Selasa, 08 November 2016

DITENGAH KEBINGUNGAN

Akhir-akhir ini, kita disuguhi banyak pemberitaan baik di televisi, koran maupun di internet, tentang perbedaan tafsir ayat-ayat dalam kitab suci. Masing-masing kelompok bersikukuh dengan penafsirannya sendiri. Masing-masing juga menganggap bahwa penafsirannyalah yang benar dan penafsiran kelompok lain adalah keliru.
Memang, menjelang ajang Pilkada serentak pada Pebruari 2017, banyak sekali yang membawa-bawa kitab suci untuk dijadikan alat demi ambisi kepentingan politik diri pribadi dan kelompoknya. Termasuk didalamnya soal tafsir kepemimpinan dalam kayakinan agama.
Saya tentu tidak akan memasuki soal tafsir maupun keagamaan itu, karena saya tidak memiliki kemampuan dalam bidang itu. Saya hanya ingin bagaimana kita memposisikan diri sebagai masyarakat umum dalam melihat berbagai perbedaan pendapat yang muncul dalam masyarakat. Kemampuan kita dalam memposisikan diri ini sangat penting agar kita tidak terperosok kedalamnya karena ikut-ikutan.
Tidak sedikit masyarakat kita yang hanya ikut-ikutan mendukung satu kelompok tertentu, padahal dia tidak memahami persoalan yang sedang terjadi. Orang-orang seperti ini biasanya justru dijadikan alat untuk mencapai tujuan para elit pimpinan mereka.
Melihat dua sudut pandang yang berbeda ini, saya mendapatkan pandangan Almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam artikelnya dengan judul "right islam vs wrong islam", kemudian diulas oleh Luthfi Assyaukanie dalam buku berjudul “Islam Benar Versus Islam Salah”. Dalam artikel yang diterbitkan dalam Wallstreet Journal itu, Gus Dur mengajak kita untuk menggunakan akal sehat untuk menyikapi keadaan perseteruan dikalangan umat islam.
Menurut Gus Dur, sangat mudah dan sederhana untuk membedakan mana islam yang benar dan mana yang salah. Islam yang mendukung toleransi, perdamaian dan kebebasan adalah islam yang benar. Sedangkan, islam yang menggelorakan kekerasan dan teror, merupakan islam yang salah.
Ditengah kebingungan masyarakat yang mengikuti perbedaan penafsiran antara ulama-ulama islam tersebut, saya pikir kita perlu mengikuti cara sederhana ini. Kalau ulama-ulama itu mengemukakan pendapatnya dengan santun, damai dan dengan toleransi yang tinggi, maka ulama itulah yang mesti kita ikuti.
Namun, bila ada yang mengaku ulama, kemudian menyampaikan pendapatnya dengan penuh kebencian, menggelorakan kekerasan, mengancam dan kasar, maka ulama seperti itu adalah keliru, sehingga tidak perlu kita ikuti. Meskipun mereka itu mengatasnamakan islam.
Sebagai masyarakat awam, kita berpikir dengan sederhana saja. Kepada kita dulu pernah diajarkan bahwa kata “Islam” itu berarti damai atau perdamaian. Semua ajaran islam dan perilaku orang-orang yang mengatasnamakan semestinya mencerminkan makna dari kata islam itu sendiri.
Jadi, kalau ada ajaran atau perilaku yang mengatasnamakan islam, tetapi tetapi tidak sesuai dengan arti kata islam itu sendiri, tentu saja perilaku itu pasti keliru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar