Senin, 05 September 2016

ORANG SALAH KOK DIBELA!!

Untuk kesekian kalinya, saya mendapatkan pertanyaan tentang mengapa orang yang jelas-jelas bersalah kok masih tetap dibela oleh pengacara. Yang mengajukan pertanyaan seperti ini, biasanya dari kalangan masyarakat yang awam hukum. Pertanyaan yang sama juga sering saya terima dari para mahasiswa di ruang kelas mata kuliah umum.
Tayangan televisi yang menyiarkan persidangan kasus pembunuhan Mirna, dengan Terdakwa Jessica, semakin menguatkan pendapat masyarakat awam bahwa orang yang “jelas-jelas bersalah membunuh”, masih dibela mati-matian oleh pengacaranya.
Agar bisa memahami secara utuh mengenai hal ini, kita perlu memulainya dari memahami apa yang dimaksud dengan bersalah dari sudut pandang hukum. Untuk menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak, dalam kacamata hukum, tidak bisa didasarkan hanya pada asumsi-asumsi, dugaan, pendapat, maupun pemberitaan dari media.
Didalam ilmu hukum, dikenal asas “praduga tak bersalah” atau presumption of innocence. Asas ini menyatakan bahwa :
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Jadi, siapapun orangnya, wajib dianggap tidak bersalah dan tidak boleh dikatakan bersalah secara hukum, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan dia bersalah. Walaupun orang tersebut sudah ditangkap, ditahan dan dituntut atau dihadapkan dimuka pengadilan.
Persepsi atau opini publik, biasanya hanya memandang proses hukum dari sudut luarnya saja, tidak melihatnya secara utuh. Seringkali seorang tersangka atau terdakwa, langsung dikaitkan seolah-olah telah dihukum sebagai pelaku bersalah. Padahal orang itu masih dalam tingkat penyidikan atau masih menjalani proses persidangan. Belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan dia bersalah.
Selanjutnya, perlu dipahami pula secara kelembagaan terkait dengan sistem peradilan pidana. Dalam sistem penegakan hukum pidana, terdapat empat unsur Penegak Hukum, yang sering disebut sebagai “Catur Wangsa”, yaitu : Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat.
Polisi sebagai Penyidik, Jaksa sebagai Penuntut dan Hakim sebagai pemeriksa dan pemutus perkara. Ketiga unsur penegak hukum ini berada dalam posisi menjalankan tugas Negara sebagai representasi kepentingan umum. Ketiga unsur penegak hukum ini memiliki kewenangan yang sangat besar yang diberikan oleh Negara.
Sementara disisi lain, seorang Tersangka atau Terdakwa, berada dalam posisi yang tidak seimbang dalam menghadapi dakwaan dan tuntutan yang ditujukan kepadanya. Oleh karena itu, jasa seorang advokat atau pengacara diperlukan untuk menjadi penyeimbang, agar proses penegakan hukum berjalan dengan semestinya. Apabila tidak ada control dan penyeimbang ini, maka akan sangat rentan terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, jangan sampai seorang Terdakwa dihukum melebihi dari apa yang seharusnya dia terima.
Bagaimanapun, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum bukanlah kitab suci, yang terbebas dari kekeliruan dan kekurangan. Semuanya harus diuji dan dibuktikan didepan Hakim. Semua fakta harus diungkap di persidangan. Disinilah seorang Terdakwa, dengan bantuan Advokat, diberi hak dan kesempatan seluas-luasnya untuk membela diri.
Diakhir proses persidangan itu, jika Hakim meyakini bahwa Terdakwa benar-benar terbukti bersalah, maka Hakim akan menghukumnya. Sebaliknya, jika tidak terbukti, maka Hakim akan membebaskannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar