Sabtu, 28 Januari 2017

TENTANG ANAK NAKAL

Satu ketika, saya berbincang-bincang dengan seorang rekan. Dia menceritakan tentang anaknya yang menurutnya sangat “nakal”.
“Anak saya itu sangat nakal, sering tidak mau sekolah. Kalau dia sedang tidak mau sekolah tidak ada yang bisa merayu atau menyuruhnya untuk sekolah. Omongan saya sudah tidak didengarkan lagi. Tidak mempan”, begitu katanya.
“Kenapa bisa begitu?”
“Saya juga tidak tahu. Padahal kakak-kakaknya yang lain tidak begitu”.
“Apa kegiatannya sehari-hari selain sekolah?”, Tanya saya menimpali.
“Tidak ada, Mas. Kalau pas tidak mau sekolah, kerjanya ya cuma main saja”, jawabnya.
Begitulah, seringkali kita mengatakan bahwa anak kita "nakal". Sengaja saya beri tanda petik pada kata nakal diatas, karena pengertiannya bisa berbeda-beda. Setiap orang akan memaknai dan menggunakannya dengan cara yang berbeda-beda pula.
Ada yang menggunakannya untuk anak-anak yang usil, anak yang super aktif, bahkan ada pula yang memakai kata nakal itu untuk anak-anak yang tidak mau menurut kata-kata orang tuanya. Penggunaan kata nakal pada yang terakhir ini yang lebih sering digunakan para orang tua untuk menilai anaknya.
Saya selalu bertanya tentang apa kegiatan anak-anak diluar sekolah. Hal ini menurut saya sangat penting karena kita sebagai orang tua harus tahu dengan siapa anak kita bergaul. Lingkungan seperti apa tempat anak-anak kita bersosialisasi setiap harinya. Apalagi ketika anak-anak itu tengah dalam usia rentan dalam perkembangan mentalnya, ketika SD dan SMP.
Sebagai orang tua, kitalah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak kita sendiri. Sekolah hanya tempat menitipkan anak-anak kita untuk belajar pada jam-jam tertentu, dan itu tidak terlalu lama. Sisanya, seratus persen tanggung jawab orang tuanya sendiri. Merupakan tanggung jawab orang tua pula untuk memilih sekolah itu. Sekolah yang sesuai dengan pendidikan macam apa yang diinginkan oleh orang tuanya.
Memang banyak hal yang bisa menyebabkan anak menjadi anak yang “nakal”. Kurangnya kasih sayang orang tua, keluarga yang tidak harmonis, adanya tekanan dari orang tua, maupun anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga. Kalau kita lihat beberapa sebab itu, semuanya berawal dari sikap orang tua orang tua sendiri.
Kalau begitu, sebenarnya sikap kita sebagai orang tua kepada anaklah yang menjadi penyebab anak-anak itu menjadi nakal.
Selain itu, kurangnya kedekatan hubungan antara orang tua dan anak turut memberi andil pada kenakalan anak. Anak-anak yang hubungannya sangat dekat dan akrab dengan orang tuanya, lebih mudah untuk berbicara, bercerita, berdiskusi dan menumpahkan persoalan-persoalan yang dialaminya. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh anak-anak dapat dengan mudah dan cepat diselesaikan bersama dengan orang tuanya.
Sebaliknya, bila hubungan itu kurang dekat, anak-anak menjadi takut dan malu untuk bercerita kepada orang tuanya sendiri. Ada pula orang tua yang tidak memberi perhatian penuh kepada anak ketika mereka menyampaikan persoalan yang dialaminya. Alasannya biasanya karena persoalan anak-anak itu dianggap tidak penting.
Dalam keadaan demikian, kepada siapa lagi anak-anak itu akan bercerita. Kepada siapa lagi anak-anak itu akan mengadu, bila orang tuanya sendiri tidak menghiraukannya. Padahal masa-masa itu adalah masa yang sangat rawan dalam pertumbuhan dan pergaulannya. Sedangkan pengetahuan dan pengalaman hidupnya masih sangat minim untuk menjalani kehidupan mereka. Pada saat yang sama, mereka sangat membutuhkan seseorang untuk mendengarkannya.
Ketika itulah mereka akan mencari orang lain. Mereka bercerita kepada temannya, mungkin kepada orang lain yang tidak dikenalnya. Bahkan tidak jarang pula, mereka menceritakannya di media sosial. Dalam keadaan yang demikian ini, akan sangat mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk berbuat kejahatan.
Karena itu, bila kita menganggap anak kita termasuk anak yang “nakal”, maka kita perlu bercermin kembali, bagaimana sikap kita kepada anak-anak itu selama ini…

OBROLAN BULE SEMALAM

Banyak topik yang kami obrolkan dengan Mr. Luca, pemuda bule dari Itali itu. Kami mengobrol dengan dua keluarga, keluarga saya dan keluarga pakHari Gita Karyadi . Mulai dari makanan, budaya, bahasa, agama, hingga beberapa pemain olah raga dari Negara Itali.
Mr. Luca adalah seorang penjaga pantai di San marino, Itali. Wajahnya mirip pemain tenis yang kini menjadi peringkat satu dunia asal Inggris, Andy Murray. Kebetulan dia bareng satu kereta dengan anak saya, dari Solo Menuju Surabaya. Dua hari kemudian dia berkunjung ke Jember. anak saya membantunya mencari hotel yang murah dan menunjukkan tempat-tempat yang ingin dikunjunginya selama di Jember.
Umurnya sekitar dua puluh tujuh tahun. Tutur katanya sangat sopan. Bahasa Inggrisnya tidak terlalu fasih karena bahasa sehari-harinya disana adalah bahasa Itali. Hal ini membuat kami memahami semua yang dikatakannya. Gaya bicaranya yang tidak terlalu cepat memudahkan kami yang bahasa Inggrisnya masih belepotan, untuk mengerti apa yang dimaksudkan masing-masing. Meskipun begitu, komunikasi berjalan sangat baik, bahkan kami sampai tertawa terbahak-bahak bersama karena membicarakan sesuatu yang lucu.
Kami berbincang sambil menikmati nasi goreng, mie goreng, kopi hingga wedang uwuh. Wedang uwuh ini konon adalah minuman para bangsawan dari raja-raja Jogjakarta. Kami menyebutnya “drink for the king”. Wedang uwuh yang diseduh dalam satu gelas besar itu, dinikmatinya hingga tuntas.
Waktu menunjukkan hampir jam sepuluh ketika kami mengakhiri obrolan. Saya lalu mengantarkannya ke hotel dengan sepeda motor. Sepanjang perjalanan, dia masih bersemangat untuk berbicara. Sepertinya sepanjang obrolan tadi dia mengamati saya dan keluarga. Ada rasa penasaran dalam pikirannya.
“Mohon maaf, apa betul anda memang muslim?”, dia mulai bertanya.
“Betul, saya dan keluarga saya muslim semua”.
“Saya lihat anda berbeda, keluarga anda yang perempuan tidak pakai kerudung dan tidak memakai baju yang panjang, tidak seperti yang lain”, dia berkata sambil penasaran.
“Masalah bentuk pakaian yang ingin dipakai itu adalah pilihan masing-masing pribadi. Kalau dia ingin memakai kerudung atau baju yang panjang, silakan pakai. Kalau tidak ingin, pun tidak ada masalah. Menjadi muslim adalah soal keyakinan dan perilaku. Bukan soal pakaian yang dikenakan. Sepanjang masih dalam kesopanan, hal itu tidak menjadi masalah”, saya menjelaskan agak panjang lebar, meski dengan bahasa yang belepotan.
“Moslem inside, not outside”, dia menyahut.
“Yes”, jawab saya singkat.
“Apakah orang yang naik sepeda motor didepan itu juga muslim?”, dia bertanya sambil menunjuk orang yang dibonceng sepeda motor didepan saya. Orang itu perempuan tidak menggunakan kerudung di kepalanya.
“Yes, dia juga muslim, dan tidak ada masalah dengan dia”.
Obrolan berlanjut hingga tiba di hotel tempatnya menginap. Sebelum turun dia mengatakan bahwa menurutnya pemikiran saya sudah sangat terbuka.
“You are the real teacher, thank you”, katanya mengakhiri perbincangan.
“Sampai ketemu lagi, Mr. Luca”….

Minggu, 22 Januari 2017

MASJID SULTAN OMAR ALI SAIFUDDIEN

Brunei seri 8
“Yang kuinginkan sekarang adalah duduk di tempat yang teduh ditepi sungai. Sambil menikmati hembusan angin yang sejuk, aku ingin segera menikmati buku yang baru saja kubeli”. Begitu kata hatiku setelah melalui panas terik matahari siang itu. Akhirnya aku temukan tempat yang sesuai dengan keinginanku, tempat duduk yang teduh dan angin berhembus yang sejuk, persis ditepi sungai Brunei yang lebar.
Diseberang sungai terlihat deretan rumah-rumah tradisional yang berada diatas air, bernama Kampung Ayer. Tidak jauh dari tempatku duduk, terlihat beberapa sampan kecil dengan mesin dibagian belakang, berlalu lalang mengantarkan orang-orang yang hendak menyeberang ke Kampung Ayer itu.
Belum pula aku sempat membaca lebih banyak halaman buku itu, sayup-sayup terdengar suara azan pertanda masuknya waktu sholat zuhur. Tanpa berpikir panjang lagi, aku lengkahkan kaki menuju masjid yang letaknya tak jauh dari tempatku duduk semula.
Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien, masjid kebanggaan rakyat Brunei. Bentuknya yang khas dan menaranya yang tinggi membuatnya mencolok dan berbeda dari bangunan-bangunan disekitarnya. Nama Sultan Omar Ali Saifuddien adalah nama Sultan Brunei yang ke dua puluh delapan, sebelum Sultan Hasanal Bolkiah sekarang berkuasa.
Desain Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien sangat cantik, berwarna putih dan warna emas dibagian kubahnya. Konon, warna emas pada bagian kubah itu memang betul-betul dilapisi emas murni, bukan karena diberi cat warna emas.
Disekitar masjid itu dihiasi dengan taman-taman yang indah. Bangunan Masjid dikelilingi kolam buatan yang bentuknya melingkar. Dibagian depan masjid terdapat replika kapal yang dinamakan Bahtera Sultan Bolkiah. Letaknya ditengah kolam bagian depan masjid dan terhubung dengan jembatan kecil dengan bangunan utama masjid.
Aku terkesima dengan keindahan masjid itu, semuanya bersih dan tertata rapi. Aku langsung mengambila air wudhu dan langsung masuk ke ruang utama. Dibagian luar sudah sangat cantik, tiba didalam malah lebih cantik lagi. Jendela-jendelanya terbuat dari kaca patri yang berwarna-warni. Kubah-kubah melengkung dan tiang-tiang yang menjulang tinggi terbuat dari batu pualam berwarna putih. Karpet-karpet tebal dengan motif yang serasi yang digunakan untuk sajadah semakin memperindah bagian dalam masjid.
Salah satu yang membuat lebih nyaman dan ingin berlama-lama berada dalam masjid adalah hawanya yang sejuk bahkan cenderung dingin. Seusai sholat, kulihat jamaah tak buru-buru langsung keluar. Mereka menikmati kesejukan dan kenyamanannya. Aku pun begitu…

MERENCANAKAN KEHIDUPAN

Ketika saya memutuskan untuk mendaftar kuliah belasan tahun yang lalu, saya tidak merencanakan apapun selain lulus menjadi sarjana. Selain karena sudah bekerja dan berkeluarga, umur saya juga sudah lebih tiga puluh tahun ketika itu.
Kuliah itu juga sebagai ekspresi balas dendam saya karena harus berhenti kuliah beberapa tahun sebelumnya. Ketika itu saya terpaksa harus berhenti karena kehilangan pekerjaan yang menjadi satu-satunya sumber penghasilan untuk membiayai hidup dan pendidikan sekaligus.
Mengapa memilih fakultas hukum? Pilihan ini tak ada kaitannya dengan minat saya. Jurusan yang saya ambil pada kuliah sebelumnya adalah teknik sipil. Jurusan itu saya pilih karena memang ada kaitan dengan pekerjaan yang saya tekuni waktu itu, pemetaan topografi. Jurusan itu saya rasakan cukup berat bagi orang yang sudah seumuran saya, apalagi ditambah dengan kuliah sambil kerja. Hal itu akan terasa semakin berat.
Alasan memilih fakultas hukum adalah pilihan pragmatis saja. Pertimbangan ketika itu adalah bagaimana kuliah tidak menggangu pekerjaan, baik dari sisi waktu maupun materi yang dipelajari. Ketika itu, saya berfikir bahwa ilmu hukum termasuk ilmu sosial, selain belajar dibangku perkuliahan saya juga bisa belajar sendiri di rumah. Tidak ada soal hitung-menghitung seperti ketika kuliah di teknik sipil dulu. Dan benar saja, tidak terlalu menjadi soal bagi saya untuk memahami materi-materi pelajaran itu.
Akhir-akhir ini baru saya sadari bahwa kehidupan yang saya jalani selama ini hanya serba spontanitas. Semua hanyalah reaksi sesaat dari tekanan keadaan yang terus berubah. Lebih tepatnya adalah bagaimana agar tetap bertahan hidup. Saya sendiri tidak memiliki rencana untuk kehidupan saya dimasa depan nanti. Kehidupan ini seolah hanya dijalani saja apa adanya, bila ada hambatan dari kanan maka secara spontan akan berbelok kekiri. Begitu pula sebaliknya.
Soal merencanakan masa depan, adalah barang mewah dan tidak terjangkau bagi saya dahulu. Sekarang, dengan mudahnya akses informasi dari internet, semua orang bisa dengan mudah mencari referensi untuk menetapkan apa yang kita inginkan dalam kehidupan nantinya.
Tetapi tampaknya hingga sekarang pun, bagi sebagian anak muda, hal itu masih belum terbayang juga. Banyak mahasiswa yang masuk kuliah belum yakin betul dengan apa yang diinginkannya nanti setelah mereka lulus. Bila kita sendiri belum yakin dengan apa yang sebenarnya kita inginkan, lalu bagaimana kita akan mewujudkannya?
Kemarin, saya mencoba membantu para mahasiswa semester awal untuk memulai merumuskan kehidupan seperti apa yang diinginkannya nanti setelah dewasa. Caranya adalah dengan menuliskannya pada selembar kertas. Lalu dilanjutkan dengan menuliskan apa-apa yang harus dipersiapkan untuk mewujudkan impian-impian itu. Tulisan itu akan menjadi doa yang mengiringi kuatnya usaha kita.
Saya tidak sedang latah meniru para motivator yang memang sudah sukses dalam kehidupan mereka. Saya hanya ingin memberikan gambaran bahwa kehidupan yang tidak direncanakan hanya akan menghasilkan kehidupan seperti yang saya alami.
Bila kehidupan direncanakan besar maka hasilnya akan besar. Bila direncanakan cepat maka hasilnya akan cepat. Bila kita bekerja keras mewujudkannya, maka Tuhan akan membukakan jalannya….

Selasa, 17 Januari 2017

GAS POLL REM POLL

Pertama kali saya mengetahui ungkapan “Gas poll rem poll” ini adalah ketika membacanya dari bagian belakang bak truk. Memang banyak ungkapan-ungkapan lucu yang tertulis di bak truk itu. Kita yang membacanya terkadang dibuat senyum-senyum sendiri.
Ungkapan “Gas poll rem poll”, bagi saya, tidak hanya sekedar lucu-lucuan. Tetapi lebih dari itu, ungkapan itu dapat menggambarkan bagaimana masyarakat kita berkendara di jalan raya. Sebagian masyarakat kita hanya bisa menjalankan kendaraan saja. Belum sampai pada bagaimana berkendara yang baik dan benar serta aman bagi keselamatan. Aman bagi diri si pengendara sendiri, juga aman bagi pengendara lain.
Sering kita lihat, orang yang mengendarai sepeda motor, biasanya ibu-ibu, dengan kecepatan yang agak tinggi tetapi kakinya tetap menginjak pedal rem. Itu terlihat dari lampu rem yang menyala terus–menerus ketika sepeda motor melaju kencang. Disitulah terjadi gas poll rem poll itu.
Kekeliruan yang lebih sering terlihat adalah ketika lampu sein menyala tidak sesuai dengan arah membelok. Kendaraan membelok ke kiri tetapi lampu sein yang menyala justru sebelah kanan. Hal ini sering terjadi karena pengendara tidak menyadari bahwa lampu sein itu terus-menerus menyala, hingga pengendara hendak berbelok kearah sebaliknya.
Kekeliruan lain yang dilakukan oleh anak-anak muda, biasanya berkendara sambil menggunakan alat komunikasi. Berbicara sambil berkendara atau bahkan berkendara sambil mengetik pesan atau membaca pesan yang masuk di gadgetnya. Mereka melakukan itu seolah-olah dia sendirian saja, tidak ada orang lain di jalan raya itu. Mereka tidak menyadari bahayanya, kelengahan yang terjadi beberapa detik saja dapat menyebabkan kecelakaan yang berakibat jatuhnya korban dan hilangnya nyawa.
Banyak sekali bila diurutkan daftarnya, bagaimana masyarakat kita berkendara dengan cara yang memprihatinkan. Berkendara saling serobot, tidak menggunakan helm, membonceng anak-anak tanpa pengaman, dan masih banyak lagi.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah banyak orang tua yang melepaskan anak-anak yang masih belum cukup umur untuk mengendarai sepeda motor sendiri di jalan raya. Melihat hal seperti ini, saya tidak habis pikir, apa yang ada dalam benak para orang tua itu. Apakah mereka itu bangga kalau anaknya bisa naik sepeda motor sendiri? Bukankan melepaskan anak-anak itu ke jalan raya justru membahayakan anak-anak itu. Alih-alih menjadi kebanggaan, bagi saya orang tua seperti itu justru secara tidak langsung menempatkan anaknya dalam bahaya besar.
Berkendara yang baik dan benar tidak hanya soal mematuhi rambu-rambu lalu lintas saja. Tetapi lebih dari itu, kita perlu beretika dalam berkendara. Kebiasaan yang buruk dan tidak beretika dalam berlalu lintas ini seringkali menimbulkan kecelakaan di jalan raya.
Mengapa semua itu bisa terjadi? Mengapa kita tidak mampu berkendara dengan baik, benar dan aman? Saya pikir, jawabannya adalah karena kita tidak diajari sejak dini bagaimana berlalu lintas yang benar. Selama ini, kita belajar berlalu lintas hanya secara otodidak saja. Belajar dari pengalaman.
Tugas kita sebagai orang tua adalah mengajari dan membimbing anak-anak kita. Agar mereka aman dan selamat di jalan raya. Sudah begitu banyak contoh yang dialami anak-anak itu, mereka pulang tinggal nama saja…

Senin, 16 Januari 2017

SAWANG SINAWANG

Ketika melihat tampilan status teman-teman di media sosial, kita seringkali melihat posting-posting yang menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan. Gambar-gambar maupun kalimat-kalimat yang diposting biasanya menampilkan keadaan yang demikian itu. Bahkan ada pula yang menampilkan kemesraan bersama kekasihnya.
Hal demikian tentu baik-baik saja. Sesuatu hal yang baik yang ditampilkan di ranah publik akan membawa dampak positif bagi orang lain. Setidaknya, dengan melihat teman yang bahagia kita pun akan ikut merasakan kebahagiaan pula.
Melihat tampilan gambar atau tulisan yang terlihat gembira dan bahagia tersebut, kita akan langsung menilai dan menyimpulkan bahwa kehidupannya selalu berbahagia. Dalam kehidupan sehari-hari juga demikian, kita mengenal orang-orang disekitar kita lebih banyak berdasarkan penilaian dan persepsi kita sendiri. Penilaian itu didasarkan pada apa yang kita lihat dan kita dengar dari orang-orang disekitar kita pula.
Keadaan demikian ini dalam ungkapan bahasa Jawa disebut sawang sinawang. Sawang artinya melihat atau memandang. Sawang sinawang bermakna saling melihat atau memandang kepada kehidupan orang lain. Orang akan memandang kehidupan orang lain, menduga-duga, lalu menilai dan menyimpulkannya sendiri. Demikian pula sebaliknya, orang yang dipandang itu akan memandang orang yang memandangnya dengan cara yang sama.
Dalam sawang sinawang, seseorang akan merasa orang lain lebih baik, lebih kaya dan lebih bahagia daripada dirinya sendiri. Kehidupan orang lain akan terlihat lebih beruntung dan lebih menyenangkan daripada kehidupannya sendiri. Sebaliknya, orang yang dilihat itu pun akan menilai orang yang menilainya demikian.
Seringkali kita tertipu dengan penampilan seseorang. Kita acapkali silau dan iri terhadap orang yang penampilannya terlihat mewah dan gemerlap. Lalu kita dengan cepat menyimpulkan bahwa kehidupannya sempurna, tak ada masalah yang dihadapinya. Kita tidak menyadari bahwa dibalik kemewahan kehidupan seseorang, akan selalu ada problema yang mengiringinya. Kita tidak menyadari karena memang tidak mengetahuinya. Tak ada seorangpun yang hidup terlepas dari problem kehidupan.
Sebaliknya, seseorang yang kehidupannya terlihat sederhana tanpa kemewahan, kita akan menilai kehidupanya berkekurangan. Padahal, tidak semua orang ingin memamerkan kekayaannya kepada orang lain. Seseorang yang terlihat sederhana terkadang memiliki kekayaan materi yang melimpah dan merasakan kebahagiaan yang melimpah pula.
Karenanya, berprasangka baikl akan lebih utama. Jangan terlalu cepat menilai dan menyimpulkan hanya berdasarkan penglihatan luarnya saja. Jangan pula menilai seseorang berdasarkan omongan orang lain.
Kehidupan orang lain seringkali terlihat lebih bahagia, padahal boleh jadi hidupnya lebih susah, tetapi dia tidak menampakkannya dengan mengeluh. Syukuri dan nikmati hidupmu sendiri…

HIDUP YANG SINGKAT

Hari ini saya berbincang dengan seorang rekan advokat yang karirnya mulai melejit. Beberapa waktu terakhir ini kami jarang bertemu karena dia sering keluar berperkara diluar kota. Demikian pula saya, lebih banyak aktif di kampus daripada menangani perkara.
“Sampean masih aktif di kampus, Mas?”, dia lanjut bertanya.
“Betul, Mas. Sekarang saya lebih banyak di kampus”.
“Sampean sudah menemukan passion-nya di kampus. Kalau saya masih ingin keliling-keliling dulu”, lanjutnya lagi.
“Selain soal itu, umur juga sudah mulai tua, Mas. Anak saya sudah mulai kuliah tahun ini”.
“Wah, cepat sekali rasanya ya..!”.
Begitulah, kehidupan ini semakin terasa begitu cepat.
Dulu, ketika masih muda, orang-orang tua sering memberi nasehat dengan mengatakan bahwa kehidupan ini sangat singkat. Gunakan waktumu sebaik mungkin untuk melakukan hal-hal yang positif. Ketika itu saya tidak mengerti apa maksudnya. Sayapun menjadi tidak peduli apa yang dikatakan mereka. Saya justru merasakan kehidupan ini sangat lambat berjalan. Apalagi ketika masih kecil, menunggu waktu berlalu satu tahun, rasanya sangat lama. Menunggu lebaran tiba, rasanya sangat lama pula.
Sekarang, saya tidak hanya memahami apa yang dulu disampaikan oleh orang-orang tua itu. Lebih dari itu, saya bahkan telah merasakan apa yang mereka katakana dulu. Merasakan bahwa hidup ini memang singkat. Masih segar dalam ingatan saya, ketika saya lulus SMA. Berpisah dengan teman-teman sekolah, sambil berharap kapan-kapan bisa bertemu kembali. Tak terasa waktu itu telah berlalu dua puluh lima tahun yang lalu.
Masih tergambar jelas pula dalam ingatan, ketika saya awal-awal bekerja. Bertemu dengan banyak orang, mengunjungi banyak tempat, bergumul dengan suka dan duka dalam pekerjaan. Kesibukan itu telah melenakan pikiran tentang apa yang akan terjadi dimasa depan. Jalani saja kehidupan ini sebagaimana adanya. Tak terasa pula, pekerjaan itu telah dijalani berpuluh tahun lamanya.
Masih terbayang dengan nyata, bagaimana perasaan cinta yang menggelora ketika jalinan cinta disatukan dalam pernikahan. Perasaan canggung sebagai sepasang kekasih masih terbayang, dan bila membayangkannya kita akan tersenyum-senyum sendiri, lucu saja. Tak terasa pula, masa-masa itu telah berlalu berbilang puluhan tahun pula.
Masih terngiang jelas, suara tangisan buah hati yang baru lahir itu. Perasaan tergagap-gagap menjadi orang tua, belajar dari pengalaman, belajar dari kesalahan, hingga tanya sana sini. Kesibukan merawat buah hati dan menjalani kehidupan rumah tangga telah melenakan pikiran. Tak terasa, buah hati itu kini telah dewasa. Ia telah mulai memilih jalan hidupnya.
Kini, kehidupan terasa lebih cepat lagi. Sehari serasa satu jam, seminggu serasa sehari, hingga setahun pun serasa begitu cepat berlalu. Tak terasa umur telah lebih dari empat puluh tahun. Rasanya belum terlalu banyak yang dapat saya lakukan untuk kebaikan bagi kehidupan ini.
Bagi engkau yang masih muda, bekerja keraslah. Lakukan kebaikan sebanyak kau sanggup melakukannya. Karena hidup ini singkat, jangan kau membuatnya lebih singkat lagi dengan sesuatu yang sia-sia…

Kamis, 12 Januari 2017

DUA PENGALAMAN

Saya merasakan dua pengalaman yang sama-sama mengesankan. Keduanya tentang bapak-bapak tua.
Siang tadi, saat istirahat saya makan di suatu rumah makan yang sederhana. Usai makan saya berencana kembali ke kantor. Saat keluar dari rumah makan itu saya melihat seorang bapak tua duduk seorang diri. Saya lihat dia baru saja duduk di tangga bangunan Ruko di sebelah rumah makan itu. Ada dua ruko yang berderet disebelahnya, keduanya masih kosong.
Dengan pakaian lusuh yang melekat dibadannya, dia duduk beristirahat sejenak. Tak ada tanda-tanda bahwa dia ingin makan di rumah makan itu. Napasnya terlihat agak tersengal karena baru saja berjalan sambil menuntun sepedanya. Sepeda itu disandarkan begitu saja di tangga. Terlihat ada tiga kantung plastik tergantung di setangnya. Sepedanya bukan sepeda yang bagus. Sebagian besinya terlihat sudah berkarat.
Wajahnya menggambarkan usianya yang telah senja, keriputnya terlihat jelas. Dia tampak keletihan, tetapi senyumnya tampak begitu cerah tatkala saya mengawali senyum kepadanya.
Ketika saya hendak menyalakan sepeda motor, tergerak hati untuk bertanya kepadanya.
“Bapak sudah makan?”
“Belum, Nak. Belum”. Jawabnya dengan senyum yang cerah.
Jawaban itu membuat hati saya trenyuh. Spontan saja saya teringat bapak saya sendiri yang berada jauh disana. Lalu saya ulurkan uang yang cukup untuk makan di rumah makan itu.
“Ini untuk beli makan disini ya, Pak”.
“Terima kasih, Nak. Hati-hati di jalan”, jawabnya masih dengan senyum yang sama dengan sebelumnya.
Lalu saya pergi meninggalkannya dengan perasaan bahagia dan penuh rasa syukur dalam hati.
***
Pengalaman kedua, terjadi beberapa waktu lalu. Ketika itu saya dan istri sedang berada di toko untuk membeli sapu dan keranjang sampah. Usai berbelanja, saya melihat seorang bapak tua sedang berjalan didepan toko itu. Tangannya membawa bungkusan plastik.
Langkahnya terhenti tiba-tiba. Lalu badannya membungkuk, tangan kirinya memungut sandal jepit dari kaki kanannya. Dilihatnya baik-baik sandal itu, dari wajahnya terlihat kekecewaan. Ternyata tali sandal jepitnya putus. Memang, sandal itu sudah terlihat usang. Barangkali karena sudah lama atau karena dipakai berjalan jauh. Dibagian tumitnya sudah terlihat cekung karena sudah sering dipakai.
Bapak itu lalu berjalan masuk ke toko dengan memegang sebelah sandalnya. Saya berpikir dia akan membeli sandal baru. Toh, sandal jepit harganya tidak terlalu mahal, begitu pikir saya. Ternyata dugaan saya keliru. Dia tidak membeli sandal baru. Setelah tahu apa yang dibelinya itu, hati saya serasa teriris sembilu, napas saya sesak sesaat.
Yang dibelinya adalah peniti. Peniti itu akan dipakainya untuk menyambung sandal yang putus tadi. disambung sementara agar bisa dipakai lagi.
Saya perhatikan terus apa yang akan dilakukan Bapak itu. Ditusuknya tali sandal itu dengan peniti, lalu dikancingkannya. Setelah selesai lalu dicoba dipakainya. Dicobanya berjalan beberapa langkah, tiba-tiba dia terkejut dan mengangkat kakinya. Ada sesuatu yang menusuk kulit telapak kakinya. Ternyata kepala peniti itu terlepas dan menusuk kulit. Dipungutnya kembali sandal itu untuk dicoba diperbaikinya sekali lagi.
Saya tak tahan lagi melihatnya. Rasa iba memenuhi perasaan. Saya coba menawarkan untuk membelikan sandal jepit baru.
“Pak, mau saya belikan yang baru?”.
“Iya, Nak. Terima kasih kalau dibelikan”, jawabnya dengan senyum ramah.
Lalu saya minta pemilik toko untuk mengambilkan sandal yang ukurannya cocok dengan kakinya. Setelah dicoba dan cocok, bapak itu mengucapkan terimakasih sekali lagi, lalu berjalan pergi dengan sandal barunya.
Kokoh pemilik toko lalu bertanya, “Bapak tadi itu temannya ya?”.
“Bukan”, jawab saya singkat.
“Kenal sama orang itu?”, tanyanya lagi.
“Tidak kenal”.
***
Begitulah, bagi kita harga sandal jepit itu tidak seberapa. Kita bisa membelinya berapapun yang kita mau. Tetapi bagi beberapa orang lain, harga itu dirasa mahal sekali. Bahkan tak terbeli. Uangnya hanya bisa untuk membeli peniti, untuk menyambung sandal yang telah putus.
Pengalaman itu menyadarkan saya untuk selalu bersyukur atas apa yang telah dikaruniakan Tuhan selama ini…

PERSOALAN HIDUP

Seorang rekan bercerita tentang masalah keuangan yang dihadapinya. “Saya sedang tidak punya uang sekarang. Minggu ini saya banyak pengeluaran untuk mengganti sparepart mobil saya”, begitu katanya.
Mendengar itu saya menjawab dengan santai, “Kalau kita masih bisa disibukkan dengan urusan mobil, kita masih sangat bersyukur. Banyak orang diluar sana yang sedang kesulitan uang untuk membiayai makan sehari-harinya”.
Memang begitulah, setiap orang hidup dengan segala persoalannya. Orang yang berkekurangan harta benda akan menganggap bahwa masalah hidupnya akan selesai bila dia memiliki banyak harta. “Bila aku kaya maka persoalan hidupku pasti akan selesai”, begitu pikirnya.
Tetapi ketika dia sudah memiliki harta, ternyata persoalannya tidak selesai sampai disitu saja. Selalu ada masalah lain yang mesti diselesaikannya. Persoalan-persoalan baru selalu muncul dan berganti secara terus-menerus. Faktanya memang demikian, semakin tinggi status sosial seseorang akan semakin besar dan kompleks pula persoalan yang dihadapinya.
Ketika sedang menghadapi persoalan yang pelik, kita berpikir seolah-olah persoalan itu selalu datang kepada kita. Persoalan itu rasanya tidak kunjung selesai, padahal sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menyelesaikannya. Ketika itu semua orang menginginkan untuk tidak menghadapi masalah lagi dalam hidupnya. Bila hidup ini tidak ada masalah sama sekali, maka rasanya akan menyenangkan.
Tetapi apakah benar demikian? Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang hidup yang tidak menemui persoalan. Hidup ini saja sudah menjadi persoalan. Orang yang sudah tidak menghadapi persoalan hidup adalah orang-orang yang sudah terbaring dalam kubur. Memang begitulah, orang-orang itu tidak lagi menghadapi persoalan hidup. Mereka tidak perlu merasa cemas lagi, karena masalah hidup mereka telah berlalu. Mereka tak perlu lagi bekerja, tak perlu lagi berpikir dan tak perlu lagi memusingkan omongan orang lain tentang dirinya. Karena mereka memang sudah mati. Persoalan yang mereka hadapi kini sudah berbeda dengan persoalan ketika hidup dahulu.
Kesulitan yang kita hadapi sesungguhnya adalah tanda kehidupan. Semakin banyak masalah yang kita hadapi akan semakin terasa pula kehidupan kita. Demikian pula sebaliknya, bila persoalan hidup yang kita hadapi hanya sedikit saja, maka seolah-olah hidup ini tidak berarti. Bila hari ini kita masih menghadapi persoalan-persoalan, maka bersyukurlah, karena itu menandakan bahwa kita masih hidup. Dan hidup kita masih berarti.
Satu hal yang terpenting dari setiap persoalan adalah bagaimana kita menyelesaikannya. Setiap persoalan yang datang selalu menuntut kita untuk menyelesaikannya. Yakin dalam diri sendiri bahwa kita mampu menyelesaikan persoalan itu, adalah kunci utama untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Kesulitan yang datang kepada kita selalu lebih kecil daripada kemampuan kita untuk menyelesaikannya.
Bila kita yakin mampu menyelesaikannya, maka jawaban atas persoalan itu pasti akan terbuka…

Selasa, 10 Januari 2017

BILA HATI SEDANG MARAH

Suatu ketika dalam rapat kepanitiaan, seseorang anggota rapat menyudutkan saya berkaitan dengan informasi yang seharusnya diketahui oleh panitia inti. Saya sebagai salah satu panitia inti, bisa memahami kritikan itu. Tetapi bagaimanapun, saya tersinggung dengan apa yang dikatakannya. Hati saya tersulut amarah.
Saya mencoba mengendalikannya, hingga rasa marah itu tidak sampai menguasai akal sehat saya. Ketika itu saya katakan bahwa agenda rapat adalah membahas langkah-langkah yang harus diambil terhadap beberapa masalah yang terjadi. Tidak terlalu penting pengetahuan berkaitan dengan informasi yang dikatakan tadi.
Begitulah, rasa marah memang menjadi bagian dari kehidupan manusia. Marah merupakan ekspresi manusia tatkala dia tidak menyukai sesuatu atau keadaan yang ada tidak sesuai dengan keinginanya.
Setiap orang tentu pernah marah. Semakin banyak yang tidak sesuai dengan keinginannya tentu semakin sering pula dia marah. Setiap orang juga punya cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan kemarahannya. Ada yang meluapkan kemarahannya secara berlebihan, dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas, bahkan hingga menyakiti secara fisik.
Meluapkan kemarahan tanpa terkendali adalah perbuatan yang memanjakan ego pribadi. Sikap demikian cenderung mengarah kepada sifat negatif. Seperti anak-anak yang selalu menuruti ego dan keinginannya. Seringkali, sikap seperti itu berakibat seseorang tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri.
Bila kita sedang marah, hati menjadi panas, suhu tubuh juga begitu. Napas terasa sesak. Yang lebih berdampak lagi, kita akan kehilangan kontrol diri. Apa yang kita pikirkan dan kita ucapkan menjadi tidak terkontrol lagi. Rasa marah mengakibatkan keputusan yang diambil menjadi salah. Amarah dapat membuat kita tidak berpikir rasional lagi. Dalam keadaan marah kita tidak mampu melihat masalah dari perspektif yang baik sehingga berujung pada keputusan yang salah.
Kedewasaan seseorang dapat dilihat dari bagaimana dia mengekspresikan kemarahan. Bila ketika marah, dia mampu mengendalikan dirinya dan tidak meluapkan amarahnya kepada orang lain, maka dia kedewasaan orang itu sudah baik. Namun sebaliknya, bila ketika dia marah, semua kata-kata kotor keluar dari mulutnya ditambah lagi dengan sumpah serapah, maka sudah dapat dipastikan jiwanya masih kanak-kanak meskipun umurnya sudah berbilang banyak.
Kedewasaan adalah proses pengendalian diri. Seseorang yang mendewasa adalah wujud dari proses mengendalikan diri dan perilaku dan kehidupan. Semakin mendewasa seseorang semakin terkendali pula amarahnya. Perlu proses dan latihan yang panjang untuk betul-betul mampu mengendalikan amarah.
Bila hati sedang benar-benar marah, kendalikan diri sekuat-kuatnya. Bila sudah tak mampu lagi mengendalikannya, menghindarlah. Tinggalkan mereka sesaat, untuk mengalihkan suasana hati. Jangan mengambil keputusan apapun ketika hati sedang marah. Karena keputusan yang diambil ketika sedang marah, akan menimbulkan penyesalan yang mendalam dikemudian hari.
Kendalikan dirimu.
Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan….

Senin, 09 Januari 2017

MASALAH PRIBADI DAN MEDIA SOSIAL

Ada orang yang suka menceritakan permasalahan pribadinya di media sosial. Tidak punya uang, hutang yang menumpuk, kesal kepada orang lain atau sekedar soal pasangannya yang kurang perhatian, semuanya diceritakan di media sosial. Apa ada yang salah?, secara hukum, memang tidak ada yang salah, tidak ada ketentuan yang dilanggar.
Tidak ada yang tahu, apa sebenarnya tujuannya melakukan hal itu. Bila tujuannya untuk meminta bantuan kepada orang lain, kepada siapa dia meminta bantuan. Bukankah lebih baik dia mengirimkan pesan langsung kepada seseorang yang dinilai mampu membantunya. Hal itu akan lebih efektif dan lebih menjaga privasi kita sendiri.
Bila tujuannya hanya untuk mencurahkan perasaan atau curhat saja, bukankah hal itu justru membuka aib kita sendiri. Memang, berbagi rasa dengan menceritakan permasalahan kita kepada orang lain sudah dapat sedikit meringankan beban pikiran sesaat. Tetapi mesti dilihat dulu kepada siapa dan dimana permasalahan kita itu diceritakan.
Media sosial adalah media yang terbuka, apapun yang kita tuliskan atau kita katakan dapat dilihat oleh semua orang. Bila kita menceritakan permasalahan hidup kita di media sosial, sama saja dengan kita berteriak di jalan raya yang dipenuhi banyak orang. Mereka semua dapat melihat dan mendengar apa yang kita katakan. Bagaimana reaksi mereka? Ada yang peduli, tetapi sebagian besar tidak mempedulikannya. Mereka yang peduli, biasanya hanya menyarankan supaya bersabar. Selebihnya tidak ambil pusing dengan hal itu, bahkan merasa heran dengan dengan apa yang dilakukannya.
Seseorang yang sedang menghadapi masalah apalagi masalah itu cukup pelik, akan merasa seolah-olah didunia ini hanya dia sendiri yang sedang menghadapi masalah, orang lain tidak. Apalagi ketika melihat status teman-temannya di media sosial yang selalu menampilkan kata-kata dan gambar-gambar ceria dan bahagia bersama keluarganya, itu semakin membuat hatinya terpuruk.
Tentu saja tidak ada seorangpun dalam hidupnya yang tanpa permasalahan. Setiap orang mempunyai masalahnya sendiri. Yang membedakannya adalah bagaimana menyikapi dan menyelesaikan permasalahan itu. Sebagian besar orang tidak mau mengumbar permasalahan pribadinya keranah publik, seperti di media sosial. Selain karena alasan tidak etis, menceritakan persoalan pribadi di media sosial lebih banyak merugikan diri sendiri. Karena hal itu akan dimanfaatkan oleh orang-orang mempunyai niat jahat. Sudah banyak contoh kasus-kasus penipuan dan kejahatan lain yang dilakukan melalui media sosial. Diantara kasus-kasus itu ada yang terungkap oleh aparat, yang belum terungkap tentu lebih banyak lagi.
Gunakanlah media sosial untuk hal-hal yang positif saja. Berbagi ide, berbagi cerita, membangun kembali persahabatan dengan teman masa sekolah dulu atau untuk memperluas jaringan bisnis.
Hindari menggunakan media sosial untuk menebar kebencian, apalagi kebencian yang berkaitan dengan SARA. Karena hal itu akan membawa kita berurusan dengan hukum...

“HATIKU TERLUKA DI BUKHARA”

Brunei seri 7
Pusat perbelanjaan itu tak terlalu ramai pengunjung. Aku berjalan kearah Toko Buku “Paul & Elizabeth” di Jalan McArthur, yang tak jauh dari Terminal Bus Bandar. Toko buku itu cukup bagus namun tidak terlalu besar. Koleksi bukunya lebih banyak yang berbahasa Inggris, sisanya berbahasa Melayu. Buku-buku yang berbahasa melayu sebagian besar berasal dari Malaysia dan diterbitkan oleh penerbit Malaysia.
Aku berjalan mengelilingi hampir semua tumpukan buku-buku. Tak jelas buku apa yang kucari, memang tak ada niatku untuk membeli, hanya melihat-lihat saja. Ketika melewati tumpukan buku-buku sastra, muncul minatku untuk membacanya lebih lama. Novel-novel berbahasa Melayu mendominasi pajangan. Dengan tampilan cover yang dibuat cantik, novel-novel itu menarik perhatianku. Aku ingin membelinya satu, untuk kubaca-baca menghabiskan waktu sehari ini.
Memang, ketika aku berangkat beberapa waktu lalu, tak sempat aku membawa buku untuk kubaca-baca sambil mengisi waktu luang. Kebiasaanku membaca buku setiap hari membuatku bingung ketika buku-buku itu kini tak ada. Terutama waktu malam hari ketika sudah selesai bekerja, saat tak ada kegiatan yang perlu kuselesaikan lagi. Ketika itulah aku merasa ada ruang dan waktu yang kosong dalam pikiranku untuk diisi dengan sesuatu yang bermanfaat. Apalagi ketika hidup sendiri seperti ini, tak ada orang lain yang dapat diajak berbincang-bincang. Kekosongan itu semakin terasa.
Selain untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan pengalaman dari penulisnya, membaca juga dapat membantu mengurang stress karena beban kerja yang berat. Membaca buku yang bagus akan mengajak pembacanya larut dalam bacaannya. Membaca buku tentang humor, membuatku tertawa sendiri. Membaca buku tentang traveling, pikiranku seolah ikut traveling juga dan menjadi segar sesudahnya. Begitu pula ketika membaca buku sejarah, aku merasakan seolah-olah aku sendiri yang menjalani peristiwa-peristiwa sejarah itu.
Kebiasaan membaca buku sama dengan kebiasaan merokok atau minum alkohol. Kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus dapat menjadikan orang ketagihan atau kecanduan. Hanya saja ada bedanya, ketagihan membaca buku itu sifatnya positif, sedangkan ketagihan rokok atau zat-zat adiktif yang lain merupakan ketagihan yang negatif dan merusak. Seseorang yang kecanduan akan merasakan kenikmatan dan kepuasan apabila mengkonsumsi zat atau melakukan aktivitas yang membuatnya kecanduan itu.
“Ada yang minat?”, Tiba-tiba seorang pegawai toko buku bertanya dengan logat Melayu. Aku agak terkejut. Pertanyaan itu bernada curiga. Sejak tadi aku memang hanya melihat-lihat saja, tak ada tanda-tanda ingin membeli sasuatu pun.
“Iya, sekejap”, jawabku singkat.
Pertanyaan pengawai toko itu mulai membuatku tak nyaman lagi berlama-lama disitu. Aku mulai lagi dengan sungguh-sungguh untuk memilih satu buku yang hendak kubeli. Pandanganku tertuju pada novel kecil berwarna hitam dengan sedikit gambar ornamen berwarna emas dibagian bawah tulisan judulnya. Belakangan kuketahui bahwa gambar itu adalah gambar salah satu Madrasah yang terletak di kota Bukhara, Uzbekistan.
Novel itu berjudul “Hatiku Terluka di Bukhara”. Dibagian bawah gambar ornamen tertulis kata-kata “Sebuah Travelog Kaya Ilmu”, yang ditulis oleh sastrawan Malaysia bernama Wan Hasyim Wan Teh. Aku tertarik dengan yang ini, pikirku dalam hati. Kulihat bagian belakang sampulnya, disana diterangkan bahwa novel ini adalah rekaman perjalanan penulisnya ketika berkunjung ke Negara Uni Soviet.
Lalu aku membawanya ke meja kasir.
“Berapa harganya?”, tanyaku kepada petugas kasir.
“Tiga belas dolar sembilan puluh sen”.
Akupun segera membayarnya, lalu keluar meninggalkan toko buku. Diluar, udara terasa sangat panas. Memang begitulah keadaan disana, selalu panas. Untungnya ada angin yang bertiup dari arah sungai diseberang jalan, sedikit mengurangi rasa panas yang menyengat itu. Aku berjalan menyusuri jalan raya McArthur yang berdampingan dengan sungai Brunei yang lebar.
Yang kuinginkan sekarang adalah duduk di tempat yang teduh ditepi sungai. Sambil menikmati hembusan angin yang sejuk, aku ingin segera menikmati buku yang baru saja kubeli…

BERTANGGUNG JAWAB

Banyak orang yang merasa hidupnya dikendalikan oleh orang lain. Sikap hidupnya ditentukan oleh keadaan lingkungannya. Seolah dia tidak punya kendali atas sikapnya sendiri. Apabila dia marah, dia akan menyalahkan orang lain yang menyebabkannya marah. Demikian pula bila dia sedang sedih, dia pun akan menyalahkan orang yang menyebabkan dia bersedih.
Bahkan ada pula yang menimpakan keadaan hidup yang tidak diinginkannya dengan mengatakan bahwa keadaan itu sudah ditentukan oleh Tuhan. “Semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa”, begitu katanya. Padahal dia menyadari bahwa keadaan yang menimpanya itu disebabkan oleh perbuatan yang dilakukannya sendiri.
Mereka itu menganggap bahwa dirinya tidak punya pilihan. Keadaan seolah tidak memberinya pilihan-pilihan. Padahal, sebenarnya pilihan itu selalu ada setiap saat. Setiap pilihan yang diambil memiliki konsekuensi dan resiko.
Mengapa seseorang memilih satu pilihan, tidak pilihan yang lain, biasanya karena memperhitungkan besarnya resiko yang harus ditanggung sebagai konsekuensi diambilnya pilihan itu. Bila resikonya besar, tidak diambilnya pilihan itu.
Orang-orang yang demikian ini adalah orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka tidak mau bertanggung jawab terhadap pilihan yang telah diambilnya. Mereka lebih senang menyalahkan pihak lain daripada menanggung resiko dari pilihan yang diambilnya. Menyalahkan pihak lain selalu terasa lebih mudah dan menyenangkan.
Agar tidak terjebak dalam pemikiran dan tindakan demikian, ada yang perlu kita ubah pada diri kita. Pertama, ubahlah cara pandang kita tentang segala sesuatu. Mengubah cara pandang adalah dengan memperbanyak pengetahuan. Jangan pernah bosan untuk belajar apapun, kapanpun, dimanapun dan kepada siapapun.
Hidup ini sesungguhnya adalah pilihan-pilihan, apapun yang kita pilih selalu ada resiko. Seseorang dengan pengetahuan yang cukup, pilihan yang diambilnya akan mendekati kebenaran, dibandingkan dengan yang tidak mempunyai pengetahuan sama sekali.
Kedua, hadapi segala resiko yang timbul atas pilihan yang telah diambil. Sikap berani menanggung resiko itu adalah sikap yang bertanggung jawab. Daripada selalu melemparkan kesalahan kepada orang lain, akan lebih baik mengambil sikap ksatria dengan menghadapi resiko yang telah dipilih. Meskipun resiko gagal itu mungkin akan timbul, namun setidaknya kita dapat mengambil pelajaran agar hal itu tidak terulang lagi dimasa yang akan datang.
Bagaimanapun, kehidupan ini berada ditangan kita masing-masing. Kita sendirilah yang menjadi penentu hendak kemana kehidupan ini kita tujukan.

TERMINAL BANDAR

Brunei seri 6
Hari-hari kerja kulalui biasa-biasa saja. Tak ada kesulitan berarti yang kutemui dalam pekerjaanku selama ini. Semua tugas-tugas aku kerjakan dengan sebaik-baiknya dan yang paling penting dengan sejujur-jujurnya.
Diakhir bulan, aku berkesempatan mengisi liburan ke Bandar Seri Begawan, ibukota Negara Brunei Darussalam. Orang-orang disana menyebutnya “Bandar” saja. Untuk menuju kesana hanya ada satu angkutan umum, yaitu Bus kota. Mirip dengan Bus Trans Jakarta atau Trans Jogja. Dari kampong Lambak, tempatku tinggal sampai ke Bandar, hanya butuh waktu dua puluh lima menit.
Salah satu yang unik adalah, tidak ada warga Brunei yang menggunakan sarana transportasi umum ini. Sarana ini memang disediakan untuk warga asing yang bekerja disana. Warga asli Brunei tak perlu repot-repot naik angkutan umum, karena mereka semua memiliki mobil pribadi. Dan mobil mereka bagus-bagus. Jarang terlihat mobil jelek digunakan dijalan-jalan kota.
Sepanjang perjalanan tidak terasa membosankan. Barangkali karena busnya yang full AC dan pengemudinya yang santai, tidak dikejar setoran. Setiap pemberangkatan Bus itu sudah dijadwalkan waktunya, jadi tidak perlu terburu-buru dan tak perlu berdesak-desakan.
Ketika kondektur bus menarik ongkos, aku mengulurkan uang satu Dollar Brunei dari kantungku. Memang, tarif bus disana hanya sebesar itu untuk semua tujuan, jauh dekat sama saja. Kondektur tak perlu lagi bertanya dimana penumpang akan turun, semua ongkosnya sama.
Orang Brunei menyebut mata uang mereka sehari-hari dengan sebutan Ringgit, dalam bahasa Melayu. Tetapi dalam bahasa Inggris, bahasa kedua mereka, atau dalam kegiatan yang formal, mereka menyebutnya dengan Dollar Brunei. Nilai mata uang ini sama dengan nilai tukar mata uang Dollar Singapura.
Tak ada macet. Kata macet tidak dikenal disana. Tak ada hambatan sepanjang jalan. Meskipun semua jalan halus dan lebar, namun tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Bahkan cenderung lengang, karena memang jumlah penduduknya tidak banyak.
Perjalananku hampir sampai. Jalananpun masih lengang, meskipun telah memasuki pusat kota. Tak ada gedung-gedung yang tinggi menjulang. Gedung-gedung bertingkat hanya sampai beberapa lantai saja.
Sampailah aku di Terminal Bus atau Stesen Bas Bandar Seri Begawan. Terminal itu terletak di Jalan Cator, di pusat kota. Berada dibagian bawah gedung bertingkat. Ketika turun dari bus, aku mencoba berkeliling di sekitar kompleks terminal itu, sekedar untuk mengenali suasananya.
Satu hal yang kurasakan ketika itu, aku merasa tidak sedang berada diluar negeri. Aku tidak merasa berada di negeri orang, semuanya begitu nyaman. Aku seolah-olah berada di sebuah terminal dikota kecil di Jawa. Barangkali karena suara-suara yang terdengar ditelingaku adalah bahasa yang tidak asing bagiku, bahasa Jawa. Bagaimana tidak, para sopir bus itu sebagian besar adalah orang jawa, demikian pula kondekturnya. Yang lebih mengesankan lagi adalah sebagian besar penumpangnya adalah orang Jawa juga.
Diantara mereka yang bergerombol cangkru’an di tempat-tempat duduk disamping terminal itupun banyak orang dari Jawa. Hanya sebagian dari mereka yang berasal dari India dan Bangladesh yang terlihat dari raut wajah mereka.
Bosan dengan lingkungan terminal yang bising dan panas itu, aku berjalan keluar, kearah pusat perbelanjaan. Bukan untuk belanja, tetapi melihat-lihat ke Toko Buku “Paul & Elizabeth Educational Books”…

Rabu, 04 Januari 2017

TETAPKAN MIMPIMU

Ketika saya mengutarakan keinginan untuk “merantau” ke Jawa beberapa tahun yang lalu, Saudara saya mengatakan, “Coba dipikir lagi… disana kan, pekerjaan juga belum pasti”. Saran itu saya terima tetapi tidak saya ikuti. Karena memang saya mengutarakannya hanya sekedar menghargainya sebagai saudara yang telah membantu saya selama ini. Ketika itu saya memimpikan untuk bisa hidup dan menetap di tanah impian saya, Tanah jawa. Ketika kesempatan itu datang, saya sudah bertekad akan pergi. Dan saya tahu, tak ada yang bisa menghentikan saya.
Saya justru ingat waktu kecil dulu, Ibu sering mengatakan, “Pergilah sejauh-jauhnya, sekolahlah setinggi-tingginya semampumu. Bahkan carilah istri orang yang jauh, jangan berkutat didesa ini saja. Kemanapun kau akan pergi, orang tuamu pasti akan sampai kesana”. Dan memang benar, Bapak dan Ibu tidak pernah melarang kami, anak-anaknya, untuk pergi kemanapun jauhnya. Tidak mendikte kami untuk melakukan apa saja selama yang dilakukan itu adalah benar. Termasuk kepada anak-anaknya yang perempuan, kebetulan lebih banyak saudara saya yang perempuan.
Bagi kami, orang desa di pedalaman Sumatera Barat ketika itu, Jawa adalah tempat yang sangat jauh. Dan pergi ke Jawa adalah impian. Begitulah, akhirnya kami semua tersebar ke berbagai daerah yang berjauhan. Tidak mudah bagi kami untuk berkumpul lengkap semua saudara, hanya bila ada momen-momen penting saja kami bisa berkumpul.
Kini, giliran saya untuk mendorong anak-anak untuk membangun mimpi mereka. Tidak lagi membatasi mereka hanya di Jawa atau Indonesia, tetapi hingga keluar negeri. Hal itu kini bukan lagi sesuatu yang terlalu sulit. Informasi tentang apapun dapat diperoleh dengan mudah, kapanpun dan dimanapun. Bumi yang kita tinggali ini semakin mengecil karena telah terhubung dan dapat dipantau dengan mudah. Bahkan, dikatakan oleh para ahli bahwa bumi ini seolah mengecil menjadi semacam desa global (global village).
Ketika anak saya pernah mengatakan kalau ingin bekerja di lembaga-lembaga internasional, saya cukup senang. Saya mendukung sepenuhnya keinginan itu. Yang perlu dilakukan mulai sekarang adalah mempersiapkan diri dan menyusun rencana dengan sebaik-baiknya. Mempersiapkan diri adalah modal penting yang harus dilakukan sebelum kesempatan itu datang.
Persiapan yang paling penting adalah kemampuan berbahasa inggris. Kemampuan bahasa inggris adalah modal utama apabila ingin bekerja di lembaga internasional ataupun perusahaan-perusahaan yang berskala global. Kemampuan bahasa inggris menjadi semacam kunci pembuka untuk memasuki dunia yang lebih luas.
Satu hal yang penting, terutama bagi anak-anak muda, adalah jangan batasi mimpimu, karena semuanya dimulai dari mimpi. Bila mimpi telah ditetapkan, maka Tuhan akan membuatkan jalan untuk mencapainya…

BILA HATI SEDANG LELAH

Menjalani kehidupan akan terasa menyenangkan bila kita melaluinya dengan bahagia dan kesyukuran. Dimulai ketika bangun pagi, menjalani aktivitas lalu pulang dan istirahat kembali. Esoknya kembali terulang lagi rutinitas itu.
Terkadang, menjalani rutinitas pekerjaan membuat kita jenuh. Tugas-tugas yang dibebankan terkadang melebihi dari kemampuan kita. Hal itu membuat tidak hanya tubuh kita saja yang lelah tetapi juga pikiran kita. Apalagi bila pekerjaan yang telah kita lakukan dengan sungguh-sungguh itu tidak mendapatkan penghargaan yang semestinya dari orang-orang disekitar kita atau bahkan atasan kita.
Keadaan demikian itu seringkali membuat kita jenuh dan lelah. Hingga pada suatu titik, kita akan kehilangan kesabaran. Tak ada semangat lagi untuk melakukan sesuatu, bahkan ketika akan berangkat kerja pun kita soalah-olah tak membutuhkannya.
Bila hal itu sedang kita alami sekarang, bila kelelahan itu sedang menghampiri pikiran kita saat ini, maka beristirahatlah sejenak. Tetapi jangan mundur, jangan surut ke belakang. Bagaimanapun kehidupan ini harus tetap dilanjutkan, tak ada pilihan lain. Kecuali bila ingin mengakhiri hidup sampai disini saja.???
Dalam istirahat itu, nikmatilah kehidupan ini sebagaimana adanya. Nikmati kehidupan nyata yang ada dihadapan kita. Pemandangan alam yang indah disekitar kita sedang menunggu untuk dinikmati. Keluarga dirumah yang selalu menunggu kehadiran kita, anak-anak yang lucu menunggu pelukan hangat kita. Merekalah yang selalumenerima kita apa adanya, selalu mendukung setiap langkah kita, menyebut nama kita dalam setiap doanya. Itu semua adalah anugerah Tuhan yang diberikan kepada kita.
Bila semua itu belum mampu menghilangkan kegundahan hati, cobalah keluar dari lingkungan keseharian kita. Temuilah orang-orang yang secara ekonomi dan sosial berada dibawah kita. Cobalah berbincang-bincang dengan pedagang kecil, pengayuh becak atau orang-orang yang tinggal dilingkungan kumuh. Lihatlah kehidupan mereka, perhatikanlah cara mereka menjalani kehidupan ini dengan penuh syukur dan kebahagiaan.
Atau cobalah datangi panti-panti asuhan, dimana dirawat anak-anak yang tidak mengenal orang tuanya. Disana juga ditampung anak-anak yang orang tuanya tak mampu menghidupi dan merawatnya karena kekurangan secara ekonomi. Anak-anak yang berkekurangan secara fisik maupun mental menjalani hidup apa adanya. Cobalah berbincang-bincang dengan pengurus panti itu. Mereka dengan keadaan yang sebenarnya juga pas-pasan, tetapi dengan rela menyisihkan waktu dan tenaganya untuk merawat orang lain yang keadaannya lebih membutuhkan daripada dirinya sendiri.
Dengan begitu niscaya akan kita temukan keadaan diri kita berada dalam posisi yang lebih baik daripada mereka. Kesulitan yang kita alami tidaklah sesulit yang dialami mereka. Ketika kita tengah disibukkan dengan soal-soal pengembangan diri, kita akan melihat mereka masih bergulat dengan bagaimana bertahan hidup.
Ketika itu baru kita sadari bahwa nikmat Tuhan telah banyak yang kita nikmati.
Ketika itu baru kita sadari makna firman, “Maka nikmat Tuhan Manakah yang kamu dustakan?”.

Minggu, 01 Januari 2017

MENJAGA KEPERCAYAAN

Brunei Seri 5
Aku masih berdiri didepan toko. Memperhatikan sekeliling tempat itu. “Aku sekarang berada di negeri orang”, kataku dalam hati. Meskipun tak terlalu jauh dari negaraku sendiri, tetapi negera ini adalah Negara lain. Sebuah Negara kerajaan yang makmur secara ekonomi dan stabil secara politik.
“Apa macam?”, sapa Awang Bahrin kepadaku. Ucapan “apa macam” adalah seperti ucapan “apa kabar” dalam bahasa Indonesia. Kulihat tadi Awang Bahrin berjalan dari arah selatan, bersama Su Moi, istrinya. Awang Bahrin bekerja sebagai pegawai kerajaan di bagian penjaga keamanan tapi bukan anggota polisi. Barangkali semacam Satpol PP atau Satpam kalau di Indonesia. Sedangkan Su Moi yang menjalankan bisnis keluarga itu.
Mereka berjalan sambil membawa kotak makanan. Belakangan aku ketahui bahwa mereka tinggal tidak jauh dari Pet Shop ini, kira-kira seratus meter kearah selatan. Disana mereka juga ada bisnis yang dikelola, yaitu bisnis ikan aquarium dengan nama, “Su Moi Aquarium”.
“Baik-baik”, jawabku. “Saya masih lihat-lihat sekitar sini”.
“Makanlah dulu, sama Syaiful”, katanya lagi.
“Iya, terima kasih”.
Aku dan Syaiful lalu makan bersama. Sementara mereka berdua memeriksa buku laporan penjualan hari kemarin sambil melayani pembeli yang datang. Kuambil nasi seperlunya, lalu kubuka kotak yang lain untuk menambahkan lauknya. Masakan itu daging ayam yang dipotong-potong dengan bumbu berwarna agak kecoklatan. Beraroma sedikit aneh dan menyengat. Aku menduga itu adalah jenis masakan china, menggunakan bumbu fermentasi dari bahan-bahan tertentu.
Kucoba untuk mencicipinya sedikit, rasanya aneh dilidahku. Perutku bergejolak tak sanggup menerimanya, terasa mual. Tak ada pilihan lain, akhirnya aku makan nasi putih saja, tanpa lauk apapun. Perut yang terasa lapar membuatku mampu menghabiskan sepiring nasi putih itu tanpa sisa.
Sehabis makan, aku keluar ruangan menemui Awang Bahrin yang sedang bermain-main dengan ayam Serama. Jenis ayam berbadan mungil yang saat itu sedang menjadi tren dikalangan pecinta hewan piaraan. Selain berbadan mungil, cirikhas ayam serama adalah dadanya membusung dan ekornya tegak hampir bersentuhan dengan kepalanya. Semakin tegak badannya, semakin membusung dadanya, semakin mahal pula harganya.
“Mulai hari ini, Syaiful tidak ada disini lagi. Jadi, kau seorang yang akan menjaga ini kedai”, kata Awang Bahrin aku menghampirinya.
“Ok, baiklah”, aku menjawab dan mengerti.
“Bila ada customer yang beli, kau tulis disini”, Su Moi menimpali sambil menunjukkan buku catatan penjualan. “Semua harga sudah tertulis dalam kemasan dan ada tergantung di masing-masing sangkar. Kau mengerti?”.
“Ya, mengerti”, jawabku lagi. Tak ada yang sulit kupahami, baik dari bahasa maupun cara kerjanya.
“Untuk makan siang nanti ada yang antar kesini”, katanya lagi sambil berpamitan untuk kembali kerumah. Syaiful pun sudah mulai mengemas barang-barangnya, kelihatannya dia juga akan segera pergi.
Kini tinggallah aku sendirian di toko. Semua yang ada disana kini berada dibawah pengawasan dan tanggung jawabku. Aku sendiri tak habis pikir, baru saja beberapa jam aku bertemu mereka ketika mereka menjemputku semalam. Tapi kini mereka sudah menyerahkan semua kendali toko itu kepadaku semuanya, tanpa merasa ragu soal kejujuranku. Selain itu, aku tak melihat ada buku catatan yang berisi berapa jumlah stok masing-masing barang yang dijual.
Aku tidak tahu mengapa mereka memberi kepercayaan penuh kepadaku. Mereka belum mengenalku sepenuhnya, mereka tidak tahu latar belakangku, merekapun tidak tahu bagaimana kepribadianku. Kalau aku mau berbuat curang soal keuangan, aku bisa melakukannya dengan mudah. Tetapi aku tak mau melakukan itu, walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Kalau aku ingin mengotori rejekiku dengan kecurangan, mengapa aku harus jauh-jauh pergi sampai disini?. Mengapa harus kutinggalkan keluargaku kalau hanya untuk mencari uang yang tidak halal?.
Banyak orang mengatakan bahwa kepercayaan itu mahal harganya. Sesuatu yang dinilai mahal tentu karena langka. Demikian pula kepercayaan, bila ia dinilai sangat mahal berarti memang kepercayaan itu sangat langka. Aku tentu tak akan menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan kepadaku. Jika aku tak mampu menjaga kepercayaan yang kecil-kecil yang diberikan kepadaku, bagaimana mungkin aku akan diberi kepercayaan yang lebih besar?.
Tetapi lebih dari itu, aku memahaminya sebagai perasaan selalu dilihat oleh Tuhan. Aku merasa setiap perasaan, niat, pikiran dan tindakanku tak ada yang lepas dari pengetahuan Tuhan yang maha mengetahui segalanya. Perasaan demikian ini yang membuatku berusaha selalu berbuat jujur, meskipun tak ada orang lain yang melihatnya.
Aku merasa malu bila aku tidak jujur, akupun malu bila aku tidak bersungguh-sungguh…

RENUNGAN TAHUN BARU

Malam ini… malam terakhir bagi kita. Malam terakhir untuk menikmati tahun 2016. Tak lama lagi, hanya beberapa jam berselang, kita telah meninggalkan tahun 2016 dan memasuki 2017.
Malam ini adalah kesempatan untuk kita mencoba merenung dan menarik pelajaran, apa yang telah kita lakukan selama setahun ini. Apa saja kesalahan-kesalahan yang fatal yang telah kita lakukan. Boleh jadi kesalahan itu karena disengaja, atau karena kebodohan kita. Bila kita mampu menyadari kesalahan itu, maka kuatkanlah tekad untuk tidak akan mengulanginya di tahun depan.
Malam ini adalah kesempatan untuk kita mengevaluasi diri, apa saja kekurangan-kekurangan kita selama setahun ini. Kekurangan semangat, kekurangan ilmu pengetahuan, kekurangan kesabaran, kekurangan rasa syukur, atau bahkan kekurangan kasih sayang kepada orang-orang yang telah mengasihi kita. Sering kali kita lupa atau terlena dengan kesibukan kita sendiri, sehingga meninggalkan mereka yang selalu menantikan kedatangan kita.
Malam ini adalah kesempatan untuk kita untuk merumuskan apa yang ingin kita capai di tahun depan. Kita teguhkan tekad dengan kuat, tanpa ada keraguan dalam hati, untuk menggapainya di tahun depan. Orang menyebutnya dengan “Resolusi”.
Tahun ini umur saya telah lebih dari empat puluh tiga tahun. Angka yang bagi sebagian orang, telah memasuki masa puncak kejayaan dalam banyak hal. Kekayaan materi, karir, pemikiran, karya intelektual dan lain sebagainya. Tentu saja hal itu bisa diraih apabila kehidupan ini direncanakan dan dirancang dengan baik. Mereka dibimbing dan diarahkan, agar jalur yang dilalui tetap fokus sesuai dengan rencana.
Tetapi kehidupan saya tidak seperti itu. Jangankan untuk merencanakan masa depan, membayangkan saya menjadi apa kelak, itupun saya tidak mampu. Sementara orang lain sudah melesat menapaki rencana kehidupan mereka, saya masih berkutat dengan keadaan bagaimana bertahan hidup. Namun saya tidak menyesalinya. Saya bersyukur bahwa saya sudah menyadari bahwa memang hidup ini mesti direncanakan, dan itu bagi saya sudah cukup. Cukup untuk membantu anak-anak saya, merancang masa depannya.
Dimalam akhir tahun ini, saya sangat mensyukuri apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepada saya. Keluarga yang baik, kesehatan yang baik, rumah sederhana tetapi nyaman, pekerjaan yang dapat selalu saya nikmati. Semua itu patut saya syukuri, sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Tuhan.
Tak ada kejadian yang begitu mengecewakan saya ditahun ini. Semua tampak baik-baik saja. Segala sesuatu yang menjadi tanggung jawab saya, saya tunaikan dengan sebaik-baiknya. Sehingga bila ada yang dirasa kurang, hal itu tidak menjadi beban pikiran. Tugas saya adalah menjadikan diri saya pantas untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar.
Sekarang ini, saya sedang merumuskan apa-apa yang hendak saya capai ditahun 2017 nanti. Terima kasih atas dukungan teman-teman semua.
Selamat Tahun Baru 2017… Teloleeettttt…..!!