Selasa, 08 November 2016

PERJANJIAN PERKAWINAN

Memang secara hukum, harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama diantara mereka berdua. Seseorang wanita pengusaha sukses bertanya,
“Saya seorang pengusaha yang cukup berhasil, bisnis saya tumbuh pesat dengan keuntungan yang terus meningkat setiap tahun. Saya juga memiliki asset yang cukup besar. Oleh karena itu kalau saya menikah, saya tidak ingin bisnis saya menjadi milik berdua dengan suami saya. Apa bisa? Bagaimana caranya?”.
Bila hal itu diinginkan, maka cara yang dapat ditempuh adalah dengan membuat perjanjian perkawinan. Yakni perjanjian yang dibuat antara suami dan istri berkaitan dengan pemisahan harta benda masing-masing.
Dalam hukum perkawinan kita dikenal tentang perjanjian kawin. Meskipun tidak terlalu familier bagi masyarakat kita, tetapi berkaitan dengan perjanjian perkawinan ini telah diatur sejak lama. Pengaturan perjanjian perkawinan telah diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata peninggalan Kolonial Belanda. Pengaturan tentang perjanjian perkawinan kemudian dilanjutkan dalam Undang-Undang Perkawinan.
Salah satu aspek yang menyebabkan perjanjian perkawinan tidak terlalu familier dalam masyarakat adalah makna perkawinan yang sangat sakral dalam kehidupan masyarakat. Perkawinan tidak hanya berkaitan dengan soal hubungan keperdataan semata.
Lebih dari itu, perkawinan merupakan ikatan lahir bathin sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Kebahagiaan rumah tangga yang didasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada saat melakukan perkawinan, setiap pasangan suami istri tentu tidak menginginkan perkawinan mereka mengalami kegagalan. Kata-kata perpisahan tidak terbayang bagi mereka. Keduanya berniat untuk melanggengkan perkawinan mereka hingga aki-aki dan nini-nini.
Pada awalnya, eksistensi perjanjian perkawinan ini diakui apabila dibuat secara tertulis, sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Oleh karenanya, perjanjian perkawinan yang dibuat setelah kehidupan perkawinan berjalan, tidak dikenal.
Perkembangan terbaru tentang perjanjian perkawinan ini terjadi sejak putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015, yang dibacakan pada 27 Oktober 2016. MK mengabulkan uji materi terhadap ketentuan tentang perjanjian perkawinan dalam undang-undang perkawinan.
Berdasarkan putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan Perjanjian Kawin dibuat pada saat pasangan itu telah menjadi suami istri. MK menilai hal itu untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan.
Beberapa tujuan pembuatan Perjanjian Kawin antara lain untuk memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga harta kekayaan mereka tidak bercampur. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka bercerai, harta dari masing-masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama atau gono-gini.
Atas utang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam masa perkawinan mereka, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri. Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka tidak perlu meminta ijin dari pasangannya.
Begitu juga dengan fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak lagi harus meminta ijin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya (suami/istri) dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka.

TENTANG HARTA BERSAMA

Setiap pasangan suami istri tentu tidak menginginkan perkawinan mereka mengalami kegagalan. Ketika melangsungkan perkawinan dulu, mereka berniat untuk melanggengkan perkawinan mereka hingga aki-aki dan nini-nini.
Namun terkadang permasalahan yang datang, tak mampu dihadang oleh komitmen kebersamaan mereka. Perceraian yang dipilih, akan membawa dampak pada semua hal diantara mereka. Termasuk soal anak dan harta mereka.
Secara hukum, harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama diantara mereka berdua. Sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua belah pihak, apabila terjadi perceraian, maka masing-masing pihak isteri maupun suami berhak atas setengah atau seperdua dari harta bersama itu.
Pernah ada yang bertanya, “Bagaimana kalau istrinya juga bekerja?
Tidak masalah apakah suami yang bekerja atau keduanya bekerja, yang jelas secara hukum, harta yang diperoleh selama masa perkawinan mereka adalah harta bersama. Kedua belah pihak, suami dan istri, memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap harta bersama tersebut.
Dalam hal ini tentu ada beberapa pengecualian, yaitu harta bawaan masing-masing suami dan istri, tidak termasuk sebagai harta bersama. Demikian pula terhadap harta yang diperoleh masing-masing pihak selama perkawinan yang bersumber dari hadiah atau warisan. Harta yang bersumber dari hadiah atau warisan ini berada dibawah kekuasaan masing-masing pihak dan tidak termasuk harta bersama.
Perlakuan terhadap harta bersama ini, suami atau istri dapat melakukan tindakan atau perbuatan hukum terhadap harta tersebut bila ada persetujuan dari pihak pasangannya. Misalnya, perbuatan jual beli, tukar menukar atau hutang piutang terhadap harta bersama, hanya dapat dilakukan oleh suami bila ada persetujuan istrinya.
Berbeda dengan hal itu, terhadap harta bawaan atau harta yang bersumber dari hadiah atau warisan, masing-masing pihak mempunyai hak sepenuhnya dan dapat melakukan perbuatan hukum terhadap hartanya tersebut tanpa perlu persetujuan dari pasangannya.

MENGAJAK ANAK BERMAIN

Banyak orang tua yang mengeluh karena kesulitan untuk mengendalikan anaknya yang gemar bermain gadget. Biasanya anak-anak bila sudah memegang gadget akan sulit untuk disuruh belajar atau membantu membereskan pekerjaan di rumah.
Hampir semua anak memang begitu. Bila mereka sudah asyik bermain game atau asyik di media sosial, maka akan sulit untuk beralih pada kegiatan-kegiatan lain yang menekankan pada interaksi dengan orang lain.
Tetapi, mengapa anak-anak begitu sulit beralih dari gadget mereka?
Barangkali kita perlu mengevaluasi sikap kita selama ini. Apakah kita sudah benar dalam memberikan mainan kepada anak. Terkadang ada orang tua yang memberikan mainan gadget kepada anak yang masih kecil, tujuannnya agar anak dapat bermain dengan itu. Dengan begitu orang tuanya bisa sedikit terbebas dari kerepotan mengurus anaknya.
Ketika anak sudah mulai tumbuh besar, anak-anak itu sudah terbiasa dan asyik bermain dengan gadgetnya. Pada saat itu terjadi, orang tua justru mengeluh dan menyalahkan anaknya.
Satu hal yang perlu kita tanyakan kembali adalah seberapa dekat kita dengan anak-anak kita. Sudah intensifkah komunikasi kita dengan mereka. Ketika hari libur diakhir pekan, apakah waktu kita lebih banyak dihabiskan dengan mereka atau justru lebih banyak kita habiskan waktu dengan memuaskan hobi kita sendiri.
Seberapa sering kita mendampingi mereka belajar. Bila mereka kesulitan dalam mengerjakan PR-nya, seberapa sering kita mengajari mereka dan membimbing mereka.
Mari kita ingat-ingat, pernahkah kita mengecat rumah? Ketika kita sedang mengecat rumah, biasanya anak-anak akan meminta ikut mengecat bersama kita. Lalu, apa jawaban kita ketika anak-anak ingin membantu pekerjaan kita?. Lebih banyak dari kita yang melarangnya dan menyuruh anak-anak bermain atau hanya melihat saja. Alasan kita biasanya adalah ini adalah pekerjaan orang dewasa bukan untuk anak-anak.
Sesungguhnya, bila kita ajak mereka untuk mencoba mengecat sebentar saja, saya yakin, tidak sampai lima menit lamanya, anak-anak itu pasti sudah akan puas dan menghentikannya. Anak-anak hanya ingin mencoba sesuatu yang baru, mereka ingin merasakan apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Tetapi kita justru yang melarangnya, kita yang mematikan rasa penasarannya.
Jika kita bersabar sedikit saja, tentu anak-anak itu akan dengan senang hati membantu pekerjaan kita ketika mereka sudah besar nanti.
Begitulah, sebenarnya kita sendirilah yang mengajarkan dan mencontohkan apa yang kita keluhkan terhadap anak-anak kita itu.
Salah satu cara atau strategi agar anak-anak tidak terlalu terikat dengan gadgetnya adalah dengan mengajaknya bermain atau mengajaknya mengerjakan pekerjaan rumah bersama. Lupakan kata-kata perintah, gantilah dengan ajakan.
“Ayo… kita naik sepeda bersama”, atau
“Yuk… kita mencuci motor bersama”.

ORANG TUA YANG BERUBAH

Beberapa waktu lalu, saya ngobrol dengan seorang ibu yang memiliki seorang anak laki-laki. Anaknya diterima di sekolah SMA negeri di kota, yang berjarak sekitar empat puluh kilo meter dari rumahnya. Tak ada pilihan, selain harus hidup terpisah dan kos di kota.
Sebenarnya tidak ada masalah bagi anaknya untuk hidup mandiri terpisah dari orang tuanya. Masalah justru ada pada ibunya. Ibunya tidak mampu menahan kerinduan berpisah dengan anak semata wayangnya itu. Jadilah, tiap dua hari sekali si ibu mengunjungi anaknya di tempat kosnya.
Karena terlalu sering dikunjungi oleh orang tuanya, si anak merasa tidak enak juga dengan ibu kos dan teman-temannya. Akhirnya disepakati, ibu dan anak ini tidak bertemu di rumah kos, tetapi diluar, agar tidak terlihat oleh teman-temannya.
Ibunya menyadari, memang ada masalah dengan dirinya yang belum mampu melepas anaknya. Kebiasaan ibu yang selalu menyuapi anaknya setiap pagi sebelum anaknya berangkat sekolah, belum sanggup dilupakannya. Setiap hari, di rumah hanya berdua dengan suaminya. Rumah terasa sepi tanpa kehadiran anak.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, berpisah dengan anak adalah satu keniscayaan. Entah cepat atau lambat, anak akan menjalani kehidupannya sendiri. Begitu pula orang tua, akan menjalani kembali hidup berdua bersama pasangannya dan harus rela melepaskan semua anak-anaknya.
Bagi orang tua yang memiliki anak yang mulai beranjak dewasa, sering kali lupa bahwa anak-anaknya bukan lagi anak kecil yang harus mengikuti apa kemauan orang tua. Mereka masih memperlakukan anaknya sama dengan ketika mereka masih kecil dulu. Harus terlihat patuh dan menurut apa kata orang tua.
Sering kita lihat, orang tua yang selalu mendikte anaknya. Tidak memberinya pilihan, dan tidak melatihnya untuk mempertimbangkan dan menentukan pilihan-pilihan yang sesuai dengan keinginannya.
Biasanya, hal itu dilakukan dengan alasan agar anak tidak salah memilih atau agar anak tidak mengalami kesulitan sebagaimana orang tua dulu mengalaminya. Memperlakukan anak dengan cara melindunginya secara berlebihan akan berdampak kurang baik bagi anak.
Demikian pula bila anak tidak diajarkan menentukan pilihan atau dilatih mandiri untuk memutuskan sesuatu, akan mengakibatkan anak itu nantinya tidak mampu survive dalam kehidupan yang sebenarnya.
Ketika anak tumbuh, mulai dari bayi menjadi anak-anak, orang tua akan menikmati kehadiran seorang anak yang lucu dan menggairahkan kehidupannya. Kehadiran anak mampu menghilangkan rasa lelah setelah seharian bekerja keras mencari nafkah. Orang tua akan bangga bila anaknya menjadi anak yang patuh dan penurut. Orang tua pun akan menyebutnya “anak pintar” bila anak tidak pernah protes atau melawan pada orang tuanya.
Ketika anak kemudian tumbuh menjadi remaja, dia akan menjadi pribadi yang mandiri. Dia memiliki keinginan dan pendapatnya sendiri. Dia mulai punya cita-cita dan ingin menggapai apa yang diinginkannya. Pada saat yang sama, dia juga butuh penghargaan dan penghormatan sebagai pribadi dewasa, sebagai wujud eksistensinya.
Ketika itu yang dibutuhkannya bukan lagi ceramah dan perintah. Melainkan menjadi sahabat baginya, untuk selalu mendampingi dan menguatkannya saat menghadapi masa-masa sulit atau ketika dia lelah.
Orang tua tidak bisa lagi bersikap sama dengan sikapnya lima atau sepuluh tahun yang lalu. Anak-anak itu telah berubah, kita pun sebagai orang tua mesti berubah pula. Berubah menjadi lebih bijak dan arif.
Jadilah sahabat anak-anak kita…

KEBERSIHAN DAN IMAN

Sudah lama saya mengamati hal ini. Dulu, ketika mengantar anak ke sekolah, jalur perjalanan saya melewati dua jembatan besar. Hampir setiap pagi, saya lihat ada orang yang mengantar anaknya ke sekolah, berhenti sejenak di pinggir jembatan itu. Kemudian melempar bungkusan dari plastik kearah sungai. Saya menduga yang dibuang itu adalah sampah.
Sekarang saya sudah jarang mengantar anak ke sekolah. Rute perjalanan saya dari rumah langsung ke kantor. Rute ini juga melewati jembatan besar. Di jembatan yang saya lalui ini juga sering terlihat orang membuang sampah ke sungai. Bahkan petugas kebersihan dan tukang sampah juga pernah saya lihat melakukan hal yang sama.
Awalnya, saya menduga bahwa orang-orang yang membuang sampah ke sungai itu karena tidak mengetahui dampaknya, penyebabnya karena tingkat pendidikan rendah saja. Atau bisa juga dari kalangan kurang mampu secara ekonomi.
Tetapi dugaan saya keliru. Beberapa kali saya temui, orang yang membuang sampah di sungai justru menggunakan mobil bagus. Yang lebih sering lagi, orang-orang bermobil membuang sampah di jalan raya. Biasanya mereka membuang tissue, kulit buah, kantung makanan atau puntung rokok, langsung dilempar saja keluar kaca mobil.
Mereka ingin bersih dan wangi didalam mobilnya saja, tidak peduli dengan kebersihan lingkungan diluar. Mereka memang egois.
Ada yang lebih ekstrim lagi, ketika shalat Idul Fitri atau Idul Adha dilaksanakan di lapangan atau di jalan raya. Perhatikanlah setelah usai shalat. Akan terlihat lautan sampah, kertas Koran bekas yang digunakan sebagai alas untuk shalat ditinggalkan begitu saja. Tidak ada terpikir untuk membawanya kembali atau membuangnya ke tempat sampah.
Kalau ada yang mengingatkan, biasanya akan berkelit, “Nanti kan ada tukang sampah yang membersihkan”.
Begitulah, kebersihan belum menjadi bagian dari hidup kita. Belum menjadi karakter diri kita. Kalau pun ada yang sudah bersih, itu hanya untuk diri pribadi, mobil pribadi dan rumah pribadi. Sedangkan untuk lingkungan yang lebih luas, kita masih tidak peduli.
Kita tentu masih ingat ketika sekolah dulu, kita diajarkan bahkan disuruh menghafalkan “Kebersihan adalah bagian dari iman”. Bahkan kalimat itu telah menjadi slogan kebanggaan kita. Bahwa kita menjadi umat yang bersih dan selalu menjaga kebersihan.
Tetapi fakta mengatakan sebaliknya, kita belum mampu mewujudkannya. Ajaran itu belum berbekas dalam perilaku kita.
Kalau untuk mengamalkan yang sederhana saja kita belum mampu, apakah lagi yang lebih besar. Haaaahhhh….

DITENGAH KEBINGUNGAN

Akhir-akhir ini, kita disuguhi banyak pemberitaan baik di televisi, koran maupun di internet, tentang perbedaan tafsir ayat-ayat dalam kitab suci. Masing-masing kelompok bersikukuh dengan penafsirannya sendiri. Masing-masing juga menganggap bahwa penafsirannyalah yang benar dan penafsiran kelompok lain adalah keliru.
Memang, menjelang ajang Pilkada serentak pada Pebruari 2017, banyak sekali yang membawa-bawa kitab suci untuk dijadikan alat demi ambisi kepentingan politik diri pribadi dan kelompoknya. Termasuk didalamnya soal tafsir kepemimpinan dalam kayakinan agama.
Saya tentu tidak akan memasuki soal tafsir maupun keagamaan itu, karena saya tidak memiliki kemampuan dalam bidang itu. Saya hanya ingin bagaimana kita memposisikan diri sebagai masyarakat umum dalam melihat berbagai perbedaan pendapat yang muncul dalam masyarakat. Kemampuan kita dalam memposisikan diri ini sangat penting agar kita tidak terperosok kedalamnya karena ikut-ikutan.
Tidak sedikit masyarakat kita yang hanya ikut-ikutan mendukung satu kelompok tertentu, padahal dia tidak memahami persoalan yang sedang terjadi. Orang-orang seperti ini biasanya justru dijadikan alat untuk mencapai tujuan para elit pimpinan mereka.
Melihat dua sudut pandang yang berbeda ini, saya mendapatkan pandangan Almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam artikelnya dengan judul "right islam vs wrong islam", kemudian diulas oleh Luthfi Assyaukanie dalam buku berjudul “Islam Benar Versus Islam Salah”. Dalam artikel yang diterbitkan dalam Wallstreet Journal itu, Gus Dur mengajak kita untuk menggunakan akal sehat untuk menyikapi keadaan perseteruan dikalangan umat islam.
Menurut Gus Dur, sangat mudah dan sederhana untuk membedakan mana islam yang benar dan mana yang salah. Islam yang mendukung toleransi, perdamaian dan kebebasan adalah islam yang benar. Sedangkan, islam yang menggelorakan kekerasan dan teror, merupakan islam yang salah.
Ditengah kebingungan masyarakat yang mengikuti perbedaan penafsiran antara ulama-ulama islam tersebut, saya pikir kita perlu mengikuti cara sederhana ini. Kalau ulama-ulama itu mengemukakan pendapatnya dengan santun, damai dan dengan toleransi yang tinggi, maka ulama itulah yang mesti kita ikuti.
Namun, bila ada yang mengaku ulama, kemudian menyampaikan pendapatnya dengan penuh kebencian, menggelorakan kekerasan, mengancam dan kasar, maka ulama seperti itu adalah keliru, sehingga tidak perlu kita ikuti. Meskipun mereka itu mengatasnamakan islam.
Sebagai masyarakat awam, kita berpikir dengan sederhana saja. Kepada kita dulu pernah diajarkan bahwa kata “Islam” itu berarti damai atau perdamaian. Semua ajaran islam dan perilaku orang-orang yang mengatasnamakan semestinya mencerminkan makna dari kata islam itu sendiri.
Jadi, kalau ada ajaran atau perilaku yang mengatasnamakan islam, tetapi tetapi tidak sesuai dengan arti kata islam itu sendiri, tentu saja perilaku itu pasti keliru.

OLAH RAGA

Banyak alasan orang untuk berolah raga. Ada yang memang bercita-cita menjadi atlit profesional, ada yang berolah raga untuk membangun jaringan. Ada juga yang berolah raga untuk mencari hiburan atau refreshing. Tetapi sebagian besar orang berolah raga untuk menjaga kesehatan.
Kalau kita lihat di luar negeri, seorang atlet professional dapat menjadi kaya raya. Pemain bola, petenis, petinju dan pemain golf, mampu menduduki peringkat atlet terkaya dengan jumlah kekayaan yang luar biasa.
Kalau di Indonesia, kelihatannya masih jauh tertinggal. Bidang olah raga professional belum dapat dijadikan pilihan yang menjanjikan untuk sumber penghasilan utama untuk menyokong kehidupan. Pengurus organisasi olah raga justru bisa menjadi kaya dibandingkan dengan para atletnya yang bermain.
Bagi saya, olah raga adalah keahlian untuk pengembangan diri, memperluas akses pergaulan dan tentu saja untuk mendukung pertumbuhan fisik dan mental, terutama saat masih anak-anak. Disamping kemampuan berenang dan bersepeda, anak-anak harus aktif menekuni satu bidang olah raga yang diminatinya. Olah raga apa saja, yang penting belajar dan berlatih dengan teknik yang benar dibawah bimbingan pelatih.
Dulu, kami mencoba mencari-cari jenis olah raga yang disukai anak kami yang pertama. Dengan cara trial and error. Awalnya mencoba volley ball. Setelah mencari klub volley dan bergabung, ternyata olah raga ini tidak menarik baginya. Alasannya sederhana, bolanya terlalu besar dan berat. Padahal semua peralatan yang berkaitan dengan volley sudah dibeli semua.
Kemudian beralih ke beberapa jenis olah raga lain, pencak silat, renang dan akhirnya bertemu dengan tenis lapangan. Tenis lapangan termasuk olah raga yang agak sulit. Selain penguasaan tekniknya, juga karena ketersediaan fasilitas lapangan yang terbatas.
Kini, kami tidak lagi mencari olah raga yang lain. Kami sekeluarga telah bisa bermain tenis. Olah raga kami, selain berenang bersama, juga bermain tenis bersama.
Olah raga dapat menyatukan keluarga, menyegarkan dan menyehatkan....

MEMASAK SEDERHANA

Beberapa hari terakhir ini, di dunia maya beredar berita tentang adik Raffi Ahmad yang merasa banyak kemajuan selama menjalin hubungan dengan pacarnya. Salah satunya sekarang bisa masak telur ceplok. Sebelumnya, adik Raffi Ahmad ini sama sekali tidak bisa memasak.
Membaca berita seperti ini, bagi saya terasa aneh dan lucu. Saya membayangkan, barangkali orang seperti ini sejak kecil tidak pernah masuk ke dapur. Sampai-sampai, membuat telur ceplok saja baru bisa ketika umurnya sudah menginjak 22 tahun.
Atau mungkin, kehidupan orang-orang kaya itu memang begitu. Urusan memasak tinggal panggil pembantu,
“Bik, buatkan telur ceplok!!”, dalam hitungan menit, telur ceplok sudah datang dan siap santap. Mereka tidak merasa perlu mengajarkan kepada anak-anak untuk hidup mandiri, semua tinggal perintah, dan selesai.
Bagi saya, memasak sederhana adalah kemampuan dasar yang harus dikuasai untuk kemandirian dan pertahanan hidup. Oleh karena itu, anak-anak harus mampu melakukannya sedini mungkin. Pada saat usia anak-anak sekolah di sekolah dasar sudah harus bisa memasak yang sederhana, seperti telur ceplok tadi, memasak mi instan, menggoreng nugget atau membuat susu instan.
Mengajarkan memasak kepada anak, selain bermanfaat untuk melatih kemandirian anak, juga dapat melatih anak untuk menghargai dan mensyukuri makanan. Mengajarkan memasak kepada anak secara tidak langsung juga mengajarkan tentang bagaimana memilih makanan yang baik, kandungan gizi pada makanan yang pada akhirnya akan bermanfaat pada pertumbuhan anak menjadi dewasa yang sehat.
Yang paling penting, memasak adalah sesuatu yang mudah. Memasak dapat dijadikan sarana bagi keluarga untuk berinteraksi. Jadikan memasak menjadi kegiatan yang menyenangkan, penuh kemeriahan dan kreatifitas.
Suatu saat nanti, kebersamaan ketika memasak ini akan menjadi kenangan indah yang tak kan terlupakan. Tak terlupakan oleh anda dan anak-anak anda.
Mengajarkan memasak kepada anak, tidak sekedar membekali mereka menjalani hidup secara fisik dan mental saja. Lebih dari itu, juga mempersiapkan mereka secara emosi, sosial, bahkan spiritual.

MERENCANAKAN TINGGI BADAN

Sering kali ada yang bertanya bila saya berjalan dengan anak saya yang pertama,
“Tinggi sekali anaknya?, Ibunya pasti tinggi ya..?”.
Sebaliknya, bila berjalan dengan ibunya, lebih banyak lagi yang bertanya,
“Bapaknya pasti tinggi ya..?”.
Postur anak saya memang tinggi, jauh lebih tinggi daripada ibunya. Bahkan, sedikit lebih tinggi daripada saya, bapaknya. Begitu pula dengan anak kedua, tingginya hampir sama dengan ibunya.
Sejak awal, kami memang “menargetkan” tinggi badan anak-anak kami, setidak-tidaknya sama dengan tinggi badan saya. Tentu bukan tanpa alasan kalau kami merencanakan tinggi badan untuk anak-anak kami. Setidaknya, postur badan yang tinggi akan meningkatkan rasa percaya diri pada anak. Meskipun, bukan berarti kalau yang tidak tinggi, mesti kurang percaya diri.
Alasan lainnya adalah untuk membekali anak-anak dalam pemenuhan persyaratan bila ingin menekuni profesi tertentu, yang mensyaratkan tinggi badan minimal. Misalnya, bila anak ingin menjadi seorang pramugari, tentu ada syarat minimal tinggi badan.
Demikian pula bila ingin menjadi perwira polisi atau TNI. Tentu sangat disesalkan bila keinginan anak untuk menekuni profesi yang akan dipilihnya, kemudian terhambat oleh kurangnya tinggi badan.
Kami memahami bahwa, tinggi badan seseorang akan ditentukan oleh dua hal, yaitu faktor keturunan dan faktor asupan nutrisi.
Tidak banyak yang dapat kita lakukan berkaitan dengan faktor keturunan atau genetik ini. Kita tidak dapat memilih untuk dilahirkan oleh siapa, kapan dan dimana. Kita juga tidak dapat memilih untuk dilahirkan dari orang tua yang berbadan tinggi besar. Kita terima hal itu sebagai anugerah dari Tuhan yang maha kuasa, apa adanya tanpa perlu protes apalagi menyesalinya.
Bila secara genetik, kita diturunkan dari orang tua yang tidak terlalu tinggi, kita dapat berusaha dari faktor penentu kedua, yaitu faktor nutrisi.
Bila secara genetik kedua orang tua memiliki tubuh yang tinggi, tetapi anaknya tidak setinggi orang tuanya, maka hampir dipastikan ada masalah dalam pemberian asupan nutrisi pada masa pertumbuhannya.
Menurut ilmu “pernutrisian”, dikatakan bahwa tubuh yang diisi dengan asupan nutrisi yang lengkap dan seimbang dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan tinggi badan anak. Tentu asupan nutrisi yang lengkap dan seimbang ini harus diberikan sejak masih bayi secara terus-menerus hingga masa pertumbuhan tinggi badan berhenti. Nutrisi yang lengkap dan seimbang ini juga perlu dilengkapi dengan berolah raga yang teratur. Bila masa pertumbuhan ini terlewati, maka akan sulit mencapai tinggi badan yang ideal.
Pengaturan asupan nutrisi agar selalu seimbang inilah yang kami lakukan selama masa pertumbuhan anak-anak kami. Sejak anak kami masih kecil dulu, ketika masih makan nasi tim halus sebagai makanan pendamping ASI, saya bertugas menjadi penyacah daging. Setiap hari selepas solat shubuh, biasanya saya selalu membuat keributan didapur dengan menyacah daging hingga halus. Daging cacah itu untuk bahan campuran makanan pendamping ASI.
Hingga kini, ternyata tugas mencacah daging itu masih berlanjut. Bukan lagi untuk campuran nasi tim, tetapi untuk membuat patty, kesukaan anak-anak.

BENDUNGAN BATU BULAN

Suatu hari, Project Manager, pimpinan saya untuk proyek irigasi Beringin Sila Sumbawa, Pak Ir. Nurtejo Sasongko, mengatakan kepada saya,
“Pak Supi, besok kita akan mengikuti Pelatihan Pengenalan Sistem Manajemen Mutu dan Implementasi Prosedur, di Proyek Bendungan Batu Bulan”.
“Iya, Pak”, jawab saya singkat.
Selama ini saya hanya mendengar cerita, bahwa proyek pembangunan bendungan batu bulan adalah proyek yang sangat besar. Sebagai seorang surveyor topografi, saya membayangkan dapat bergabung dengan tim-tim survey yang besar dan hebat.
Bendungan Batu Bulan adalah bendungan terbesar di provinsi Nusa Tenggara Barat. Konon, bendungan ini yang terbesar kedua di Indonesia. Bendungan ini terletak di Desa Batu Bulan, Kecamatan Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa. Berjarak kira-kira delapan belas kilometer kearah timur dari Kota Sumbawa Besar.
Selepas acara pelatihan, sore harinya kami meninjau langsung ke lapangan. Yang kami kunjungi adalah proses pengerjaan timbunan.
Saya perhatikan, pekerjaan timbunan untuk bendungan tidak sesederhana yang dibayangkan. Prosesnya sangat teliti dan detil. Setiap tahapnya harus selalu diperiksa dengan teliti. Kualitas tanah timbunan, kelembaban tanahnya dan proses pemadatannya, menjadi perhatian yang sangat serius.
Memang, bendungan itu sangat besar. Pembangunannya direncanakan untuk mengairi lebih dari lima ribu hektar lahan pertanian.

TERLANJUR CINTA – LAGI

Ungkapan “terlanjur cinta” memang sering kali menjadi alasan pembenaran untuk tindakan seseorang yang mengalami kegagalan dalam berumah tangga. Pembenaran yang oleh kebanyakan orang dianggap tidak masuk akal.
Memang cinta itu tidak masuk akal dan membutakan mata dan logika.
Cerita berikut ini masih berkaitan dengan ungkapan “sudah terlanjur cinta”, tetapi dari sisi yang berbeda.
Seorang ibu muda menceritakan keadaan rumah tangganya, sambil menggendong anak keduanya yang masih bayi. Ada bekas luka dibibirnya. Pelipisnya terlihat memar berwarna kebiruan, bekas pukulan.
“Saya sudah tidak kuat lagi, Pak”. Katanya singkat, ketika saya tanya ada keperluan apa dengan kedatangannya. Saya coba bertanya lagi,
“Tidak kuat kenapa. Kenapa wajah Ibu kok lebam-lebam?
“Dipukul sama suami saya, Pak”.
“Lho, memangnya suami Ibu petinju?, saya bertanya dengan agak bercanda agar suasana tidak terlalu tegang.
“Bukan, Pak. Suami saya memang sering main pukul kalau sedang marah”.
“Ibu sudah berapa lama berumah tangga?”.
“Lebih lima tahun, Pak”.
“Sejak kapan suami Ibu suka memukul?”.
“Sejak kami menikah sudah sering main tangan, Pak. Kalau ada masalah sedikit saja, dia langsung emosi dan memukul saya. Bahkan, waktu saya hamil pertama sampai keguguran karena perlakuan suami saya”.
“Selama ini apa tidak pernah dilaporkan ke Polisi?”.
“Pernah Pak, tapi kemudian berhasil didamaikan”.
“Terus, sekarang maunya Ibu apa?”.
“Saya sudah tidak sanggup lagi, Pak. Lima tahun saya disakiti terus, saya coba bertahan. Sekarang saya sudah tidak kuat lagi, saya mau mengajukan cerai saja”.
“Dulu, sebelum menikah, apakah dia pernah memukul juga?”.
“Iya, Pak. Tapi saya pikir dia akan berubah setelah menikah. Ternyata malah menjadi-jadi”.
“Sejak awal Ibu sudah tahu kalau calon suami suka main pukul, tetapi Ibu tetap mau menikah dengan dia?”.
“Ya bagaimana lagi Pak, dulu saya sudah terlanjur cinta……..”.