Selasa, 21 Februari 2017

TUNJUKKAN KESUNGGUHAN

Sering kali saya mendapat tugas baru yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Ketika masih SMA dulu, tiba-tiba saya diminta untuk menggantikan khatib jum’at yang berhalangan hadir. Menjadi khatib untuk menyampaikan khutbah jum’at tentu bukan perkara remeh bagi seorang anak SMA, termasuk saya ketika itu. Apalagi bagi orang yang belum pernah sama sekali melakukannya.
Begitu pula ketika saya tiba-tiba diminta untuk menjadi pembawa acara atau MC pada acara halal bi halal resmi organisasi profesi. Meskipun saya belum pernah punya pengalaman membawakan acara resmi seperti itu tetapi tetap saya terima dengan penuh tanggung jawab. Saya berusaha semaksimal mungkin dan belajar dalam waktu singkat agar acara dapat berjalan dengan baik dan tidak mengecewakan.
Terakhir, ketika saya ditunjuk menjadi koordinator keamanan dalam suatu kegiatan resmi yang melibatkan ribuan orang, saya terima tugas baru itu meskipun saya belum berpengalaman untuk itu. Semua tugas-tugas itu saya selesaikan dengan baik dan penuh kesungguhan.
Banyak orang menganggap bahwa dirinya tidak mampu melakukan suatu pekerjaan yang ditugaskan hanya karena belum pernah melakukannya atau belum berpengalaman. Memang benar, apabila pekerjaan yang dibebankan kepada kita adalah suatu hal yang baru pasti ada perasaan takut dan khawatir kalau-kalau nantinya tugas itu tidak akan terselesaikan dengan baik.
Tetapi perasaan takut dan khawatir yang berlebihan, apalagi bila sampai menghalangi tindakan kita untuk maju, hal itu menjadi negatif dan merugikan kita sendiri. Bila semua hal mesti dikerjakan oleh yang berpengalaman, lalu kapan generasi yang lebih muda akan mencoba melakukannya?.
Satu hal yang selalu saya diingat adalah apabila saya diminta untuk menyelesaikan suatu tugas, berarti yang memberikan tugas itu pasti percaya penuh kepada saya. Percaya dalam hal bahwa saya mampu untuk menyelesaikan tugas itu, juga percaya bahwa saya tidak akan mengecewakannya. Keduanya berbeda, yang pertama berkaitan dengan kemampuan atau skill untuk menyelesaikan pekerjaan, yang kedua berkaitan dengan kejujuran dan itikad baik.
Sebaliknya, menjaga kepercayaan yang telah diberikan kepada kita juga tidak kalah pentingnya. Tunjukkan bahwa kita mampu dan dapat dipercaya. Salah satu cara yang dapat meyakinkan bahwa kita dapat dipercaya adalah dengan menunjukkan kesungguhan dalam setiap tahap pekerjaan yang dilakukan. Kesungguhan yang tulus tidak dapat dimanipulasi. Kesungguhan yang tulus membutuhkan konsistensi dalam setiap tahap, mulai awal hingga akhir pekerjaan.
Bila suatu saat nanti, kita tidak dipercaya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, maka boleh jadi sebenarnya karena kita tidak menunjukkan kesungguhan yang tulus.
Maka, tunjukkan kesungguhanmu…!!

PAK SATRIYO

Kemaren, dalam kepanitiaan acara wisuda sarjana, saya dipercaya sebagai koordinator bidang keamanan. Saya tidak tahu apa pertimbangannya sehingga ditunjuk untuk tugas itu. Tetapi apapun alasannya, saya terima tugas itu dengan senang hati dan penuh tanggung jawab.
Sebelumnya saya memang tidak pernah mengerjakan tugas semacam itu. Karena itu, saya mesti bertanya kesana kemari untuk belajar dan mencari informasi tentang apa saja yang harus saya lakukan. Termasuk bertanya kepada koordinator keamanan tahun sebelumnya untuk menimba pengalamannya.
Banyak hal-hal baru yang saya pelajari. Diantaranya, mengurus perijinan di kepolisian, koordinasi pengamanan dengan kepolisian, pengaturan parkir kendaraan karena tempat parker yang terbatas dan berkoordinasi dengan Pamswakarsa untuk membantu keamanan dan ketertiban acara. Semua itu menjadi pengalaman baru yang sangat berharga.
Ketika berkoordinasi dengan pihak hotel tempat acara dilaksanakan, saya berbincang-bincang dengan Pak Satriyo, sang manager. Orangnya sangat ramah dan enak untuk diajak berdiskusi.
Salah satu hal yang menarik bagi saya adalah ketika beliau mengatakan,
“Setelah acara ini harus berangkat ke Jakarta, Mas”.
“Ada acara apa Pak?”, Tanya saya ingin tahu.
“Saya mendapat undangan dari Presiden untuk menerima penghargaan”.
“Wah, luar biasa. Itu penghargaan apa, Pak”.
“Penghargaan untuk pendonor darah lebih dari 100 kali. Saya sudah donor sebanyak 115 kali. Jadi saya termasuk yang diundang ke Jakarta untuk menerima penghargaan dari Bapak Presiden”, jawabnya.
“Berapa orang yang diundang, Pak?”.
“Seluruh Indonesia ada 800 orang. Separuhnya dari Jawa Timur, termasuk saya”, katanya lagi.
Bagi saya, berdonor darah sukarela lebih dari 100 kali itu sungguh luar biasa. Perlu komitmen yang kuat dan selalu istiqomah agar dapat melakukan donor darah sebanyak itu. Mengapa perlu komitmen yang kuat dan selalu istiqomah?
Setidaknya diperlukan jeda waktu tiga bulan bagi pendonor untuk mendonorkan darah berikutnya. Waktu tiga bulan itu diperlukan untuk memulihkan kembali keadaan darah dalam tubuh pendonor setelah darahnya diambil. Berarti dalam satu tahun paling banyak hanya empat kali kita boleh berdonor. Karena itu, agar bisa mencapai donor darah sebanyak 100 kali setidaknya perlu waktu 25 tahun secara terus menerus.
Selain itu, kita hanya boleh berdonor bila tubuh kita dalam keadaan betul-betul sehat. Darah kita juga tidak boleh terinfeksi penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan gangguan bagi kesehatan penerima darah.
Mampu mendonorkan darah melebihi 100 kali, seperti yang dilakukan oleh Pak Satriyo, menunjukkan bahwa orang itu berhati sangat tulus dan ikhlas. Mereka itu tidak mengharap balasan apapun dari orang-orang yang menggunakan darahnya. Karena memang mereka tidak tahu siapa yang menerimanya. Yang mereka lakukan hanya memberikan darahnya, setelah itu tak ada lagi yang diharapkannya.
Saya merasa malu kepada beliau karena sampai diusia sekarang ini, saya hanya mampu melakukan seperempatnya dari apa yang telah didonorkannya.
Selamat Pak Satriyo….

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN

Oleh : Supianto, S.H., M.H.*)
Opini Radar Jember, Rabu, 15 Februari 2017

Kau yang mulai kau yang mengakhiri….
Kau yang berjanji kau yang mengingkari….
Potongan lirik lagu diatas sering kita dengar, bahkan sebagian besar dari kita mampu menyanyikannya. Tulisan ini tidak sedang membahas tentang materi keseluruhan lagu diatas, tetapi tentang kenyataan di masyarakat bahwa seringkali perilaku orang yang berjanji sama dengan potongan lirik pada baris kedua tersebut. Orang yang berjanji seringkali mengingkari janjinya. Apabila salah satu pihak dalam suatu perjanjian tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan atau apa yang menjadi kewajibannya dalam perjanjian itu, dalam ilmu hukum disebut Wanprestasi atau Cidera janji.
Pada dasarnya, suatu perjanjian itu dibuat untuk tujuan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Tidak boleh suatu perjanjian dibuat untuk merugikan salah satu pihak maupun untuk merugikan pihak lainnya. Perjanjian dimaknai sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini lalu timbul suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perjanjian.
Ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu : Pertama, kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. Kesepakatan merupakan unsur yang mutlak untuk sahnya suatu perjanjian. Kesepakatan adalah kesesuaian kehendak antara kedua belah pihak dalam perjanjian. Diperlukannya kata sepakat untuk sahnya suatu perjanjian, berarti bahwa kedua belah pihak harus mempunyai kebebasan berkehendak. Kesepakatan tersebut harus dibuat secara sukarela, tanpa adanya  paksaan, penipuan dan kekhilafan yang dapat  menimbulkan cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.
Syarat Kedua adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Kecakapan bertindak merupakan kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, maksudnya bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut merupakan orang yang sudah memenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap cakap menurut hukum. Orang yang dianggap tidak cakap menurut hukum adalah orang-orang yang belum dewasa dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan.
Ketiga, suatu pokok persoalan tertentu. Suatu hal tertentu yang dimaksudkan dalam persyaratan ketiga syarat sahnya suatu perjanjian  adalah objek perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan oleh para pihak. Keempat, suatu sebab yang tidak terlarang. Suatu sebab yang tidak terlarang adalah bahwa perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Pada tahap pelaksanaan isi perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa-apa yang telah disepakati dan menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban untuk memenuhi isi perjanjian itu disebut prestasi, sebaliknya, apabila salah satu atau kedua belah pihak tidak melaksanakan isi perjanjian tersebut, itulah yang disebut dengan wanprestasi.
 Bentuk wanprestasi dalam perjanjian dapat berupa : (1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Salah satu pihak atau keduanya tidak melakukan prestasi apapun sama sekali sebagaimana disepakati dalam perjanjian;  (2) Prestasi yang dilakukan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Prestasi sebenarnya telah dilakukan, namun prestasi yang dilakukan itu tidak sempurna atau tidak sebagaimana yang telah diperjanjikan sebelumnya; (3) Memenuhi seluruh prestasi tetapi waktunya terlambat. Dalam hal ini prestasi sebenarnya juga dilakukan tetapi waktu pelaksanaannya terlambat, tidak sesuai dengan waktu yang telah disepakati; dan (4) melakukan apa yang tidak boleh dilakukan dalam perjanjian. Dalam hal ini, salah satu pihak dianggap wanprestasi karena telah melakukan perbuatan yang dalam perjanjian tersebut tidak boleh dilakukan.
Pihak yang melakukan wanprestasi dapat dituntut oleh pihak lainnya yang merasa dirugikan. Kerugian yang dialami ini dapat berupa kerugian yang nyata-nyata dialami, namun dapat juga berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan akan diperolehnya. Oleh karena itu, pihak yang telah melakukan wanprestasi harus menanggung beban yang diakibatkan perbuatannya itu. Tuntutan yang dapat diajukan adalah pembatalan perjanjian yang disertai dengan tuntutan ganti rugi atau tanpa tuntutan ganti rugi, dapat juga berupa pembatalan perjanjian baik yang disertai dengan tuntutan ganti rugi maupun tanpa tuntutan ganti rugi. Hal ini diserahkan kepada pilihan pihak yang mengalami kerugian tersebut.
Tentu saja, wanprestasi dapat terjadi karena disengaja oleh para pihak maupun karena tidak disengaja. Wanprestasi yang terjadi karena tidak disengaja, boleh jadi karena memang tidak mampu untuk memenuhinya atau karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut. Pihak yang dituduh telah melakukan wanprestasi dapat mengajukan pembelaan-pembelaan tertentu agar dirinya dapat terbebas dari pembayaran ganti rugi.
Tidak selamanya kerugian timbul karena adanya kesalahan dari salah satu pihak. Dalam keadaan tertentu dapat juga timbul kerugian tetapi kerugian tersebut bukan disebabkan karena kelalaian atau karena kesalahan salah satu pihak tersebut. Dalam keadaan demikian, pihak yang dituduh telah melakukan wanprestasi dapat melakukan pembelaan atau tangkisan untuk membebaskan dirinya dari akibat-akibat hukum yang timbul karena wanprestasi. Bentuk pembelaan tersebut dapat berupa karena keadaan terpaksa atau overmacht. Keadaan memaksa ini adalah keadaan yang tidak memungkinkan lagi untuk memenuhi prestasi sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Sebagai contoh dapat dikemukakan adalah musnahnya objek perjanjian atau terjadinya bencana alam yang tidak mungkin dapat dihindari.
Bentuk pembelaan yang kedua adalah wanprestasi terjadi karena pihak lainnya juga melakukan wanprestasi. Salah satu pihak melakukan wanprestasi disebabkan karena pihak satunya juga belum melakukan prestasi sepenuhnya sebagaimana telah diperjanjikan. Pembelaan demikian dalam ilmu hukum dinamakan exeptio non adimpleti contractus. Sebagai contoh, A menjual mobil kepada B dengan harga disepakati sebesar Rp. 200.000.000,- namun B baru membayar sebesar Rp. 150.000.000,-. Pada saat A menagih kekurangan pembayaran sebesar Rp. 50.000.000,- tersebut, B menolak membayar dengan alasan bahwa A masih belum menyerahkan BPKB mobil yang dijualnya kepada A. B menolak membayar kekurangan itu karena A juga belum menyerahkan BPKB, B baru akan membayar sisa pembayaran tersebut dengan syarat A harus menyerahkan BPKB terlebih dahulu.
Selanjutnya, bagaimana atau sejak kapan salah satu pihak itu dianggap telah melakukan wanprestasi?. Salah satu pihak dianggap telah melakukan wanprestasi melalui somasi atau teguran tertulis yang menyatakan bahwa pihak tersebut telah lalai dalam melaksanakan prestasi. Somasi adalah teguran dari pihak yang berpiutang (kreditor) kepada pihak yang berutang (debitor) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya. Somasi ini berisi teguran untuk segera melaksanakan isi perjanjian yang diikuti dengan batas waktu paling lambat untuk memenuhi prestasinya.

Dalam praktek, Somasi ini dilakukan sebanyak tiga kali. Apabila setelah somasi ketiga itu pun tetap tidak diindahkannya, maka kreditor berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. selanjutnya pengadilan yang akan memutuskan, apakah debitor betul-betul telah melakukan wanprestasi atau tidak. 

PUJAKESUMA 6

SIKUMBANG
Sebagai orang yang lahir di Sumatera Barat, saya tentu saja bisa berbahasa Minang. Saya juga menyukai musik Minang, mulai dari saluang, rabab sampai lagu-lagu minang populer. Saya menikmati lagu-lagunya Tiar Ramon hingga lagunya Zalmon yang mendayu-dayu. Orang Padang biasa menyebutnya “Ratok Zalmon” atau ratapan Zalmon.
Ketika masih tinggal di Padang dulu, pekerjaan saya memungkinkan saya berkeliling hampir seluruh Sumatera Barat. Mulai dari Rao Pasaman, di ujung utara sampai Tapan, di ujung Pesisir Selatan. Dari Pantai barat sampai Pangkalan dan Sungai Dareh di ujung timur. Dari lereng Gunung Marapi sampai Alahan Panjang yang sejuk dan diapit dua danau indah, Danau Diateh dan Danau Dibawah.
Mengunjungi banyak daerah, bertemu dan bergaul dengan banyak orang, bagi saya memberikan begitu banyak pelajaran. Bahasa Minang dengan bermacam dialek dan gaya bahasa saya temui, menambah kekaguman saya kepada adat dan budaya Minang yang kaya. Nilai-nilai adat dan budaya yang semestinya dilestarikan.
Kemampuan berbahasa minang, memudahkan saya bergaul dengan orang-orang setempat. Dalam obrolan dengan orang-orang itu, sering kali mereka menanyakan apa suku saya.
Istilah Suku, bagi orang Minang, sama dengan marga bagi orang Batak. Bedanya, kalau marga Batak diturunkan melalui garis keturunan bapak atau Patrilinial, sebaliknya kalau suku di Minang diturunkan melalui garis keturunan Ibu atau Matrilinial.
Konon, awalnya ada empat suku induk dalam adat Minang, yaitu Suku Koto, Suku Piliang, Suku Bodi dan Suku Caniago. Keempat Suku tersebut terus berkembang dan jumlahnya mencapai ratusan suku. Salah satunya adalah suku Sikumbang.
Menerima pertanyaan tentang apa suku saya, terasa cukup mengejutkan. Saya yang tidak memiliki turunan darah Minang, terpaksa berfikir sejenak suku apa kira-kira yang cocok bagi saya. Akhirnya saya putuskan untuk memilih salah satu suku yang saya fikir dapat menunjukkan sifat yang gagah dan jantan.
“Ambo Sikumbang...”.

DESA BARU, DULU KEDELAI KINI SAWIT

Ketika pulang kampung beberapa waktu lalu, saya sempat diajak Bapak untuk melihat-lihat beberapa bidang kebun kami. Jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar dua kilometer saja. Letaknya disebelah utara dari perkampungan kami. Orang-orang desa menamakan daerah itu Banjar Belanti.
Kebun itu berada di tepi aliran sungai Batahan. Sungai yang sangat lebar dan deras. Sungai itupun menjadi pemisah batas dua propinsi, sebelah selatan sungai adalah Sumatera Barat dan sebelah utara sungai Sumatera Utara. Salah satu yang unik dari sungai ini adalah alirannya bisa berpindah-pindah. Ketika banjir besar melanda hingga setinggi bibir sungai maka aliran sungai itu akan berpindah.
Saya menduga perpindahan itu disebabkan oleh derasnya aliran air pada saat banjir menerjang, lalu membentuk aliran baru. Ketika saya terakhir ke kebun itu kira-kira dua puluh lima tahun lalu, tepi aliran sungai berjarak lebih dari tiga ratus meter dari kebun kami. Kini, tanah di bagian pojok kebun itu telah tergerus aliran sungai. Kelihatannya akan terus tergerus.
Dulu, semua kebun kami ditanami kedelai. Bahkan, semua kebun-kebun lain yang ada di Desa Baru semuanya ditanami kedelai. Selain Banjar Belanti, kebun-kebun penghasil kedelai adalah Banjar Jaya, Pigogah, Bancah Sodang dan Batu Sondet. Wilayah Desa Baru dulunya menjadi alah satu sentra penghasil kedelai terbesar di Sumatera Barat. Sungguh prestasi yang membanggakan ketika itu. Konon, Bapak Presiden Suharto pernah mengundang beberepa petani untuk datang ke Istana Negara karena prestasi itu.
Kini, sepanjang perjalanan ke kebun, saya tak lagi mengenali suasananya. Tak juga jalan-jalannya. Tak ada lagi kandang-kandang ternak di belakang rumah, padahal dulunya hampir disetiap keluarga memelihara sapi atau kambing. Tak terlihat juga orang-orang desa yang “ngarit” mencari rumput untuk ternak mereka. Semuanya telah berubah sama sekali.
Kebun-kebun yang dulu berupa hamparan tanah yang terbuka sejauh mata memandang, kini tak lagi bisa terlihat kearah manapun. Hanya rerimbunan pohon kelapa sawit. Daun-daunnya saling bertautan satu sama lain hingga tanahnya tak tertembus sinar matahari, lembab.
Bila saya berdiri ditempat yang agak tinggi, sejauh mata memandang hanya terlihat hijau hutan kelapa sawit saja. Hutan homogen yang terasa membosankan mata.

PUJAKESUMA 5

“Gambeh” dan “Kila”
Ternyata rumus untuk memudahkan berbahasa minang atau melayu dengan mengganti suku kata terakhir dari Bahasa Indonesia, tidak selalu dapat digunakan begitu saja. Ada beberapa kata dalam Bahasa Indonesia yang tidak dapat dirubah suku katanya begitu saja.
Dulu, ada kejadian lucu berkaitan dengan perubahan bahasa ini. Ada seorang ibu suku Jawa membeli sayuran kepada ibu pedagang sayur suku melayu. Sayuran yang dibelinya adalah gambas. Dengan percaya diri si Ibu bertanya kepada pedagang sayur,
“Berapo gambeh ko, Mak?”, Tanya si Ibu Jawa yang menanyakan berapa harga sayuran itu.
“Apo gambeh”, Ibu penjual balik bertanya.
“Iko, sayur gambeh”, Jawab Ibu Jawa dengan mantab sambil menunjuk sayuran itu.
“Oooo, itu pitulo”, kata Ibu penjual menjelaskan.
“Ambo kiro namonyo gambeh”, si Ibu menyadari kekeliruannya.
Si Ibu Jawa mengira sudah benar menggunakan rumus merubah suku kata terakhir dalam Bahasa Indonesia “…as” dirubah menjadi “…eh”. “Gambas” menjadi “Gambeh”. Ternyata rumus itu tidak dapat digunakan untuk kata ini. Sayur gambas dalam bahasa Indonesia, disini mempunyai nama sendiri yaitu “Pitulo”.
Cerita lain berkaitan dengan perubahan bahasa ini saya alami sendiri. Saat itu saya sedang menyelesaikan pekerjaan di satu desa yang sangat terpencil. Saya belum pernah pergi ke desa itu. Dalam perjalanan kesana, saya bertanya kepada seorang Bapak warga desa.
“Maaf Pak, Bapak tahu dimana desa ini?”, Tanya saya sambil menyebutkan nama desa itu.
“Iya, saya tahu, Pak”, Jawabnya singkat.
“Masih jauh dari sini, Pak?”, Tanya saya lagi.
“Tidak jauh Pak, kira-kira tiga “Kila” dari sini”, Jawab si Bapak dengan mantab.
“Oooh, masih tiga “Kila” dari sini ya Pak, terima kasih Pak”, Saya mengakhiri pembicaraan.
Kami yang mendengar jawaban Bapak tersebut tersenyum-senyum sambil menahan tawa.
Bapak itu menggunakan rumus merubah suku kata terakhir dalam Bahasa Indonesia “…a” dirubah menjadi “…o” dalam Bahasa Minang. Bapak itu mengira bahwa kata “kilo” itu bahasa Minang, sehingga kalau diubah menjadi Bahasa Indonesia menjadi “kila”.
Haaaahhhhhhhhhh...

PUJAKESUMA 4

Belajar Bahasa Minang
Menjadi “Puja Kesuma”, khususnya yang berasal dari Pasaman, punya keunggulan yang tidak dimiliki oleh “Puja Kesuma” lainnya. Salah satunya adalah mampu menguasai setidaknya tiga bahasa daerah. Bahasa Jawa, Minang dan Batak. Ketiganya sering disingkat “Jambak”.
Bahasa Jawa, menjadi bahasa ibu. Bahasa jawa digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi bukan bahasa jawa halus sebagaimana di Jawa. Tidak banyak dari kami yang mampu bahasa Jawa halus (Kromo Inggil). Bahasa Jawa yang telah banyak dipengaruhi oleh bahasa setempat, baik Minang/Melayu maupun bahasa Batak. Pengaruh bahasa setempat tidak hanya pada dialek atau cara pengucapan kata-kata, tetapi lebih jauh lagi yaitu penggunaan bahasa jawa yang sekali-sekali diselingi dengan bahasa setempat.
Saya teringat, dulu pernah ada skripsi mahasiswa jurusan Bahasa yang menulis tentang pengaruh bahasa jawa terhadap bahasa Minang di Pasaman Barat ini menjadi objek penelitiannya. Luar Biasa!
Kedua, Bahasa Minang. Termasuk dalam Bahasa Minang ini adalah Bahasa Melayu. Keduanya tergabung dalam rumpun bahasa yang sama. Hanya berbeda dalam pengucapan dan dialeknya saja. Misalnya, kata “dimana” dalam bahasa Minang disebut “dima” sedangkan dalam bahasa Melayu disebut “dimano”. Demikian pula kata “siapa” dalam bahasa Minang : “sia”, sedang dalam bahasa melayu : “siapo”.
Menguasai bahasa Minang, bagi kami tidaklah terlalu sulit. Karena bahasa ini merupakan bahasa umum di Sumatera Barat dan masih serumpun dengan asal Bahasa Indonesia. Ada beberapa rumus yang dapat digunakan untuk memudahkan berbahasa minang. Salah satunya dengan mengganti suku kata terakhir dari Bahasa Indonesia.
Suku kata terakhir dalam Bahasa Indonesia “…ing” dirubah menjadi “…iang” dalam Bahasa Minang. Contoh : “Piring” – menjadi “Piriang”, “Kucing” – “Kuciang”, “Banting” – “Bantiang”.
Kalau suku kata terakhir dalam Bahasa Indonesia “…at” dirubah menjadi “…ek” dalam Bahasa Minang. Contoh : “Buat” – menjadi “Buek”, “Surat” – “Surek”, “Muat” – “Muek”.
Kalau suku kata terakhir dalam Bahasa Indonesia huruf “…a” dirubah menjadi “…o” dalam Bahasa Minang. Contoh : “Kita” – menjadi “Kito”, “Lima” – “Limo”, “Ada” – “Ado”.
Begitu pula suku kata terakhir dalam Bahasa Indonesia “…as” dirubah menjadi “…eh” dalam Bahasa Minang. Contoh : “Panas” – menjadi “Paneh”, “Pedas” – “Padeh”, “Kupas” – “Kupeh”.
Dan masih banyak lagi rumus yang lainnya.
Bahasa daerah ketiga yang dikuasai oleh Puja Kesuma Pasaman Barat adalah Bahasa Batak. Bahasa Batak disini bukan Batak Karo atau Batak Toba yang sering kita dengar, tetapi Batak Mandailing. Dari wilayahnya, memang Pasaman Barat berbatasan langsung dengan Kabupaten Mandailing Natal (Madina) yang termasuk dalam Propinsi Sumatera Utara.
Masyarakat Mandailing ini sehari-hari menggunakan bahasa Batak Mandailing dalam berkomunikasi. Pergaulan yang intensif dengan masyarakat Mandailing memiliki andil besar bagi kemampuan berbahasan Batak Mandailing ini. Sehingga bahasa ini memberi pengaruh yang besar pada bahasa Jawa yang digunakan oleh para “Puja Kesuma” di Pasaman Barat.
Mampu berbicara dalam tiga bahasa daerah punya keunikan tersendiri. Bila bertemu dengan teman Minang kami gunakan bahasa minang. Bila bertemu dengan teman Mandailing kami gunakan bahasa Mandailing.

TAK SESULIT YANG DIBAYANGKAN

Ketika memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke jenjang S2, ada perasaan khawatir dalam hati saya. “Mampu nggak ya?”, begitu pertanyaan yang selalu muncul dalam benak.
Saya menyadari betul bahwa ketika menyelesaikan kuliah S1 beberapa tahun sebelumnya, umur saya sudah tidak muda lagi. Ketika itu saya sudah bekerja dan berkeluarga. Dalam keadaan demikian, prinsip yang saya anut adalah pekerjaan lebih utama, sedangkan kuliah hanya sampingan saja. Karena itu bila ada benturan antara keduanya maka yang diutamakan adalah pekerjaan.
Prinsip yang dianut tersebut tentu memiliki konsekuensi. Salah satunya adalah seringnya tidak masuk kuliah karena harus bekerja keluar kota. Keadaan demikian membuat saya selalu tertinggal dalam materi kuliah. Saya menyadari betul keadaan ini. Untuk mengejar ketertinggalan itu saya harus mampu belajar secara mandiri dengan membaca buku lebih banyak dan lebih sering.
Kebiasaan membaca yang saya miliki selama ini, cukup membantu untuk menyiasati keadaan. Membaca bagi saya adalah kegiatan yang menyenangkan, buka hanya sebagai obat tidur saja. Saya sebut obat tidur karena bagi sebagian orang, membaca hanya sebagai pengantar tidur. Bila mata tak kunjung terlelap, tak perlu minum obat tidur. Ambil saja buku dan bacalah beberapa saat, tak perlu waktu yang lama maka kita akan larut terbuai dalam mimpi…
Lalu awal perkuliahan pun tiba. Dosen-dosennya hampir seluruhnya bergelar doktor dan professor. Mereka semua orang pintar-pintar. Saya cukup kewalahan untuk mengikuti materi perkuliahan. Materi-materi dasar yang sudah diberikan pada tingkat sarjana, semua dianggap sudah tahu dan memahami. Hanya materi-materi yang bersifat pengembangan saja yang diajarkan pada tingkat magister. Untuk kedua kalinya, saya harus kembali banyak belajar secara mandiri. Mengulangi membaca ulang kembali materi-materi dasar yang semestinya sudah saya pahami saat kuliah S1 dulu.
Teman-teman sekelas saya terlihat santai-santai saja dalam mengikuti perkuliahan. Tidak terlihat ada beban mereka untuk mengikuti materi-materi yang disampaikan dosen. Begitu pula dengan tugas-tugas untuk membuat makalah ilmiah. Memang, mereka semua adalah lulusan perguruan tinggi negeri, tidak seperti saya. Bagi mereka tentu materi perkuliahan dasar itu sudah dikuasai dengan baik pada kuliah sebelumnya.
Meskipun demikian, tak perlu waktu yang lama bagi saya untuk mengejar ketertinggalan itu. Semangat dan keinginan yang kuat adalah pemacu dan pemicu untuk setidaknya menyamai mereka. Untuk target itu, saya mesti belajar dua kali lebih keras, mempelajari materi S1 dan S2 sekaligus. Dan kerja keras itu telah membuahkan hasil yang manis, tidak hanya mampu menyamai mereka, bahkan dalam beberapa hal mampu melebihi mereka.
Begitulah, sebenarnya kekhawatiran yang selalu muncul diawal sebelum kita terjun didalamnya, seringkali terlalu berlebihan. Perasaan demikian memang selalu muncul sebelum kita benar-benar masuk kedalamnya. Hal itu tentu wajar saja, karena memang kita belum pernah mengalami dan merasakannya. Kekhawatiran akan masih dianggap wajar sepanjang tidak menghalangi langkah untuk terus melangkah maju.
Setelah terjun didalamnya, keadaannya ternyata tidak sesulit dan serumit yang dibayangkan sebelumnya. Singkirkan kekhawatiran itu. Teruslah melangkah untuk menggapai impianmu…

PUJAKESUMA 3

“Bocah ora Jawa”
Bagi “Pujakesuma” seperti saya, mengunjungi tanah Jawa merupakan impian. Impian yang terus-menerus ingin diwujudkan. Impian untuk melihat dan merasakan tanah Jawa sebagai tanah leluhur. Impian merasakan pulang kampung kembali sebagai sebagai orang Jawa.
Leluhur saya asli Jawa. Saya, sebagai keturunannya tentu mengaku sebagai orang Jawa juga.
“Saya Jawa asli”, begitu kata saya dalam hati.
Tetapi pengakuan itu hanya klaim saya pribadi saja. Bagaimana mengaku sebagai orang Jawa, wong melihat Jawa saja belum pernah.
Karena dorongan yang sangat kuat untuk memperoleh pengakuan menjadi orang Jawa ini, membuat saya berusaha keras agar dapat mewujudkan impian itu. Impian mengunjungi tanah leluhur, tanah nenek moyang.
Begitu kuatnya keinginan itu, dulu waktu saya masih anak-anak, sering muncul dalam bayangan saya sesuatu yang utopis tentang tanah Jawa dan orang Jawa. Dalam bayangan saya, tanah Jawa itu sangat indah, bersih dan sempurna. Semua hal yang baik-baik dan positif semua ada di Jawa.
Begitu pula tentang orang Jawa, dalam bayangan saya, semua orang Jawa itu baik, halus tutur katanya, sopan dan ramah. Tidak ada orang Jawa yang jahat, tidak ada orang Jawa yang bengis apalagi kejam.
Bayangan utopis itu bukan tanpa alasan. Boleh jadi karena masih anak-anak yang polos cara berfikirnya. Tetapi alasan yang melatarbelakangi bayangan seperti itu adalah bahwa orang-orang dari Jawa yang datang berkunjung ke rumah kami pada waktu itu memang menunjukkan sikap-sikap yang baik, sopan dan ramah kepada kami.
Alasan lain yang lebih berpengaruh pada pribadi saya adalah nasehat Ibu saya. Ibu mengajarkan bahwa kata “Jawa” atau "Jowo" itu bukan hanya kata yang menunjuk pada nama suku atau nama pulau saja, tetapi juga memiliki pengertian sifat yang baik. Orang yang tidak baik perilakunya dinamakan “Ora Jawa” yang berarti tidak Jawa.
Demikian pula, kepada kami yang masih anak-anak, pada saat bermain bersama teman dan saudara ada yang menyakiti anak yang lain, Ibu pasti mengatakan “Bocah ora Jawa”.
Sejak saat itu, saya selalu berfikir bahwa orang Jawa itu mesti berperilaku baik. Kalau perilakunya tidak baik berarti bukan orang “Jawa”, dalam pengertian sifatnya....

PUJAKESUMA 2

Menjawab pertanyaan tentang saya asli mana dengan mengatakan, “Saya Putra Jawa Kelahiran Sumatera alias Puja Kesuma”, ternyata belum cukup untuk mengakhiri pembicaraan. Pertanyaan-pertanyaan berikutnya muncul,
“Mas, bapaknya tentara ya?"
“Tidak”, saya jawab singkat.
“Bapaknya dulu ikut transmigrasi, ya?"
“Tidak juga”, jawab saya lagi.
Bagi saya, kewajiban itu datang lagi. Kewajiban untuk menjelaskan tentang asal usul saya “aslinya mana”. Bapak saya bukan tentara, juga bukan transmigran. Saya dilahirkan di Sumatera, tepatnya di Sumatera Barat, tepatnya lagi di Kabupaten Pasaman.
Nama Kabupaten Pasaman sekarang sudah berubah menjadi Pasaman Barat. Perubahan yang diakibatkan pemekaran wilayah Kabupaten Pasaman menjadi Pasaman Barat dan Pasaman Timur.
Leluhur saya sudah tinggal di Sumatera sejak dahulu kala, sebelum Negara ini merdeka. Menurut ceritanya, Mbah saya pindah dari Jawa sekitar tahun 1940, lima tahun sebelum Indonesia merdeka. Waktu itu masih jaman kolonial Belanda. Bapak saya masih kanak-kanak ketika diajak Mbah pindah ke Sumatera, tepatnya di Pasaman Barat.
Ibu saya juga demikian, diajak Mbah pindah dari Tulung Agung sekitar tahun 1950-an. Waktu itu jaman darurat pangan. Tulung Agung ketika itu mengalami banjir besar dalam waktu yang lama. Banjir besar itu menyebabkan pertanian terhenti. Mbah memutuskan untuk ikut pindah daripada bertahan dengan kondisi yang sama-sama sulit. Ibu saya juga masih anak-anak ketika itu.
Jadi, bapak dan Ibu saya sudah tinggal dan menetap di Pasaman sejak mereka masih kanak-kanak. Mereka tumbuh besar disana, lalu mereka menikah disana dan akhirnya melahirkan kami semua, anak-anaknya. Anak-anak “Puja Kesuma”...

PUJAKESUMA


Ketika masih tinggal di Padang dulu, setiap ketemu dengan orang dari Jawa, pertanyaan ini yang selalu ditanyakan kepada saya,
“Aslinya mana Mas?”
atau
“Jawanya mana Mas?”.
Saya yang pada waktu itu belum pernah sama sekali ke Jawa, belum tahu bagaimana warna pulau Jawa, agak bingung menjawabnya. Kalau saya jawab saya dari Tulung Agung, Jawa Timur, tempat asal leluhur Ibu saya, saya agak khawatir. Karena saya sendiri belum pernah tahu dimana Tulung Agung itu. Nanti kalau ternyata yang bertanya kebetulan berasal dari Tulung Agung, agak repot jadinya kalau diajak ngobrol tentang Tulung Agung yang belum saya ketahui.
Kalau saya jawab saya asli Pasaman, orang yang bertanya jelas akan meragukan jawaban saya. Pertama, karena wajah saya kalau diamati terlihat asli wajah Jawa, mirip Phitecanthropus, manusia purba yang asli Jawa itu.
Alasan kedua, nama saya adalah nama yang identik dengan Jawa. Setiap orang yang mendengar atau membaca nama saya sudah pasti akan menuduh saya orang Jawa. “Asli Pasaman kok namanya Supianto”, begitu biasanya tanggapan si penanya.
Berkenalan dengan orang baru terutama dengan orang dari Jawa, selalu menjadi beban tersendiri bagi saya, beban untuk menjelaskan tentang saya asli mana. Darah yang mengalir di tubuh saya adalah Jawa tetapi saya dilahirkan di Sumatera. Tidak hanya dilahirkan saja, tetapi juga dibesarkan di Sumatera.
Biasanya, jawaban diplomatis yang selalu muncul adalah, “Saya Putra Jawa Kelahiran Sumatera alias Puja Kesuma”.