Rabu, 03 Agustus 2016

HIDUP MEMANG PILIHAN



Selepas jam kerja, bagi banyak orang adalah waktunya untuk nongkrong bersama teman-teman. menghabiskan waktu sambil ngobrol atau dengan berbagai aktifitas lain yang mengasikkan.
Demikian pula ketika hari libur, waktu seharian dihabiskan dengan kegiatan olah raga atau menekuni hobby lain yang menyenangkan bersama teman. 
Saya jarang sekali melakukan hal itu. Bukan karena tidak punya hobby atau karena tidak punya teman. Tetapi itu adalah pilihan saya. Saya memilih untuk menghabiskan waktu sehabis bekerja bersama anak-anak di rumah. Mendampingi belajar mereka, berinteraksi dan berkomunikasi bersama mereka.
Diakhir minggu atau hari libur juga demikian, banyak aktifitas yang dapat dilakukan dengan melibatkan anak-anak. Olah raga bersama, belanja bersama, memasak bersama atau dengan hanya jalan-jalan bersama mereka.
Kebersamaan dengan anak adalah salah satu cara agar komunikasi dapat terus terjalin. Orang tua hadir dalam kehidupan anak-anaknya. Kehadiran orang tua sangat penting bagi tumbuh kembang anak. Anak membutuhkan contoh dalam proses belajar mereka. Jika orang tua tidak hadir dalam kehidupan mereka, maka mereka akan mencari orang lain untuk dicontohnya.
Tentu kita tidak ingin komunikasi dengan anak menjadi putus. Putus karena ketidakhadiran orang tua dalam kesehariannya. Persoalan terbesar dalam hubungan orang tua dan anak adalah orang tua tidak mengenal anaknya.
Memang, kehidupan ini adalah pilihan.

“MELLEH SORAT”




Pada suatu hari terjadi percakapan antara seorang ibu dan Petugas informasi di kantor Pengadilan Agama.
“Assalamu’alaikum, Pak.” Si Ibu memberi salam.
“Wa’alaikumsalam”. Jawab Petugas.
“Saya mau Tanya masalah cerai, Pak”. Si Ibu menyampaikan maksudnya.
“Iya Bu, Silahkan”. Petugas menjawab dengan sopan.
“Begini Pak, kalau melleh sorat berapa biayanya?” Si Ibu kembali bertanya.
“Maaf Ibu. Kalau Ibu mau melleh sorat, Kami tidak punya. Kami tidak jualan disini”. Jawab Petugas dengan wajah mulai kurang bersahabat.
“Anu Pak, maksud saya kalau mau cerai itu biayanya berapa?”  Si Ibu menerangkan maksudnya tanpa rasa bersalah.
“Begini Buk ya. Kalau Ibu mau cerai  bukan melleh sorat, tetapi mengurus.” Petugas member penjelasan.
“Iya Pak, maaf. Saya tidak tahu.” Jawab Si Ibu singkat.
“Ingat Bu, ya. Bukan melleh, tapi me-ngu-rus”. Tegas Petugas itu seraya menjelaskan bagaimana prosedur mengajukan gugatan cerai.

“Melleh Sorat” dalam bahasa Madura berarti “membeli surat”.  Sebagai suatu istilah, kata “Melleh Sorat” digunakan untuk menunjukkan suatu kegiatan mengurus perceraian di pengadilan. Diakhir proses mengurus itu, diperolah surat tanda bukti perceraian yang disebut “akta cerai”.
Si Ibu yang mengatakan kata tersebut, tentu saja tidak merasa bersalah, karena memang istilah “Melleh Sorat”  secara jamak digunakan oleh masyarakat dalam arti mengurus surat cerai, bukan membeli surat.
Sementara si Petugas, memahami kata  “Melleh Sorat” dalam arti hafiahnya. Sehingga pemahaman Petugas tidak sama dengan maksud Si Ibu yang mengucapkannya.
Boleh jadi, Petugas itu bukan orang Madura, tidak tahu bahasa Madura.

NIKMAT PEDASNYA



Masakan Padang dikenal sebagai makanan yang serba pedas. Tampilan masakan yang berwarna merah dan berminyak, menambah kesan rasa pedasnya. Walaupun belum mencicipinya, rasa pedas itu telah hadir lewat penampilannya.
Selain rasa pedas, cirikhas masakan padang adalah bersantan. Hampir semua jenis masakan ini menggunakan kuah santan. Tidak hanya bersantan tapi bersantan kental.
Bagi kami, Putra Jawa Kelahiran Sumatera, Pujakesuma, menu makanan sehari-hari kami tidak lepas dari dua cirikhas tersebut. Pedas dan bersantan. Tanpa keduanya, makan terasa kurang lengkap dan kurang berselera.
Karena terbiasa dengan makanan pedas dan bersantan seperti itu, makan sayur lodeh bagi saya menjadi tidak ada rasanya. Hambar. Pernah dulu ketika pertama kali ke Jawa, waktu diajak makan sayur lodeh, perut saya langsung bergejolak tidak mau menerima, mungkug-mungkug. Makanan itu terasa hambar tanpa bumbu.
Kini, setelah lebih dua puluh tahun hidup di Jawa, menu makanan sudah berubah. Menu makanan makin bervariasi. Saya tidak lagi kuat makan makanan yang pedas-pedas. Tetapi menu masakan padang tetap suka dan menjadi favorit. Hanya, tidak boleh terlalu sering.
Ketika pulang kampung kemarin, saya dihadapkan lagi dengan menu makanan yang dulu menjadi makanan sehari-hari saya. Pedas bersantan yang nikmat. Pedasnya melebihi pedas masakan padang. Selama satu minggu saya di sana, selama itu pula perut saya selalu mules karena makanan yang pedas itu.

ALLAAHUMMAGHFIRLAHA …..



Salah satu momen yang paling mengharukan bagi kami saat pulang kampung kemaren adalah ketika kami ziarah ke makam Ibu. Setiap pulang ke kampung halaman, tak lupa kami selalu berziarah. Agar tetap terjalin silarurahim antara kami, meskipun Ibu sudah berada dialam lain. Juga untuk mendoakan Ibu, sebagai wujud pengabdian kami, anak-anak yang telah dilahirkan dan dibesarkannya.
Sehari sebelum acara akad nikah adik kami, kami tujuh bersaudara ziarah bersama. Sebelum berangkat, Bapak berpesan kepada saya agar semua keluarga yang telah meninggal dunia didoakan, tidak hanya Almarhumah Ibu saja. Saya mengiyakan permintaan Bapak itu.
Saya tidak tahu, kenapa pesan Bapak itu disampaikan kepada saya. Padahal ada suadara kami yang tertua. Tapi saya pikir, sudahlah. Barangkali karena saya anak laki-laki yang dirantau, tidak setiap saat bisa ziarah ke makam Ibu.
Kami berangkat berjalan kaki bersama-sama, karena memang jarak dari rumah ke pemakaman tidak terlalu jauh. Tiba dimakam, kami memulai ritual dengan membersihkan makam dari daun-daun kering yang jatuh menutupi tanah dan beberapa rumput yang mengering. Lalu kami menaburkan bunga diatas pusara Ibu, berurutan mulai dari saudara tertua. Hati kami mulai hanyut, larut dalam kenangan beberapa tahun lalu ketika Ibu terbaring sakit dan akhirnya tak tertolong lagi.
Tabur bunga usai, saya mulai memimpin doa. Diawali dengan membaca Surah Al-fatihah, Al-ikhlas, Al-falaq dan Surah An-nas. Sepanjang bacaan itu kami lantunkan, rasa haru dalam hati semakin tak tertahankan. Air mata kami tercurah, tumpah tak terbendung. Kami merasa terlalu cepat Ibu meninggalkan kami.
Saya teguhkan hati, sekuat-kuatnya. Saya sadari, saya harus melanjutkan memimpin doa. Kami panjatkan doa bersama.
“Allaahummaghfirlaha, Warhamha, Wa'aafihii Wa'fu Anha Wa Akrim Nuzu Laha…”
“Wahai Allah, ampunilah Ibu kami, rahmatilah, bebaskanlah dan lepaskanlah dia, dan muliakanlah tempat tinggalnya…..”
Hingga doa usai, saudara kami yang bungsu tak mampu menahan emosinya. Tangisnya pecah. Air mata tak mampu dibendungnya. Kami coba kuatkan hatinya. Membimbingnya berjalan meninggalkan makam, dengan terus mengirimkan doa agar Ibu bahagia dialam sana.
Kami berjalan pulang dalam suasana senyap. Tak ada kata-kata yang terucap diantara kami. Masing-masing hanyut dengan perasaannya. Hanya doa yang terucap dari mulut kami…
Allaahummaghfirlaha…..