Senin, 26 September 2016

KEDUDUKAN ANAK

Konflik antara Mario Teguh, sang motivator “super”, dengan Ario Kiswinar, telah menjadi perhatian publik akhir-akhir ini. Kasus ini bermula dari kehadiran Ario Kiswinar di acara hitam putih yang dipandu oleh Dedy Corbuzier di Stasiun TV nasional.
Dalam acara itu, Kiswinar mengaku sebagai anak sah dari Mario Teguh. Kiswinar menceritakan kisah hidupnya dengan ibunya dan Mario Teguh sebagai ayah kandungnya. Untuk membuktikan pengakuannya itu, Kiswinar membawa dan menunjukkan Akta Kelahiran, foto-foto Kiswinar waktu bersama Mario Teguh hingga Kartu Keluarga, yang didalamnya tercantum nama Sis Maryono Teguh (nama asli Mario Teguh) sebagai ayah dan kepala Keluarga.
Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, sebenarnya siapakah yang disebut anak sah itu?.
Secara hukum, dengan tegas dinyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Apabila seorang anak dilahirkan dalam masa perkawinan antara seorang suami dan istri, maka anak tersebut adalah anak yang sah. Pembuktian asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan adanya akte otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu.
Oleh karena itu, apabila dokumen-dokumen yang ditunjukkan oleh Kiswinar, berupa Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga itu memang valid dan benar, maka secara formil dapat disimpulkan bahwa Ario Kiswinar adalah anak sah dari Mario Teguh. Karena pembuktian dalam hukum perdata, yang utama adalah pembuktian secara formil.
Lalu, bagaimana jika Mario Teguh tidak mengakui Ario Kiswinar sebagai anaknya?.
Sebenarnya, hukum perkawinan kita sudah mengatur tentang penyangkalan sahnya seorang anak. Apabila seorang suami mencurigai bahwa anak yang dilahirkan oleh istrinya bukanlah anaknya, maka suami dapat menyangkal keabsahan anak tersebut. Penyangkalan ini tentu dengan syarat-syarat yang sangat berat, yaitu suami dapat membuktikan bahwa istrinya telah berbuat zina. Serta anak yang dilahirkan itu merupakan akibat dari perbuatan zina yang dilakukan oleh istrinya.
Satu hal yang penting untuk dipahami adalah bahwa, penyangkalan keabsahan seorang anak hanya dapat dilakukan melalui pengadilan. Pihak yang berkepentingan terhadap keabsahan anak, harus mengajukan permintaannya itu kepada pengadilan. Pengadilan ini yang nantinya akan memberikan keputusan berkaitan dengan sah atau tidaknya seorang anak.
Penyangkalan anak tidak dapat dilakukan hanya dengan pernyataan-pernyataan di media saja. Selama belum ada keputusan pengadilan, maka pembuktian asal usul seorang anak cukup dibuktikan dengan adanya Akta Kelahiran, yang didalamnya menunjukkan siapa ayah kandungnya.

ILMU TENTANG MAKNA-MAKNA

Minggu ini adalah awal perkuliahan semester ganjil di kampus tempat saya bekerja. Mahasiswa baru terlihat bersemangat untuk mengikuti perkuliahan. Semangat mereka terlihat selama perkuliahan dengan aktif menjawab dan mengajukan pertanyaan.
Karena masih kuliah pertama, materi yang diberikan masih berkisar pada hal-hal yang umum sebagai pengantar. Walaupun begitu, pertanyaan yang diajukan mahasiswa sudah masuk pada materi hukum tertentu. Diantaranya tentang hukum perkawinan.
Salah satu mahasiswa menanyakan soal harta gono-gini. Bagaimana pembagiannya?
Mendapat pertanyaan yang sudah fokus pada materi hukum perkawinan tersebut, saya tidak langsung memberikan jawabannya. Dengan sedikit bercanda, saya katakana bahwa harta gono-gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan antara si Gono dengan Gini. Sehingga harta mereka berdua dinamakan harta Gono-gini.
Mendengar jawaban seperti itu, suasana kelas menjadi riuh karena tawa.
Saya sengaja tidak langsung memberi jawaban atas pertanyaan
seperti itu, karena perangkat yang diperlukan untuk memahami hukum, masih belum mereka miliki. Saya justru menegaskan kepada mereka bahwa ilmu hukum adalah ilmu tentang makna-makna. artinya, berbeda kata atau istilah yang kita gunakan, akan berbeda pula maknanya.
Didalam hukum, makna dari suatu kata atau istilah akan berbeda dengan makna yang digunakan dalam masyarakat. Sebagai contoh, kata “setiap orang”, dalam masyarakat dipahami sebagai “setiap orang perorangan atau individu”. Tetapi dalam bahasa hukum, makna dari “setiap orang” bias lebih luas daripada sekedar setiap orang perorangan, didalamnya juga termasuk Badan Hukum, seperti PT, Yayasan dan Koperasi.
Istilah harta gono-gini, sebenarnya tidak ditemukan dalam hukum perkawinan. Istilah yang digunakan adalah “harta bersama”. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Harta bawaan masing-masing dan harta hadiah atau warisan, tidak termasuk didalamnya.
Saya berusaha mengarahkan para mahasiswa untuk memahami makna dari setiap kata dan istilah itu dengan merujuk langsung pada sumbernya. Apabila berkaitan dengan perkawinan, tentu rujukannya adalah undang-undang perkawinan. Hal ini menjadi penting karena beda kata akan beda makna.
Ilmu hukum adalah ilmu tentang makna-makna.

KASUS JESSICA

Seorang teman bertanya kepada saya soal kasus Jessica. Bagaimana kira-kira akhir dari pemeriksaan persidangan Jessica, apakah akan dihukum atau bisa bebas?.
Bagi masyarakat awam yang mengikuti proses persidangan melalui siaran langsung di televisi, sudah mulai membuat opini. Ada yang menilai bahwa Jessica-lah yang telah membunuh Mirna, oleh karena itu dia bersalah dan harus dihukum.
Ada lagi yang menilai bahwa pembuktian oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak meyakinkan dan dapat dimentahkan oleh Terdakwa dan Penasehat Hukumnya. Oleh karena itu, Jessica harus dinyatakan tidak bersalah dan harus dibebaskan dari dakwaan.
Mendapat pertanyaan seperti itu, saya hanya mengatakan, "Semua kemungkinan bisa terjadi".
Sebagai praktisi, saya tentu tidak mau mendahului putusan hakim. Majelis hakim yang menyidangkan perkara ini sejak awal, tentu sudah memiliki gambaran yang utuh, setidaknya untuk sementara, tentang duduk perkaranya. Bagaimana konstruksi perkara yang diajukan oleh JPU dalam Surat Dakwaan dan pembuktiannya di persidangan. Bagaimana Terdakwa dan Penasehat Hukumnya menyanggah dakwaan yang disertai dengan pembuktiannya pula. Semua itu sudah ada dalam pikiran dan pertimbangan Majelis Hakim.
Masyarakat awam yang hanya mengikuti sebagian saja dari proses persidangan, biasanya justru sudah menghakimi Terdakwa bersalah.
Oleh karena itu, mari kita bersabar dulu, menunggu sampai ada keputusan hakim.
Saya pikir, kita perlu mengambil pelajaran dari kasus ini. Selama ini, pemberitaan tentang kasus-kasus yang menjadi perhatian publik, hanya pada tahap pembacaan surat dakwaan, penuntutan dan pembacaan putusan saja. Sedangkan dalam proses pembuktiannya, tidak menjadi sorotan utama pemberitaan.
Namun, dalam kasus Jessica ini, semua proses persidangan dibuka oleh media, bahkan disiarkan secara langsung. Oleh karenanya, masyarakat menjadi tahu dan memahami bagaimana suatu perkara disidangkan, mulai awal hingga akhirnya putusan hakim dibacakan.

TRAGEDI KAKI KAMBING

Setiap tiba Hari raya Idul Adha, kami sekeluarga selalu teringat peristiwa itu. Peristiwa menyedihkan tapi lucu. Setiap teringat peristiwa itu, kami sekeluarga pasti akan tertawa.
Itu terjadi ketika kami baru awal-awal pindah dari Surabaya ke Jember. Sewaktu masih di Surabaya dulu, kalau kita berkurban biasanya penyembelihannya diserahkan kepada takmir masjid atau mushala di dekat rumah. Yang berkurban boleh saja ikut membantu panitia dalam proses penyembelihan dan pembagian daging kurban, boleh juga tidak.
Sebelum daging dibagikan, panitia akan mengantarkan beberapa bagian daging kurban kerumah orang yang berkurban. Biasanya kalau hewan kurbannya seekor kambing, maka yang berkurban akan memperoleh satu kaki belakang mulai dari bawah sampai paha bagian atas. Orang Jawa menyebutnya “sampil”, dan masih ditambah daging lainnya. Panitia kurban biasanya tidak perlu bertanya, apakah pihak yang berkurban akan meminta bagian daging atau tidak. Ini sudah menjadi semacam prosedur standar bagi panitia kurban disana. Karena yang berkurban juga membutuhkannya untuk dimasak sendiri ataupun untuk diberikan kepada keluarganya yang lain.
Namun setelah kami sudah pindah ke Jember, cara kerja panitia kurban ternyata berbeda dengan yang di Surabaya dulu. Ketika hewan kurban kami serahkan kepada panitia, salah seorang panitia bertanya.
“Apa ada permintaan khusus, Pak?”
“Iya Pak, saya minta satu kaki”.
“Baik Pak, permintaan bapak saya catat”.
Lalu, tibalah hari yang ditunggu-tunggu itu. Selepas Sholat Idul Adha, kami sudah mempersiapkan beberapa keperluan untuk memasak daging kambing. Biasanya daging kambing kurban itu dibuat sate. Bagian tulang belulangnya biasanya dibuat gule. Keperluan yang sudah kami persiapkan untuk membuat sate sudah lengkap. Mulai tusuk sate dari bambu, arang, minyak tanah untuk membuat api bakaran, hingga bumbu-bumbu sudah siap masak. Kami tinggal menunggu datangnya daging kambing dari panitia kurban saja. Menunggu dengan penuh harap.
Waktu terus berjalan, azan zhuhur pun mulai terdengar, namun yang ditunggu-tunggu tidak jua muncul. Walaupun perasaan kami mulai gelisah, kami berusaha tetap bersabar. Tetapi anak-anak mulai tidak sabar.
“Katanya kita kurban, Pak. Kok belum datang juga dagingnya?”, tanyanya.
“Sabar sebentar. Barangkali panitianya masih sibuk membagikan daging kurban kepada warga yang membutuhkan”, Saya mencoba menghiburnya.
Namun hingga azan Ashar terdengar, Belum ada kabar apapun dari panitia kurban itu. Perasaan kami mulai cemas. Fikiran-fikiran negatif mulai muncul dalam benak. Bagaimana cara kerja panitia kurban ini, sangat tidak professional. Kalau memang tidak mendapat bagian, kenapa kemaren ditanya-tanya tentang permintaan itu.
Tiba-tiba terdengar ada orang mengucapkan salam dari depan pintu.
“Assalamu’alaikum!!”.
“Waalaikumsalaam”, Kami semua menjawab salamnya dengan suara nyaring.
“Ini, Pak. Pesanannya kemaren”. Ucapnya sambil menyerahkan bungkusan plastik berwarna hitam. Kemudian dia langsung pamit.
“Terima kasih, Pak”. Jawab saya sambil membawa bungkusan itu ke belakang.
Bungkusan itu tidak terlalu besar dan tidak berat. Ringan saja. Hati saya mulai cemas lagi, sambil bertanya Tanya dalam hati, apa isi bungkusan itu.
Lalu kami buka bungkusan itu bersama-sama. Setelah bungkusan terbuka, tanpa ada yang memandu, secara spontan kami semua berteriak..
“Astaghfirullah….”
Ternyata isinya kaki kambing. Benar, kaki kambing. Tidak hanya satu, bahkan empat potong. Tetapi potongan kaki kambing itu bukan sampil, seperti yang kami harapkan, melainkan mulai kuku hingga lutut saja. Kami semua saling pandang, tak berkata apa-apa. Akhirnya, tanpa ada yang memandu pula, kami sema tertawa terbahak-bahak.….
“Hahaha….!!”.

SATU KELUARGA SATU ANAK

Suatu ketika, dalam perjalanan kereta api dari Solo ke Jember, saya duduk sebangku dengan seorang turis, dari wajahnya sepertinya orang China. Orangnya masih muda, kira-kira berumur tiga puluh tahun. Wajahnya kelihatan bersih dan rapi. Dia naik dari Surabaya dengan tujuan Probolinggo.
Saya yang tidak terlalu pandai Bahasa Inggris, karena memang tidak pernah kursus, memberanikan diri mengajak ngobrol.
“Hallo, sampean berasal dari mana, Mas?”
“Hallo, saya dari Beijing, China.”
Ternyata orangnya tidak bisa sama sekali Bahasa Indonesia, hanya bisa Bahasa Inggris dan bahasa China, pastinya.
“Sampean tujuannya mau kemana?”, Saya ajukan pertanyaan lagi.
“Mau ke Probolinggo, terus ke Gunung Bromo”.
“Sudah berapa kali sampean berkunjung ke Indonesia?”.
“Ini yang kedua, tetapi belum pernah ke Bromo”.
Saya perhatikan bule ini orangnya intelek. Saya ambil kesempatan untuk Tanya-tanya lebih banyak. Perjalanan dari Surabaya ke Probolinggo kurang lebih dua jam lamanya, jadi saya manfaatkan waktu sebaik-baiknya.
“Mas, boleh nggak saya tanya-tanya?”
“Ok, silahkan”
“Sampean di Beijing kerja apa?”
“Saya programmer computer di perusahaan Amerika di Beijing. Kalau sampean pekerjaannya apa, Pak?”, Dia balik bertanya kepada saya.
“Lawyer”, saya jawab singkat.
Saya perhatikan wajahnya agak heran ketika saya jawab bahwa pekerjaan saya adalah lawyer. Mungkin dia heran, “lawyer kok kayak gini”. Karena berdasarkan informasi yang saya peroleh, profesi lawyer, di luar negeri terutama Negara yang sudah maju, profesi lawyer adalah profesi yang elit. Tidak mudah untuk masuk fakultas hukum. Seleksinya sangat sulit dan yang benar-benar pandai yang bisa masuk. Berbeda dengan di Negara kita, untuk masuk fakultas hukum sangat mudah, seolah-olah hanya menjadi pilihan terakhir, “buangan”. Pilihan jurusan yang dianggap elit adalah kedokteran, teknik atau pendidikan. Cepat-cepat saya netralisir percakapan, dengan mengatakan, “Lawyer disini tidak sama dengan lawyer disana”. Dia hanya tersenyum dan manggut-manggut.
“Sampean apa sudah berkeluarga?”, Saya bertanya lagi.
“Sudah, saya sudah punya satu orang anak”.
“Bagaimana dengan kebijakan pemerintah yang hanya mengijinkan satu keluarga satu anak?”.
“Lho, kok bapak tahu tentang kebijakan itu?, Dia bertanya dengan nada keheranan.
“Saya membaca tentang kebijakan pemerintah China”.
Memang pada tahun 1978, pemerintah China menerapkan kebijakan kontroversial dengan membatasi hanya boleh memiliki satu anak saja. Kebijakan ini bertujuan untuk menghambat pertumbuhan penduduk China yang meningkat sangat pesat. Kebijakan satu anak ini ternyata tidak diterima dengan senang hati oleh rakyat cina, karena secara prinsip maupun penerapannya dianggap melanggar hak asasi manusia dalam menentukan jumlah anggota keluarganya sendiri. Termasuk oleh turis yang disebelah saya ini.
“Kebijakan itu sangat tidak mengenakkan”, katanya.
“Kalau kebijakan itu diterapkan, berarti satu anak yang lahir punya dua orang tua, dua kakek, dan dua nenek yang siap membantu apa yang diperlukan oleh si anak, baik dalam kehidupannya maupun pendidikannya. Menurut saya kebijakan itu bagus”, Saya mencoba berpendapat.
“Dari sisi itu, memang iya. Tetapi dirumah tidak menyenangkan, suasananya sangat sepi. Hanya ada satu anak”.
“Kalau itu dilanggar, apa sanksinya?”.
“Ooh, dendanya sangat besar?”. Jawabnya.
Saya berfikir sejenak, bagaimana seandainya kebijakan itu diberlakukan di Indonesia. Pasti akan jadi ribut. Karena kultur kita masih menganggap “banyak anak, banyak rejeki”, walaupun kenyataannya tidak selalu demikian.
Seandainya kebijakan itu diberlakukan, saya yakin dihari pertama kebijakan itu diberlakukan, pasti akan langsung diajukan uji materi ke MK.
***
Konon, berdasarkan sumber mbah gugel, Sejak akhir Oktober 2015 kemarin, kebijakan ini telah dihapus dan rakyat China boleh memiliki hingga 2 anak.