Senin, 26 September 2016

TRAGEDI KAKI KAMBING

Setiap tiba Hari raya Idul Adha, kami sekeluarga selalu teringat peristiwa itu. Peristiwa menyedihkan tapi lucu. Setiap teringat peristiwa itu, kami sekeluarga pasti akan tertawa.
Itu terjadi ketika kami baru awal-awal pindah dari Surabaya ke Jember. Sewaktu masih di Surabaya dulu, kalau kita berkurban biasanya penyembelihannya diserahkan kepada takmir masjid atau mushala di dekat rumah. Yang berkurban boleh saja ikut membantu panitia dalam proses penyembelihan dan pembagian daging kurban, boleh juga tidak.
Sebelum daging dibagikan, panitia akan mengantarkan beberapa bagian daging kurban kerumah orang yang berkurban. Biasanya kalau hewan kurbannya seekor kambing, maka yang berkurban akan memperoleh satu kaki belakang mulai dari bawah sampai paha bagian atas. Orang Jawa menyebutnya “sampil”, dan masih ditambah daging lainnya. Panitia kurban biasanya tidak perlu bertanya, apakah pihak yang berkurban akan meminta bagian daging atau tidak. Ini sudah menjadi semacam prosedur standar bagi panitia kurban disana. Karena yang berkurban juga membutuhkannya untuk dimasak sendiri ataupun untuk diberikan kepada keluarganya yang lain.
Namun setelah kami sudah pindah ke Jember, cara kerja panitia kurban ternyata berbeda dengan yang di Surabaya dulu. Ketika hewan kurban kami serahkan kepada panitia, salah seorang panitia bertanya.
“Apa ada permintaan khusus, Pak?”
“Iya Pak, saya minta satu kaki”.
“Baik Pak, permintaan bapak saya catat”.
Lalu, tibalah hari yang ditunggu-tunggu itu. Selepas Sholat Idul Adha, kami sudah mempersiapkan beberapa keperluan untuk memasak daging kambing. Biasanya daging kambing kurban itu dibuat sate. Bagian tulang belulangnya biasanya dibuat gule. Keperluan yang sudah kami persiapkan untuk membuat sate sudah lengkap. Mulai tusuk sate dari bambu, arang, minyak tanah untuk membuat api bakaran, hingga bumbu-bumbu sudah siap masak. Kami tinggal menunggu datangnya daging kambing dari panitia kurban saja. Menunggu dengan penuh harap.
Waktu terus berjalan, azan zhuhur pun mulai terdengar, namun yang ditunggu-tunggu tidak jua muncul. Walaupun perasaan kami mulai gelisah, kami berusaha tetap bersabar. Tetapi anak-anak mulai tidak sabar.
“Katanya kita kurban, Pak. Kok belum datang juga dagingnya?”, tanyanya.
“Sabar sebentar. Barangkali panitianya masih sibuk membagikan daging kurban kepada warga yang membutuhkan”, Saya mencoba menghiburnya.
Namun hingga azan Ashar terdengar, Belum ada kabar apapun dari panitia kurban itu. Perasaan kami mulai cemas. Fikiran-fikiran negatif mulai muncul dalam benak. Bagaimana cara kerja panitia kurban ini, sangat tidak professional. Kalau memang tidak mendapat bagian, kenapa kemaren ditanya-tanya tentang permintaan itu.
Tiba-tiba terdengar ada orang mengucapkan salam dari depan pintu.
“Assalamu’alaikum!!”.
“Waalaikumsalaam”, Kami semua menjawab salamnya dengan suara nyaring.
“Ini, Pak. Pesanannya kemaren”. Ucapnya sambil menyerahkan bungkusan plastik berwarna hitam. Kemudian dia langsung pamit.
“Terima kasih, Pak”. Jawab saya sambil membawa bungkusan itu ke belakang.
Bungkusan itu tidak terlalu besar dan tidak berat. Ringan saja. Hati saya mulai cemas lagi, sambil bertanya Tanya dalam hati, apa isi bungkusan itu.
Lalu kami buka bungkusan itu bersama-sama. Setelah bungkusan terbuka, tanpa ada yang memandu, secara spontan kami semua berteriak..
“Astaghfirullah….”
Ternyata isinya kaki kambing. Benar, kaki kambing. Tidak hanya satu, bahkan empat potong. Tetapi potongan kaki kambing itu bukan sampil, seperti yang kami harapkan, melainkan mulai kuku hingga lutut saja. Kami semua saling pandang, tak berkata apa-apa. Akhirnya, tanpa ada yang memandu pula, kami sema tertawa terbahak-bahak.….
“Hahaha….!!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar