Selasa, 08 November 2016

ORANG TUA YANG BERUBAH

Beberapa waktu lalu, saya ngobrol dengan seorang ibu yang memiliki seorang anak laki-laki. Anaknya diterima di sekolah SMA negeri di kota, yang berjarak sekitar empat puluh kilo meter dari rumahnya. Tak ada pilihan, selain harus hidup terpisah dan kos di kota.
Sebenarnya tidak ada masalah bagi anaknya untuk hidup mandiri terpisah dari orang tuanya. Masalah justru ada pada ibunya. Ibunya tidak mampu menahan kerinduan berpisah dengan anak semata wayangnya itu. Jadilah, tiap dua hari sekali si ibu mengunjungi anaknya di tempat kosnya.
Karena terlalu sering dikunjungi oleh orang tuanya, si anak merasa tidak enak juga dengan ibu kos dan teman-temannya. Akhirnya disepakati, ibu dan anak ini tidak bertemu di rumah kos, tetapi diluar, agar tidak terlihat oleh teman-temannya.
Ibunya menyadari, memang ada masalah dengan dirinya yang belum mampu melepas anaknya. Kebiasaan ibu yang selalu menyuapi anaknya setiap pagi sebelum anaknya berangkat sekolah, belum sanggup dilupakannya. Setiap hari, di rumah hanya berdua dengan suaminya. Rumah terasa sepi tanpa kehadiran anak.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, berpisah dengan anak adalah satu keniscayaan. Entah cepat atau lambat, anak akan menjalani kehidupannya sendiri. Begitu pula orang tua, akan menjalani kembali hidup berdua bersama pasangannya dan harus rela melepaskan semua anak-anaknya.
Bagi orang tua yang memiliki anak yang mulai beranjak dewasa, sering kali lupa bahwa anak-anaknya bukan lagi anak kecil yang harus mengikuti apa kemauan orang tua. Mereka masih memperlakukan anaknya sama dengan ketika mereka masih kecil dulu. Harus terlihat patuh dan menurut apa kata orang tua.
Sering kita lihat, orang tua yang selalu mendikte anaknya. Tidak memberinya pilihan, dan tidak melatihnya untuk mempertimbangkan dan menentukan pilihan-pilihan yang sesuai dengan keinginannya.
Biasanya, hal itu dilakukan dengan alasan agar anak tidak salah memilih atau agar anak tidak mengalami kesulitan sebagaimana orang tua dulu mengalaminya. Memperlakukan anak dengan cara melindunginya secara berlebihan akan berdampak kurang baik bagi anak.
Demikian pula bila anak tidak diajarkan menentukan pilihan atau dilatih mandiri untuk memutuskan sesuatu, akan mengakibatkan anak itu nantinya tidak mampu survive dalam kehidupan yang sebenarnya.
Ketika anak tumbuh, mulai dari bayi menjadi anak-anak, orang tua akan menikmati kehadiran seorang anak yang lucu dan menggairahkan kehidupannya. Kehadiran anak mampu menghilangkan rasa lelah setelah seharian bekerja keras mencari nafkah. Orang tua akan bangga bila anaknya menjadi anak yang patuh dan penurut. Orang tua pun akan menyebutnya “anak pintar” bila anak tidak pernah protes atau melawan pada orang tuanya.
Ketika anak kemudian tumbuh menjadi remaja, dia akan menjadi pribadi yang mandiri. Dia memiliki keinginan dan pendapatnya sendiri. Dia mulai punya cita-cita dan ingin menggapai apa yang diinginkannya. Pada saat yang sama, dia juga butuh penghargaan dan penghormatan sebagai pribadi dewasa, sebagai wujud eksistensinya.
Ketika itu yang dibutuhkannya bukan lagi ceramah dan perintah. Melainkan menjadi sahabat baginya, untuk selalu mendampingi dan menguatkannya saat menghadapi masa-masa sulit atau ketika dia lelah.
Orang tua tidak bisa lagi bersikap sama dengan sikapnya lima atau sepuluh tahun yang lalu. Anak-anak itu telah berubah, kita pun sebagai orang tua mesti berubah pula. Berubah menjadi lebih bijak dan arif.
Jadilah sahabat anak-anak kita…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar