Selasa, 25 Oktober 2016

TERLANJUR CINTA

Beberapa tahun lalu, seorang ibu bercerita tentang keadaan rumah tangganya yang berada diambang perpecahan.
“Begini Pak, saya baru menerima surat gugatan cerai talak dari suami saya”.
“Alasan dalam gugatannya apa?.
“Katanya sering terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami dan istri”.
“Selain itu, apa lagi?.
“Katanya, saya kurang menghormati dan menhargai suami”.
“Menurut Ibu, apa yang diceritakan suami Ibu dalam surat gugatan itu benar atau tidak?.
“Tidak benar Pak, selama ini keluarga kami baik-baik saja. Kalaupun ada perbedaan pendapat diantara kami, dapat kami selesaikan bersama. Bahkan, saya juga membantu suami untuk menambah penghasilan keluarga”.
“Sekarang, apakah Ibu masih tinggal bersama suami?.
“Sudah tidak lagi, tiba-tiba dia pergi meninggalkan saya dan dua anak saya sejak dua bulan yang lalu”.
“Menurut Ibu, kira-kira mengapa suami meninggalkan Ibu?
“Pasti karena ada wanita lain, Pak”.
“Mengapa Ibu berpikir begitu?.
“Karena dia sering punya pacar lain”.
“Dulu, perkawinan Ibu dengan suami, di jodohkan oleh orang tua atau pilihan sendiri?.
“Pilihan sendiri, Pak”.
“Pada waktu perkawinan, apakah suami Ibu juga punya pacar lain?”.
“Ada beberapa orang”.
“Meskipun pacarnya banyak, Ibu tetap mau menikah dengan dia?”.
“Ya bagaimana lagi Pak, saya sudah terlanjur cinta……..”.
*****
Begitulah, sebenarnya benih-benih perpecahan dalam perkawinan itu telah diketahui sejak awal, bahkan sejak perkawinan belum dilaksanakan. Ungkapan “sudah terlanjur cinta” biasanya menjadi alasan pembenaran yang mampu membutakan mata dan logika.
Celakanya lagi, banyak yang berharap pasangannya akan berubah setelah perkawinan.

BILA PERCERAIAN HARUS DIPILIH

Posting ini memang agak riskan dan sensitif. Saya sama sekali tidak menganjurkan untuk memilih jalur perceraian untuk menyelesaikan masalah rumah tangga. Tetapi bila berbagai cara telah ditempuh, akan tetapi tidak berhasil, jalur perceraian ini bisa dipilih sebagai alternatif terakhir.
Korban pertama dari pilihan menempuh jalur perceraian adalah anak. Anak akan kehilangan figur ideal yang menjadi panutan dan idolanya. Terlebih lagi bila masing-masing melibatkan anak dalam perselisihan antara suami istri. Seorang suami memberikan kesan tidak baik perbuatan istri kepada anaknya, begitu pula sebaliknya.
Disamping itu, Anak juga akan kebingungan untuk memilih, mau ikut siapa. Ayah atau Ibu?. Bahkan yang lebih krusial, bila terjadi perebutan hak pengasuhan anak antara suami dan istri.
Apapun keputusan yang akan diambil, hendaknya dipikirkan kembali dengan matang. Agar tidak timbul penyesalan dikemudian hari. Pilihan yang diambil mesti diputuskan dengan sadar dan tidak dalam keadaan emosional.
Sebagai orang yang menekuni bidang hukum, saya hanya memberi ruang yang berisi informasi berkaitan dengan pilihan-pilihan yang dapat diambil.
Perceraian adalah salah satu jenis perkara perdata, yang diawali dengan pengajuan gugatan. Bila perkawinan dilaksanakan berdasarkan tatacara menurut agama islam, maka gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama. Sedangkan untuk yang selain agama islam diajukan kepada Pengadilan Negeri.
Siapa yang mengajukan gugatan?. Pengajuan gugatan dapat dilakukan oleh salah satu pihak, boleh suami atau istri.
Perkara perceraian yang diajukan di Pengadilan Agama, berlaku acara khusus. Bila gugatan diajukan oleh istri, dinamakan “Gugatan Perceraian”. Sedangkan kalau diajukan oleh pihak suami, disebut “Permohonan Cerai Talak”. Hal ini didasarkan pada hukum islam yang mengatur tentang hak talak yang berada ditangan suami.
Oleh karena itu saya sarankan, sebaiknya berkonsultasilah terlebih dahulu kepada ahli hukum atau konsultan hukum, sebelum memutuskan untuk mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.

KECANDUAN GADGET

Banyak anak-anak yang menghabiskan waktunya dengan gadget, tanpa mempedulikan interaksi dengan sesama, termasuk dengan orang tua dan keluarga. Dimanapun mereka berada, gadget selalu dalam pegangannya. Bahkan dalam berkendaraan pun ada yang masih menggunakannya.
Anak-anak yang kecanduan gadget ini tidak lagi merasa nyaman untuk berinteraksi dengan orang lain, perilakunya sulit dikontrol, prestasi belajar menurun, susah menerima nasehat dan putus komunikasi dengan orang tua. Tidak jarang pula dapat merusak organ mata bila penggunaannya tidak benar.
Anak-anak seperti ini biasanya berasal dari orang tua yang kecanduan gadget pula. Karena terlalu asyik dengan gadgetnya, orang tua seperti ini tak lagi peduli dengan anaknya. Tak peduli dengan pelajaran sekolah anaknya bahkan tak peduli dengan kualitas asupan gizi dalam makanan anaknya.
Saya, juga anda, tentu tidak menginginkan hal itu terjadi pada anak-anak kita. Masing-masing kita tentunya punya cara dan strategi sendiri agar anak-anak tidak sampai kecanduan gadget.
Beberapa cara yang kami lakukan adalah, pertama, ajak anak untuk berkomunikasi. Hargai setiap pendapat maupun sikap anak. Dengarkan apapun yang diucapkannya dan jangan mengabaikannya.
Kedua, menjadwalkan kegiatan anak secara rutin dalam satu minggu. Kegiatan anak diluar jam-jam sekolah, harus ada setiap harinya. Baik kegiatan yang bersifat fisik, seni ataupun spiritual. Kegiatan yang padat akan membantu menghindarkan anak dari ketertarikan kepada gadget. Tetapi harus diingat, kegiatan yang dijadwalkan mestilah yang disukai oleh anak. Hal ini penting agar anak-anak dengan senang hati menjalaninya.
Ketiga, dampingi setiap kegiatan anak-anak, bila perlu ajaklah melakukan aktifitas tersebut secara bersama-sama. Misalnya kegiatan olah raga, berenang, bermain maupun memasak, dapat dilakukan bersama mereka.
Satu hal yang sangat penting dan mendasar berkaitan dengan penggunaan gadget ini adalah jangan memberikan gadget kepada anak yang belum cukup umur.

PERTENGKARAN

Umumnya, bila antara suami dan istri sering bertengkar, keluarga ini akan dianggap sebagai keluarga yang kurang harmonis. Apalagi bila pertengkaran itu tidak menyangkut masalah-masalah yang prinsip.
Tetapi ada juga yang menganggap bahwa pertengkaran dalam rumah tangga itu laksana bumbu dalam masakan. Terlalu banyak bumbu akan menyebabkan masakan jadi rusak. Sebaliknya, tanpa bumbu sama sekali, masakan akan menjadi hambar, tak ada rasanya.
Pertengkaran timbul biasanya karena harapan yang tinggi terhadap pasangannya. Tetapi sayangnya harapan itu tidak dapat diwujudkan oleh pasangannya.
Pertengkaran dalam rumah tangga yang usia perkawinannya masih muda, dibawah sepuluh tahun, biasanya lebih ekspresif dan meledak-ledak. Hal ini dapat dipahami karena ego masing-masing pihak masih tinggi. Pertengkaran masih dianggap wajar, jika tidak sampai terjadi kekerasan fisik. Apabila ini terjadi, maka sudah masuk pada perbuatan pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Bila pertengkaran masih meledak-ledak, sedangkan usia perkawinan sudah lebih dari dua puluh tahun, berarti ada yang masalah pada kepribadian pada salah satu atau keduanya. Dan ini harus dicarikan solusi secepatnya, karena dalam kondisi gawat darurat…
Pertengkaran juga masih dalam batas wajar apabila tidak sampai mengarah pada perceraian. Kata perceraian menjadi “momok” yang menakutkan bagi niat suci untuk membangun sebuah keluarga. Walaupun perceraian adalah perbuatan yang halal, namun pilihan itu dibenci oleh Tuhan. Pernyataan itu menghendaki kita untuk menjadikan perceraian sebagai pilihan terakhir.
Dari segi hukum, memang pertengkaran yang terjadi antara suami istri dapat menjadi alasan untuk mengajukan perceraian. Tentu saja bila pertengkaran itu terjadi secara terus-menerus dan sulit untuk didamaikan.
Salah satu sisi positif dari pertengkaran dalam keluarga, dalam kadar tertentu, adalah seseorang menjadi tahu apa yang diinginkan dan tidak diinginkan pasangannya.

MEMILIH SEKOLAH, MEMILIH LINGKUNGAN

Suatu hari, istri saya bercerita tentang seorang teman yang sedang galau. Galau karena kehabisan akal dalam menasehati anaknya agar mau kuliah. Secara ekonomi, keluarga ini berkecukupan. Tidak ada masalah dengan keuangan. Anaknya tidak ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dia justru berencana akan bekerja saja setelah lulus sekolah. Saat itu masih sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan.
Sekolah Menengah Kejuruan memang dirancang untuk menghasilkan lulusan yang terampil dan siap kerja. Di sekolah kejuruan diajarkan keahlian-keahlian khusus tertentu sesuai dengan jurusan masing-masing yang akan menjadi modal mereka setelah lulus. Oleh karena dirancang untuk siap kerja, tentu saja orientasi para siswa setelah lulus nanti adalah bekerja. Termasuk obrolan-obrolan antar siswa tentu juga berkaitan dengan rencana kerja mereka. Sedikit sekali, kalau tidak ingin mengatakan tidak ada sama sekali, yang merencanakan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
Saya berfikir, kesalahannya ada pada saat memilih sekolah. Jika memang berencana akan melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi, mestinya masuk ke sekolah umum saja, bukan sekolah kejuruan.
Cerita dari sekolah lain, sering kita dengar para orang tua yang mengeluh tentang sekolah anaknya. Kalau dirumah anaknya sulit sekali disuruh belajar. Maunya keluyuran bersama teman-temannya, atau bermain gadget terus-terusan sampai lupa waktu, lupa makan dan lupa kewajiban yang penting : belajar.
Saya termasuk orang tua yang agak beruntung. Anak saya sekolah di SMA yang menurut banyak orang di tempat saya adalah sekolah favorit. Lebih beruntung lagi, karena masuknya melalui jalur prestasi, tanpa perlu mengikuti tes seleksi. Tetapi, bukan prestasi akademik, justru olahraga.
Tidak dapat dipungkiri bahwa disiplin yang diterapkan di sekolah, sedikit banyak, akan mempengaruhi perilaku, semangat belajar dan pola pikir anak. Tentu saja, kita tidak dapat mengandalkan disiplin sekolah saja, tanpa menerapkan disiplin di rumah.
Saat ini, kami tidak lagi direpotkan dengan masalah-masalah belajar anak. Seperti menyuruh belajar, mengingatkan untuk mengerjakan tugas, dan lainnya. Malah kami seperti menjadi teman diskusi tentang topik-topik aktual yang menjadi tugas atau pekerjaan rumah.
Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah kita dapat menarik benang merah dari bebrapa cerita diatas, yaitu berbeda sekolah akan berbeda pula lingkungannya, baik lingkungan akademik maupun sosialnya. Perbedaan yang pada akhirnya akan menghasilkan pola pikir yang berbeda pula.
Saya bisa memahami mengapa banyak orangtua yang seakan berlomba-lomba untuk mendaftarkan anaknya di sekolah-sekolah yang dianggap favorit. Sekolah-sekolah favorit atau unggulan, lebih menekankan pada disiplin, semangat belajar yang tinggi dan penuh kreatifitas.

MENEMUKAN BAKAT

Ada beberapa orang tua yang beruntung, karena dapat mengenali bakat anaknya sejak dini. Salah satu contohnya adalah bakat Canho Pasirua (12 tahun), seorang pianis cilik yang berasal dari Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Anak ini mewakili Indonesia dalam kompetisi internasional Seni Pertunjukan yang diadakan di Amerika Serikat.
Sebagai orang tua, tentu kita ingin anak kita menunjukkan bakatnya sejak usia dini. Dengan begitu kita dapat membina dan mengembangkannya.
Bakat atau talenta, merupakan kemampuan alami sebagai anugerah Tuhan yang diberikan kepada seseorang, yang berfungsi sebagai penyokong alamiah bagi yang memilikinya. Kita dan anak-anak kita tentu mempunyai bakat masing-masing. Tugas kita sebagai orangtua adalah menemukan dan mengembangkannya.
Masalahnya, kebanyakan dari kita tidak berhasil menemukannya. Hal ini disebabkan karena kita tidak tahu bagaimana cara untuk mengetahui apa sebenarnya bakat kita. Boleh jadi, bakat kita sebenarnya sudah muncul, tetapi kita tidak segera mengetahui dan mengembangkannya.
Sebagian besar dari kita, kalau ditanya, “Apa bakatmu?”, pasti akan menjawab, “Tidak tahu”. Jawaban ini tentu tidak mengada-ada. Banyak dari kita memang tidak mengetahuinya.
Tugas berat kita adalah menemukan bakat itu. Saya sendiri, hingga saat ini masih belum berhasil menemukan apa bakat anak saya. Meskipun sudah banyak kegiatan yang dilakukan untuk merangsang timbulnya bakat, namun kelihatannya tanda-tanda itu belum nampak.
Saya mencoba mencari referensi tentang penemuan bakat sejak dini. Secara umum dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui bekat anak adalah dengan mengamati hal-hal berikut : pertama, apa yang dapat dilakukan dengan mudah oleh anak kita, sementara oleh anak lain dianggap sulit. Kedua, ada ketertarikan anak untuk melakukan kegiatan itu dan ketiga, sesuatu yang sering dibicarakan atau menarik untuk dibicarakan oleh seorang anak.
Tips-tips diatas terlihat sangat sederhana. Tetapi tidak semudah itu dalam kenyataannya. Anak-anak seringkali tidak dapat dengan mudah melakukan suatu hal, tidak tertarik terhadap kegiatan apapun, dan tidak menarik untuk membicarakan sesuatu. Kegiatan-kegiatan olahraga dan seni, sudah banyak diikuti, namun belum menarik perhatian anak terhadap salah satunya.
Selain itu, anak-anak juga sudah disibukkan oleh beban-beban pekerjaan rumah yang bersifat akademik dari sekolah, sehingga tidak ada waktu lagi untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menumbuhkan kreatifitas dan bakat.
Bagi orangtua yang hingga kini belum menemukan bakat yang dimiliki anaknya, seperti saya, tidak usah terlalu cemas. Bakat memang penting tetapi bukan segala-galanya.
Satu hal yang lebih penting untuk dilakukan adalah menanamkan semangat belajar kepada anak. Belajar tentang apa saja yang menjadi minatnya. Belajar kepada siapa saja, kapan saja dan dimana saja.

BERENANG

Salah satu kemampuan dasar untuk pertahanan hidup adalah berenang. Tentu saja tidak hanya sekedar bisa berenang, tetapi berenang dengan teknik yang benar. Banyak orang bisa berenang secara alamiah, tanpa teknik berenang yang baik. Saya sendiri termasuk yang bisa berenang dengan cara otodidak ini.
Kalau kita lihat anak-anak di desa, sebagian besar mereka bisa berenang secara otodidak, tanpa pernah belajar khusus dengan guru renang. Mereka biasanya belajar sendiri dengan langsung menceburkan diri di sungai atau kolam.
Kami sekeluarga bisa berenang. Anak-anak dan ibunya bisa berenang dengan gaya dan teknik yang benar. Sedangkan saya, masih harus terus belajar kepada mereka. Kami memang ingin semua anak-anak bisa berenang dengan baik sejak mereka masih kecil. Selain karena berenang bagi kami adalah kebutuhan dasar untuk pertahanan hidup, juga agar mereka percaya diri untuk berenang di kolam renang.
Hal itu memang bukan tanpa alasan. Sering kali saya lihat di kolam renang, banyak anak-anak dan orang dewasa yang merasa malu dan tidak percaya diri untuk berenang di kolam renang umum. Terutama bila di kolam renang itu banyak orang yang bisa berenang dengan teknik yang baik. Saya tidak ingin hal itu terjadi pada anak-anak saya, sekarang maupun nanti ketika mereka dewasa.
Belajar berenang, bagi anak kami yang pertama, tidak terlalu menjadi masalah. Mendafatar kursus, mengikuti jadwal latihan rutin, dan selesai. Tidak ada hambatan berarti. Bahkan sempat akan mengikuti program intensif untuk atlit renang, tetapi karena timbul alergi dingin, akhirnya rencana itu tidak jadi dilanjutkan. Tetapi target utama untuk bisa berenang dengan teknik yang baik, sudah tercapai.
Untuk anak kami yang kedua, meskipun ada kendala diawal, namun akhirnya semua dapat berhasil dengan baik. Diawal, program latihan sempat tertunda sampai lebih dari satu tahun sejak pendaftaran. Meski begitu, kini dia telah mampu mengimbangi kakaknya, baik dari segi teknik maupun kecepatannya.
Sekarang ini, kalau kami berenang bersama di kolam renang, kami selalu berlomba siapa yang lebih cepat. Hasilnya, saya selalu di posisi paling belakang. Haaahhhhhhhh…..

NAIK SEPEDA

Kami cukup dibuat pusing dan khawatir ketika anak kami belum bisa naik sepeda. Padahal, ketika itu sudah kelas dua SD. Berbagai cara sudah dicoba, beberapa strategi belajar dan berlatih sudah dilakukan, tetap belum berhasil. Yang menjadikan lebih sulit lagi adalah tidak muncul semangat dari anak sendiri untuk mau belajar naik sepeda.
Bagi anak-anak lain, naik sepeda mungkin tidak menjadi masalah berarti. Ada anak yang belajar sendiri tanpa diajari, kemudia bisa lancar. Ada pula yang dibimbing oleh orangtuanya dengan cara memegangi bagian belakang sepeda, lama-lama menjadi lancar, kemudian dilepas.
Kami menyadari, setiap anak memang unik dan satu-satunya, tak ada duanya. Sehingga pendekatan pengasuhannya juga harus berbeda untuk tiap-tiap anak. Untuk anak pertama dulu, naik sepeda tidak menjadi masalah sama sekali. Hanya dibantu sebentar saja, setelah itu semua berjalan dengan lancar.
Dengan kesabaran yang ekstra dan berlatih terus menerus, akhirnya berhasil juga. Sukses bersepeda.
Ada sebagian orang tua yang menganggap naik sepeda tidak terlalu penting. Ada juga yang berfikir, nanti kalau sudah besar akan bisa dengan sendirinya. Meskipun faktanya, masih ada juga anak-anak yang hingga dewasa dan menjadi orangtua, tetap tidak bisa dan tidak berani naik sepeda. Keadaan ini tentu saja akan sangat merepotkan orang lain.
Naik sepeda, bagi kami adalah salah satu kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh anak. Selain memudahkan untuk belajar naik sepeda motor nantinya kalau sudah memenuhi syarat, juga agar anak-anak dapat melakukan banyak hal dengan mandiri. Seperti mengaji atau kegiatan lain yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah.
Ada beberapa kemampuan dasar yang menurut kami sangat penting untuk kemandirian dan pertahanan hidup, pengembangan diri dan spiritualitas. Kemampuan dasar untuk kemandirian dan pertahanan hidup diantaranya: bersepeda, berenang dan memasak sederhana.
Kemampuan untuk pengembangan diri yaitu bahasa asing dan seni, sedangkan untuk spiritualitas diantaranya kegiatan keagamaan.

BADAI

Tepat tengah hari, ketika saya berangkat dari kota Utan Rhee menuju pelabuhan Pototano, Sumbawa. Hari itu saya putuskan untuk pulang ke Mataram karena beban pekerjaan tidak terlalu banyak dan mendesak.
Utan Rhee adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Sumbawa Barat. Letaknya di jalur lintas antara Pelabuhan Pototano dan kota Sumbawa Besar. Pelabuhan Pototano sendiri adalah pelabuhan yang menghubungkan antara Pulau Sumbawa dan Pelabuhan Kayangan di Pulau Lombok.
Usai membeli tiket, saya langsung diarahkan untuk masuk ke dalam kapal. Penumpang masih terlihat sepi ketika saya masuk. Hanya ada beberapa sepeda motor, yang sudah tata rapi di bagian depan. Ada satu bus antar kota yang berada persis ditengah badan kapal.
Saya langsung naik ke ruang penumpang di bagian atas. Disana pun tampak lengang. Saya mencari tempat duduk yang agak nyaman untuk menikmati pemandangan laut. Terdengar suara klakson kapal sebagai pertanda kapal akan berangkat. Meskipun penumpangnya hanya sedikit, kapat ini tetap berangkat, karena waktunya telah tiba.
Cuaca terlihat cerah, ketika kapal mulai bergerak meninggalkan pelabuhan. Tak ada kekhawatiran sedikitpun dalam hati saya berkenaan dengan perjalanan laut ini. Barangkali karena sudah terbiasa. Perjalanan laut dari Sumatera ke Jawa, Jawa Bali, Bali Lombok dan Lombok Sumbawa, sudah sering saya lakukan. Biasa saja.
Menjelang setengah perjalanan, cuaca berubah. Langit mulai gelap karena gumpalan-gumpalan awan hitam menutupi cahaya matahari. Hujan mulai turun, anginpun mulai terasa bertiup agak kencang. Saya yang tadinya duduk di kursi paling ujung sebelah kanan, pindah agak ke tengah. Saya lihat penumpang lain juga melakukan hal yang sama.
Ombak laut mulai terasa menghantam kapal. Sedikit-demi sedikit hantamannya semakin keras. Saya menoleh kearah Nakhoda kapal yang tengah mengendalikan arah kapal menyesuaikan dengan gelombang yang datang. Terlihat masih tenang, dengan konsentrasi tinggi.
Hujan turun semakin deras. Gelombang laut semakin besar mengombang ambingkan kapal. Penumpang satu demi satu mulai bergerak kearah tempat penyimpanan pelampung. Sambil terus berpegangan pada tiang-tiang kapal. Saya pun tak mau ketinggalan, pelan-pelan bergerak kearah pelampung itu dan mengambilnya satu. Dengan cepat saya kenakan, sambil berpegangan pada tiang.
Tiba-tiba, kapal serasa meluncur dari ketinggian. Dada terasa berdesir seperti melayang diudara. Saya menoleh ke sisi kanan kapal, saya terkejut, terlihat permukaan air laut lebih tinggi daripada badan kapal. Lalu kapal terangkat tinggi di puncak gelombang.
Tak lama kemudian, gelombang itu menghantam dinding kapal dan “Byurrrr….”, hantaman air laut itu membasahi lantai kapal hingga ke tengah, tempat para penumpang berkumpul. Tak cukup sekali, hantaman itu kembali berulang-ulang.
Sebagian penumpang terlihat berdoa dengan khusuk. Sebagian lagi melantunkan zikir, sambil sesekali meneriakkan takbir “Allahuakbar”, ketika gelombang datang menghantam. Suasana tegang sangat terasa. Tetapi untungnya, tidak ada penumpang anak-anak. Sayan membayangkan seandainya ada penumpang anak-anak, pasti keadaan akan lebih pani dan kacau karena jerit tangis anak-anak itu.
Saya hanya terdiam, sambil berzikir dalam hati, mengingat kebesaran Allah SWT. Saya teringat akan firmannya,
"Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur." (Q.S. Yunus : 22)
Sekali lagi, saya melihat kearah Nakhoda, dia terlihat cukup kerepotan mengendalikan arah kapal. Kemudi kapal, sebentar diputar ke kiri sebentar ke kanan, mengikuti arah gelombang yang datang. Saya perhatikan arah kapal ini tidak lagi lurus ke depan, tetapi menyerong kearah kanan. Menyerong agak jauh. Saya menduga hal ini merupakan strategi Nakhoda untuk menghindari terjangan gelombang.
Seperti kata pepatah, tak selamanya badai terus menghantam. Badai pasti berlalu. Perlahan-lahan ketegangan para penumpang mulai berkurang, seiring dengan meredanya gelombang yang datang. Cuaca mulai terlihat agak terang, seiring dengan tampaknya dermaga pelabuhan kayangan dimana kapal akan bersandar, tak lama lagi.
Saya lihat jam dinding di depan ruang penumpang. Saya ingat-ingat jam berapa kapal tadi mulai meninggalkan pelabuhan Pototano. Lebih dua setengah jam, kapal itu diombang-ambingkan gelombang. Perjalanan yang biasanya hanya satu jam atau lebih sedikit saja, hari itu ditempuh dua kali lipatnya. Tetapi bagi kami, waktu itu terasa lama sekali. Sangat lama.
Tak lama berselang, kapal sudah merapat di dermaga. Satu persatu, penumpang turun dari lantai dua menuju kendaraan masing-masing. Di lantai bawah, tempat kendaraan diparkir, masih basah oleh air laut. Disudut-sudutnya masih terrlihat air yang menggenang. Dengan perasaan terkejut, saya lihat bus antar kota itu. Tadi, ketika berangkat berada persis ditengah kapal, tetapi sekarang sudah bergeser menempel sisi kiri dinding kapal.
Dengan perasaan penuh syukur, saya naik kedalam bus itu. Tak henti-hentinya, dalam hati memuji kepada Sang Maha Pemurah,
“Alhamdulillahrabbil’alamiin”.
“Badai Pasti Berlalu”

DALAM SEBUAH DISKUSI

Percakapan dalam sebuah diskusi.
“Mengapa minuman keras tidak dilarang saja, Pak?. Kan sudah jelas, minuman keras itu dapat membawa dampak buruk bagi manusia. Minuman keras juga diharamkan dalam Islam”.
“Iya, memang benar. tetapi, tidak semua penduduk Indonesia beragama Islam, kan. Yang beragama lain, belum tentu mengharamkan minuman keras. Kedua, selain banyak mudharatnya, minuman keras juga ada manfaatnya. Jadi, yang diperlukan adalah pengaturan peredarannya, bukan pelarangan”.
“Bagaimana kalau anak bapak bergaul dengan temannya yang minum minuman keras, apa bapak tidak melarangnya?”.
“Saya akan melarangnya bergaul dengan mereka yang minum minuman keras”.
“Apa bapak tidak khawatir anak bapak terjerumus dalam lingkungan mereka, kalau tidak ada larangan minuman keras?.
“Sebagai orangtua, saya akan melarang anak saya minum minuman keras, karena secara moral maupun agama yang saya anut, melarangnya. Tetapi saya tidak memerlukan larangan dari pemerintah untuk melarang anak-anak yang berada dibawah perlindungan saya. Larangan dari Tuhan sudah cukup bagi saya”.
“Oh, begitu ya, Pak?”.
“Iya, kalau kepada larangan Tuhan saja berani membangkang, apalagi kepada larangan yang dibuat oleh manusia”.
“Tetapi kalau dilarang sekalian kan lebih aman pak?”.
“Itu sama saja dengan kita meminta kepada Tuhan, agar semua setan dan iblis dilenyapkan dari muka bumi ini, agar semua manusia aman dari godaannya”.

Kamis, 13 Oktober 2016

LINTAH

Ada medan survey yang paling berat yang pernah saya rasakan selama hampir sepuluh tahun lamanya pekerjaan itu saya geluti. Medan itu adalah rawa-rawa.
Penyebabnya karena dua hal, pertama, karena struktur permukaan tanah yang tidak stabil. Peralatan ukur tanah, baik Theodolith maupun Waterpass, keduanya memerlukan struktur landasan yang kokoh agar dapat beroperasi dengan baik dan teliti. Medan rawa-rawa maupun tanah berlumpur, sangat sulit untuk menopang peralatan ukur dengan kokoh karena permukaannya yang selalu bergerak.
Penyebab kedua, karena di dalam rawa-rawa itu banyak sekali terdapat Lintah, makhluk penghisap darah. Lintah ini banyak terdapat di perairan rawa-rawa di Sumatera Barat, tempat saya bekerja dulu.
Anehnya, meskipun lintah ini menghisap darah kita hingga tiga kali ukuran tubuhnya, tetapi kita tidak merasa sakit sama sekali. Kita baru tahu kalau digigit lintah setelah keluar dari air dan melepas pakaian yang basah. Konon katanya didalam mulut penghisap lintah itu ada semacam zat anastesi yang dapat menghilangkan rasa sakit dikulit kita ketika dihisap darahnya.
Uniknya lagi, seekor Lintah tidak akan melepaskan gigitannya sebelum merasa puas dan kenyang.
Bekerja di medan rawa-rawa dan digigit lintah menjadi hal biasa sebagai seorang surveyor pemetaan. Kami tidak bisa memilih medan yang akan diukur. Jika menemui medan yang berawa-rawa, maka mau tidak mau, tetap harus dimasuki juga.
Untuk mengurangi gigitan lintah ini, biasanya, kami menggunakan obat tradisional, yaitu tembakau. Obat tradisional ini biasa digunakan oleh masyarakat yang tinggal di dekat rawa-rawa yang banyak terdapat lintah.
Caranya, sebelum masuk ke dalam air, masukkan segenggam tembakau kedalam kantung celana kiri dan kanan. Setelah terendam air, zat-zat dalam tembakau akan larut dan merembes ke permukaan kulit. Zat-zat yang ada dalam tembakau ini tidak disukai oleh lintah. Karena itu dapat membantu mengusir lintah yang mencoba mendekat dan akan menghisap darah. Walaupun begitu, tetap saja ada satu atau dua lintah yang berhasil menembusnya.
Bagi yang belum pernah melihat atau digigit lintah, yang perlu diketahui adalah lintah itu hidup di dalam air. Jika lintah yang menghisap darah itu tidak hidup di air, maka makhluk itu tidak termasuk jenis ini. Makhluk itu disebut Lintah Darat……..

BELAJAR BERNEGARA

Diskusi dengan para mahasiswa semester awal beberapa hari yang lalu, cukup mengesankan. Saya memang diberi tugas untuk memberikan materi Pendidikan Pancasila.
Sebagai umpan balik materi belajar, saya memberikan tugas kepada mahasiswa untuk membuat makalah kelompok tentang kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Salah satu kelompok dalam presentasinya, mengungkapkan bahwa kebijakan pelegalan minuman keras bertentangan dengan nilai Pancasila, khususnya Sila Pertama. Penduduk Indonesia yang sebagian besar menganut agama Islam ini, seharusnya dilarang mengkonsumsi minuman keras, karena dalam Islam meminum minuman keras adalah haram.
Pernyataan itu ditanggapi oleh kelompok lain, ada yang setuju, tidak sedikit pula yang menyanggah pendapat itu.
Yang membantah, menyatakan bahwa yang dilakukan oleh pemerintah sesungguhnya adalah pengaturan peredaran minuman keras. Konsumsi minuman keras dibatasi untuk kelompok masyarakat tertentu, misalnya dilarang dikonsumsi oleh anak-anak dibawah umur dan orang yang sedang menjalankan kendaraan bermotor.
Diakhir diskusi, saya sampaikan bahwa Negara kita ini didirikan bukan sebagai Negara agama. Tetapi, sebaliknya juga bukan Negara yang anti agama. Para pendiri Negara kita telah bersepakat untuk membangun Indonesia dengan dilandasi semangat kebersamaan dan kerukunan. Pembuatan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada pertimbangan rasional dengan memperhatikan semua elemen bangsa ini.
Minuman keras memang diharamkan dalam agama Islam, tetapi dalam agama lain belum tentu. Oleh karena itu yang dilakukan oleh pemerintah adalah pembatasan atau pengaturan, bukan pelarangan sama sekali.
Poin penting yang saya ingin sampaikan adalah kita perlu terus belajar bagaimana kita bernegara. dan hal itu kita ajarkan kepada anak-anak kita. Rasa saling menghargai dan menghormati sesama warga Negara yang berbeda dengan kita, baik suku, agama dan ras. Negara ini tidak hanya milik kita saja, tetapi juga milik suku, agama dan ras lain yang berbeda dengan kita.
Topik ini memang terasa klasik, tetapi sangat penting. Bila kita keliru dalam memahami dan salah dalam menerapkannya dapat berakibat fatal. Kesalahan yang dapat mengantarkan kita kedalam perpecahan.

BIMBINGAN BELAJAR

Banyak pakar pendidikan yang mengatakan bahwa beban pelajaran siswa sekolah kita terlalu berat. Apalagi bila dibandingkan dengan beban pelajaran sekolah di Negara-negara maju. Saya setuju dengan pendapat ini.
Sebaliknya, banyak sekali orangtua siswa yang menganggap beban pelajaran di sekolah justru kurang. Jam pelajaran sekolah yang dimulai pukul tujuh sampai dengan pukul satu siang itu, dianggap masih kurang. Karena itu, pelajaran harus ditambah diluar jam-jam pelajaran di sekolah.
Peluang ini dimanfaatkan dengan baik oleh lembaga-lembaga bimbingan belajar dan menjadi ladang bisnis yang sangat menguntungkan. Biaya belajar di lembaga bimbingan belajar ini tidak murah. Jadi tidak heran, kalau ada lembaga bimbingan belajar yang memiliki cabang sangat banyak, hingga di kecamatan.
Yang ironis adalah, ditengah sebagian masyarakat menuntut pemerintah untuk menerapkan pendidikan gratis, namun, disisi lain lembaga-lembaga bimbingan belajar justru kebanjiran peminat. Mereka berbondong-bondong mengikuti les bimbingan belajar karena menganggap pelajaran di sekolah masih kurang.
Saya tidak pernah mengikutkan anak saya di lembaga bimbingan belajar, meskipun anak meminta. Terkadang, anak-anak meminta sesuatu bukan karena dia membutuhkan, tetapi lebih karena ikut-ikutan atau karena diajak teman-temannya. Solusinya, khusus untuk materi-materi pelajaran tertentu yang kurang atau belum dipahami, pelajaran itu saja yang perlu ada tambahan pelajaran. Tidak semua mata pelajaran harus mengikuti bimbingan belajar.
Saya menganggap bahwa, yang paling mengetahui apakah pelajaran yang diberikan oleh sekolah itu sudah cukup atau belum, adalah pihak sekolah sendiri. Jika sekolah menganggap pelajaran belum cukup, maka biasanya akan dibuka pelajaran tambahan.
Ada yang mengatakan bahwa, bimbingan belajar itu penting sebagai pengganti belajar dirumah atau bisa juga untuk mengerjakan dan membahas tugas-tugas yang diberikan oleh guru dalam bentuk Pekerjaan Rumah (PR).
Untuk hal ini, saya menilai bahwa anak-anak justru terlalu mengandalkan guru lesnya untuk mengerjakan tugas-tugas itu. Ada permasalahan sedikit saja, anak-anak sudah bertanya pada guru lesnya. Hal ini membuat anak-anak menjadi tidak mandiri dan kurang mengeksplor kemampuannya.

BELANJA

Belanja untuk keperluan dapur, tidak harus repot-repot pergi ke pasar. Sekarang sudah banyak pedangang keliling yang menyediakan semua kebutuhan dapur. Sayuran, lauk pauk, bumbu-bumbu, sampai makanan yang siap santap, semua sudah tersedia dan diantar sampai di depan rumah kita. Pedagang keliling ini biasanya disebut welijo.
Di kompleks perumahan tempat tinggal saya, welijo ini sudah cukup banyak. Selain berkeliling, ada juga yang menggelar dagangannya di perempatanjalan. Sebelum azan subuh, dagangan sudah digelar, siap untuk melayani pelanggannya. Pelanggannya ibu-ibu, yang akan menyiapkan sarapan bagi anggota keluarga dan untuk bekal sekolah anak-anaknya. Jarang sekali terlihat anak-anak yang belanja.
Bagi sebagian orang, tidak mudah menyuruh anak-anak untuk belanja keperluan dapur. Apalagi bila anak-anak sudah mulai beranjak remaja. Mungkin mereka itu merasa malu atau malas kalau disuruh belanja keperluan dapur.
Saya pikir, keengganan anak-anak ini karena mereka tidak terbiasa. Barangkali, ibunya tidak membiasakannya untuk berbelanja sendiri atau tidak mengajaknya untuk belanja bersama. Juga tidak memberi pengertian bahwa belanja keperluan dapur itu juga untuk kepentingannya, selain untuk kepentingan bersama keluarga.
Hal demikian itu telah disadari oleh istri saya, jauh sebelumnya. Sebelum anak-anak beranjak remaja. Anak-anak sering diajak berbelanja bersama, baik belanja ke pasar maupun ke welijo. Karena kebiasaan ikut berbelanja keperluan dapur itu, anak-anak tidak lagi malu atau enggan kalau disuruh belanja oleh ibunya.
Seringkali saya dengar, selepas sholat subuh, anak-anak disuruh oleh ibunya belanja untuk persiapan sarapan.
“Wid, beli bayam, daging sama lombok!!.”
“Iya, buk, berapa?”. Jawabnya tanpa rasa enggan.
Tidak hanya menyuruh anak saya yang perempuan, anak kedua yang laki-laki juga tidak jarang disuruh belanja.
“Qi, beli tempe sama tongkol di welijo!”.
“Iya, buk”.

SHOLAT JUMAT

Selama ini, setiap hari jumat, menjelang waktunya sholat jumat, saya selalu berusaha untuk pulang ke rumah. Kemudian sholat jumat di masjid di kompleks perumahan tempat saya tinggal. Bukan karena saya menjadi takmir masjid, apalagi sebagai khatib dan imam sholat. Bukan pula karena saya memilih-milih siapa yang menjadi khatib dan imam. Bukan itu alasannya.
Alasannya adalah agar bisa mengajak anak saya sholat jumat bersama. Anak kedua saya laki-laki, sekarang sudah mulai tumbuh besar. Saya sadari, dalam masa-masa pertumbuhan seperti ini, anak-anak membutuhkan figur seorang bapak untuk mendampingi dan menjadi panutan baginya.
Setiap anak berbeda dengan anak lainnya. Masing-masing unik dan hanya satu-satunya. Kita tidak bisa menyamakan anak kita dengan anak lain, apalagi membanding-bandingkannya, meskipun dengan saudaranya sendiri.
Saya membutuhkan kesabaran yang lebih dari biasanya untuk mendampingi dan mengajak anak saya sholat jumat, sampai dia mau berangkat sendiri. Begitu pula untuk kegiatan-kegiatan yang lain, yang baru dicobanya.
Hari ini, adalah Jumat kedua saya tidak pulang ke rumah untuk mengajaknya sholat jumat. Setelah jumat minggu sebelumnya saya tidak dapat pulang karena suatu urusan, jumat hari ini saya sengaja tidak pulang.
Sore harinya, sepulang kerja, saya bertanya apakah tadi sholat jumat atau tidak. Dengan semangat dan bangga dijawabnya.
“Ya, iya lah…!!.
“Pergi dengan siapa?”.
“Ya pergi sendiri. Dengan siapa lagi?”.
“Berarti, mulai sekarang kalau sholat jumat nggak perlu nunggu Bapak ya…!”, saya mencoba meyakinkan bahwa sudah waktunya dia harus berangkat sendiri, tanpa perlu menunggu bapak.
Meskipun pulang jumat siang tidak menjadi pikiran lagi bagi saya, tetapi saya akan berusaha untuk tetap pulang sesekali untuk menemaninya sholat jumat.
Momen-momen itu sangat berharga bagi kita, karena tidak lama lagi akan tiba masanya, anak-anak tidak mau lagi ditemani oleh orang tuanya. Dia akan sibuk sendiri dengan dunianya.

MASJID SUNDA KELAPA

Dulu, ketika masih di Jakarta, saya menumpang di tempat tinggal saudara saya, Agung Prabowo, di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Itu terjadi lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Sekarang, saudara saya ini sudah hidup makmur bersama keluarga di Amerika.
Tidak jauh dari sana ada masjid besar bernama Masjid Agung Sunda Kelapa. Jaraknya hanya sekitar dua ratus meter saja. Setiap ada kesempatan, saya usahakan untuk sholat berjamaah di masjid ini. Selain karena jamaahnya yang ramai, masjid ini juga banyak mengadakan kegiatan keagamaan.
Setiap subuh, saya usahakan untuk rutin berjamaah. Yang menjadi pengalaman menarik, jalan yang dilalui dari rumah menuju ke masjid adalah tempat mangkalnya para pria gemulai yang sedang mencari pelanggan. Ketika berangkat atau pulang dari masjid, terkadang saya melewati kelompok mereka yang sedang mangkal.
Penampilan mereka menarik, dengan pakaian seksi dan rias wajah yang cantik. Tidak jarang saya pun digoda oleh mereka, dengan suaranya yang lebay gemulai.
“Haaay …. Mas……, habis sembahyang ya….?
Disapa oleh mereka seperti itu, saya hanya tersenyum dan menganggukkan kepala saja, tanpa berkata apa-apa. Ada sedikit kekhawatiran dan rasa takut dalam hati. Bagaimanapun, secara fisik mereka ini adalah laki-laki.
Kegiatan keagamaan di Masjid Sunda Kelapa yang pernah saya ikuti adalah pengajian ilmu agama. Yang menarik adalah, penceramahnya merupakan tokoh-tokoh penting dan terkenal. Tokoh yang sering muncul di televisi. Kalau biasanya saya mengikuti ceramah tokoh itu melalui televisi, saat itu saya mendengar dan melihat ceramahnya secara langsung. Dan itu menjadi kepuasan dan kebanggan tersendiri bagi saya.
Suatu ketika, sehabis sholat Isya, digelar acara semacam silaturahmi antara tokoh organisasi keagamaan. Saya tertarik untuk mengikuti. Dengan sabar, saya menunggu acaranya dimulai. Saya lihat jam dinding menunjukkan angka sembilan lebih, ketika acara dimulai.
Kesabaran saya menunggu ternyata tidak sia-sia. Dalam acara itu hadir tokoh-tokoh besar, antara lain, Gus Dur, Amin Rais, Nurkholis Madjid, Emha Ainun Nadjib, Yusril Ihza Mehendra, dan masih banyak yang lain. Ketika itu, kalau tidak keliru, Gus Dur masih menjadi ketua Nahdatul Ulama dan Amin Rais menjadi ketua Muhammadiyah.
Pada saat Gus Dur dan Amin Rais memasuki ruangan, para hadirin serentak melantunkan Sholawat Nabi. Dan saat keduanya bersalaman, para pengunjung bertepuk tangan dengan gemuruh. Sebagian mereka meneriakkan kata-kata, “Islah…., Islah….”. Saya yang saat itu masih muda, tidak mengerti apa maksud dari kata-kata itu.
Saya ikuti acara itu dengan penuh semangat dan antusias. Tak terasa waktu telah melewati tengah malam ketika acara ditutup oleh moderator. Saya pulang dengan perasaan senang dan bangga, karena baru saja bertemu dengan tokoh-tokoh dengan pemikiran yang cemerlang.
Satu hal lain yang menarik dari Masjid Sunda Kelapa adalah ketika usai sholat Jum’at. Seperti masjid-masjid lain, sholat jumat berjalan dengan khusuk dan lancar. Suasana berubah ketika imam sholat telah membaca salam sebagai tanda bahwa sholat sudah berakhir.
Sesaat kemudian, halaman masjid telah berubah menjadi pasar rakyat. Banyak sekali pedagang yang berjualan segala macam kebutuhan. Buku-buku, pakaian, makanan, mainan anak dan lain sebagainya. Suasana halaman masjid berubah, dari yang tadinya sunyi dan khusuk, berubah menjadi bising oleh suara pedagang yang menjajakan barang dagangannya.
“Mari…mari…., tiga sepuluh ribu…. Tiga sepuluh ribu…..”.

MEDIA SOSIAL

Media sosial, sebagaimana media-media lainnya, hanya merupakan wadah atau sarana untuk berkomunikasi. Sebagai wadah, media sosial tentu bersifat netral. Kitalah yang memberi warna media sosial itu. Bagaimana warna media sosial kita, dapat menunjukkan siapa kita dan bagaimana karakter kita dalam dunia nyata.
Hingga saat ini, media sosial yang saya gunakan hanya dua, Whatsapp dan Facebook. Whatsapp bagi saya sangat efektif untuk komunikasi antar sesama teman, baik pertemanan langsung maupun antar grup. Informasi yang diberikan akan langsung dapat diterima pada saat itu juga.
Banyak manfaat yang saya peroleh dari facebook. Dengan facebook, saya dapat terhubung kembali dengan teman-teman lama, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, yang rasanya mustahil terhubung kembali tanpa adanya media ini.
Dengan facebook pula, saya dapat menemukan teman-teman baru dari berbagai kalangan, mulai pengayuh becak hingga profesor. Mulai yang dekat tempat tinggalnya hingga yang jauh di benua lain, semua dapat terhubung dengan mudah.
Yang paling penting lagi, dengan facebook, saya dapat terus belajar. Terutama belajar menulis. Bagaimana tulisan dapat dipahami oleh orang lain yang membacanya. Saya tuliskan apa yang saya fikirkan, apa yang saya rasakan, apa yang saya harapkan dan apa yang bisa saya bagikan. Dengan menulis, secara tidak langsung saya juga dituntut untuk belajar.
Tulisan-tulisan itu nanti akan menjadi kenangan bagi saya. Bila ada yang membaca tulisan saya kemudian menyukai dan memperoleh manfaat darinya, saya sangat bersyukur. Namun bila tidak, tidak ada masalah bagi saya.
Bagi saya, bila saya sudah menulis, maka saat itu juga saya telah mengambil manfaat darinya. Setidaknya, saya telah belajar dan berlatih menulis.

ANGELIQUE

“Mas Supianto, sampean dipanggil Pak Slamet!”.
“Iya, Mas. Terima kasih”. Jawab saya singkat, ketika ada seorang teman memberi tahu bahwa saya dipanggil oleh Pak Slamet.
Ketika itu saya sedang berdiri diujung dermaga petikemas, yang berada diatas selat Madura. Menjorok ketengah laut sekitar dua kilometer dari pantai yang dihubungkan oleh jembatan lurus memanjang.
Mendapat panggilan itu, saya bergegas menemuinya dikantor yang terletak persis ditepi pantai berlumpur, bersebelahan dengan ujung jembatan dermaga.
“Maaf Pak, Pak Slamet memanggil saya?”. Tanya saya sesaat setelah mengetuk ruangan Pak Slamet.
Pak Slamet adalah Team Leader saya untuk paket proyek pengerukan, ketika masih bekerja sebagai surveyor pemetaan di Surabaya. Selain proyek pengerukan, ada juga paket proyek lain yang saya ikuti sebagai surveyor pengawas, pembangunan dermaga petikemas dan reklamasi.
“Iya Mas, sebentar lagi ada surveyor dari kontraktor akan melakukan pengukuran. Saya minta sampean mengikuti pengukuran sampai selesai”.
“Baik Pak”.
Kami memang dari tim konsultan pengawas, yang bertugas mengawasi pekerjaan kontraktor. Pengawasan dilakukan untuk memastikan bahwa pekerjaan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan standar yang ditentukan oleh pemilik proyek.
Rangkaian pekerjaan pengerukan laut, dimulai dari tahap pengukuran awal terlebih dahulu. Pengukuran pendahuluan ini berguna untuk mengetahui bagaimana bentuk permukaan tanah didasar laut sebagaimana adanya. Dari pengukuran awal ini, akan diperoleh gambar dan penampang dasar laut untuk didesain seberapa dalam pengerukan akan dilakukan. Dari gambar itu juga, dapat dihitung berapa meter kubik tanah yang harus dikeruk dari dasar laut.
Tahap kedua adalah proses pengerukan. Ada beberapa metode pengerukan yang saya perhatikan, tergantung pada jenis tanah yang ada di dasar laut yang akan dikeruk. Selain itu, kemana tanah hasil pengerukan itu dibuang, juga mempengaruhi. Apabila dasar laut berupa tanah berlumpur, pengerukannya cukup dengan meniup lumpur dengan compressor raksasa, agar lumpur tercampur dengan air laut, kemudian campuran lumpur itu hanyut bersama arus air laut.
Apabila dasar laut berupa pasir, pengerukan dilakukan dengan menyedot pasir dan membuangnya ke pantai. Pasir hasil pengerukan ini digunakan untuk mereklamasi pantai, biasanya digunakan untuk lapangan petikemas. Terakhir, apabila dasar laut berupa tanah keras, pengerukan dilakukan dengan mengeruk dasar laut dengan kapal khusus yang berukuran lebih besar. Tanah hasil pengerukan itu kemudian dibuang jauh ke tengah laut.
Tidak lama kemudian, datang seorang wanita bule, berkulit putih. Menggunakan T-shirt dan celana pendek. Dari wajahnya, terlihat kalau umurnya masih muda. Kemudian dia menemui kami dan memperkenalkan diri.
“Hello, I am Angelique”.
Kami juga memperkenalkan diri masing-masing. Usai perkenalan singkat itu, saya bertanya kepada Pak Slamet, siapa wanita bule ini. Pak Slamet menjelaskan bahwa Angelique ini adalah surveyor dari Belanda, yang akan melaksanakan pengukuran bersama saya sebentar lagi.
“Haaa???”, saya terkejut bukan kepalang.
Saya tidak menduga sebelumnya kalau wanita bule ini yang akan jadi surveyornya. Belum pernah saya temui sebelumnya, seorang wanita menjadi surveyor pemetaan.
Tak lama kemudian, saya dan Angelique sudah berada diatas speedboat khusus, yang dirancang untuk pengukuran bawah laut. Hanya berdua saja. Saya tidak banyak berkata-kata, karena memang tidak bisa berbahasa Inggris. Saya perhatikan gerakannya cukup cekatan dalam mengoperasikan peralatan ukur. Demikian pula dalam mengendalikan arah kapal mengikuti jalur-jalur pengukuran yang sudah dirancang sedemikian rupa dilayar monitor.
Sesekali kami diayun gelombang besar. Bukan karena gelombang badai, tetapi gelombang yang berasal dari kapal besar yang lewat tidak jauh dari kami.
Pengukuran hari itu tidak berjalan mulus, ada sedikit kendala teknis yang terjadi. Alat pemutar kertas pencatat kedalaman, mengalami macet. Angelique berusaha memperbaiki sendiri alat itu, tetapi tidak kunjung berhasil. Dia bertanya kepada saya, apakah saya bias membantu memperbaikinya. “No, I am Sorry”, Jawab saya singkat. Saya menyesal tidak bisa membantunya.
Angelique berusaha sekali lagi untuk mencoba memperbaiki. Namun tak kunjung berhasil. Saya lihat kesabarannya mulai hilang. Sekilas saya dengar dia mulai menggerutu dalam bahasa Belanda, yang tidak saya ketahui artinya.
“Overdamn”, begitu kira-kira yang saya dengar.
Akhirnya masalah itu berhasil diatasi Angelique, setelah dipandu oleh seniornya melalui pesawat handy talky (HT).

KERJA SAMBIL KULIAH

Setiap kali bertemu dengan anak muda yang sudah bekerja, tetapi masih lulusan SMA, saya selalu menyarankan kalau bisa nyambi kuliah. Kerja sambil kuliah. Disamping untuk meningkatkan kompetensi, kuliah juga dapat menambah wawasan, merubah cara berfikir dan memperluas jaringan.
Sebaliknya, ada anak muda yang masih lulusan SMA, masih mencari pekerjaan, orang tuanya siap untuk membiayai kuliahnya, tetapi merencanakan bekerja sambil kuliah. Kepada mereka ini saya sarankan agar fokus untuk menyelesaikan kuliah dulu.
Kerja sambil kuliah, memang terkesan keren. Iya, bagi mereka yang sudah mapan bekerja. Tetapi, menjalaninya tidak mudah. Diperlukan tekad dan semangat yang kuat dan terus-menerus agar bisa berhasil sampai ke titik akhir. Diperlukan manajemen yang baik dalam mengelola keuangan, waktu, fikiran dan tenaga, agar semuanya dapat berjalan seimbang. Lebih tidak mudah lagi, bagi mereka yang sudah berkeluarga.
Banyak contoh keberhasilan yang diperoleh dari proses kerja sambil kuliah, tetapi tidak sedikit juga yang akhirnya tidak sampai finish, putus ditengah perjalanan.
Saya pernah merasakan pengalaman gagal dalam bekerja sambil kuliah, dua puluh tahun lalu. Ketika saya masih bekerja sebagai surveyor pemetaan di Surabaya, saya nyambi kuliah di Jurusan Teknik Sipil di ITATS Surabaya.
Semua berjalan tidak mudah. Mulai dari pembagian waktu bekerja dan waktu kuliah yang berhimpitan, pengelolaan keuangan, sampai dengan kemampuan fisik yang terkuras. Setelah seharian bekerja menguras energi di lapangan, sore harinya kuliah, fikiran tidak lagi mampu fokus pada pelajaran. Hawa kantuk seringkali tidak mampu dilawan, akhirnya sering tertidur di ruang kuliah. Hasilnya, banyak matakuliah yang nilainya tidak memuaskan.
Akhirnya, diakhir semester lima, saya putuskan untuk berhenti kuliah. Datangnya krisis moneter telah mengubah semua rencana saya, baik dalam pekerjaan maupun kuliah saya. Saya tidak sanggup lagi mempertahankan keduanya. Tidak hanya kehilangan kuliah, saya juga kehilangan pekerjaan.

SUNGGUH MENGHERANKAN

Saya senang menghabiskan waktu bersama istri. Di rumah atau keluar rumah berdua. Bagaimanapun, istri atau suami adalah orang yang rela menemani diri kita mulai sejak masih muda dulu, hingga masa tua nanti datang menghampiri. Suami atau istri, dulunya bukan siapa-siapa, kemudian saling bertemu dan mengikat janji untuk selalu bersama, menjalani hidup bersama-sama.
Sungguh mengherankan, bila suami dan istri tidak senang menghabiskan waktu bersama.
Saya senang menghabiskan waktu bersama anak-anak. Setiap hari, aktifitas saya mulai dengan membantu mempersiapkan keperluan anak-anak. Menyiapkan sarapan dan bekal untuk mereka ke sekolah. Membantu dan mendampingi mereka dalam belajar. Hingga menemani mereka berolah raga. Bagaimanapun, anak adalah amanah yang diberikan oleh Tuhan kepada kita untuk kita rawat dan hantarkan mereka menjadi manusia seutuhnya. Untuk merekalah, sebagian besar sumberdaya yang kita miliki, kita keluarkan.
Sungguh mengherankan, bila ada orang tua yang tidak senang menghabiskan waktu bersama anak-anaknya.
Saya senang menghabiskan waktu untuk bekerja. Setiap hari kerja, saya berusaha untuk datang dan pulang tepat waktu. Segera menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab saya. Bagaimanapun, bekerja adalah sumber masuknya rezeki, darinya saya menghidupi diri dan keluarga. Dengan bekerja, saya dapat mencurahkan kemampuan fikiran yang telah dikaruniakan oleh Tuhan. Saya tidak ingin membiarkan saja pemberian yang berharga itu, bagaikan seonggok barang yang tak berguna.
Sungguh mengherankan, bila ada orang yang tidak senang bekerja. Padahal, darinya dia memperoleh rezeki untuk membiayai hidupnya.

Minggu, 02 Oktober 2016

BERBAHASA INGGRIS

Saya tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik, karena memang tidak pernah belajar secara khusus atau kursus bahasa Inggris. Saya tidak menyesalinya, karena keadaan masa kecil saya yang serba kekurangan dan berada jauh di pedalaman. Yang kami fikirkan waktu itu hanya bagaimana agar kami tetap bertahan untuk bisa terus sekolah.
Setelah menginjak dewasa, baru saya sadari bahwa kemampuan berbahasa Inggris sangat penting, baik di dunia akademik maupun dalam bidang pekerjaan. Dulu, ketika saya masih bekerja sebagai surveyor pemetaan di Surabaya, pada tahun 1997, saya pernah ditugaskan untuk mengawasi pekerjaan pengukuran bawah laut untuk proyek pengerukan dermaga International Container Terminal (ICT). Ketika itu saya bekerja bersama dengan seorang surveyor asal negeri Belanda.
Kami berdua berada dalam satu speedboat khusus yang memang didesain untuk pengukuran bawah laut. Satu-satunya masalah kami adalah, saya tidak mampu berbahasa inggris, sebaliknya dia juga tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali. Jadilah kami berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan sekali-sekali berbahasa inggris, yes, no, ok dan thank you. Hanya itu...
Pengalaman itu terus membekas dalam fikiran saya. Saya tidak ingin hal itu terjadi pada anak-anak saya kelak. Anak-anak harus bisa berbahasa inggris dengan baik, ketika mereka sudah lulus SMA.
Satu-satunya cara agar mampu berbahasa Inggris adalah dengan berbicara dengan bahasa Inggris. Oleh karena itu, perlu wadah atau tempat agar anak-anak dapat saling berbicara sesama mereka dengan menggunakan bahasa Inggris. Wadah itu adalah kursus bahasa Inggris.
Tempat kursus tidak harus yang mahal atau lembaga yang terkenal. Bagi yang ekonominya pas-pasan, cukuplah misalnya, kursus di rumah guru Bahasa Inggris atau di rumah mahasiswa jurusan Bahasa Inggris. Yang paling penting dalam kemampuan berbahasa ini adalah berlatih berkomunikasi dengan bahasa itu sebanyak-banyaknya. Seorang siswa tidak akan mampu berbahasa Inggris kalau didalam kelas itu dia hanya menulis dan mencatat materi saja, tanpa mencoba untuk mengucapkannya.
Satu hal penting yang lain adalah keberlanjutan. Artinya, dalam belajar berbahasa harus dilakukan secara terus-menerus. Kita sangat fasih berbahasa Indonesia karena setiap hari bahasa ini kita gunakan. Kita mengucapkannya secara terus-menerus, baik di rumah, di sekolah, di kantor dan dimanapun.
Demikian pula, bila kita ingin anak-anak kita mampu berbahasa Inggris, maka kita harus mengajaknya untuk berbicara. Setidak-tidaknya, dia berbicara dalam bahasa Inggris di tempat kursusnya.

PESAN UNTUK MAHASISWA BARU

Dalam setiap perkuliahan untuk mahasiswa baru, saya selalu memberikan dorongan semangat kepada mereka untuk mulai mencoba merencanakan apa yang menjadi target mereka dimasa depan. Hal itu saya sampaikan karena fakta yang ada sekarang ini, banyak lulusan sarjana yang tidak kunjung memperoleh pekerjaan alias masih menganggur. Banyak orang menyebutnya sebagai pengangguran terdidik.
Banyaknya pengangguran terdidik ini, boleh jadi karena dua penyebab. Yang pertama, karena jumlah lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan banyaknya jumlah sarjana yang dihasilkan. Pertumbuhan lulusan sarjana selalu lebih banyak daripada pertumbuhan lapangan kerja. Penyebab kedua, karena lulusan sarjana yang dihasilkan tidak memiliki kompetensi sesuai dengan standar yang dibutuhkan oleh pengguna atau pemilik pekerjaan.
Untuk alasan yang pertama, tidak banyak yang dapat kita lakukan. Yang bisa kita lakukan hanyalah mendorong pemerintah untuk membuka lebih banyak lapangan pekerjaan. Atau dengan mencoba membuka lapangan kerja sendiri.
Saya lebih memberi perhatian terhadap penyebab kedua. Banyak lulusan sarjana kita yang tidak memiliki kompetensi apapun yang dapat ditunjukkan selain daripada selembar ijasah kesarjanaannya. Mahasiswa kuliah hanya mengikuti prosesnya saja tanpa mengambil makna dan pelajaran darinya. Hanya mengikuti arus dan berjalannya waktu. Hingga akhirnya berlalu masa empat tahun, dan tiba-tiba saja dia sudah sarjana.
Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan oleh mahasiswa agar tidak sampai terjebak menjadi sarjana tanpa kompetensi ini. Langkah awal yang dapat dilakukan mahasiswa, terutama mahasiswa baru adalah dengan merencanakan perkuliahannya. Target kompetensi apa yang harus dimilikinya setelah lulus kuliah, harus mulai dipelajari dan dilatih sejak awal perkuliahan.
Saya selalu menyarankan tiga hal yang menurut saya sangat penting, yang hendaknya dikuasai oleh lulusan sarjana untuk mendukung kompetensi pokok mereka, dalam bidang apapun yang mereka pilih. Ketiga hal itu adalah penguasaan bahasa asing, kemampuan menulis dan kemampuan presentasi. Ketiganya harus mulai dipelajari dan dilatih sejak awal agar pada saat lulus sebagai sarjana nanti, ketiga kemampuan itu tidak perlu lagi dipertanyakan.