Selasa, 20 Desember 2016

BAHASA TANGIS

Bila kita ingin menyampaikan pesan kepada orang lain, banyak cara yang bisa digunakan. Cara yang paling umum adalah menyampaikannya dengan bahasa lisan. Namun terkadang, diam seribu bahasa justru lebih ampuh untuk menunjukkan sikap daripada rentetan kata-kata.
Demikian pula bahasa untuk mengungkapkan rasa cinta, terkadang lirikan mata lebih mampu mengungkapkan lebih banyak makna daripada kata-kata indah. Tatapan mata yang menyala lebih mampu mengungkapkan rasa cinta kepada sang kekasih.
Bahasa lain untuk mengungkapkan pesan yang lebih dalam adalah bahasa tangis. Tangisan, selama ini dianggap sebagai sikap kekanak-kanakan, lemah dan teraniaya. Apakah anggapan itu benar?. Ternyata tidak. Manusia-manusia agung dalam sejarah banyak yang mencucurkan airmata. Banyak kisah-kisah para nabi dan tokoh-tokoh terkenal yang acapkali menangis mencucurkan air mata.
Mari kita bertanya pada diri sendiri, kapan terakhir kita menangis? Lalu kenapa kita menangis?. Secara biologis, menangis tentu berguna untuk membersihkan mata dari kotoran-kotoran yang mengendap pada mata kita, cuci mata. Tetapi lebih dari itu, menangis memiliki keterkaitan dengan respons emosional manusia.
Kita akan menangis bila disakiti. Dalam keadaan tak berdaya untuk melawan tindakan-tindakan yang sangat menyakitkan hati, biasanya kita akan mengekpresikan perasaan itu dalam bentuk tangisan.
Dalam sedih karena kehilangan, apalagi kehilangan orang-orang yang berarti dan kita kasihi. Kematian tanpa tangisan justru dianggap aneh bagi sebagian orang. Bahkan terkadang tidak hanya manusia, kehilangan hewan kesayangan pun terkadang kepergiannya ditangisi.
Kita juga akan menangis ketika sedang merasakan kebahagiaan. Rasa bahagia yang meluap-luap seringkali tak mampu menahan cucuran airmata. Ketika hari perkawinan, kelahiran anak pertama atau ketika berhasil menyelesaikan studi, ketika itu airmata kebahagiaan selalu menghiasi momen-momen indah itu.
Bahasa tangis adalah ungkapan dari hati manusia yang paling dalam. Tangisan bersumber dari sesuatu yang terletak jauh didalam jiwa yang terkait dengan sumber spiritualitas manusia. Tangis yang tercurah karena penyesalan atas dosa-dosa yang telah dilakukan merupakan bagian dari nilai spiritual itu.
Tetapi jangan pula terkecoh, tangisan terkadang dijadikan modus tipuan. Seringkali tangis digunakan untuk mengundang simpati orang lain. Seseorang dapat saja menunjukkan penyesalannya untuk meringankan hukuman.
Tentu saja, kita akan dapat membedakan mana tangisan yang tulus dan mana yang modus…

SEMUA INDAH PADA WAKTUNYA

Beberapa hari lalu, sambil makan siang, saya dan dua orang rekan berbincang-bincang tentang kenangan ketika muda dulu. Masing-masing menceritakan tentang masa-masa sulit ketika menjalani awal-awal perkawinan.
Seorang rekan menceritakan bagaimana dia dipusingkan oleh keadaan dirinya, keadaan ekonomi yang masih belum sanggup untuk mecukupi kebutuhan dasar dalam keluarga. Ketika itu, istrinya tengah hamil tua dan segera memasuki masa melahiran. Masalahnya adalah dia tidak punya cukup uang untuk membiayai proses persalinan istrinya.
Ketika hari melahirkan itu tiba, perasaan bingung semakin memuncak. Apalagi, Bidan yang membantu persalinan menyatakan bahwa istrinya perlu perawatan khusus karena ada sesuatu hal dengan kesehatannya. Hal itu membuatnya semakin risau dan tertekan. Dicobanya menemui beberapa temannya yang keadaan ekonominya lebih baik, untuk memohon pinjaman uang. Namun semua teman yang ditemuinya tidak berpihak kepadanya.
Akhirnya kuasa Tuhan pulalah yang berlaku. Tak disangka tak diduga sebelumnya, datanglah seorang teman yang tidak perkirakan akan membantunya. Dibantunya perawatan istrinya hingga sembuh, tanpa pinjaman tanpa pengembalian…
Seorang rekan satunya juga menceritakan kisah pilunya. Ketika itu, dia masih menjalani kehidupan berumah tangga ditahun pertama. Tak ada cukup uang ditangannya untuk sekedar membayar sewa kamar kos selama satu bulan, apatah lagi untuk mengontrak rumah. Uang ditangannya hanya cukup untuk makan seadanya.
Kehidupannya akhirnya menumpang dirumah teman. Bila merasa sudah tak nyaman, maka berpindah menumpang ditempat teman satunya. Begitulah seterusnya. Hingga pada suatu hari, ketika teman yang ditumpanginya pulang kerja dan didapatinya dia sedang mandi, terdengar olehnya teman itu mengomel tentang dirinya. “Puas-puaskan mandinya, memangnya air itu tidak bayar?”, begitu didengarnya dari kamar mandi.
Dia merasa tidak enak sendiri. Dia merasa temannya tidak sungguh-sungguh ikhlas membantunya. Akhirnya dia pamit, keluar dari rumah itu tanpa tahu akan kemana lagi hendak menumpang tidur malam nanti. Akhirnya, kuasa Tuhan jugalah yang berlaku.
Ditengah kebingungan itu, datanglah seorang teman yang tidak sangka-sangka akan menolong. Diajaknya dia untuk tinggal dirumahnya, selama yang dia inginkan.
Hanya saya saja, yang tidak menceritakan keadaan sulit ketika awal-awal perkawinan dulu. Saya hanya sedikit bingung untuk memilih cerita mana yang hendak disampaikan, karena cerita sulit itu banyak sekali. Sehingga saya merasa tak perlu memilih salah satu diantaranya. Masa-masa sulit itu sudah banyak saya ceritakan, sudah banyak saya tuliskan.
Namun ada satu hal penting yang mereka sepakati, semua cerita itu tak lagi menjadi cerita sedih. Cerita memilukan itu kini menjadi indah bila dikenang. Cerita pilu itu hanya pilu ketika terjadi, namun kini cerita itu indah belaka. Cerita sedih masa lalu melahirkan rasa syukur yang besar atas nikmat yang dirasakan kini.
Kehidupan yang sulit melahirkan sikap kerja keras. Merasakan diabaikan akan melahirkan penghormatan. Keadaan berkekurangan melahirkan empati.
Jika hidupmu kini masih sulit, jalani dan syukuri saja. Semua akan indah pada waktunya…