Kamis, 28 Desember 2017

BERLATIH MENULIS

Banyak orang yang ingin bisa menulis. Banyak pula yang ingin jadi seorang penulis. Tentu saja. Selain karena bisa mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya, banyak pula penulis yang kaya dari hasil tulisannya.
Bila membaca tulisan orang yang pandai menulis, seringkali kita terheran-heran dengan kemampuannya menulis. Kemampuannya dalam menyusun kata-kata bisa membuat kita hanyut dalam alur ceritanya.
Sebenarnya, kalau hanya sekedar menulis kita semua bisa melakukannya. Bertahun-tahun kita belajar di sekolah, sejak sekolah dasar hingga sekolah lanjutan, kita sudah diajarkan untuk selalu menulis dan membaca. Bahkan hingga di bangku kuliahpun, menulis menjadi bagian pokok dalam pembelajaran.
Tetapi, sebagian besar kita selalu mengeluh tidak bisa menulis. Persoalannya adalah kita tidak terbiasa untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran kita, apa yang kita pikirkan. Yang kita tulis selama ini adalah materi-materi pelajaran sekolah, bukan apa yang sedang kita pikirkan saat itu. Karena itu, kita menjadi tidak terbiasa untuk menuangkan gagasan-gagasan yang sebenarnya sudah menumpuk dalam pikiran kita.
Misalnya, ketika kita diminta untuk menulis sesuatu, apakah itu esai, cerita, karangan ataupun makalah. Seringkali tatkala hendak menuliskan kalimat pertama, jemari kita tak kunjung bergerak menulis. Hanya pikiran kita saja yang terus berputar-putar tanpa henti, padahal idenya sudah tersimpan dalam pikiran tetapi tak mampu terhubung kedalam tulisan.
Lalu, bagaimana caranya agar bisa menulis? Satu-satunya cara adalah dengan berlatih. Terus berlatih. Tak ada cara lain selain berlatih, apalagi cara-cara yang instan.
Tulisan ini saya buat sebagai wujud terus berlatih itu tadi...

MENDAMPINGI ANAK BELAJAR

Satu hal yang perlu kita perhatikan sebagai orangtua adalah mendampingi anak-anak dalam belajar.
Banyak orangtua yang menyerahkan seluruh urusan belajar ini kepada sekolah. Ketika anak-anak sedang berada di sekolah tentu akan menjadi tanggung jawab pihak sekolah, tetapi diluar itu maka menjadi tanggung jawab orangtua sepenuhnya.
Soal belajar di rumah ini seringkali orangtua hanya sekedar menyuruh saja. Setelah itu, seolah tanggung jawab telah usai. Padahal anak-anak sangat perlu didampingi ketika mereka sedang belajar. Disamping sebagai bentuk apresiasi dan dukungan kepada mereka, seringkali anak-anak membutuhkan bimbingan untuk memahami apa yang mereka pelajari itu.
Salah satu contohnya, kemarin pada saat membaca buku pelajarannya, tiba-tiba anak saya yang masih kelas enam bertanya tentang satu istilah yang artinya belum dia ketahui.
"Pak, hak paten itu apa?"
"Di bukunya apa tidak ada penjelasannya?".
"Tidak ada".
"Hak paten itu adalah hak yang diberikan kepada seorang penemu dalam bidang teknologi", saya mencoba menjelaskan dengan bahasa yang disederhanakan agar bisa dipahaminya. "Ngerti nggak...?".
"Nggak"
"Begini contohnya, Habibie itu pernah menemukan salah satu teknologi dalam bidang pembuatan pesawat terbang. Karena penemuannya itu maka dia punya hak paten".
"Oh begitu.."
Begitulah, apabila anak-anak kita belajar sendiri tanpa didampingi seringkali ketika mereka menemui kesulitan dalam memahami istilah-istilah yang sulit, tidak ada yang membantunya. Bila artinya saja mereka tidak tahu bagaimana mungkin mereka bisa memahami apa yang dimaksud oleh buku pelajaran itu.
Selalu dampingi anak-anak saat mereka belajar...

SI-MBOK

Bagi orang Jawa, terutama yang di desa-desa, ”Mbok” atau “Simbok” adalah kata sapaan kepada orang tua perempuan, ibu. Ada yang mengartikan kata mbok itu sebagai “seng tombok”, maksudnya orang yang selalu tombok, menutupi kekurangan, melunasi dan membuat sempurna terhadap kekurangan anaknya.
Kami sekeluarga menggunakan kata Mbok untuk memanggil Ibu. Meskipun kami tidak dilahirkan di Jawa, tetapi di lingkungan kami semuanya orang Jawa dan menggunakan bahasa Jawa, Kromo Ngoko. Tentu saja bahasa Jawa yang kami gunakan adalah bahasa Jawa yang diucapkan sehari-hari, begitu pula tata bahasanya. Kami tidak pernah dapat pelajaran bahasa Jawa waktu sekolah.
Di desa saya dulu, hampir semua orang memanggil ibunya dengan kata Mbok. Ada juga yang menggunakan kata “Emak”, tetapi hanya sebagian kecil saja. Panggilan ini biasanya dipadankan dengan “Pak” untuk memanggil orang tua laki-laki. Dalam pemakaian sehari-hari biasanya kata mbok ditambah dengan akhiran “e”, sehingga menjadi “Mbok-e”. Misalnya untuk menanyakan dimana keberadaan ibunya digunakan kalimat “Mbok-e tindak menyang ngendi, Le?”, yang artinya “Ibu pergi kemana, Nak?.
Karena digunakan oleh orang-orang desa, panggilan mbok ini menyiratkan sifat kesederhanaan, keluguan dan tidak neko-neko. Namun disisi lain juga menunjukkan sikap yang gigih, pekerja keras dan berani.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi arti kata mbok sebagai 1. kata sapaan (ragam kromo ngoko) terhadap wanita; 2. kata sapaan terhadap orang tua wanita; ibu; 3. kata sapaan terhadap wanita tua yang kedudukan sosialnya lebih rendah daripada yang menyebutnya.
Dalam perkembangannya, kata mbok sudah banyak berubah maknanya. Seperti arti ketiga dari kata mbok dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diatas, mbok lebih dipahami dan digunakan untuk kata sapaan terhadap wanita tua yang kedudukan sosialnya lebih rendah daripada yang menyebutnya. Seperti dalam film dan sinetron-sinetron yang sering ditayangkan di televisi, panggilan mbok selalu tertuju pada seseorang yang berwujud sebagai pembantu rumah tangga. Mereka biasanya ditampilkan dalam bentuk perempuan tua yang lugu dan selama berpuluh tahun mengabdi sebagai pembantu secara terus-menerus.
Apakah anak-anak masa sekarang masih menggunakan kata mbok untuk memanggil ibu mereka? Atau apakah ibu-ibu muda di desa-desa itu kini masih mengajarkan panggilan mbok kepada anak-anaknya? Entahlah… mungkin saja masih ada. Mbok memang kalah keren dibanding Ibu, apalagi mama-papa, mami-papi...

Selasa, 14 November 2017

SEHAT DIMASA TUA

Saya pernah punya pengalaman memiliki orang tua yang mengalami sakit dimasa tuanya. Ibu saya menderita sakit yang cukup lama, sebelum beliau dipanggil oleh Sang Pencipta. Kami telah berusaha semampu kami untuk mencari kemungkinan pengobatan agar beliau terlepas dari penyakitnya itu, namun usaha itu ternyata belum membuahkan hasil.
Sebaliknya, saya juga memiliki orang tua yang masih dalam keadaan sehat wal’afiat diusianya yang sudah uzur. Beliau masih bisa beraktifitas seperti biasa tanpa bergantung kepada orang lain. Tentu saja, kami bersyukur dan selalu mendoakan semoga orang tua kami tetap sehat hingga akhir hayatnya kelak.
Kita semua pasti menginginkan agar secara fisik dan mental kita selalu sehat sampai tua. Soal datangnya kematian itu persoalan lain, kita tidak pernah mengetahui kapan datangnya. Satu hal yang pasti adalah bahwa kematian itu pasti akan datang. Yang penting bagi kita adalah begaimana kita menjalani hari-hari tua kita nantinya agar selalu sehat dan mampu menikmati kebahagiaan itu. Bagaimanapun, persoalan kesehatan itu menjadi tanggung jawab kita sendiri untuk menjaganya.
Banyak orang yang bekerja begitu keras, hingga tak lagi dihiraukannya kelelahan tubuhnya. Berangkat bekerja sejak pagi hari, pulangnya hingga malam, bahkan hingga dini hari. Tak disadarinya bahwa tubuhnya mempunya hakatasnya untuk dipenuhi, hak untuk beristirahat. Barangkali karena tuntutan kehidupan yang memaksanya untuk bekerja begitu kerasnya. Tak lagi dirasakannya tubuhnya yang mulai ringkih dimakan usia dan kelelahan.
Tetapi ada pula yang menyia-nyiakan kesehatannya dengan perilaku yang sia-sia pula. Begadang yang tiada perlunya, mengkonsumsi minuman keras berlebihan hingga menjadi pecandu narkoba, adalah beberapa contoh perilaku yang sia-sia. Perilaku yang melenyapkan nikmat sehat yang telah dianugerahkan kepadanya. Mungkin saja mereka menikmati kesenangan semu saat masih muda, namun akibat yang akan dideritanya adalah sepanjang sisa hidupnya kelak.
Bagi orang yang mampu secara materi, mungkin saja akan mengatakan bahwa kalau badannya sakit dia masih memiliki uang untuk berobat. Dia mampu membayar dokter-dokter yang ahli dalam mengobati penyakitnya, atau dia mampu mempunyai uang untuk membeli peralatan kesehatan yang canggih agar menjadikannya sehat kembali.
Tetapi kita mesti sadar, bahwa sekaya apapun kita, sebanyak apapun uang kita, itu tidak akan mampu menggantikan rasa sakit. Sesetia apapun pasangan kita, seberbakti apapun anak-anak kita, dan sebanyak apapun sahabat kita, semua itu tidak ada yang mampu menggantikan rasa sakit yang kita derita. Yang dapat mereka lakukan hanyalah menemani, menghibur dan mengusahakan pengobatan saja, namun tak dapat menggantikan rasa sakit kita. Kita sendirilah yang akan merasakannya.
Karena itu, jagalah kesehatan kita selagi masih muda, agar kita tetap sehat dan berbahagia dimasa tua kelak.
Semoga…!

Rabu, 08 November 2017

PEMBAGIAN KERJA DI RUMAH


Sejak kecil dulu, secara tidak langsung kita diajarkan bahwa ada pemisahan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam lingkup keluarga misalnya, pemisahan peran itu terlihat dalam pembagian tugas di rumah. Kalau kita ingat, bacaan di buku pelajaran waktu sekolah dasar dulu tertulis, “Bapak sedang membaca koran. Ibu sedang memasak di dapur”. Ketika membaca kalimat itu, anak-anak akan berpikir, “Senangnya kalau jadi bapak, saat ibu sedang sibuk memasak di dapur untuk menyiapkan sarapan, bapak justru asyik membaca koran”.

Tugas seorang bapak sebagai kepala rumah tangga adalah mencari nafkah untuk keluarga. Tanggung jawabnya adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang dan papan seluruh anggota keluarganya. Bagi keluarga yang tinggal di pedesaan dan bertani sebagai mata pencaharian utamanya, tanggung jawab ini menuntutnya untuk sering berada diluar rumah. Ke sawah, ke ladang atau bahkan pergi ke hutan mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Sementara itu, Tugas ibu adalah mengurusi pekerjaan di dalam rumah dan mengurus anak-anak. Pekerjaan di rumah meliputi pekerjaan dapur, memasak,mencuci menyapu dan sebagainya. Begitu pula mengurus anak, bila dirinci akan menjadi banyak sekali. Memandikan, menyuapi, mengajak bermain, hingga mengantar jemput ke sekolah, adalah tugas dan tanggung jawab seorang ibu.

Sebuah keluarga idealnya memang demikian. Tetapi faktanya, pembagian tugas itu tidaklah berjalan seperti itu. Seringkali hasil yang diperoleh kepala rumah tangga tidak mencukupi kebutuhan anggota keluarganya. Seorang ibu, tanpa diminta akan membantu tugas kepala keluarga. Seorang ibu tanpa meninggalkan tugas utamanya, turut membanting tulang membantu meringankan beban suaminya untuk memenuhi kebutuhan yang makin lama semakin bertambah banyak. Bahkan dalam banyak kasus, seorang ibu atau istrilah yang justru lebih dominan dan menjadi tumpuan dalam mencari nafkah keluarga. Dan tidak jarang pula, terutama di kota-kota besar, penghasilan seorang istri justru lebih besar daripada penghasilan suaminya.

Keadaan demikian sebenarnya tidak ada yang salah. Tidak salah sepanjang dapat disepakati bersama antara suami dan istrinya. Persoalan yang sering timbul biasanya apabila suami tetap menuntut istrinya sesuai dengan pembagian peran pekerjaan diatas. Suami tidak mau membantu pekerjaan-pekerjaan istrinya di rumah, sementara istrinya sudah membantunya dalam memenuhi tanggung jawabnya dalam mencari nafkah. Suami masih menuntut dilayani seolah-olah dialah yang mencukupi semua kebutuhan dalam rumah tangganya. Misalnya, ketika keduanya baru pulang kerja dan sama-sama lelah, suami masih saja menyuruh istrinya membuatkan kopi. Atau ketika dalam keadaan tersebut, suaminya masih saja tidak mau membantu mengurus keperluan anak-anak.

Sebuah keluarga adalah milik mereka yang menjalaninya sendiri, suami dan istri. Tidak ada yang dapat mencampuri urusan mereka tanpa mendapatkan mereka ijinkan. Tidak pula orang tua atau mertua. Karena itu berfokuslah membangun keluarga secara bersama-sama, tanpa menyakiti perasaan pasangan.

Bila pasanganmu benar-benar mencintaimu, maka dia akan memperlakukanmu dengan baik…

Minggu, 29 Oktober 2017

TV DI DESAKU

Sebagai anak seorang petani yang tinggal di pelosok desa, saya tahu dan merasakan betul bagaimana rasanya kehidupan anak-anak di desa. Hari-hari setelah pulang sekolah, biasanya langsung membantu pekerjaan orangtua di sawah atau di ladang. Tidak lupa pula melakukan tugas rutin mencari rumput untuk pakan ternak.
Setelah itu, waktu lebih banyak dihabiskan untuk bermain bersama teman-teman. Kami tak terlalu berfikir tentang bagaimana kehidupan dimasa depan nanti, kami hanya menjalani kehidupan apa adanya dan bersenang-senang saja.
Waktu saya masih kecil, belum ada listrik PLN di desa saya. Yang ada hanya listrik disel swadaya masyarakat yang dikelola oleh perorangan. Listrik itu tidak menyala sehari penuh, hanya pada malam hari saja. Mulai magrib hingga selesai subuh.
Di desa kami hanya beberapa orang saja yang punya televisi. Hanya orang yang benar-benar kaya saja yang mampu membelinya. Jumlahnya tak banyak, tak lebih banyak dari jumlah jari tangan. Itupun semuanya bukan TV berwarna, masih hitam putih.
Bila ingin menonton TV, kami harus pergi ke rumah orang yang punya TV tadi. Tetapi itu tidak gratis. Semua rumah pemilik TV itu dijadikan sebagai warung kopi. Televisi menjadi ladang bisnis.
Ada beberapa bangku dan meja panjang disediakan untuk pengunjung yang ingin menonton TV. Pengunjung yang datang biasanya memesan kopi, teh atau minuman kemasan, ditambah beberapa makanan ringan sebagai camilan.
Yang paling ramai pengunjung biasanya pada malam minggu. Pada malam itu biasanya ada film yang bagus. Selain itu, yang membuat ramai adalah banyak anak-anak. Anak-anak sekolah hanya boleh menonton saat malam minggu saja.
Sayangnya, tak ada pilihan chanel. Hanya TVRI satu-satunya....

Kamis, 26 Oktober 2017

MENGAWASI ANAK

Ketika memberikan materi dalam acara pembinaan keluarga sadar hukum (Kadarkum) kemarin, saya mendapat tugas untuk menyampaikan materi tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat tidak mampu. Selain materi yang saya sampaikan, ada juga materi lain yaitu tentang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba. Materi yang terakhir ini disampaikan oleh pemateri dari Satuan Narkoba Kepolisian.
Materi tentang Penyalahgunaan Narkoba ini mendapat giliran pertama, lalu disusul materi saya.
Dalam pemaparannya, pak polisi ini banyak menjelaskan pengalamannya dalam menangani kasus-kasus narkoba yang akhir-akhir ini semakin marak. Tidak hanya di wilayah perkotaan saja, narkoba juga telah merambah hingga ke pelosok desa. Bahkan penyalahgunaan narkoba di pedesaan justru semakin banyak daripada di kota.
Dari sisi penggunanya, pengguna narkoba saat ini tidak hanya kalangan orang dewasa saja, namun remaja bahkan anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar pun sudah mulai banyak yang menggunakannya. Keadaan penyalahgunaan narkoba di kalangan anak-anak dan remaja ini sudah dalam taraf yang mengkhawatirkan. Dikatakan mengkhawatirkan karena anak-anak dan remaja ini nantinya yang akan menjadi generasi penerus bangsa kita.
Berkali-kali disampaikan oleh pemateri ini bahwa orang tua harus selalu mengawasi anaknya. Tidak kurang dari tiga kali kalimat itu diulang-ulangnya. “Orang tua harus selalu mengawasi anaknya!”.
Mendengarkan kalimat yang diulang-ulang agar para orangtua harus selalu mengawasi anak-anaknya tersebut, saya membayangkan bahwa seolah-olah semua anak-anak kita itu tengah menggunakan narkoba. Saya membayangkan semua anak-anak itu sebagai pengguna narkoba. Sehingga setiap orang tua harus selalu dan secara terus-menerus mengawasi anak-anaknya. Bila tidak diawasi atau ketika orang tua sedang lengah dalam mengawasi maka anak-anak itu pun akan langsung menggunakan narkoba.
Memang benar, penyalahgunaan narkoba saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Tetapi bagaimanapun, yang diungkapkan tersebut adalah kasus-kasus terjadi. Karena hal tersebut adalah kasus maka kitapun harus melihatnya dengan pendekatan kasus. Tidak semua anak-anak menggunakan narkoba dan masih lebih banyak anak-anak yang menjalani kehidupan secara normal dan positif.
Karena itu, diawal pemaparan, saya meyakinkan para peserta bahwa anak-anak kita akan baik-baik saja bila orangtua mempunyai hubungan emosional yang dekat dengan anak-anaknya. Saya juga menyampaikan harapan semoga anak-anak dan keluarga terhindar dari bentuk-bentuk penyalahgunaan narkoba.
Bagi saya, sebenarnya hal yang paling penting dan efektif dalam upaya mencegah penyalahgunaan narkoba adalah dalam lingkup keluarga. Bagaimana pola pengasuhan orang tua terhadap anak dan relasi atau kedekatan hubungan antara orang tua dan anak, memegang peranan penting. Jika pola pengasuhan dan relasi orang tua dan anak berjalan baik dan terbuka, maka semua kegiatan anak dan pergaulannya akan dapat diketahui oleh orangtua.
Bila kondisi demikian sudah tercapai, maka tidak diperlukan lagi kalimat seperti diatas, “Orang tua harus selalu mengawasi anaknya!”.

DUA SISI

Ketika dalam perjalanan ke Banyuwangi kemarin, ada sisi jalan di wilayah pegunungan Gumitir yang sedang diperbaiki karena mengalami longsor. Pada sisi jalan yang longsor itu kemudian dibangun tanggul penahan agar longsoran tidak bertambah lebar.
Perbaikan jalan itu mengakibatkan lajur jalan menyempit. Selain karena aktivitas pekerja, juga karena tumpukan material yang cukup banyak diletakkan disisi jalan. Lajur jalan yang biasanya dua lajur, kini hanya satu lajur saja. Kendaraan yang melintas dari dua arah harus dibuat bergantian. Hal ini menimbulkan kemacetan yang cukup panjang dari kedua arah.
Keadaan itu dimanfaatkan oleh para pemuda setempat untuk mengatur jalur lalulintas agar lancar dan tidak saling serobot. Mereka lalu menyodorkan baskom kepada para pengemudi untuk meminta uang recehan.
Begitulah, selalu ada dua sisi dalam melihat persoalan. Setiap persoalan akan selalu dapat dilihat dari sisi positif maupun negatif. Seperti kejadian longsor diatas, sebagian besar orang melihatnya sebagai bencana. Bencana yang berdampak pada banyak aspek kehidupan, antara lain kemacetan yang panjang.
Tetapi disisi lain, jalan longsor juga menjadi sumber rejeki bagi sebagian orang lainnnya. Selain bagi para pengatur lalu lintas tadi, jalan longsor yang dianggap sebagai bencana juga menjadi sumber rejeki bagi kontraktor yang mengerjakan tanggul penahan jalan.
Setiap persoalan selalu memiliki dua sisi, positif dan negatif. Bila persoalan yang kita alami tidak begitu menyenangkan bagi kita, maka kita akan cenderung melihatnya dari sisi negatifnya saja. Cara pandang seperti ini biasanya akan memunculkan sikap-sikap yang negatif pula. Tidak mampu mengendalikan emosi, selalu protes dan tak dapat menerima keadaan dan cenderung menyalahkan pihak lainnya, merupakan contoh sikap-sikap yang timbul dari cara pandang yang negatif dan sempit tadi.
Banyak hal positif yang dapat kita peroleh dengan merubah cara pandang dari dua sisi atau cara pandang yang lebih luas. Melihat persoalan dari dua sisi yang berbeda akan menjadikan pandangan kita jauh lebih luas. Melihat persoalan dari banyak sisi juga akan memperlihatkan celah-celah yang tidak mungkin akan terlihat bila kita hanya berkutat pada satu sisi saja. Pandangan yang luas ini akan menjadikan kita tidak mudah untuk menyalahkan pihak lain, apalagi mereka yang tidak sependapat kita.
Melihat persoalan dari dua sisi yang berbeda akan membuat pikiran kita menjadi lebih terbuka dan mampu menerima pendapat yang berbeda...

PERBEDAAN PERILAKU

Perbincangan dengan seorang guru senior kemarin, masih tentang pendidikan. Beliau mengeluhkan tentang perilaku anak-anak terhadap orang yang lebih tua yang dinilainya tidak lagi menghiraukan tatakrama.
"Kalau dulu, Mas. Anak-anak itu sangat hormat kepada orang yang lebih tua, apalagi kepada gurunya. Tidak hanya di sekolah saja, tetapi diluar sekolah juga masih tetap penuh hormat".
"Kalau sekarang ini bagaimana, Pak?", saya lanjut bertanya.
"Wah... kalau sekarang sudah sangat jauh, Mas. Jauh berbeda dengan anak-anak dulu. Penghormatan mereka kepada guru dan orang tuanya sudah sangat berkurang", beliau menjelaskan dengan semangat.
"Kira-kira apa penyebabnya ya, Pak?".
"Ya... itu..., Mas!. Saya juga tidak terlalu yakin. Mungkin inilah hasil sistem pendidikan kita selama ini".
***
Memang begitulah faktanya, kalau kita lihat dalam keseharian kita.
Bagi saya, membandingkan perilaku anak-anak dahulu dengan sekarang tentu saja kurang tepat. Banyak keadaan yang dihadapi anak-anak sekarang yang tidak ditemui anak-anak jaman dulu.
Selain adanya perkembangan teknologi yang sangat pesat dan hal ini pasti akan berdampak pula pada perilaku, anak-anak sekarang belajar dari lebih banyak sumber dibandingkan dahulu. Kalau dulu anak-anak belajar dan memperoleh pengetahuan hanya dari guru, sekarang sumber pengetahuan lebih banyak dari dunia maya.
Internet saat ini menjadi sumber pengetahuan utama yang tanpa batas, semua tersedia dengan mudah, murah dan cepat. Tak perlu lagi jauh-jauh keluar rumah, justru sebaliknya, semua dapat diakses dari genggaman. Persoalannya, materi dari internet itu tidak semuanya positif. Materi yang negatif pun jumlahnya sama banyaknya.
Hal demikian tentunya sangat berpengaruh pada perubahan perilaku seseorang, terlebih lagi terhadap anak-anak itu.
Disisi lain, mengaitkan perubahan perilaku anak dengan sistem pendidikan di sekolah, menurut saya juga kurang tepat. Bagaimana pun, anak-anak itu berada di sekolah hanya beberapa jam saja dalam sehari. Kira-kira hanya enam jam saja, selebihnya mereka berada diluar sekolah. Tentu tidak adil pula apabila kita membebankan masalah perilaku dan moral etika anak-anak itu hanya pada guru dan sekolah.
Selama mereka berada diluar sekolah, maka tanggung jawab sepenuhnya berada ditangan orang tuanya. Penanaman nilai moral dan etika sosial anak-anak menjadi tanggung jawab sepenuhnya pada orang tuanya.
Bila faktanya saat ini terjadi perubahan perilaku pada anak-anak kita, maka boleh jadi telah terjadi perubahan pula pada pendidikan moral dan etika di rumah kita sendiri.
Tidaklah pada tempatnya, bila kita menyalahkan hanya kepada para guru, apalagi menyalahkan sistem pendidikan di sekolah....

KEBERHASILAN ORANG TUA

Kemarin saya berbincang dengan seorang yang sudah amat sepuh. Beliau seorang pensiunan guru, namun hingga kini masih aktif dalam kegiatan pendidikan. Gaya bicaranya masih penuh semangat.
Setiap orang yang berada didekatnya, diajaknya berbicara, termasuk saya. Sudah beberapa kali ini saya diajaknya berbincang, tentang banyak hal. Yang lebih sering adalah tentang pendidikan dan perilaku anak-anak di sekolah. Tetapi pada perbincangan kali ini saya lebih banyak mengambil pelajaran.
"Mas, sampean tahu apa ukuran untuk menilai keberhasilan orang tua?", beliau bertanya kepada saya.
"Saya tidak tahu, Pak", jawab saya singkat sekaligus penasaran.
"Ukurannya adalah anaknya, Mas".
"Maksudnya bagaimana, Pak", saya tambah penasaran.
"Kebanggaan orang tua bukanlah jumlah harta yang banyak atau rumah yang banyak. Bukan pula jabatan atau pangkatnya yang tinggi", katanya penuh semangat.
"Lalu apa ukurannya, Pak?", saya makin tak sabar.
"Kalau kita ingin tahu keberhasilan orang tua maka lihatlah anaknya. Kebanggaan orang tua adalah anak. Bila pendidikan anaknya lebih baik daripada orang tuanya, bila kualitas kehidupan anaknya lebih baik daripada orang tuanya, maka itulah ukuran keberhasilannya sebagai orang tua".
"Bagaimana kalau sebaliknya, Pak?".
"Begitu pula sebaliknya. Kalau kualitas kehidupan seorang anak lebih rendah daripada orang tuanya, hal itu sangat menyedihkan bagi orangtua. Keadaan demikian akan membuat orangtua merasa dirinya tidak berhasil".
"Oh.. begitu ya.., Pak?".
"Iya Mas... Intinya, kehidupan anak harus lebih baik daripada orang tuanya".
"Terimakasih, Pak..".
Saya pun mengakhiri pembicaraan, sambil berharap semoga kehidupan anak-anak saya nantinya akan lebih baik daripada yang saya alami saat ini.
Semoga....!!!

KOLESTEROL

Ketika sedang jalan-jalan pagi di alun-alun beberapa waktu lalu, saya lihat ada tiga orang perempuan muda sedang duduk dipinggir lapangan. Ketiganya duduk beralaskan selembar tikar plastik.
Disampingnya ada plakat yang menunjukkan bahwa mereka adalah mahasiswi Fakultas Kedokteran. Mereka sedang menawarkan berbagai tes kesehatan. Kadar kolesterol, gula darah, kadar asam urat dan lainnnya. Saya lihat peralatan yang mereka gunakan cukup sederhana, semacam peralatan digital.
Saya yang beberapa hari sebelumnya merasakan agak tegang di bagian pundak, mencoba untuk periksa.
"Silahkan, Pak. Tes kolesterol 25 ribu, gula darah 15 ribu, asam urat 15 ribu. Kalau mengambil yang paket harga semuanya 50 ribu".
"Kalau cek tensi berapa, Mbak?".
" Kalau untuk tensi gratis, Pak".
"Kalau gitu, saya mau tes kolesterol dan gula darah saja. Ditambah tensi juga, Mbak".
"Mari silahkan, Pak".
Setelah selesai diambil darah dan dimasukkan kedalam alat periksa semacam testpack, hasilnya pun langsung dapat diketahui. Kadar gula darah agak rendah dibawah angka normal. Tapi untuk kolesterol agak tinggi, beberapa puluh diatas angka normal.
Angka itu cukup membuat hati saya kecut tetapi tidak sampai khawatir. Sebelumnya memang saya belum pernah tes kadar kolesterol, jadi agak terkejut saja ketika melihat angka itu. Saya coba putar memori mundur beberapa hari sebelumnya, untuk mencari apa kira-kira yang menyebabkan si kolesterol itu meningkat.
Akhirnya ketemu... "kambing". Iya benar "daging kambing". Beberapa hari sebelumnya, saya makan daging kambing setiap hari. Sate, gule, kare dan krengsengan setiap hari. Daging itu diperoleh selain dari kepanitiaan kurban, juga pemberian dari tetangga yang sedang berkurban.
Sayapun mulai memprogram diet plus olahraga teratur untuk menurunkan kadar kolesterol sekaligus berat badan. Diet itu dibawah pengawasan ketat dari konsultan Vreda Panorama....

Selasa, 03 Oktober 2017

MENJADI KONTRAKTOR

Minggu lalu kami pindah kantor. Pindah dari kampus satu ke kampus dua. Acara pindahan ini cukup menyita energi kami. Waktu seminggu rasanya tak cukup untuk menyelesaikan agar semua hal tertata rapi kembali.
Saya menjadi teringat kembali masa-masa beberapa tahun yang lalu. Ketika itu kami harus berpindah-pindah rumah. Bukan karena rumahnya banyak, tetapi karena rumah yang ditempati sudah habis masa sewanya. Habis masa kontraknya, lalu pindah lagi ke kontrakan yang lain.
Karena masih ngontrak, biasanya, orang-orang menyebutnya sebagai "kontraktor".
Sebagai keluarga muda, tentu sangat wajar bila belum mempunyai pondasi ekonomi yang kuat. Apalagi bila membangun rumah tangga hanya dengan bermodalkan cinta, tinggal di rumah sewaan biasanya menjadi pilihan.
"Yang penting bisa hidup mandiri, lepas dari kehidupan orang tua", begitu biasanya yang ada dalam pikiran mereka.
Berpindah-pindah rumah bukan pekerjaan yang mudah. Mengemas barang-barang, mengangkutnya lalu menatanya kembali adalah pekerjaan yang melelahkan.
Tentu saja kami bersyukur, kini tak perlu berpindah-pindah lagi. Meski sederhana tapi rumah kami sudah milik sendiri.
Masa-masa sulit itu kini menjadi kenangan yang mengharukan. Keadaan yang menghantarkan kami pada rasa syukur yang dalam.
Bagi engkau yang hingga kini masih ngontrak atau masih menjadi "kontraktor", mudah-mudahan segera dikabulkan doamu untuk memiliki rumah yang diimpikan.
Nikmati saja hidupmu hari ini dengan rasa syukur, karena kesulitan-kesulitan dimasa lalu akan menjadi cerita indah saat engkau sukses nanti.
Termasuk saat-saat menjadi "kontraktor"....

Senin, 18 September 2017

MENGANTAR SEKOLAH

Mengantar anak ke sekolah adalah kegiatan rutin saya setiap hari. Mungkin ada sebagian orang yang menganggap harus mengantar jemput anak ke sekolah itu sebagai beban, tetapi bagi saya tidak.
Saya justru menikmati rutinitas itu dan tidak menjadikannya sebagai beban sama sekali. Meskipun jam enam pagi sudah harus berangkat dari rumah agar tidak terjebak keramaian di jalan. Hal itu memaksa saya agar bangun lebih pagi, untuk membantu menyiapkan segala sesuatunya lebih awal.
Ada beberapa alasan mengapa saya begitu menikmatinya, pertama, sebagai bentuk tanggung jawab sebagai orang tua. Kita tentu bertanggung jawab terhadap terpenuhinya pendidikan anak-anak kita, termasuk pula dalam menjamin tersedianya sarana untuk menuju ke sekolah.
Kedua, saya bersyukur saya tinggal di kota kecil yang jarak antara rumah dan sekolah anak tidak terlalu jauh. Bagi keluarga-keluarga yang tinggal di kota besar, seperti Jakarta, bisa mengantar anak ke sekolah setiap hari hanya merupakan impian belaka. Kendala jarak yang jauh dan kemacetan di jalan menjadi hambatan utama mereka untuk mewujudkan impian itu. Setiap hari mereka harus berangkat kerja saat subuh, sebelum anaknya terbangun. Begitu pula baru tiba di rumah tatkala anaknya sudah terlelap tidur.
Alasan ketiga, saya sadar sepenuhnya bahwa rutinitas ini tak terlalu lama lagi dapat saya nikmati. Ketika anak-anak sudah tumbuh besar, mereka tak akan mau lagi diantar ke sekolah. Mereka pasti akan minta berangkat sendiri. Bila saat itu tiba maka saya tentu akan merindukannya.
Begitulah, bila saat ini engkau masih harus mengantar anak-anak ke sekolah setiap hari, maka nikmatilah. Karena banyak orang tua diluar sana yang justru merindukan hal itu...

Selasa, 12 September 2017

Obrolan orang tua-tua

Obrolan orang tua-tua sore tadi,
"Kalau sudah tua begini, punya rumah besar malah merepotkan. Untuk membersihkan rumah saja badan sudah tidak kuat", seorang bercerita.
"Betul itu, apalagi kalau rumah kita dua lantai. Tidak sanggup lagi naik keatas", sahut yang lain.
"Anak-anak sudah punya rumah sendiri-sendiri, tidak mau tidak mau tinggal bersama orang tuanya", yang lain ikut menimpali.
"Makanya, kalau membuat rumah jangan terlalu besar. Nanti kalau sudah tua akan repot sendiri", orang tua itu memberi nasehat kepada yang lebih muda.
Begitulah, ketika masih muda dulu kita berkeinginan punya rumah yang besar, seperti istana. Lantainya bertingkat, kamarnya banyak. Seolah-olah anak-anaknya akan tinggal bersamanya sampai hari tua.
Tetapi, ternyata mereka tak terlalu lama menikmatinya. Setelah anak-anak berkeluarga semua, tinggallah mereka berdua kembali di rumah itu. Menjalani hari-hari tua bersama seperti saat baru menikah dulu, berdua saja.
Rumah besar yang diimpi-impikan dulu, kini terasa semakin sepi....

TIKET GO SHOW

"Pak, besok pagi tolong antarkan ke stasiun ya..!", anak saya meminta tolong.
Kala itu dia mendapat panggilan untuk mengikuti tes wawancara program beasiswa. Tes itu dilakukan di Solo, sesuai dengan pilihan tempat tes tulis yang telah berhasil dilalui sebelumnya.
"Jam berapa?".
"Jam setengah empat, sebelum subuh".
"Kamu naik kereta apa?"
"Ranggajati"
"Kenapa pagi sekali berangkatnya?", saya bertanya dengan sedikit heran.
"Kalau go show lebih murah. Tiketnya beli langsung sebelum berangkat", dia menjelaskan.
Tepat jam setengah empat esoknya, saya sudah siap diatas sepeda motor untuk mengantarkan ke stasiun. Hawa pagi itu begitu dingin, lebih dingin dari biasanya. Kabut lembab mulai turun menutupi kaca helm.
Dengan sedikit menggigil, saya berangkat. Pelan-pelan saja.
Tiba di stasiun, dia langsung menuju ke loket penjualan tiket. Saya menunggu di parkiran. Loket itu masih belum buka, kurang sepuluh menit lagi baru buka. Tetapi sudah banyak orang yang berbaris mengantri.
Tak lama setelah loket dibuka, dia kembali ke tempat saya menunggu.
"Sudah dapat tiketnya?"
"Belum. Ternyata tiket murah go show hanya sampai Surabaya. Kalau yang tujuan Solo harganya normal, tidak ada diskon", jawabnya dengan sedikit kecewa.
"Terus gimana?"
"Aku naik Sri Tanjung saja yang agak siangan".
"Jadi kita pulang lagi?".
"Iya, gimana lagi...".
Ini akibat mencari yang murah, tanpa informasi yang lengkap. Sudah terlanjur berangkat sebelum subuh, eehh... ternyata keliru....

Jumat, 04 Agustus 2017

Profesi Advokat

Profesi Advokat atau Pengacara memiliki kedudukan yang mulia dan terhormat sehingga ia disebut sebagai Officium Nobile. Profesi advokat disebut sebagai profesi yang mulia karena profesi ini adalah salah satu pilar utama dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia serta mengupayakan pemberdayaan masyarakat dalam menyadari hak-haknya yang fundamental dihadapan hukum. Sebagai praktisi hukum, advokat secara aktif dan langsung mengupayakan prinsip persamaan dan kesederajatan setiap orang dihadapan hukum. Prinsip ini lebih dikenal dengan prinsip equality before the law.
Dalam masyarakat, profesi advokat masih sering disalahpahami. Sudah menjadi komentar umum yang  bernada sinis bahwa advokat atau pengacara justru menjadi pembela orang yang bersalah. Sebagian lagi beranggapan bahwa advokat hanya membela mereka yang memiliki uang saja, sedangkan terhadap orang yang tergolong tidak mampu, justru dijauhi oleh para advokat. Anggapan maupun komentar tersebut tidaklah sepenuhnya benar, tetapi juga tidak menutup kemungkinan akan adanya hal seperti itu. Hal ini disebabkan oleh ketidakpahaman anggota masyarakat tentang seperti apa posisi profesi advokat yang sesungguhnya.
Bagi sebagian orang yang sudah memahami hukum, tentu tidak akan beranggapan negatif terhadap profesi Advokat. Justru keberadaan advokat dalam proses penegakan hukum sangat penting, untuk menjaga dan mengawal agar para penegakan hukum tidak menyimpang. Advokat berada dalam posisi sebagai penyeimbang bagi aparat penegak hukum agar proses penegakan hukum tidak berubah menjadi tindakan yang sewenang-wenang.
Dilain pihak, anggapan sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa advokat hanya membela kepentingan orang bersalah dan yang memiliki uang, juga tidak sepenuhnya salah. Hal ini dapat terjadi karena tidak semua advokat bekerja dengan mengedepankan Integritas dan Moralitasnya sebagai seorang Advokat. Terkadang di masyarakat terdapat seorang advokat yang dalam  menjalankan pekerjaannya, justru menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan hukum. Telah banyak contoh yang membenarkan anggapan tersebut, misalnya ada seorang advokat yang ditangkap oleh pihak berwajib karena menyuap seorang hakim agar dapat membebaskan kliennya dari hukuman. Contoh lain misalnya ada seorang advokat yang diberhentikan secara tetap oleh Dewan Kehormatan Advokat, karena melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Advokat.
Namun demikian, tindakan-tindakan sebagian advokat yang menjalankan profesinya dengan tidak mengedepankan moralitas dan kode etik Advokat, tidak lantas menggoyahkan kedudukan profesi advokat sebagai profesi yang mulia dan terhormat. Masih banyak advokat yang bersikap profesional, bahkan sebagian besar advokat menjalankan profesinya dengan menjunjung tinggi moralitas dan integritas dalam membela kepentingan hukum dan keadilan. Mereka bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh loyalitas dalam memperperjuangkan hak-hak hukum masyarakat yang diperlakukan sewenang-wenang. Advokat-advokat seperti inilah yang sesungguhnya layak menyandang predikat sebagai officium nobile 

Rabu, 05 Juli 2017

FOTO WALI KELAS

"Wali kelas kita sedang sakit, kapan kita menjenguk?", Seorang teman memberi tahu kami.
Tak lama kemudian kami, pengurus kelas 3Bio3 mengadakan rapat singkat untuk membahas rencana itu. 3Bio3 adalah singkatan kelas 3 jurusan Biologi 3. Ketika itu, SMA dibagi menjadi empat jurusan, Fisika, Biologi, Sosial dan Bahasa/Budaya. Anak-anak Fisika dianggap lebih pandai dan cerdas dalam bidang akademik.
"Kapan kita akan kesana?, Ketua kelas kami, Amiruddin, mulai memimpin rapat itu.
"Lebih cepat lebih baik", sahut teman lainnya.
"Bagaimana kalau besok pas jam istirahat?"
"Ok, sepakat", kami sudah menyepakati waktunya.
"Sekarang, siapa saja yang akan pergi kesana?", Ketua kelas kembali meminta usulan.
"Karena yang sakit itu wali kelas kita, mestinya ya kita sekelas harus datang semua...", Seorang memberi usulan.
"Masalahnya, kita ini menjenguk orang sakit. Kalau kita datang semua.. apa tidak malah mengganggu", teman lainnya menyanggah usulan itu.
"Kalau begitu, perwakilan saja yang pergi. Cukup enam orang pengurus kelas saja. Setuju ya..?"
"Setuju...", kami semua menyepakati usulan itu.
Wali kelas kami, Ibu Len, tinggal tidak jauh dari sekolah, hanya beberapa puluh meter di belakang komplek sekolah. Jadi, kami cukup berjalan kaki saja.
Hubungan kami dengan Bu Len cukup akrab. Barangkali karena beliau sangat sabar dengan ulah kami yang masih nakal-nakalnya. Mungkin juga karena beliau juga masih muda, jadi belum lupa bagaimana rasanya jadi remaja.
"Assalamualaikum", serempak kami mengucapkan salam tatkala telah tiba di depan pintu".
Waalaikumsalam, masuklah...", terdengar jawaban salam dari dalam, pelan saja.
Kami semua masuk, langsung menuju kamar untuk melihat keadaannya. Bertanya dengan pertanyaan standar yang biasanya ditanyakan saat menjenguk orang sakit.
Sesaat kemudian, saya dan teman yang laki-laki minta ijin untuk menunggu di ruang tamu. Tidak enak juga kalau berlama-lama berdiri didepan orang sakit, apalagi kalau yang sakit itu perempuan. Laki-laki mungkin memang begitu, tidak punya bahan untuk dibicarakan. Biarlah teman-teman perempuan yang melanjutkan bertanya ini-itu dan sebagainya.
Di ruang tamu, kami duduk menunggu. Ada tumpukan album foto di sudut ruangan, tak jauh dari tempat duduk. Spontan saja kami melihat-lihat album itu. Lalu terpikir untuk meminta satu foto untuk kenang-kenangan, karena tak lama lagi kami akan lulus dan mungkin tidak bertemu lagi.
"Bu, kami minta fotonya satu ya?, untuk kenang-kenangan", kami bertanya dengan suara pelan saja. Saya ragu, apakah permintaan itu terdengar oleh Bu Len atau tidak, tetapi kami seolah-olah sudah mendengar jawaban, "Ya, ambillah". Saat itu kami sudah memilih-milih foto yang diinginkan masing-masing, lalu membawanya pulang.
Setelah 25 tahun berlalu, foto itu masih tersimpan rapi dalam album kenangan SMA.
Salam hormat Ibu Len..

Senin, 03 Juli 2017

KESENJANGAN INTELEKTUAL

Tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan. Berbagi informasi, mempererat pertemanan, termasuk untuk mengembangkan bisnis, adalah beberapa contoh dari manfaat tersebut.
Pada saat yang sama, media sosial juga mempunyai dampak negatif, terutama bagi penggunanya yang tidak siap dengan perkembangan teknologi.
Media sosial memungkinkan semua orang untuk saling berinteraksi dan berbagi informasi. Tak peduli apakah informasi yang diperoleh itu benar atau palsu (hoax).
Tak peduli pula, apapun status sosial seseorang, kaya atau miskin, tua atau muda, bahkan yang terpelajar maupun yang tak berpendidikan sama sekali. Seorang yang tidak memiliki dasar intelektual yang baik dapat berinteraksi dengan orang yang memiliki kualitas akademik yang tinggi.
Tetapi sayangnya, interaksi itu tidak selalu digunakan untuk belajar kepada orang yang lebih mumpuni keilmuannya, tetapi justru digunakan sebagai sarana memfitnah dan menghujat.
Sebagaimana yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Media sosial sering digunakan oleh orang-orang yang tidak memiliki riwayat intelektual yang mumpuni untuk menghujat dan menghina tokoh-tokoh yang justru memiliki standar keilmuan yang sangat tinggi, tidak hanya secara akademik namun juga telah menghasilkan karya-karya yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.
Seorang yang telah menekuni bidang keilmuan selama berpuluh-puluh tahun dengan mudahnya dihujat, dianggap sesat bahkan dikafirkan tanpa dasar, tanpa argumen intelektual yang kuat. Mereka menghujat hanya karena tidak sejalan dengan pendapat dan keinginannya.
Saya menyebut keadaan ini sebagai kesenjangan intelektual.
Namun, yang membuat saya tidak habis fikir adalah banyak orang yang menyetujui dan mendukung cara-cara seperti itu. Persetujuan mereka itu ditunjukkan dengan menyukai, komentar-komentar yang kasar, bahkan membagikan kembali tulisan-tulisan itu tanpa merasa perlu melakukan konfirmasi kebenarannya.
Seseorang yang memiliki kualitas intelektual yang baik tentu mampu membedakan antara kritik dan hujatan. Kritik selalu didasari argumen intelektual yang baik dan memiliki tujuan yang baik pula. Sedangkan hujatan sering kali didasari subjektifitas pribadi, perasaan tidak suka maupun kebencian saja.
Saya berharap keadaan ini dapat segera berakhir. Mari kita introspeksi diri masing-masing dan tidak membuat suasana semakin keruh. Caranya dengan tidak memberi komentar kasar yang berisi hujatan dan tidak membagikan ulang tulisan-tulisan semacam itu.
Semoga...

Senin, 26 Juni 2017

"LABELE FUMA"


"Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya", begitu ungkapan yang sering kita dengar ketika belajar bahasa Indonesia di sekolah dulu. Ungkapan itu bermaksud bahwa setiap daerah memiliki cara, budaya dan kebiasaan sendiri-sendiri yang unik dan berbeda dengan daerah lainnya.

Lazimnya, peringatan dilarang merokok di kawasan yang mudah terbakar, seperti di pom bensin, ditulis dengan tulisan yang besar agar mudah terlihat oleh semua orang yang berada di kawasan itu. Tulisan peringatan itu juga dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan dimengerti semua orang, tentunya bagi mereka yang mampu membaca.

Dimana-mana tempat yang pernah saya singgahi, larangan merokok di pom bensin selalu ditulis dalam bahasa Indonesia, "DILARANG MEROKOK".

Tetapi di beberapa pom bensin di Timor Timur ketika masih menjadi bagian NKRI dulu, larangan itu ditulis dalam bahasa Tetun, bahasa asli daerah Timor Timur. "LABELE FUMA", begitu tertulis dengan huruf yang besar.

"Labele Fuma" artinya sama dengan dilarang merokok. Dibawah tulisan itu biasanya diiringi dengan larangan menggunakan bahasa Indonesia.

Tentu, larangan dalam bahasa daerah itu dimaksudkan agar dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat lokal yang kurang memahami bahasa Indonesia.

Obrigado......!

Jumat, 14 April 2017

MENOLONG KELAHIRAN

Ibu saya seorang pekerja keras. Semangatnya dalam bekerja jauh melebihi Bapak. Selesai satu pekerjaan, lalu disambung dengan pekerjaan lainnya. Jarang sekali saya lihat Ibu bersantai di rumah tanpa ada kegiatan yang dilakukannya. Kalaupun dia berdiam di rumah biasanya ketika dalam keadaan badannya kurang sehat.
Kami memiliki beberapa bidang tanah yang digarap sebagai lahan pertanian. Ada yang tiga bidang sawah dan dua ladang. Sawah ditanami padi. Hasilnya untuk persediaan pangan keluarga besar kami. Selain itu, bila sewaktu-waktu memerlukan uang yang mendesak, seperti untuk membayar biaya sekolah, padi juga bisa dijual dengan cepat.
Dulu, Ladang kami semua ditanami kacang kedelai. Memang, semua lading di desa ditanami kedelai. Ketika saya masih sekolah SD dan SMP di desa dulu, desa kami Desa Baru, adalah salah satu sentra penghasil kedelai di Sumatera Barat. Sekarang semua telah berubah menjadi hutan sawit.
Semua pekerjaan di sawah dan di ladang itu dikerjakan sendiri oleh Ibu dan Bapak. Hanya pekerjaan tertentu saja yang meminta bantuan orang lain untuk mengerjakannya. Tetapi, saya lihat, Ibu yang lebih sering pergi ke sawah dan ke ladang. Bapak mengerjakan bagian pengolahan tanah, menyemprot hama dan ketika panen saja. Untuk pekerjaan-pekerjaan perawatan tanaman memang lebih banyak dikerjakan oleh ibu-ibu.
Tidak hanya itu, setiap hari pekan, hari Minggu, Ibu juga berjualan makanan lontong pecel di pasar yang letaknya tak jauh dari rumah. Berjualan itu dimaksudkan untuk menambah pemasukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bila hanya mengandalkan dari hasil tani saja, uangnya baru diperoleh setelah panen tiba, empat bulan setelah ditanam.
Suatu hari, saya diminta menemani Ibu ke sawah untuk menjaga padi yang mulai berbuah. Menjaganya dari burung-burung liar pemakan padi. Serangan burung-burung itu cukup dahsyat. Bila tak dijaga maka dipastikan tak akan panen, hanya tangkainya saja yang tersisa.
Sawah kami terletak di Bancah Sodang, Desa Batu Sondat, sekitar enam kilometer dari rumah. Lokasi sawah itu tak hanya lain desa, bahkan berlainan provinsi pula dengan desa saya. Desa saya masuk Sumatera Barat sedangkan sawah itu masuk dalam provinsi Sumatera Utara. Untuk menuju kesana biasanya kami berjalan kaki, jalan itu hanya berbatu tak beraspal. Bila musim hujan, jalan berubah menjadi kubangan disana-sini.
Letak sawahnya sedikit masuk dari jalan. Untuk menuju kesana harus melewati jalan kecil disebelah rumah penduduk. Rumah itu sendirian, tetangganya yang terdekat berjarak puluhan meter dari situ.
Sore itu sudah agak gelap, menjelang magrib. Hujan rinai-rinai terus saja turun sejak kami berangkat dari rumah belum juga berhenti. Sudah saatnya kami pulang. Kami berjalan menuju kearah jalan raya melalui pematang kecil yang lembek dan licin. Ibu berjalan didepan, saya mengikuti di belakangnya.
Ketika kami melewati rumah itu, terdengan suara seorang yang merintih. Seorang merintih karena kesakitan. Ibu menghentikan langkahnya sebentar untuk memastikan darimana dan mengapa ada suara rintihan itu. Ternyata suara berasal dari dalam rumah. Ibu menyuruh saya menunggu di teras rumah. Kami memang mengenal orang yang punya rumah itu karena sering bertemu ketika hendak pergi dan pulang dari sawah. Tetapi hanya kenal sekedarnya saja.
“Kamu tunggu disini, Le.. Ibu mau melihat kedalam”.
“Iya, Bu..”, saya menurut saja.
Pintu rumah itu tertutup tetapi tidak dikunci. Ibu langsung saja masuk dan mencari siapa yang sedang kesakitan. Ternyata suara itu adalah suara seorang ibu pemilik rumah yang menahan sakit karena akan melahirkan. Ibu lalu segera menolongnya.
“Mano ayahnyo..?”, Ibu bertanya dalam bahasa melayu. Menanyakan kemana suaminya pergi meninggalkan istrinya sendirian dirumah.
“Poi ke rumah dukun bayi”, jawabnya pelan. Ternyata suaminya sedang pergi menjemput dukun bayi ke rumahnya.
Ibu lalu memandu dan menolongnya selama persalinan, hingga tak lama kemudian terdengar suara tangis bayi yang sangat keras. Ibu dan bayinya selamat dalam persalinan yang menegangkan itu.
Saya tidak tahu darimana Ibu belajar tentang ilmu persalinan. Rasanya saya tak pernah melihat beliau mengikuti kursus atau kegiatan semacamnya tentang persalinan. Atau barangkali Ibu belajar dari pengalaman beliau sendiri selama melahirkan tujuh orang anaknya itu. Ketika itu memang sebagian besar persalinan masih dibantu oleh dukun bayi. Belum ada Puskesmas, belum ada bidan yang berpraktek membantu ibu yang akan melahirkan.
Tak lama kemudian suaminya datang, hanya sendirian tak ditemani dukun yang hendak dijemputnya. Saya tidak tahun apa alasannya. Namun yang jelas terlihat di wajahnya adalah kegembiraan dan keharuan ketika dilihatnya anaknya sudah bersih dan sedang disusui oleh ibunya. Berkali-kali dia mengucapkan syukur dan terima kasih atas bantuan Ibu pada istrinya.
Setelah semua dirasa sudah cukup, kami lalu pamit pulang. Hari sudah agak malam, sepanjang jalan hanya terlihat kegelapan. Sekali-sekali terlihat lampu minyak tanah yang dinyalakan didepan rumah-rumah penduduk. Ketika itu memang belum ada listrik disana.
Lima hari kemudian, kami menerima kiriman satu paket nasi dengan seekor ingkung ayam. Kiriman itu sebagai ucapan terima kasih atas bantuan Ibu dalam proses kelahiran anaknya.
Saya merasa lebih berbahagia karena dapat makan besar hari itu…

Rabu, 12 April 2017

MENJAGA PADI

Salah satu yang berkesan sebagai anak petani, seperti saya, adalah ketika turut membantu pekerjaan orang tua di sawah. Kami ada dan membantu dalam setiap tahap prosesnya. Ketika mengolah tanah, menanam, menyemprot hama, hingga musim panen tiba, kami selalu terlibat didalamnya.
Ada masanya pekerjaan-pekerjaan di sawah itu waktunya ditentukan oleh kita sendiri. Ada kalanya pula kita yang harus mengikuti waktu untuk mengerjakannya, yaitu ketika padi yang mulai berbuah diserang oleh kawanan burung-burung pemakan padi. Ketika waktu itu tiba, setiap pagi dan petang petani harus berada disawahnya untuk menjaga padi agar tidak dimakan burung. Orang-orang di desa saya tidak menyebutnya menjaga padi, tetapi “menjaga burung”.
Biasanya, burung-burung itu mulai dating menyerang ketika pagi menjelang dan ketika sore hari. Pagi-pagi, sebelum matahari muncul di ufuk timur, petani sudah harus siap di sawahnya masing-masing, tak peduli ketika itu musim panas maupun hujan. Untuk mengusir burung-burung itu dan menjaga bulir-bulir padi yang sangat diharapkan kehadirannya, dari serangan burung yang datang.
Tatkala matahari mulai naik dan terik, burung-burung itu kembali menghilang, mungkin beristirahat dan bersembunyi di hutan.
Begitu pula ketika hari menjelang petang, ketika cahaya matahari tak lagi terik, burung-burung itu kembali datang menyerang. Ketika itu, Petani mesti sudah bersiap kembali di sawahnya kembali. Bila terlambat sekejap saja, alamat bulir-bulir padi itu hanya tinggal ranting dan tangkainya saja yang tersisa.
Banyak cara yang dipakai untuk mengusir burung. Ada yang menggunakan orang-orangan sawah untuk menakut-nakuti agar burung tidak hinggap. Ada pula yang menggunakan bunyi-bunyian dari kaleng bekas. Kaleng-kaleng itu dikaitkan pada batang bambu dan ditancapkan disudut-sudut sawah, lalu dihubungkan dengan tali kearah gubug atau pondok yang berada dibagian tengah sawah. Bila ada kawanan burung yang hendak hinggap, tinggal membunyikan kaleng-kaleng itu dengan menarik talinya berulang-ulang. Cara ini biasanya cukup ampuh untuk mengusir burung-burung itu.
Tetapi, ada kalanya datang juga kelompok burung yang bandel. Barangkali itu adalah kelompok burung yang sudah senior. Orang-orangan sawah dan bunyi-bunyian tak lagi mempan baginya, tak lagi ditakutinya. Bila itu terjadi, tak ada cara lain selain berlari mendatangi kawanan burung itu dan langsung mengusirnya.
Menjalani masa-masa itu, kehidupan rasanya begitu berat dan sulit. Ingin sekali rasanya terlepas dari beban-beban berat yang menjadi kewajiban sebagai anak petani. Tetapi itu dulu. Kini, semua itu terasa indah dan mengasyikkan. Tak ada perasaan menyesal, justru rasa syukur dan kebahagiaan yang ada.
Kami betul-betul merasakan makna sebuah perjuangan…

Senin, 03 April 2017

ILMU PENGETAHUAN DAN AGAMA

Banyak orang yang mempertentangkan antara ilmu pengetahuan dan agama, mana yang lebih utama?.
Ada yang menilai ilmu agama lebih utama untuk dipelajari, karena kehidupan akhirat lebih penting daripada kehidupan di dunia yang fana ini.
Sebaliknya, ada juga yang mengatakan ilmu pengetahuan lebih penting, karena faktanya sekarang ini kita masih hidup di dunia. Mempelajari ilmu pengetahuan lebih mendesak daripada ilmu agama.
Melihat dua kutub pemikiran itu, saya teringat nasehat orang-orang yang berilmu. Berilmu pengetahuan, sekaligus ilmu agama. Intinya, Janganlah membeda-bedakan antara ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Keduanya sama-sama penting. Masing-masing memiliki peran dan fungsinya dalam kehidupan kita.
Ilmu pengetahuan mempercepat sampai ke tujuan, agama menentukan kemana arah yang hendak dituju.
Ilmu pengetahuan menyesuaikan manusia dengan lingkungan, agama menyesuaikan dengan jati dirinya.
Ilmu pengetahuan adalah hiasan lahir, sedangkan agama hiasan batin.
Ilmu pengetahuan memberi kekuatan dan menerangi jalan, agama memberikan harapan dan dorongan jiwa.
Ilmu pengetahuan menjawab pertanyaan-pertanyaan “bagaimana?”, agama menjawab pertanyaan “mengapa?”.
Ilmu pengetahuan sering kali mengeruhkan pikiran, agama selalu menerangkan jiwa bagi pemeluknya.

TENTANG ORANG DAN ILMUNYA

Berkaitan dengan ilmunya, semua orang dapat dibagi menjadi empat kelompok besar :
Kelompok yang pertama, orang yang tahu bahwa dirinya tahu; ini adalah kelompok terbaik, ilmu yang dimilikinya diamalkan dan diajarkannya kepada orang lain.
kedua, orang yangi tidak tahu bahwa dirinya tahu; kelompok ini adalah orang yang sebenarnya banyak ilmu tetapi tak disadarinya. Mereka ibarat orang yang tertidur disiang hari. Mari kita bangunkan ia dari tidurnya.
ketiga, orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu; ini adalah kelompok orang yang sadar akan kualitas dirinya dan selalu ingin belajar tentang semua hal yang dapat mengangkat kualitas hidupnya.
Kelompok terakhir, adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu; ini kelompok yang menyedihkan. Mereka merasa dirinya tahu akan semua hal, padahal sebenarnya ia adalah orang yang bodoh tetapi tidak menyadarinya. Dalam pergaulan sehari-hari, ia akan bersikap sok tahu, sombong, dan cenderung meremehkan orang lain.
Mari merenung sejenak... dalam kelompok manakah kita berada?

Jumat, 24 Maret 2017

BEGADANG

Sejak dulu, saya tidak suka begadang. Saya begadang hanya kalau ada perlunya saja. Bukan kerena mengikuti nasehat dalam lagunya Bang Rhoma, tetapi karena itu pilihan saya. Pilihan dengan pertimbangan logis.
Setelah seharian bekerja, menguras tenaga dan pikiran, pasti akan timbul rasa lelah dan kantuk. Lelah dan kantuk ini adalah tanda bahwa tubuh kita tidak mampu lagi kita suruh bekerja lebih banyak. Dia memerlukan istirahat. Tubuh kita juga mempunyai hak untuk beristirahat, agar pada saat kita membutuhkannya kembali untuk memulai hari yang baru, keadaannya sudah kembali segar.
Setiap hari, sebelum jam sepuluh malam, biasanya saya sudah istirahat, tidur. Kalau disiang harinya aktifitas fisik banyak dilakukan, seperti berolah raga, waktu istirahat malam menjadi lebih cepat lagi. Kebiasaan ini akhirnya diikuti juga oleh anak-anak.
Dengan istirahat yang cukup, keesokan harinya bisa bangun lebih awal. Bangun dengan badan yang segar. Memulai aktifitas juga bisa lebih awal. Anak-anak harus sudah berangkat sekolah pukul enam pagi. Bagi kami tidak ada kamus “terlambat masuk sekolah karena terlambat bangun”.
Apabila berangkatnya lebih lambat sedikit saja, jalanan sudah sangat padat. Puncak kepadatan lalu lintas terjadi pada jam-jam itu. Semua kendaraan orang yang berangkat ke kantor atau mengantar anak sekolah, menumpuk di jalanan pada waktu yang sama.
Dalam situasi seperti itu, yang terjadi biasanya adalah saling serobot antar sesama pengendara. Masing-masing memacu kendaraannya lebih cepat dan ingin segera tiba di tujuan lebih dahulu, tanpa mempedulikan keselamatan pengendara lain. Keadaan seperti ini tentu saja sangat membahayakan keselamatan dan tidak jarang terjadi kecelakaan. Saya tidak ingin itu terjadi kepada saya dan keluarga saya.
Saya tidak ingin menyalahkan keadaan itu. Saya menyadari sepenuhnya bahwa saya tidak mampu mengendalikan keadaan itu, tetapi saya memiliki kendali sepenuhnya terhadap diri saya agar terhindar dari keadaan itu. Saya masih punya pilihan, dengan berangkat lebih pagi. Dan pilihan itu yang saya ambil.

Rabu, 15 Maret 2017

NASEHAT ULANG TAHUN

Putriku, kini kau telah dewasa. Kini kau bisa menentukan sendiri apa yang menjadi pilihanmu. Orang tuamu tak bisa lagi memaksamu untuk mengikuti kemauannya, bila itu tak kau inginkan. Tetapi bila kau belum sanggup memilihnya, kami akan membantu memilihkannya untukmu. Kami akan dengan senang hati membantu dan mendukungmu.
Kami menyadari bahwa kebaikan itu hanya bisa dipaksakan ketika kau masih anak-anak dulu. Tetapi bagi orang yang sudah dewasa, tak bisa lagi dipaksakan. Kebaikan bagi orang dewasa adalah pilihan. Kami yakin, kau akan memilih yang terbaik untukmu, untuk kebaikan masa depanmu. Karena kami mengenalmu sepenuhnya.
Ingatlah, Kehidupan ini tidak pernah mudah. Semuanya harus diperjuangkan dengan kerja keras. Tak mungkin dapat mengandalkan koneksi maupun relasi, karena memang kami tak memilikinya. Satu-satunya yang dimiliki adalah kemauan dan semangat untuk bekerja dengan sungguh-sungguh.
Masa depan kini ada di tanganmu. Dirimu sendiri yang menentukan kemana bahtera kehidupan akan kau arahkan. Engkaulah yang menjadi nakhoda dalam bahtera kehidupanmu sendiri. Jangan kau biarkan orang lain mengendalikanmu, mengendalikan kehidupanmu.
Yang perlu disyukuri adalah engkau memiliki orang tua yang telah mengasuhmu dengan baik dan penuh kasih sayang. Yang selalu mendampingi dan membimbingmu dalam menjalani dan merencanakan masa depanmu. Mengingatkanmu bila engkau keliru, menegurmu bila engkau salah dan memujimu bila engkau telah berusaha dengan keras.
Tidak begitu dengan kehidupan Bapakmu dulu. Yang terlahir dari keluarga petani sangat sederhana. Yang berada jauh di pedalaman, jauh dari mana-mana. Keterbatasan membuat Bapak tidak bisa bermimpi, apalagi bermimpi tentang kehidupan yang diinginkan di masa depan nanti. Menjalani kehidupan nyaris tanpa bimbingan, apalagi perencanaan. Menjalani kehidupan seolah dilepas begitu saja di tengah hutan belantara, tanpa kompas apalagi peta, yang dapat menjadi penunjuk arah. Kehidupan dijalani dengan mengikuti kata hati dan coba-coba.
Bersyukurlah selalu kepada Tuhan. Mintalah petunjuk hanya kepada-Nya, agar kehidupanmu penuh dengan keberkahan. Doa dan harapan kami selalu menyertaimu…
***
Ketika membaca ucapan selamat ulang tahun yang saya tulis kemarin, putri saya terlihat sesenggukan, berlinang air mata. Ibunya lalu bertanya, “Kamu kenapa?”.
“Aku terharu…”, jawabnya. “Aku selalu terharu kalau membaca yang seperti ini...”, sambungnya lagi.
“Ya sudah… berhenti nangisnya…!”.

SELAMAT ULANG TAHUN

Hari ini, putri saya berulang tahun yang ke delapan belas. Delapan belas tahun rasanya begitu cepat berlalu.
Masih terbayang jelas saat-saat saya mengantar istri menempuh perjalanan jauh dari Surabaya ke Mataram dengan kehamilan besar yang mendekati masa melahirkan. Perjalanan darat yang sungguh melelahkan, apalagi bagi seorang calon ibu yang sedang hamil besar. Semua posisi badan jadi serba salah, duduk tidak nyaman, berbaring pun tidak nyaman pula.
Begitu pula saat-saat menjelang melahirkan yang membuat semua keluarga tidak tidur semalam, menunggu kelahiran yang datangnya tepat saat subuh menjelang. Suara tangisnya yang keras masih terngiang jelas, membangkitkan kegembiraan bagi semua yang mendengarnya.
Masih terbayang nyata betapa rewelnya bayi kami dihari-hari awal kelahirannya. Hanya mau tertidur bila digendongan saja. Setelah terlihat pulas, yang menggendong ingin beristirahat sejenak, lalu dicoba ditidurkan di kasur. Baru saja gendongan itu menyentuh kasur, tangisnya kembali meledak, seolah berteriak tak ingin turun dari gendongan.
Kini, putriku telah delapan belas tahun. Dia telah dewasa, bukan lagi anak-anak. Dia telah cakap bertindak dimata hukum. Semua perbuatan yang dipilih dan dilakukannya membawa konsekuensi hukum sebagaimana orang dewasa.
Sejauh ini, sebagai orang tua, saya sangat bangga kepadanya. Bukan bangga atas apa yang telah dicapainya, tetapi bangga atas apa yang telah diusahakannya.
Ketika umurnya telah memasuki tujuh belas tahun, tiba saatnya kewajiban memiliki KTP, dia pun mengurusnya di Kelurahan dan di Kecamatan. Begitu pula ketika harus memiliki SIM, dia pun kembali mengurusnya sendiri. Menjalanai tes-tes untuk membuat SIM tanpa mengandalkan intervensi orang tua maupun pihak lain. Dia jalani saja prosesnya, meskipun harus mengulang dua kali ujian, karena tidak lulus pada ujian pertama.
Terakhir kali, dia telah berusaha dengan sangat keras untuk mencapai beasiswa untuk pendidikannya. Jalan terjal dan melelahkan telah dilaluinya, jalan yang mengarahkan alur masa depannya...

HIDUP INI MEMANG PILIHAN

Selepas jam kerja, bagi banyak orang adalah waktunya untuk nongkrong bersama teman-teman. Mereka menghabiskan waktu sambil ngobrol bersama atau dengan berbagai aktifitas lain yang mengasikkan.
Demikian pula ketika hari libur, waktu seharian dihabiskan dengan kegiatan santai, olah raga atau menekuni hobby lain yang menyenangkan bersama teman-teman.
Tetapi, saya jarang sekali melakukan hal itu. Bukan karena tidak punya hobby atau karena tidak punya teman. Tetapi itu adalah pilihan saya. Saya memilih untuk menghabiskan waktu sehabis bekerja bersama anak-anak di rumah. Mendampingi aktifitas mereka, belajar mereka, berinteraksi dan berkomunikasi bersama mereka.
Diakhir minggu atau hari libur juga demikian, banyak aktifitas yang dapat dilakukan dengan melibatkan anak-anak. Olah raga bersama, belanja bersama, memasak bersama atau dengan hanya jalan-jalan bersama mereka.
Kebersamaan dengan anak adalah salah satu cara agar komunikasi dapat terus terjalin. Orang tua harus selalu hadir dalam kehidupan anak-anaknya. Kehadiran orang tua sangat penting bagi tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun mental. Anak-anak sangat membutuhkan contoh dalam proses belajar mereka.
Jika orang tua tidak hadir dalam kehidupan mereka, maka mereka akan mencari orang lain untuk dijadikannya sebagai contoh. Tentu kita tidak ingin komunikasi dengan anak menjadi putus. Putus karena ketidakhadiran orang tua dalam kesehariannya.
Persoalan terbesar dalam hubungan orang tua dan anak adalah orang tua tidak lagi mengenal anaknya.
Memang, bagaimana kehidupan ini akan kita jalani adalah pilihan kita masing-masing.

LEVEL KEBAHAGIAAN KITA


Seringkali kita merasa bahwa bahagia itu apabila kita memiliki harta yang banyak. Seandainya kita punya harta sebanyak yang dimiliki oleh Raja Salman dari Saudi itu, maka kita akan merasa bahagia dan tidak menghadapi persoalan kehidupan lagi.
Tetapi apakah memang demikian?. Memang benar. Harta yang banyak adalah salah satu sumber kebahagiaan. Seandainya saja kita tidak mempunyai harta sama sekali, maka kehidupan ini akan terasa sangat sulit untuk bahagia. Karena memang kebahagiaan dalam kehidupan ini perlu dibiayai. Namun demikian, kebahagiaan yang dirasakan karena keberadaan harta benda merupakan kebahagiaan yang paling dasar. Masih banyak lagi tingkat-tingkat kebahagiaan diatasnya.
Tingkat-tingkat kebahagiaan ini, telah banyak ditulis oleh para filosof dan ulama sejak lama. Dijelaskan bahwa setidaknya ada lima macam atau tingkat kebahagiaan yang dapat digapai dan dirasakan oleh manusia. Tidak hanya satu macam kebahagiaan saja tetapi lebih banyak macam kebahagiaan yang dapat dinikmatinya. Hal ini menyadarkan kita betapa besarnya karunia Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia.
Kebahagiaan tingkat pertama adalah kebahagiaan fisik atau sensual (physical happiness). Kebahagiaan fisik atau sensual merupakan kebahagiaan yang timbul karena kesenangan terhadap harta atau materi yang dimilikinya. Kebahagiaan jenis ini bagi banyak orang dianggap sebagai satu-satunya kebahagiaan. Apabila sudah memiliki banyak harta pasti hidupnya akan bahagia.
Memang, harta benda diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Kesemua itu mensyaratkan dimilikinya benda-benda material oleh seseorang untuk memenuhinya. Tentu saja perolehan harta benda tersebut harus melalui cara-cara yang diperbolehkan dan tidak melanggar hak orang lain. Harta benda juga diperlukan untuk menopang diperolehnya tingkat-tingkat kebahagiaan selanjutnya. Apabila kebahagiaan tingkat pertama ini belum terpenuhi, maka akan sulit untuk menggapai kebahagiaan yang lebih tinggi.
Perlu diingat juga bahwa harta benda semata tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Agar harta yang dimiliki dapat membahagiakan pemiliknya, diperlukan syarat-syarat lain, seperti menghindari sikap berlebih-lebihan dalam kesenangan harta atau materi. Hal ini karena kesenangan materi hanya bersifat sementara dibandingkan dengan kesenangan yang diperoleh dari kebahagiaan yang non materi.
Oleh karena itu, para ulama dan filosof menekankan pola hidup yang sederhana dalam semua aspek kehidupan. Disamping itu, kesenganan duniawi juga kesenangan yang melalaikan. Sebagai contoh dapat dikemukakan, kesenagan makan. Kesenangan makan bergantung pada adanya rasa lapar, setelah rasa lapar hilang maka kesenangan terhadap makananpun akan menjadi hilang. Apabila dipaksakan maka yang diperoleh bukan lagi kesenangan tetapi justru akan menimbulkan penyakit.
Kebahagiaan tingkat kedua adalah kebahagiaan mental (mental happiness). Kebahagiaan mental yang dimaksud disini adalah manusia memiliki kesenangan terhadap keindahan yang lebih abstrak, seperti kesenangan terhadap lukisan dan nyanyian. Selain itu yang termasuk kebahagiaan mental adalah kemampuan berimajinasi atau berkhayal.
Kenikmatan berimajinasi ini menimbulkan kebahagiaan yang lebih tinggi daripada kebahagiaan atau kesenangan fisik. Berkhayal atau membayangkan sesuatu yang indah dapat menimbulkan kebahagiaan tersendiri bagi seseorang. Dari berkhayal ini nantinya akan menghasilkan karya-karya dalam bentuk fisik, seperti bangunan gedung yang merupakan buah karya seorang arsitek, atau lukisan yang merupakan buah karya seorang pelukis.
Kebahagiaan berikutnya adalah kebahagiaan intelektual (intellectual happiness). Kebahagiaan ini diperoleh manusia dari penguasaan atas ilmu pengetahuan. Dalam Al-Qur’an sendiri pernah ditanyakan, “Apakah sama orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu?”. Jawabnya tentu saja tidak. Perbedaannya sama dengan orang yang melihat dengan orang yang buta. Orang berilmu sama dengan orang yang mampu melihat.
Orang yang berilmu terkadang tidak merasakan kebahagiaan yang diperoleh dari ilmunya, sampai apabila dia berada dalam keadaan tersesat dan tidak tahu arah yang dituju. Maka pada saat itulah dirasakan kebagiaan karena ilmunya. Selain itu kebahagiaan intelektual lebih langgeng dari pada kebahagiaan fisik. Misalnya kesenangan makan ada kenyangnya, sedangkan kebahagiaan intelektual tidak akan ada rasa kenyangnya.
Kebahagiaan yang lebih tinggi dari kebahagiaan intelektual adalah kebahagiaan moral (moral happiness). Kebahagiaan moral merupakan kelanjutan dari kebahagiaan intelektual. Kebahagiaan moral diperoleh dari mengamalkan ilmu yang diperolehnya secara teoritis dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, mengetahui bahwa bersyukur dan bersabar itu baik, bagi sebagian orang akan menimbulkan kebahagiaan.
Namun, apabila seseorang yang mengetahui bahwa bersyukur dan bersabar itu baik akan merasakan lebih berbahagia ketika orang tersebut telah melaksanakan syukur dan sabar dalam kehidupan nyata sehari-hari. Orang yang baik adalah orang yang berperilaku baik, bukan hanya mengetahui suatu perilaku tertentu itu baik. demikian pula orang yang akan merasakan kebahagiaan adalah orang yang menjalani kehidupan yang baik, tidak hanya mengetahui jalan hidup yang baik. inilah kebahagiaan moral.
Terakhir, merupakan kebahagiaan tertinggi dari seluruh tingkat-tingkat kebahagiaan adalah kebahagiaan spiritual (spiritual happiness). Kebahagiaan spiritual dapat dicapai ketika manusia mampu menjalin hubungan dengan Tuhannya. Hubungan dengan Tuhan tersebut hanya dapat dicapai dengan cara pengabdian atau ibadah. Tuhan adalah tempat kembali dan tujuan hidup kita yang sesungguhnya.
Apabila tujuan terakhir tiap diri manusia adalah dekat dengan Tuhannya, maka kebahagiaan tertinggi dirasakan oleh manusia adalah apabila ada hubungan dengan Tuhannya. Kebahagiaan dekat dengan Sang Pencipta inilah yang diamksud dengan kebahagiaan spiritual.
Apabila semua aspek kebahagiaan tersebut telah terpenuhi maka kebahagiaan tertinggi telah dicapai. Mari kita bersikap rendah hati untuk menilai diri sendiri ditingkat mana kebahagiaan kita berada saat ini.
Jangan-jangan kita masih di level yang pertama....