Rabu, 05 Juli 2017

FOTO WALI KELAS

"Wali kelas kita sedang sakit, kapan kita menjenguk?", Seorang teman memberi tahu kami.
Tak lama kemudian kami, pengurus kelas 3Bio3 mengadakan rapat singkat untuk membahas rencana itu. 3Bio3 adalah singkatan kelas 3 jurusan Biologi 3. Ketika itu, SMA dibagi menjadi empat jurusan, Fisika, Biologi, Sosial dan Bahasa/Budaya. Anak-anak Fisika dianggap lebih pandai dan cerdas dalam bidang akademik.
"Kapan kita akan kesana?, Ketua kelas kami, Amiruddin, mulai memimpin rapat itu.
"Lebih cepat lebih baik", sahut teman lainnya.
"Bagaimana kalau besok pas jam istirahat?"
"Ok, sepakat", kami sudah menyepakati waktunya.
"Sekarang, siapa saja yang akan pergi kesana?", Ketua kelas kembali meminta usulan.
"Karena yang sakit itu wali kelas kita, mestinya ya kita sekelas harus datang semua...", Seorang memberi usulan.
"Masalahnya, kita ini menjenguk orang sakit. Kalau kita datang semua.. apa tidak malah mengganggu", teman lainnya menyanggah usulan itu.
"Kalau begitu, perwakilan saja yang pergi. Cukup enam orang pengurus kelas saja. Setuju ya..?"
"Setuju...", kami semua menyepakati usulan itu.
Wali kelas kami, Ibu Len, tinggal tidak jauh dari sekolah, hanya beberapa puluh meter di belakang komplek sekolah. Jadi, kami cukup berjalan kaki saja.
Hubungan kami dengan Bu Len cukup akrab. Barangkali karena beliau sangat sabar dengan ulah kami yang masih nakal-nakalnya. Mungkin juga karena beliau juga masih muda, jadi belum lupa bagaimana rasanya jadi remaja.
"Assalamualaikum", serempak kami mengucapkan salam tatkala telah tiba di depan pintu".
Waalaikumsalam, masuklah...", terdengar jawaban salam dari dalam, pelan saja.
Kami semua masuk, langsung menuju kamar untuk melihat keadaannya. Bertanya dengan pertanyaan standar yang biasanya ditanyakan saat menjenguk orang sakit.
Sesaat kemudian, saya dan teman yang laki-laki minta ijin untuk menunggu di ruang tamu. Tidak enak juga kalau berlama-lama berdiri didepan orang sakit, apalagi kalau yang sakit itu perempuan. Laki-laki mungkin memang begitu, tidak punya bahan untuk dibicarakan. Biarlah teman-teman perempuan yang melanjutkan bertanya ini-itu dan sebagainya.
Di ruang tamu, kami duduk menunggu. Ada tumpukan album foto di sudut ruangan, tak jauh dari tempat duduk. Spontan saja kami melihat-lihat album itu. Lalu terpikir untuk meminta satu foto untuk kenang-kenangan, karena tak lama lagi kami akan lulus dan mungkin tidak bertemu lagi.
"Bu, kami minta fotonya satu ya?, untuk kenang-kenangan", kami bertanya dengan suara pelan saja. Saya ragu, apakah permintaan itu terdengar oleh Bu Len atau tidak, tetapi kami seolah-olah sudah mendengar jawaban, "Ya, ambillah". Saat itu kami sudah memilih-milih foto yang diinginkan masing-masing, lalu membawanya pulang.
Setelah 25 tahun berlalu, foto itu masih tersimpan rapi dalam album kenangan SMA.
Salam hormat Ibu Len..

Senin, 03 Juli 2017

KESENJANGAN INTELEKTUAL

Tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan. Berbagi informasi, mempererat pertemanan, termasuk untuk mengembangkan bisnis, adalah beberapa contoh dari manfaat tersebut.
Pada saat yang sama, media sosial juga mempunyai dampak negatif, terutama bagi penggunanya yang tidak siap dengan perkembangan teknologi.
Media sosial memungkinkan semua orang untuk saling berinteraksi dan berbagi informasi. Tak peduli apakah informasi yang diperoleh itu benar atau palsu (hoax).
Tak peduli pula, apapun status sosial seseorang, kaya atau miskin, tua atau muda, bahkan yang terpelajar maupun yang tak berpendidikan sama sekali. Seorang yang tidak memiliki dasar intelektual yang baik dapat berinteraksi dengan orang yang memiliki kualitas akademik yang tinggi.
Tetapi sayangnya, interaksi itu tidak selalu digunakan untuk belajar kepada orang yang lebih mumpuni keilmuannya, tetapi justru digunakan sebagai sarana memfitnah dan menghujat.
Sebagaimana yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Media sosial sering digunakan oleh orang-orang yang tidak memiliki riwayat intelektual yang mumpuni untuk menghujat dan menghina tokoh-tokoh yang justru memiliki standar keilmuan yang sangat tinggi, tidak hanya secara akademik namun juga telah menghasilkan karya-karya yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.
Seorang yang telah menekuni bidang keilmuan selama berpuluh-puluh tahun dengan mudahnya dihujat, dianggap sesat bahkan dikafirkan tanpa dasar, tanpa argumen intelektual yang kuat. Mereka menghujat hanya karena tidak sejalan dengan pendapat dan keinginannya.
Saya menyebut keadaan ini sebagai kesenjangan intelektual.
Namun, yang membuat saya tidak habis fikir adalah banyak orang yang menyetujui dan mendukung cara-cara seperti itu. Persetujuan mereka itu ditunjukkan dengan menyukai, komentar-komentar yang kasar, bahkan membagikan kembali tulisan-tulisan itu tanpa merasa perlu melakukan konfirmasi kebenarannya.
Seseorang yang memiliki kualitas intelektual yang baik tentu mampu membedakan antara kritik dan hujatan. Kritik selalu didasari argumen intelektual yang baik dan memiliki tujuan yang baik pula. Sedangkan hujatan sering kali didasari subjektifitas pribadi, perasaan tidak suka maupun kebencian saja.
Saya berharap keadaan ini dapat segera berakhir. Mari kita introspeksi diri masing-masing dan tidak membuat suasana semakin keruh. Caranya dengan tidak memberi komentar kasar yang berisi hujatan dan tidak membagikan ulang tulisan-tulisan semacam itu.
Semoga...