Jumat, 09 Desember 2016

SMP SWAKARSA

Ketika saya masuk sekolah SMP dulu, belum ada SMP Negeri di desa saya. SMP Negeri terdekat berada di Silaping, daerah yang sekarang menjadi kota Kecamatan Ranah Batahan. Berjarak lima belas kilometer dari desa.
Memang ada rencana akan dibangun SMP Negeri dengan syarat harus ada dulu SMP perintis. SMP ini diberi nama SMP Swakarsa. Saya adalah murid SMP Swakarsa itu. Sekolah itu hanya berumur dua tahun. Saya merupakan angkatan kedua dan terakhir, angkatan setelah itu sudah berstatus menjadi sekolah negeri.
Sekolah itu tidak memiliki gedung sendiri. Kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan menumpang di SD Negeri. Jaraknya cukup jauh dari rumah saya, kira-kira tiga kilometer. Berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki, karena tak ada angkutan umum, tak punya kendaraan. Berangkat dan pulang sekolah bersama-sama dengan teman-teman membuat perjalanan tidak terasa jauh bagi saya.
Tentu saja, saya tak boleh mengeluh, karena teman-teman saya yang lain, rumahnya lebih dua kali lipat jauhnya daripada rumah saya. Mereka juga berjalan kaki sama seperti saya. Teman-teman saya yang rumahnya di Batusondat, bahkan berjarak hampir tujuh kilometer dari sekolah. Setiap hari mereka berjalan kaki setidaknya empat belas kilometer, pergi dan pulang sekolah. Hal itu mereka lakukan sampai lulus sekolah. Sungguh semangat yang luar biasa…..
Ketika naik ke kelas dua, kelas kami pindah ke gedung baru yang jaraknya lebih dekat dari rumah. Kami menumpang di gedung SMP Negeri yang baru selesai dibangun. Kami beruntung bisa menikmati gedung baru itu dengan semua fasilitasnya, termasuk diajar oleh Bapak dan Ibu guru Negeri yang berdinas disana. Hanya saja, meskipun kami belajar di gedung SMP Negeri, kami tetap siswa SMP Swakarsa, sampai lulus.
Tidak banyak yang saya ingat dengan masa-masa di sekolah itu. Satu nama yang saya ingat adalah Pak Maswar. Beliaulah yang selalu dengan sabar mengajar kami sejak kelas satu. Beliau adalah guru yang serba bisa. Serba bisa maksudnya beliau mengajarkan hampir semua mata pelajaran. Bila tidak ada guru lain, beliau akan mengambil alih untuk mengajar kami.
Salah satu yang unik dari beliau adalah selalu mengawali pelajaran dengan menyanyi bersama. Begitu pula, setelah pelajaran berakhir, selalu ditutup dengan menyanyi bersama.
Salam hormat Pak Maswar…..

DESAKU, DESA BARU 2

Menyambung posting saya kemarin. 
Banyak yang bertanya kepada saya, “Sampean ini kelahiran Pasaman kok namanya dan ngomongnya “njawani”. Medok jawa sekali?”. Mendapat pertanyaan seperti itu, biasanya saya menjawab, “Saya putra Jawa yang dilahirkan di Desa Baru, Pasaman”.
Desa Baru, nama lengkapnya adalah Kenagarian Desa Baru. Dulu, ketika masih jaman orde baru, kenagarian ini terdiri dari tiga desa, Sukorejo, Sidomulyo dan Mulyorejo. Namun, sejak tahun 2001, sistem Pemerintahan Desa itu kemudian berubah kembali menjadi Nagari. Desa Baru juga turut berubah kembali menjadi Nagari, yang terdiri dari empat Jorong, yaitu Sukorejo, Sidomulyo, Mulyorejo dan Karangrejo.
Nama-nama itu adalah nama Jawa semua, nama khas desa-desa di Jawa. Wajar saja, karena sebagian besar penduduk nagari ini adalah orang Jawa. Sebagian kecil sisanya, terdiri dari suku Mandailing dan Melayu. Penduduk Desa Baru yang multietnis ini membuat kami mampu menguasai tiga bahasa daerah sekaligus, Jawa, Mandailing dan Bahasa Melayu yang hampir mirip bahasa Minang.
Para sesepuh Desa Baru yang masih hidup hingga sekarang, jumlahnya tidak banyak, adalah generasi kedua masyarakat Jawa yang bermigrasi kesana. Generasi pertama sudah habis, sudah meninggal semua. Bapak saya termasuk diantaranya yang masih hidup dari generasi kedua ini.
Kedatangan mereka dari Pulau Jawa terdiri dari dua tahap. Tahap pertama pada tahun 1938. Tahun itu masih masa penjajahan kolonial Belanda. Itulah sebabnya namanya masih kolonisasi. Pengiriman masyarakat Jawa itu berawal dari adanya program kolonisasi oleh Pemerintah Belanda. Masyarakat yang dikirim itu berasal dari Jawa Timur.
Program itu bertujuan untuk memperluas wilayah kolonial dan mengurangi perlawanan terhadap pemerintah Belanda di Pulau Jawa. Nah, Mbah saya, orang tua dari Bapak saya adalah salah satu dari kelompok masyarakat Jawa yang dikirim oleh Belanda itu.
Dari Jawa, mereka diangkut dengan kapal laut dan diturunkan di pelabuhan Air Bangis, berjarak sekitar empat puluh kilo dari Desa Baru. Wilayah Desa Baru ketika itu masih berupa hutan belantara. Mereka sendirilah yang harus bekerja membuka hutan untuk dijadikan pemukiman dan lahan pertanian.
Tahap kedua kedatangan masyarakat dari Pulau Jawa terjadi tahun 1956. Pada kedatangan yang kedua ini, Negara kita sudah merdeka. Kedatangan mereka diprogramkan oleh pemerintah Indonesia yang dinamakan Transmigrasi. Pemindahan ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jawa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ketika itu dalam kondisi darurat pangan.
Pada kedatangan tahap kedua ini, kebanyakan berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mbah saya, orang tua dari Ibu, adalah salah satu diantara yang ikut program transmigrasi ini. Mereka inilah yang sekarang menjadi penduduk Jorong Sidomulyo dan Mulyorejo, yang berada dibagian timur Nagari Desa Baru.

DESAKU, DESA BARU

Kalau ada yang bertanya, “Kemana kalau pulang kampung?. Saya akan menjawab, “ Ke Padang”.
Jawaban itu sebenarnya hanya untuk memudahkan dalam menjawab saja. Jawaban yang mudah untuk dipahami, bahwa rasanya setiap orang tahu dimana kota Padang itu.
Namun, Desa saya sesungguhnya amat sangat jauh dari kota Padang. Jauh di pedalaman. Saking jauhnya, saking terpencilnya, desa itu tidak ada didalam peta. Letaknya persis di garis batas antara Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Di sisi Sumatera Barat di Kabupaten Pasaman Barat, dan disisi Sumatera Utara di Kabupaten Mandailing Natal.
Jaraknya sekitar tiga ratus kilometer dari pusat kota. Jika ditempuh dengan kendaraan roda empat, diperlukan waktu lebih dari tujuh jam perjalanan. Sepanjang perjalanan, tak terlalu banyak keramaian, tak ada kemacetan.
Meskipun jauh dari pusat kota, namun bila kita hendak bepergian ke kota Padang, tidak perlu berganti kendaraan umum. Ada angkutan umum yang langsung melayani trayek dari desa ke kota Padang. Dua kali sehari, pagi dan malam.
Dulu, ketika saya masih sekolah disana, semua urusan yang berkaitan dengan pemerintah masih sangat sulit. Sulit karena kendala jarak yang jauh. Bayangkan saja, bila ada suatu urusan ke kantor kecamatan, harus menempuh perjalanan lebih dari empat puluh lima kilometer dari desa ke Air Bangis, kota kecamatan.
Apalagi bila urusan itu harus ke kantor Bupati, perjalanan yang dibutuhkan lebih panjang lagi. Lebih dari seratus lima puluh kilometer jarak yang mesti ditempuh dari desa ke Lubuk Sikaping, kota Kabupaten Pasaman. Parahnya lagi, sepanjang perjalanan lebih banyak ditemui hutan-hutan daripada perkampungan.
Kini, keadaan sudah jauh lebih baik. Setelah pemekaran Kabupaten Pasaman menjadi dua, yaitu Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat, kendala jauhnya jarak semakin berkurang.
Demikian pula pemekaran kecamatan Sungai Beremas menjadi Ranah Batahan, sudah berdampak jauh lebih dekat, tak lebih dari dua belas kilometer saja jarak ke kantor kecamatan.

MENJADI ADVOKAT

Berprofesi sebagai seorang advokat, menjadi impian banyak orang pada saat ini. Boleh jadi karena terpengaruh dan tergiur dengan tampilan para advokat papan atas yang sering berpenampilan high class dan memakai mobil mewah. Profesi advokat termasuk salah satu profesi yang paling diidam-idamkan oleh para sarjana hukum, dan menjadi pilihan utama bagi banyak mahasiswa Fakultas Hukum setelah menyelesaikan kuliahnya.
Di beberapa negara, misalnya di Amerika Serikat, advokat memang merupakan salah satu profesi yang berpenghasilan besar dibanding profesi-profesi yang lain.
Besarnya penghasilan seorang yang berprofesi advokat menjadi salah satu yang sangat menggiurkan bagi seseorang yang telah memperoleh gelar sarjana hukum untuk memilih profesi ini.
Setiap tahun, ribuan sarjana hukum mengikuti Ujian Profesi Advokat yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai satu-satunya organisasi advokat yang dibentuk berdasarkan undang-undang advokat. Mereka berusaha sekuat tenaga agar dapat lulus dalam ujian yang diadakan hanya sekali dalam setahun tersebut.
Diantara peserta ujian tersebut, banyak yang telah beberapa kali mengikuti ujian pada tahun-tahun sebelumnya, karena belum lulus dan harus mengulang. Penulis sendiri pernah mencoba bertanya kepada rekan sesama peserta ujian profesi advokat yang pernah penulis ikuti, mengenai sudah berapa kali mengikuti ujian advokat. Seorang rekan yang duduk didepan penulis menjawab sudah mengikuti dua kali ujian sebelumnya. Kemudian penulis bertanya kepada rekan yang duduk disebelah kiri, lalu dijawab bahwa ini adalah ujian keempat yang diikutinya.
Bagi sebagian peserta ujian profesi advokat, soal ujian yang diujikan sangat sulit untuk dikerjakan, sehingga ada peserta yang telah beberapa kali mengikuti ujian baru berhasil lulus. Bagi sebagian yang lain, tingkat kesulitan soal yang diujikan biasa-biasa saja, tidak terlalu sulit, cukup dengan satu kali mengikuti ujian saja, bisa langsung lulus.
Memang, selama ini tingkat kelulusan ujian profesi advokat rata-rata hanya tiga puluh persen dari keseluruhan peserta yang mengikuti ujian. Bagi peserta yang belum lulus, sebanyak tujuh puluh persen sisanya, apabila masih bertekad dan ingin berprofesi sebagai advokat, harus mengikuti ujian pada tahun berikutnya.
Rendahnya tingkat kelulusan ujian profesi advokat, bisa jadi disebabkan oleh sulitnya soal yang diujikan. Tetapi apabila dilihat dari sisi peserta ujian, ada beberapa kemungkinan yang dapat dikemukakan. Kemungkinan tersebut antara lain, pertama, peserta ujian tidak menguasai materi yang diujikan. Kedua, peserta ujian tidak siap secara mental atau kehilangan konsentrasi dalam mengerjakan soal. ketiga, terjadi kesalahan teknis dalam cara pengerjaan soal, dan keempat, terjadi pelanggaran tata tertib ujian yang mengakibatkan peserta didiskualifikasi oleh panitia ujian.
*) Buku : Panduan Menuju Profesi Advokat