat Lintah, makhluk penghisap darah. Lintah ini banyak terdapat di perairan rawa-rawa di Sumatera Barat, tempat saya bekerja dulu.
Anehnya, meskipun lintah ini menghisap darah kita hingga tiga kali ukuran tubuhnya, tetapi kita tidak merasa sakit sama sekali. Kita baru tahu kalau digigit lintah setelah keluar dari air dan melepas pakaian yang basah. Konon katanya didalam mulut penghisap lintah itu ada semacam zat anastesi yang dapat menghilangkan rasa sakit dikulit kita ketika dihisap darahnya.
Uniknya lagi, seekor Lintah tidak akan melepaskan gigitannya sebelum merasa puas dan kenyang.
Bekerja di medan rawa-rawa dan digigit lintah menjadi hal biasa sebagai seorang surveyor pemetaan. Kami tidak bisa memilih medan yang akan diukur. Jika menemui medan yang berawa-rawa, maka mau tidak mau, tetap harus dimasuki juga.
Untuk mengurangi gigitan lintah ini, biasanya, kami menggunakan obat tradisional, yaitu tembakau. Obat tradisional ini biasa digunakan oleh masyarakat yang tinggal di dekat rawa-rawa yang banyak terdapat lintah.
Caranya, sebelum masuk ke dalam air, masukkan segenggam tembakau kedalam kantung celana kiri dan kanan. Setelah terendam air, zat-zat dalam tembakau akan larut dan merembes ke permukaan kulit. Zat-zat yang ada dalam tembakau ini tidak disukai oleh lintah. Karena itu dapat membantu mengusir lintah yang mencoba mendekat dan akan menghisap darah. Walaupun begitu, tetap saja ada satu atau dua lintah yang berhasil menembusnya.
Bagi yang belum pernah melihat atau digigit lintah, yang perlu diketahui adalah lintah itu hidup di dalam air. Jika lintah yang menghisap darah itu tidak hidup di air, maka makhluk itu tidak termasuk jenis ini. Makhluk itu disebut Lintah Darat……..

BELAJAR BERNEGARA

Diskusi dengan para mahasiswa semester awal beberapa hari yang lalu, cukup mengesankan. Saya memang diberi tugas untuk memberikan materi Pendidikan Pancasila.
Sebagai umpan balik materi belajar, saya memberikan tugas kepada mahasiswa untuk membuat makalah kelompok tentang kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Salah satu kelompok dalam presentasinya, mengungkapkan bahwa kebijakan pelegalan minuman keras bertentangan dengan nilai Pancasila, khususnya Sila Pertama. Penduduk Indonesia yang sebagian besar menganut agama Islam ini, seharusnya dilarang mengkonsumsi minuman keras, karena dalam Islam meminum minuman keras adalah haram.
Pernyataan itu ditanggapi oleh kelompok lain, ada yang setuju, tidak sedikit pula yang menyanggah pendapat itu.
Yang membantah, menyatakan bahwa yang dilakukan oleh pemerintah sesungguhnya adalah pengaturan peredaran minuman keras. Konsumsi minuman keras dibatasi untuk kelompok masyarakat tertentu, misalnya dilarang dikonsumsi oleh anak-anak dibawah umur dan orang yang sedang menjalankan kendaraan bermotor.
Diakhir diskusi, saya sampaikan bahwa Negara kita ini didirikan bukan sebagai Negara agama. Tetapi, sebaliknya juga bukan Negara yang anti agama. Para pendiri Negara kita telah bersepakat untuk membangun Indonesia dengan dilandasi semangat kebersamaan dan kerukunan. Pembuatan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada pertimbangan rasional dengan memperhatikan semua elemen bangsa ini.
Minuman keras memang diharamkan dalam agama Islam, tetapi dalam agama lain belum tentu. Oleh karena itu yang dilakukan oleh pemerintah adalah pembatasan atau pengaturan, bukan pelarangan sama sekali.
Poin penting yang saya ingin sampaikan adalah kita perlu terus belajar bagaimana kita bernegara. dan hal itu kita ajarkan kepada anak-anak kita. Rasa saling menghargai dan menghormati sesama warga Negara yang berbeda dengan kita, baik suku, agama dan ras. Negara ini tidak hanya milik kita saja, tetapi juga milik suku, agama dan ras lain yang berbeda dengan kita.
Topik ini memang terasa klasik, tetapi sangat penting. Bila kita keliru dalam memahami dan salah dalam menerapkannya dapat berakibat fatal. Kesalahan yang dapat mengantarkan kita kedalam perpecahan.

BIMBINGAN BELAJAR

Banyak pakar pendidikan yang mengatakan bahwa beban pelajaran siswa sekolah kita terlalu berat. Apalagi bila dibandingkan dengan beban pelajaran sekolah di Negara-negara maju. Saya setuju dengan pendapat ini.
Sebaliknya, banyak sekali orangtua siswa yang menganggap beban pelajaran di sekolah justru kurang. Jam pelajaran sekolah yang dimulai pukul tujuh sampai dengan pukul satu siang itu, dianggap masih kurang. Karena itu, pelajaran harus ditambah diluar jam-jam pelajaran di sekolah.
Peluang ini dimanfaatkan dengan baik oleh lembaga-lembaga bimbingan belajar dan menjadi ladang bisnis yang sangat menguntungkan. Biaya belajar di lembaga bimbingan belajar ini tidak murah. Jadi tidak heran, kalau ada lembaga bimbingan belajar yang memiliki cabang sangat banyak, hingga di kecamatan.
Yang ironis adalah, ditengah sebagian masyarakat menuntut pemerintah untuk menerapkan pendidikan gratis, namun, disisi lain lembaga-lembaga bimbingan belajar justru kebanjiran peminat. Mereka berbondong-bondong mengikuti les bimbingan belajar karena menganggap pelajaran di sekolah masih kurang.
Saya tidak pernah mengikutkan anak saya di lembaga bimbingan belajar, meskipun anak meminta. Terkadang, anak-anak meminta sesuatu bukan karena dia membutuhkan, tetapi lebih karena ikut-ikutan atau karena diajak teman-temannya. Solusinya, khusus untuk materi-materi pelajaran tertentu yang kurang atau belum dipahami, pelajaran itu saja yang perlu ada tambahan pelajaran. Tidak semua mata pelajaran harus mengikuti bimbingan belajar.
Saya menganggap bahwa, yang paling mengetahui apakah pelajaran yang diberikan oleh sekolah itu sudah cukup atau belum, adalah pihak sekolah sendiri. Jika sekolah menganggap pelajaran belum cukup, maka biasanya akan dibuka pelajaran tambahan.
Ada yang mengatakan bahwa, bimbingan belajar itu penting sebagai pengganti belajar dirumah atau bisa juga untuk mengerjakan dan membahas tugas-tugas yang diberikan oleh guru dalam bentuk Pekerjaan Rumah (PR).
Untuk hal ini, saya menilai bahwa anak-anak justru terlalu mengandalkan guru lesnya untuk mengerjakan tugas-tugas itu. Ada permasalahan sedikit saja, anak-anak sudah bertanya pada guru lesnya. Hal ini membuat anak-anak menjadi tidak mandiri dan kurang mengeksplor kemampuannya.

BELANJA

Belanja untuk keperluan dapur, tidak harus repot-repot pergi ke pasar. Sekarang sudah banyak pedangang keliling yang menyediakan semua kebutuhan dapur. Sayuran, lauk pauk, bumbu-bumbu, sampai makanan yang siap santap, semua sudah tersedia dan diantar sampai di depan rumah kita. Pedagang keliling ini biasanya disebut welijo.
Di kompleks perumahan tempat tinggal saya, welijo ini sudah cukup banyak. Selain berkeliling, ada juga yang menggelar dagangannya di perempatanjalan. Sebelum azan subuh, dagangan sudah digelar, siap untuk melayani pelanggannya. Pelanggannya ibu-ibu, yang akan menyiapkan sarapan bagi anggota keluarga dan untuk bekal sekolah anak-anaknya. Jarang sekali terlihat anak-anak yang belanja.
Bagi sebagian orang, tidak mudah menyuruh anak-anak untuk belanja keperluan dapur. Apalagi bila anak-anak sudah mulai beranjak remaja. Mungkin mereka itu merasa malu atau malas kalau disuruh belanja keperluan dapur.
Saya pikir, keengganan anak-anak ini karena mereka tidak terbiasa. Barangkali, ibunya tidak membiasakannya untuk berbelanja sendiri atau tidak mengajaknya untuk belanja bersama. Juga tidak memberi pengertian bahwa belanja keperluan dapur itu juga untuk kepentingannya, selain untuk kepentingan bersama keluarga.
Hal demikian itu telah disadari oleh istri saya, jauh sebelumnya. Sebelum anak-anak beranjak remaja. Anak-anak sering diajak berbelanja bersama, baik belanja ke pasar maupun ke welijo. Karena kebiasaan ikut berbelanja keperluan dapur itu, anak-anak tidak lagi malu atau enggan kalau disuruh belanja oleh ibunya.
Seringkali saya dengar, selepas sholat subuh, anak-anak disuruh oleh ibunya belanja untuk persiapan sarapan.
“Wid, beli bayam, daging sama lombok!!.”
“Iya, buk, berapa?”. Jawabnya tanpa rasa enggan.
Tidak hanya menyuruh anak saya yang perempuan, anak kedua yang laki-laki juga tidak jarang disuruh belanja.
“Qi, beli tempe sama tongkol di welijo!”.
“Iya, buk”.

SHOLAT JUMAT

Selama ini, setiap hari jumat, menjelang waktunya sholat jumat, saya selalu berusaha untuk pulang ke rumah. Kemudian sholat jumat di masjid di kompleks perumahan tempat saya tinggal. Bukan karena saya menjadi takmir masjid, apalagi sebagai khatib dan imam sholat. Bukan pula karena saya memilih-milih siapa yang menjadi khatib dan imam. Bukan itu alasannya.
Alasannya adalah agar bisa mengajak anak saya sholat jumat bersama. Anak kedua saya laki-laki, sekarang sudah mulai tumbuh besar. Saya sadari, dalam masa-masa pertumbuhan seperti ini, anak-anak membutuhkan figur seorang bapak untuk mendampingi dan menjadi panutan baginya.
Setiap anak berbeda dengan anak lainnya. Masing-masing unik dan hanya satu-satunya. Kita tidak bisa menyamakan anak kita dengan anak lain, apalagi membanding-bandingkannya, meskipun dengan saudaranya sendiri.
Saya membutuhkan kesabaran yang lebih dari biasanya untuk mendampingi dan mengajak anak saya sholat jumat, sampai dia mau berangkat sendiri. Begitu pula untuk kegiatan-kegiatan yang lain, yang baru dicobanya.
Hari ini, adalah Jumat kedua saya tidak pulang ke rumah untuk mengajaknya sholat jumat. Setelah jumat minggu sebelumnya saya tidak dapat pulang karena suatu urusan, jumat hari ini saya sengaja tidak pulang.
Sore harinya, sepulang kerja, saya bertanya apakah tadi sholat jumat atau tidak. Dengan semangat dan bangga dijawabnya.
“Ya, iya lah…!!.
“Pergi dengan siapa?”.
“Ya pergi sendiri. Dengan siapa lagi?”.
“Berarti, mulai sekarang kalau sholat jumat nggak perlu nunggu Bapak ya…!”, saya mencoba meyakinkan bahwa sudah waktunya dia harus berangkat sendiri, tanpa perlu menunggu bapak.
Meskipun pulang jumat siang tidak menjadi pikiran lagi bagi saya, tetapi saya akan berusaha untuk tetap pulang sesekali untuk menemaninya sholat jumat.
Momen-momen itu sangat berharga bagi kita, karena tidak lama lagi akan tiba masanya, anak-anak tidak mau lagi ditemani oleh orang tuanya. Dia akan sibuk sendiri dengan dunianya.

MASJID SUNDA KELAPA

Dulu, ketika masih di Jakarta, saya menumpang di tempat tinggal saudara saya, Agung Prabowo, di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Itu terjadi lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Sekarang, saudara saya ini sudah hidup makmur bersama keluarga di Amerika.
Tidak jauh dari sana ada masjid besar bernama Masjid Agung Sunda Kelapa. Jaraknya hanya sekitar dua ratus meter saja. Setiap ada kesempatan, saya usahakan untuk sholat berjamaah di masjid ini. Selain karena jamaahnya yang ramai, masjid ini juga banyak mengadakan kegiatan keagamaan.
Setiap subuh, saya usahakan untuk rutin berjamaah. Yang menjadi pengalaman menarik, jalan yang dilalui dari rumah menuju ke masjid adalah tempat mangkalnya para pria gemulai yang sedang mencari pelanggan. Ketika berangkat atau pulang dari masjid, terkadang saya melewati kelompok mereka yang sedang mangkal.
Penampilan mereka menarik, dengan pakaian seksi dan rias wajah yang cantik. Tidak jarang saya pun digoda oleh mereka, dengan suaranya yang lebay gemulai.
“Haaay …. Mas……, habis sembahyang ya….?
Disapa oleh mereka seperti itu, saya hanya tersenyum dan menganggukkan kepala saja, tanpa berkata apa-apa. Ada sedikit kekhawatiran dan rasa takut dalam hati. Bagaimanapun, secara fisik mereka ini adalah laki-laki.
Kegiatan keagamaan di Masjid Sunda Kelapa yang pernah saya ikuti adalah pengajian ilmu agama. Yang menarik adalah, penceramahnya merupakan tokoh-tokoh penting dan terkenal. Tokoh yang sering muncul di televisi. Kalau biasanya saya mengikuti ceramah tokoh itu melalui televisi, saat itu saya mendengar dan melihat ceramahnya secara langsung. Dan itu menjadi kepuasan dan kebanggan tersendiri bagi saya.
Suatu ketika, sehabis sholat Isya, digelar acara semacam silaturahmi antara tokoh organisasi keagamaan. Saya tertarik untuk mengikuti. Dengan sabar, saya menunggu acaranya dimulai. Saya lihat jam dinding menunjukkan angka sembilan lebih, ketika acara dimulai.
Kesabaran saya menunggu ternyata tidak sia-sia. Dalam acara itu hadir tokoh-tokoh besar, antara lain, Gus Dur, Amin Rais, Nurkholis Madjid, Emha Ainun Nadjib, Yusril Ihza Mehendra, dan masih banyak yang lain. Ketika itu, kalau tidak keliru, Gus Dur masih menjadi ketua Nahdatul Ulama dan Amin Rais menjadi ketua Muhammadiyah.
Pada saat Gus Dur dan Amin Rais memasuki ruangan, para hadirin serentak melantunkan Sholawat Nabi. Dan saat keduanya bersalaman, para pengunjung bertepuk tangan dengan gemuruh. Sebagian mereka meneriakkan kata-kata, “Islah…., Islah….”. Saya yang saat itu masih muda, tidak mengerti apa maksud dari kata-kata itu.
Saya ikuti acara itu dengan penuh semangat dan antusias. Tak terasa waktu telah melewati tengah malam ketika acara ditutup oleh moderator. Saya pulang dengan perasaan senang dan bangga, karena baru saja bertemu dengan tokoh-tokoh dengan pemikiran yang cemerlang.
Satu hal lain yang menarik dari Masjid Sunda Kelapa adalah ketika usai sholat Jum’at. Seperti masjid-masjid lain, sholat jumat berjalan dengan khusuk dan lancar. Suasana berubah ketika imam sholat telah membaca salam sebagai tanda bahwa sholat sudah berakhir.
Sesaat kemudian, halaman masjid telah berubah menjadi pasar rakyat. Banyak sekali pedagang yang berjualan segala macam kebutuhan. Buku-buku, pakaian, makanan, mainan anak dan lain sebagainya. Suasana halaman masjid berubah, dari yang tadinya sunyi dan khusuk, berubah menjadi bising oleh suara pedagang yang menjajakan barang dagangannya.
“Mari…mari…., tiga sepuluh ribu…. Tiga sepuluh ribu…..”.

MEDIA SOSIAL

Media sosial, sebagaimana media-media lainnya, hanya merupakan wadah atau sarana untuk berkomunikasi. Sebagai wadah, media sosial tentu bersifat netral. Kitalah yang memberi warna media sosial itu. Bagaimana warna media sosial kita, dapat menunjukkan siapa kita dan bagaimana karakter kita dalam dunia nyata.
Hingga saat ini, media sosial yang saya gunakan hanya dua, Whatsapp dan Facebook. Whatsapp bagi saya sangat efektif untuk komunikasi antar sesama teman, baik pertemanan langsung maupun antar grup. Informasi yang diberikan akan langsung dapat diterima pada saat itu juga.
Banyak manfaat yang saya peroleh dari facebook. Dengan facebook, saya dapat terhubung kembali dengan teman-teman lama, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, yang rasanya mustahil terhubung kembali tanpa adanya media ini.
Dengan facebook pula, saya dapat menemukan teman-teman baru dari berbagai kalangan, mulai pengayuh becak hingga profesor. Mulai yang dekat tempat tinggalnya hingga yang jauh di benua lain, semua dapat terhubung dengan mudah.
Yang paling penting lagi, dengan facebook, saya dapat terus belajar. Terutama belajar menulis. Bagaimana tulisan dapat dipahami oleh orang lain yang membacanya. Saya tuliskan apa yang saya fikirkan, apa yang saya rasakan, apa yang saya harapkan dan apa yang bisa saya bagikan. Dengan menulis, secara tidak langsung saya juga dituntut untuk belajar.
Tulisan-tulisan itu nanti akan menjadi kenangan bagi saya. Bila ada yang membaca tulisan saya kemudian menyukai dan memperoleh manfaat darinya, saya sangat bersyukur. Namun bila tidak, tidak ada masalah bagi saya.
Bagi saya, bila saya sudah menulis, maka saat itu juga saya telah mengambil manfaat darinya. Setidaknya, saya telah belajar dan berlatih menulis.

ANGELIQUE

“Mas Supianto, sampean dipanggil Pak Slamet!”.
“Iya, Mas. Terima kasih”. Jawab saya singkat, ketika ada seorang teman memberi tahu bahwa saya dipanggil oleh Pak Slamet.
Ketika itu saya sedang berdiri diujung dermaga petikemas, yang berada diatas selat Madura. Menjorok ketengah laut sekitar dua kilometer dari pantai yang dihubungkan oleh jembatan lurus memanjang.
Mendapat panggilan itu, saya bergegas menemuinya dikantor yang terletak persis ditepi pantai berlumpur, bersebelahan dengan ujung jembatan dermaga.
“Maaf Pak, Pak Slamet memanggil saya?”. Tanya saya sesaat setelah mengetuk ruangan Pak Slamet.
Pak Slamet adalah Team Leader saya untuk paket proyek pengerukan, ketika masih bekerja sebagai surveyor pemetaan di Surabaya. Selain proyek pengerukan, ada juga paket proyek lain yang saya ikuti sebagai surveyor pengawas, pembangunan dermaga petikemas dan reklamasi.
“Iya Mas, sebentar lagi ada surveyor dari kontraktor akan melakukan pengukuran. Saya minta sampean mengikuti pengukuran sampai selesai”.
“Baik Pak”.
Kami memang dari tim konsultan pengawas, yang bertugas mengawasi pekerjaan kontraktor. Pengawasan dilakukan untuk memastikan bahwa pekerjaan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan standar yang ditentukan oleh pemilik proyek.
Rangkaian pekerjaan pengerukan laut, dimulai dari tahap pengukuran awal terlebih dahulu. Pengukuran pendahuluan ini berguna untuk mengetahui bagaimana bentuk permukaan tanah didasar laut sebagaimana adanya. Dari pengukuran awal ini, akan diperoleh gambar dan penampang dasar laut untuk didesain seberapa dalam pengerukan akan dilakukan. Dari gambar itu juga, dapat dihitung berapa meter kubik tanah yang harus dikeruk dari dasar laut.
Tahap kedua adalah proses pengerukan. Ada beberapa metode pengerukan yang saya perhatikan, tergantung pada jenis tanah yang ada di dasar laut yang akan dikeruk. Selain itu, kemana tanah hasil pengerukan itu dibuang, juga mempengaruhi. Apabila dasar laut berupa tanah berlumpur, pengerukannya cukup dengan meniup lumpur dengan compressor raksasa, agar lumpur tercampur dengan air laut, kemudian campuran lumpur itu hanyut bersama arus air laut.
Apabila dasar laut berupa pasir, pengerukan dilakukan dengan menyedot pasir dan membuangnya ke pantai. Pasir hasil pengerukan ini digunakan untuk mereklamasi pantai, biasanya digunakan untuk lapangan petikemas. Terakhir, apabila dasar laut berupa tanah keras, pengerukan dilakukan dengan mengeruk dasar laut dengan kapal khusus yang berukuran lebih besar. Tanah hasil pengerukan itu kemudian dibuang jauh ke tengah laut.
Tidak lama kemudian, datang seorang wanita bule, berkulit putih. Menggunakan T-shirt dan celana pendek. Dari wajahnya, terlihat kalau umurnya masih muda. Kemudian dia menemui kami dan memperkenalkan diri.
“Hello, I am Angelique”.
Kami juga memperkenalkan diri masing-masing. Usai perkenalan singkat itu, saya bertanya kepada Pak Slamet, siapa wanita bule ini. Pak Slamet menjelaskan bahwa Angelique ini adalah surveyor dari Belanda, yang akan melaksanakan pengukuran bersama saya sebentar lagi.
“Haaa???”, saya terkejut bukan kepalang.
Saya tidak menduga sebelumnya kalau wanita bule ini yang akan jadi surveyornya. Belum pernah saya temui sebelumnya, seorang wanita menjadi surveyor pemetaan.
Tak lama kemudian, saya dan Angelique sudah berada diatas speedboat khusus, yang dirancang untuk pengukuran bawah laut. Hanya berdua saja. Saya tidak banyak berkata-kata, karena memang tidak bisa berbahasa Inggris. Saya perhatikan gerakannya cukup cekatan dalam mengoperasikan peralatan ukur. Demikian pula dalam mengendalikan arah kapal mengikuti jalur-jalur pengukuran yang sudah dirancang sedemikian rupa dilayar monitor.
Sesekali kami diayun gelombang besar. Bukan karena gelombang badai, tetapi gelombang yang berasal dari kapal besar yang lewat tidak jauh dari kami.
Pengukuran hari itu tidak berjalan mulus, ada sedikit kendala teknis yang terjadi. Alat pemutar kertas pencatat kedalaman, mengalami macet. Angelique berusaha memperbaiki sendiri alat itu, tetapi tidak kunjung berhasil. Dia bertanya kepada saya, apakah saya bias membantu memperbaikinya. “No, I am Sorry”, Jawab saya singkat. Saya menyesal tidak bisa membantunya.
Angelique berusaha sekali lagi untuk mencoba memperbaiki. Namun tak kunjung berhasil. Saya lihat kesabarannya mulai hilang. Sekilas saya dengar dia mulai menggerutu dalam bahasa Belanda, yang tidak saya ketahui artinya.
“Overdamn”, begitu kira-kira yang saya dengar.
Akhirnya masalah itu berhasil diatasi Angelique, setelah dipandu oleh seniornya melalui pesawat handy talky (HT).

KERJA SAMBIL KULIAH

Setiap kali bertemu dengan anak muda yang sudah bekerja, tetapi masih lulusan SMA, saya selalu menyarankan kalau bisa nyambi kuliah. Kerja sambil kuliah. Disamping untuk meningkatkan kompetensi, kuliah juga dapat menambah wawasan, merubah cara berfikir dan memperluas jaringan.
Sebaliknya, ada anak muda yang masih lulusan SMA, masih mencari pekerjaan, orang tuanya siap untuk membiayai kuliahnya, tetapi merencanakan bekerja sambil kuliah. Kepada mereka ini saya sarankan agar fokus untuk menyelesaikan kuliah dulu.
Kerja sambil kuliah, memang terkesan keren. Iya, bagi mereka yang sudah mapan bekerja. Tetapi, menjalaninya tidak mudah. Diperlukan tekad dan semangat yang kuat dan terus-menerus agar bisa berhasil sampai ke titik akhir. Diperlukan manajemen yang baik dalam mengelola keuangan, waktu, fikiran dan tenaga, agar semuanya dapat berjalan seimbang. Lebih tidak mudah lagi, bagi mereka yang sudah berkeluarga.
Banyak contoh keberhasilan yang diperoleh dari proses kerja sambil kuliah, tetapi tidak sedikit juga yang akhirnya tidak sampai finish, putus ditengah perjalanan.
Saya pernah merasakan pengalaman gagal dalam bekerja sambil kuliah, dua puluh tahun lalu. Ketika saya masih bekerja sebagai surveyor pemetaan di Surabaya, saya nyambi kuliah di Jurusan Teknik Sipil di ITATS Surabaya.
Semua berjalan tidak mudah. Mulai dari pembagian waktu bekerja dan waktu kuliah yang berhimpitan, pengelolaan keuangan, sampai dengan kemampuan fisik yang terkuras. Setelah seharian bekerja menguras energi di lapangan, sore harinya kuliah, fikiran tidak lagi mampu fokus pada pelajaran. Hawa kantuk seringkali tidak mampu dilawan, akhirnya sering tertidur di ruang kuliah. Hasilnya, banyak matakuliah yang nilainya tidak memuaskan.
Akhirnya, diakhir semester lima, saya putuskan untuk berhenti kuliah. Datangnya krisis moneter telah mengubah semua rencana saya, baik dalam pekerjaan maupun kuliah saya. Saya tidak sanggup lagi mempertahankan keduanya. Tidak hanya kehilangan kuliah, saya juga kehilangan pekerjaan.

SUNGGUH MENGHERANKAN

Saya senang menghabiskan waktu bersama istri. Di rumah atau keluar rumah berdua. Bagaimanapun, istri atau suami adalah orang yang rela menemani diri kita mulai sejak masih muda dulu, hingga masa tua nanti datang menghampiri. Suami atau istri, dulunya bukan siapa-siapa, kemudian saling bertemu dan mengikat janji untuk selalu bersama, menjalani hidup bersama-sama.
Sungguh mengherankan, bila suami dan istri tidak senang menghabiskan waktu bersama.
Saya senang menghabiskan waktu bersama anak-anak. Setiap hari, aktifitas saya mulai dengan membantu mempersiapkan keperluan anak-anak. Menyiapkan sarapan dan bekal untuk mereka ke sekolah. Membantu dan mendampingi mereka dalam belajar. Hingga menemani mereka berolah raga. Bagaimanapun, anak adalah amanah yang diberikan oleh Tuhan kepada kita untuk kita rawat dan hantarkan mereka menjadi manusia seutuhnya. Untuk merekalah, sebagian besar sumberdaya yang kita miliki, kita keluarkan.
Sungguh mengherankan, bila ada orang tua yang tidak senang menghabiskan waktu bersama anak-anaknya.
Saya senang menghabiskan waktu untuk bekerja. Setiap hari kerja, saya berusaha untuk datang dan pulang tepat waktu. Segera menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab saya. Bagaimanapun, bekerja adalah sumber masuknya rezeki, darinya saya menghidupi diri dan keluarga. Dengan bekerja, saya dapat mencurahkan kemampuan fikiran yang telah dikaruniakan oleh Tuhan. Saya tidak ingin membiarkan saja pemberian yang berharga itu, bagaikan seonggok barang yang tak berguna.
Sungguh mengherankan, bila ada orang yang tidak senang bekerja. Padahal, darinya dia memperoleh rezeki untuk membiayai hidupnya.