Kamis, 18 Januari 2018

MERENCANAKAN PERJALANAN

Ketika saudara saya dari Sumatera berkunjung ke rumah saya beberapa waktu yang lalu, saya bertanya tentang rencana perjalanannya. Berapa lama dia akan disini?, kapan akan melanjutkan perjalanannya?, apakah sudah menyiapkan tiket untuk perjalanan selanjutnya?. Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya merupakan pertanyaan biasa saja, terkait dengan apakah sudah merencanakan perjalanannya atau belum.
Tetapi tampaknya dia tidak suka dengan pertanyaan saya itu. Saya menduga hal itu karena kebiasaan masa lalu. Dulu, sebelum orang terlalu terikat dengan jadwal waktu seperti sekarang ini, memang rasanya tidak elok kalau kita bertanya kepada tamu yang berkunjung ke rumah kita, apalagi bila tamu itu datang dari jauh dan menempuh perjalanan yang melelahkan. Dengan bertanya seperti itu, ada kesan seolah-olah kita tidak senang dikunjungi oleh tamu itu. Padahal sebenarnya bukan itu maksudnya.
Jaman sekarang tentu tidak bisa disamakan dengan jaman dulu. Ketika semua orang sudah terikat jadwal yang ketat, baik jadwal bekerja, jadwal sekolah, bahkan liburan pun telah terikat jadwal tertentu yang menyesuaikan dengan jadwal kerja dan sekolah tadi. Bagi seorang yang bekerja pada suatu instansi, tentu dia sudah punya jadwal cuti yang diambilnya berapa hari. Dengan itu sebenarnya sudah dengan mudah merencanakan perjalanan kita.
Hal yang berbeda dengan cerita diatas, ketika saya berkunjung ke suatu tempat atau bila pulang kampung ke Sumatera Barat, saya selalu sudah merencanakan kapan jadwal pulangnya. Juga sekalian menyiapkan tiket untuk perjalanan pulang itu. Sehingga ketika berkunjung kerumah saudara-saudara, kita bisa memperhitungkan berapa lama kita hendak berkunjung atau menginap. Saat itu biasanya yang dikunjungi akan mengatakan, “Lho.. kok buru-buru…?” atau “Kok nggak nginap dulu disini..?”.
Begitulah, merencanakan sesuatu bukanlah perkara yang mudah, apalagi bila kita tidak terbiasa melakukannya. Meskipun untuk hal-hal yang sederhana sekalipun. Merencanakan perjalanan misalnya, tidak mudah dilakukan apalagi bila perjalanan itu menuju ketempat belum pernah dilakukan sebelumnya.
Kita seringkali menganggap remeh soal perencanaan ini, kita seringkali berpikir, “Ah, itu gampanglah… kita lihat bagaimana nanti saja..”. Bagi sebagian orang yang tidak terikat pekerjaan tertentu bisa saja berpikir seperti itu, namun bagi sebagian besar lainnya tentuakan sangat merepotkan bila nantinya menemui kendala dalam perjalanannya. Karena itu kita perlu membiasakan diri dengan perencanaan.
Selain berkaitan dengan penentuan waktu, perencanaan perjalanan juga sangat terkait dengan ketersediaan tiket perjalanan. Bila pemesanan tiket dilakukan dalam waktu mendadak, seringkali kita sudah kehabisan. Kalaupun masih tersedia biasanya harganya sudah sangat mahal bila dibandingkan dengan harga yang normal. Begitu pula bila perjalanan kita bertepatan dengan hari-hari puncak liburan, maka dapat dipastikan harganya akan sangat mahal.
Bila semua hal sudah terencana dan terjadwal dengan baik, maka kita akan dapat menikmati perjalanan kita dengan nyaman dan tenang, tanpa terganggu oleh hal-hal yang tidak penting.

PERTANYAAN TERAKHIR

Minggu ini adalah minggu terakhir perkuliahan di kampus tempat saya mengajar. Salahsatu kelas matakuliah saya yang sudah berakhir kemarin adalah Pendidikan Pancasila. Matakuliah ini termasuk dalam kelompok Matakuliah Dasar yang diberikan di semester awal.
Tidak ada yang istimewa dalam pertemuan perkuliahan terakhir itu, semua berjalan seperti biasa. Hingga saat sesi tanya jawab tiba, saya lalu mempersilakan kepada mahasiswa untuk bertanya atau menyampaikansesuatu hal untuk didiskusikan.
Salahsatu mahasiswa mengacungkan tangannya lalu berkata,
"Saya mau bertanya, Pak".
"Ok, silahkan Mas".
"Terimakasih, Pak. Pertanyaan saya, Apakah masih ada masa depan bagi Indonesia ini, Pak?".
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, saya agak terkejut. Begitu pula dengan mahasiswa yang lain, mereka terlihat tidak mengerti dengan maksud pertanyaan itu. Bagi saya pertanyaan itu aneh, karena negeri kita ini tidak sedang menghadapi keadaan yang genting atau terjadi kekacauan.
Lalu saya coba untuk menetralkan suasana.
"Sebentar Mas, sebelum saya menjawab pertanyaan saudara saya ingin tahu apa yang saudara pikirkan tentang negara kita Indonesia saat ini?", saya berusaha untuk mengetahui apa yang menjadi dasar atau apa yang dipikirkannya tentang Indonesia sehingga dia menanyakan masa depan negara ini. Tentu ada sesuatu hal yang membuatnya masygul tentang keadaan negaranya.
"Tidak ada, Pak!", jawabnya singkat. Kelihatannya dia tidak ingin mengungkapkan apa yang sedang dipikirkannya, dia ingin menyimpannya sendiri.
"Ok, tidak masalah", saya tak menanyakan hal itu lebih lanjut. Saya juga harus menghormati pilihannya untuk tidak menceritakannya.
Lalu saya mencoba menjawabnya mulai dari keadaan yang kita alami sehari-hari. Kehidupan kita baik-baik saja. Seluruh masyarakat menjalankan aktivitasnya aman-aman saja tanpa ada gangguan yang berarti. Kita beraktivitas keluar rumah bahkan hingga larut malam pun aman-aman saja.
"Cobalah baca berita tentang keadaan negara-negara yang pada saat ini sedang mengalami krisis politik dan keamanan, seperti Palestina, Syiria, Afghanistan, Libya dan lain-lainnya. Lihatlah bagaimana keadaan masyarakat disana. Bila kita bandingkan negara-negara itu dengan negara kita, maka kita akan bisa menilai bahwa negara ini baik-baik saja".
Selanjutnya, dalam bidang perekonomian, negara kita tumbuh dengan baik. Tidak terjadi kekacauan ekonomi yang membuat kita cemas. Harga-harga kebutuhan pokok dalam keadaan stabil, tidak terjadi kenaikan yang membuat kita panik.
Pemerintahan kita juga berjalan dengan baik. Meskipun terkadang terjadi gesekan secara politik, namun hal itu tidak berdampak pada kehidupan masyarakat secara umum.
Setelah berusaha menjelaskan secara panjang lebar, lalu saya akhiri dan tegaskan jawaban pokok atas pertanyaan mahasiswa tadi.
"Negara kita Indonesia memiliki masa depan... dan masa depan itu kini semakin cerah...".

MEMAHAMI ISTILAH

Seringkali kita mengatakan suatu istilah tanpa benar-benar mengerti apa yang kita katakan itu. Atau, kalaupun kita merasa sudah memahaminya, boleh jadi apa yang kita pahami bukanlah makna yang sebenarnya.
Tak jarang pula kita menyalahkan orang lain, atau bahkan menganggap orang lain keliru hanya karena pemahaman yang tidak sama terhadap suatu istilah. Hal ini terjadi karena perbedaan referensi yang dirujuk berkaitan dengan pengertian itu. Bisa jadi juga karena tingkat pemahaman yang berbeda-beda yang disebabkan kurangnya pengetahuan.
Mari kita lebih rendah hati...
Ketika mendiskusikan tentang Pancasila sebagai ideologi negara, disinggung pula macam-macam ideologi yang dianut oleh negara-negara di dunia. Saya mencoba untuk mengetahui sejauh mana pemahaman mahasiswa tentang macam-macam ideologi tadi. Macam-macam ideologi itu antara lain adalah Liberalisme dan Komunisme.
Lalu saya meminta mereka menulis essay singkat tentang apa yang mereka pahami tentang ideologi tersebut. Dan benar saja, masing-masing memahaminya dengan pemahaman yang beragam, bahkan ada yang saling bertentangan satu dengan lainnya.
Begitulah kenyataannya...

MENGAJARKAN KORUPSI

Ketika anak saya mulai masuk SMA dulu, dia minta agar diijinkan untuk mengendarai sepeda motor sendiri ke sekolah. Barangkali karena melihat teman-temannya banyak yang sudah mengendarai sepeda motor sendiri, dia pun jadi ingin.
Menanggapi permintaan itu, saya hanya mengatakan,
"Boleh naik motor ke sekolah, tapi syaratnya harus sudah punya SIM".
"Kan belum punya KTP, Pak. Ngurus SIM kan harus punya KTP dulu..".
"Iya memang betul. Terus untuk mengurus KTP itu, apa syaratnya?"
"Kalau sudah berumur tujuh belas".
"Betul, berarti kamu masih kurang dua tahun lagi baru bisa ngurus SIM".
"Tapi, temanku kok sudah boleh bawa motor meskipun baru kelas satu?".
Mendapat pertanyaan seperti itu, terus terang, tidak mudah bagi saya untuk menjawabnya. Apalagi harus menemukan jawaban yang sederhana, logis dan bisa diterima oleh anak. Disaat banyak orangtua yang seolah tanpa beban membiarkan atau bahkan justru menyuruh anaknya untuk mengendarai sepeda motor sendiri, keadaan ini membuat semakin tidak mudah untuk menjelaskannya.
"Aturan hukum kita tidak membolehkan naik sepeda motor tanpa memiliki SIM. Kalau itu dilakukan maka akan ditilang oleh polisi. Kedua, seorang anak masih belum mampu bertanggung jawab dan belum mampu mengendalikan diri, apalagi dalam keadaan genting".
"Tapi, ada lho temanku yang sudah punya SIM, padahal umurnya belum cukup. Kok bisa ya?".
"Kemungkinan pertama karena merubah data pribadi. misalnya dengan mengganti tahun kelahirannya, sehingga umurnya mencukupi untuk mengurus KTP. Kedua, kemungkinan dia mengurusnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan aturan. Misalnya dengan menyuap petugasnya".
Begitulah, tanpa disadari sebenarnya banyak perbuatan orangtua yang secara tidak langsung justru mengajarkan kepada anak-anaknya untuk melakukan perbuatan yang melanggar aturan hukum. Menempuh segala cara agar bisa memperoleh apa yang diinginkan oleh anak akan ditiru oleh anak itu untuk hal-hal lain yang diinginkankannya kelak.
Memanipulasi data dan menyuap petugas akan menjadi sesuatu yang dianggap wajar apabila sering dilakukan. Tanpa kita sadari, kita telah mengajarkan kepada anak-anak kita satu perbuatan yang menjadi musuh bersama, yaitu korupsi...

Belajar Phitagoras

Seringkali anak-anak kita menemui kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah yang diberikan gurunya. Apalagi bila tugas yang diberikan itu belum pernah diajarkan oleh sang guru. Disaat-saat yang demikian ini, semestinya orangtua tampil membantu anaknya untuk menyelesaikan tugasnya. Orangtua dituntut untuk menyegarkan kembali pelajaran sekolah dasar dulu, agar bisa membantu anak bila mereka menemukan kesulitan.
Seperti yang terjadi hari ini, tiba-tiba anak saya yang masih kelas enam meminta tolong untuk menyelesaikan PRnya.
"Pak, tolong ajari rumus Phitagoras. Saya punya PR tentang rumus Phitagoras itu".
"Sudah diajari sama gurunya apa belum?".
"Masih belum".
"Lha kok sudah dikasih PR tentang itu, wong belum diajarkan?".
"Iya, tadi mau diajari tapi waktunya tidak cukup, jadi PRnya disuruh kerjakan dulu sama bu guru".
Lalu saya meminta dia mengambil kertas dan pensil.
"Coba buat gambar segitiga siku-siku yang agak besar".
"Sudah, Pak"
"Ingat ya, rumus Phitagoras itu hanya berlaku untuk segitiga siku-siku saja, tidak untuk segitiga yang lain. Ada berapa sisi disitu?"
"Ada tiga, sisi datar, sisi tegak dan sisi yang miring".
"Iya, sekarang beri tanda, sisi datar dengan huruf a, sisi tegak dengan huruf b dan sisi miring dengan huruf c".
"Sudah. Terus gimana?".
"Rumus Phitagoras itu mengatakan panjang sisi miring dikuadratkan jumlahnya sama dengan panjang sisi datar dikuadratkan ditambah sisi tegak dikuadratkan. Kalau dibuat rumusnya adalah c2 = a2 + b2. Ngerti nggak?".
"Iya, tapi kalau yang diketahui sisi miringnya?".
"Tinggal dibalik saja rumusnya. Misalnya kalau yang dicari sisi datarnya, maka rumusnya menjadi a2 = c2 - b2".
"Iya ngerti. Itu hasilnya kan masih kuadrat, bagaimana menghilangkan kuadratnya?".
"Untuk menghilangkan kuadrat itu caranya dengan mengakarkan hasil yang diperoleh. Kalau hasilnya didapat 25, maka akar dari 25 adalah 5. Gimana, ngerti?".
"Iya ngerti Pak".
"Sekarang coba kerjakan PRnya. Nanti kalau ada kesulitan bilang ya...!"
Tak perlu waktu yang lama, kemudian dia pun telah menyelesaikan semua tugas-tugas PRnya...