Selasa, 23 Agustus 2016

PATUNG KRISTUS RAJA

Sebelum tahun 2002, Timor Timur masih menjadi bagian dari Indonesia. Timor Timur menjadi propinsi Indonesia yang ke 27. Setelah berpisah dari Indonesia dan menjadi Negara sendiri, namanya kemudian berubah menjadi Timor Leste. Orang Timor sendiri menyebutnya Timor Lorosae, yang berarti tempat matahari terbit.
Pusat pemerintahan Timor  Timur berada di kota Dili. Kota Dili terletak di pesisir utara pulau Timor. Kota ini tidak terlalu ramai, namun eksotik. Cukup banyak bangunan-bangunan lama peninggalan pemerintahan Portugis, dapat kita temui di sana. Salah satunya adalah gedung yang dulu digunakan sebagai Kantor Gubernur Timor Timur. Gedung yang masih terawat baik ini berada ditepi pantai Dili, menghadap ke Selat Ombai.
Ketika saya berada disana pada tahun 1996, sedang ada persiapan peresmian patung Kristus Raja oleh Presiden Suharto. Pengerjaan patung raksaa itu baru saja usai. Patung Kristus Raja (sekarang namanya Christo Rei), terletak di sebelah timur dan menghadap ke pusat kota Dili. Jaraknya kira-kira enam kilometer dari pusat kota. Saya sempat jalan-jalan kesana sebelum patung itu diresmikan.
Patung Kristus Raja menjulang tinggi di puncak Bukit batu yang kuat dan terjal. Bukit itu bernama Bukit Fatucama, yang terletak di tepi pantai.  Kalau kita berdiri diatas bukit itu, akan terasa angin laut bertiup kencang, menerpa wajah. Dari atas bukit kita bisa melihat dengan jelas kota Dili.
Patung Kristus Raja merupakan karya seni yang luar biasa indah. Patung ini menggambarkan sosok Yesus Kristus yang sedang berdiri tegak diatas bola dunia. Dengan jubahnya yang sederhana, wajahnya terlihat teduh. Sambil mengangkat kedua tangannya, patung itu seolah mengatakan “Selamat datang di Bumi Timor Lorosae”.  
Dulu, patung ini pernah mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai patung tertinggi di Indonesia. Tingginya mencapai 27 Meter. Konon, tinggi patung ini melambangkan Timor Timur sebagai provinsi ke-27 Indonesia.
Untuk mencapai lokasi patung ini tidaklah mudah. Kita harus menapaki lebih dari enam ratus anak tangga. Disepanjang perjalanan menaiki anak tangga ini, kita akan melewati empat belas titik pemberhentian. Jumlah ini melambangkan empat belas tahap perjalanan Yesus Kristus menuju penyaliban.
Di setiap pemberhentian, terdapat relung yang berbentuk setengah lingkaran, seperti sebuah mihrab. Didalamnya berisi ornamen  atau relief yang menggambarkan proses penyaliban Yesus Kristus. Diatas tiap-tiap ornamen itu terdapat keterangan yang  ditulis melengkung, menjelaskan proses penyaliban. Tulisan itu dalam dua bahasa, Indonesia dan bahasa Inggris. Saya sempatkan untuk berfoto di salah satu relung penyaliban itu.

Di kawasan Bukit Fatucama ini, selain Patung Kristus Raja, juga ada pantai cantik dengan pasir putih. Di tepi pantai banyak terdapat café yang cocok untuk bersantai, sambil menikmati indahnya pantai dikala senja. Bagi yang berkesempatan berkunjung ke Dili, jangan sampai melewatkan berkunjung ke Patung Kristus Raja.

BERANGKAT

Tepat tengah hari, ketika bis yang saya tumpangi berangkat meninggalkan Jakarta. Siang itu panas terik sekali. Di sepanjang jalan di pusat kota, saya lihat banyak tentara berseragam loreng berjaga-jaga. Suasana terasa sepi dan agak mencekam. Hari itu memang baru beberapa hari setelah peristiwa “Kudatuli”.
Bagi mereka yang mengikuti perkembangan politik di dalam negeri, pastilah mengetahui cerita Peristiwa Kudatuli ini. Kudatuli merupakan singkatan dari Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli. Peristiwa itu terjadi pada hari Sabtu, dua puluh tujuh Juli tahun 1996. Karena terjadi pada hari Sabtu, ada juga yang menyebutnya  peristiwa “Sabtu Kelabu”.
Peristiwa “Kudatuli” adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI).  Pada saat itu kantor DPP PDI, yang terletak di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, dikuasai oleh pendukung Megawati. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi, yang menjadi Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan. Peristiwa itu akhirnya membesar menjadi kerusuhan massa. Kerusuhan yang mengakibatkan pembakaran, penjarahan dan korban jiwa.
Saya berada tidak jauh dari sana ketika peristiwa itu terjadi. Terdengar suara gemuruh, seperti suara kerumunan lebah. Sebenarnya saya ingin mendekat untuk melihat apa yang terjadi, tetapi semua jalan ditutup. Semua kendaraan tidak ada yang boleh mendekat.
Bis yang saya tumpangi berjalan pelan meninggalkan pusat kota. Makin lama semakin cepat. Dan lebih cepat lagi ketika telah meninggalkan kota.
Perjalanan panjang itu telah dimulai. Perjalanan menuju tempat baru yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Perjalanan darat dari Jakarta menuju Denpasar, cukup melelahkan bagi saya. Apalagi perjalanan tidak semulus yang direncanakan. Ada saja hambatan yang memperlambat kami tiba di tujuan.
Sempat saya tanyakan kepada ketua tim saya mengenai pilihan perjalanan ini.
“Barang bawaan kita banyak, Mas!. Kalau kita naik pesawat dari Jakarta, ongkos bagasinya mahal. Nanti, dari Denpasar ke Dili baru naik pesawat”. Begitu jawabnya.
Dan benar saja. Ketika telah tiba di ruang Check In Bandara Ngurah Rai, barang-barang bawaan kami sangat banyak. Terutama peralatan survey pengukuran yang jumlahnya empat set. Belum lagi barang-barang bawaan pribadi. 
Naik pesawat terbang, adalah pengalaman pertama saya waktu itu. Ada perasaan takut, bangga dan kikuk, bercampur menjadi satu. Banyak hal baru dan menarik yang saya alami. Tidak tahu bagaimana cara memasang seat belt,  adalah salah satu yang saya alami sebagai orang yang baru pertama naik pesawat. Penampilan peragawati cantik yang memperagakan prosedur keselamatan, juga menjadi pertunjukan yang menarik bagi saya.
Pengalaman pertama dan menarik itu membuat penerbangan tidak begitu terasa. Tidak sampai ada kelelahan. Tiba-tiba terdengar suara keluar dari speaker diatas tempat duduk saya.
“Penumpang yang terhormat,

Sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Komoro di Kota Dili”.