Senin, 22 Januari 2018

PENJELASAN

Suatu hari di bulan puasa, anak saya yang SMA minta ijin untuk acara makan sahur bersama teman-temannya.
“Acaranya dimana?”, Tanya saya menegaskan.
“Di rumah teman”, jawabnya.
“Itu acara sekolah apa acaramu sendiri?”.
“Ya.. acara sama teman-teman saja..”
Bagi saya, acara makan sahur bersama itu agak aneh dan tidak biasa. Kalau acara berbuka bersama tentu saja menjadi hal yang biasa dan lumrah, baik untuk anak-anak maupun orang tua. Tetapi kalau sahur bersama berarti harus menginap di rumah temannya itu, bagi saya hal itu tidak patut dilakukan kecuali dalam keadaan terpaksa. Sehingga tak ada alasan bagi saya untuk mengijinkan anak mengikuti acara itu.
“Bapak tidak ijinkan”, jawab saya singkat.
“Kenapa Pak? Itu akan jadi kenang-kenangan sama teman-temanku”, dia masih berusaha merayu.
“Kalau acara kamu berbuka bersama, Bapak akan ijinkan. Meskipun selesainya agak malam, Bapak yang jemput kamu pulang. Tapi kalau sahur bareng di rumah temanmu, tidak boleh”, saya menegaskan kembali larangan itu.
Dilain waktu, dia juga berkali-kali meminta ijin untuk pergi berwisata ke Banyuwangi bersama teman-temannya. Lagi-lagi pertanyaan yang saya tanyakan adalah, “Itu acara sekolah apa acaramu sendiri?”, dan dijawab bahwa itu acara sendiri dengan teman-temannya.
“Naik apa kesana?”
“Naik mobil. Mobilnya temanku”.
“Siapa yang menyetir?”
“Temanku yang nyetir. Dia sudah biasa nyetir keluar kota”, jelasnya.
“Siapa saja yang pergi?”
“Ya.. sama teman-temanku saja”.
“Bapak tidak mengijinkan kamu pergi”.
“Kenapa Pak?, temanku lho sudah sering pergi-pergi masak aku nggak boleh?”.
“Kalau perginya sama keluarga temanmu atau ada salahsatu orang tua temanmu yang mengantar, Bapak akan ijinkan. Tapi kalau hanya dengan teman-temanmu saja apalagi temanmu yang nyetir, tidak bapak ijinkan”, saya berusaha menjelaskan alasan mengapa tidak mengijinkannya.
“Teman-temanku sering pergi-pergi ya nggak apa-apa”, dia masih berusaha meyakinkan.
“Masing-masing keluarga punya aturan sendiri-sendiri. Kalau orang tua temanmu mengijinkan, itu memang haknya dan barangkali dikeluarganya hal itu tidak menjadi masalah. Tetapi bagi keluarga kita, anak-anak tidak boleh pergi keluar kota tanpa didampingi oleh orang tua atau keluarganya. Bagaimanapun anak-anak itu belum bisa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Bila nanti terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan, maka tidak ada yang merasa perlu bertanggung jawab atas kejadian itu. Misalnya terjadi kerusakan kendaraan atau terjadi kecelakaan di jalan, maka anak-anak itu belum mampu mengatasi persoalan, apalagi bertanggung jawab terhadap masalah itu”.
“Jadi saya nggak boleh pergi Pak?”
“Tidak boleh”, kembali saya tegaskan larangan itu.
Akhirnya dia pun memahami mengapa tidak diijinkan pergi. Seringkali anak-anak itu membutuhkan penjelasan yang masuk akal terhadap hal-hal yang dilarang dilakukannya. Tidak hanya asal melarang-melarang saja. Apalagi bila ada teman-temannya yang tidak dilarang untuk melakukan hal yang sama. Hal ini membutuhkan penjelasan yang lebih menguras pikiran orang tua…