Kamis, 13 Oktober 2016

ANGELIQUE

“Mas Supianto, sampean dipanggil Pak Slamet!”.
“Iya, Mas. Terima kasih”. Jawab saya singkat, ketika ada seorang teman memberi tahu bahwa saya dipanggil oleh Pak Slamet.
Ketika itu saya sedang berdiri diujung dermaga petikemas, yang berada diatas selat Madura. Menjorok ketengah laut sekitar dua kilometer dari pantai yang dihubungkan oleh jembatan lurus memanjang.
Mendapat panggilan itu, saya bergegas menemuinya dikantor yang terletak persis ditepi pantai berlumpur, bersebelahan dengan ujung jembatan dermaga.
“Maaf Pak, Pak Slamet memanggil saya?”. Tanya saya sesaat setelah mengetuk ruangan Pak Slamet.
Pak Slamet adalah Team Leader saya untuk paket proyek pengerukan, ketika masih bekerja sebagai surveyor pemetaan di Surabaya. Selain proyek pengerukan, ada juga paket proyek lain yang saya ikuti sebagai surveyor pengawas, pembangunan dermaga petikemas dan reklamasi.
“Iya Mas, sebentar lagi ada surveyor dari kontraktor akan melakukan pengukuran. Saya minta sampean mengikuti pengukuran sampai selesai”.
“Baik Pak”.
Kami memang dari tim konsultan pengawas, yang bertugas mengawasi pekerjaan kontraktor. Pengawasan dilakukan untuk memastikan bahwa pekerjaan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan standar yang ditentukan oleh pemilik proyek.
Rangkaian pekerjaan pengerukan laut, dimulai dari tahap pengukuran awal terlebih dahulu. Pengukuran pendahuluan ini berguna untuk mengetahui bagaimana bentuk permukaan tanah didasar laut sebagaimana adanya. Dari pengukuran awal ini, akan diperoleh gambar dan penampang dasar laut untuk didesain seberapa dalam pengerukan akan dilakukan. Dari gambar itu juga, dapat dihitung berapa meter kubik tanah yang harus dikeruk dari dasar laut.
Tahap kedua adalah proses pengerukan. Ada beberapa metode pengerukan yang saya perhatikan, tergantung pada jenis tanah yang ada di dasar laut yang akan dikeruk. Selain itu, kemana tanah hasil pengerukan itu dibuang, juga mempengaruhi. Apabila dasar laut berupa tanah berlumpur, pengerukannya cukup dengan meniup lumpur dengan compressor raksasa, agar lumpur tercampur dengan air laut, kemudian campuran lumpur itu hanyut bersama arus air laut.
Apabila dasar laut berupa pasir, pengerukan dilakukan dengan menyedot pasir dan membuangnya ke pantai. Pasir hasil pengerukan ini digunakan untuk mereklamasi pantai, biasanya digunakan untuk lapangan petikemas. Terakhir, apabila dasar laut berupa tanah keras, pengerukan dilakukan dengan mengeruk dasar laut dengan kapal khusus yang berukuran lebih besar. Tanah hasil pengerukan itu kemudian dibuang jauh ke tengah laut.
Tidak lama kemudian, datang seorang wanita bule, berkulit putih. Menggunakan T-shirt dan celana pendek. Dari wajahnya, terlihat kalau umurnya masih muda. Kemudian dia menemui kami dan memperkenalkan diri.
“Hello, I am Angelique”.
Kami juga memperkenalkan diri masing-masing. Usai perkenalan singkat itu, saya bertanya kepada Pak Slamet, siapa wanita bule ini. Pak Slamet menjelaskan bahwa Angelique ini adalah surveyor dari Belanda, yang akan melaksanakan pengukuran bersama saya sebentar lagi.
“Haaa???”, saya terkejut bukan kepalang.
Saya tidak menduga sebelumnya kalau wanita bule ini yang akan jadi surveyornya. Belum pernah saya temui sebelumnya, seorang wanita menjadi surveyor pemetaan.
Tak lama kemudian, saya dan Angelique sudah berada diatas speedboat khusus, yang dirancang untuk pengukuran bawah laut. Hanya berdua saja. Saya tidak banyak berkata-kata, karena memang tidak bisa berbahasa Inggris. Saya perhatikan gerakannya cukup cekatan dalam mengoperasikan peralatan ukur. Demikian pula dalam mengendalikan arah kapal mengikuti jalur-jalur pengukuran yang sudah dirancang sedemikian rupa dilayar monitor.
Sesekali kami diayun gelombang besar. Bukan karena gelombang badai, tetapi gelombang yang berasal dari kapal besar yang lewat tidak jauh dari kami.
Pengukuran hari itu tidak berjalan mulus, ada sedikit kendala teknis yang terjadi. Alat pemutar kertas pencatat kedalaman, mengalami macet. Angelique berusaha memperbaiki sendiri alat itu, tetapi tidak kunjung berhasil. Dia bertanya kepada saya, apakah saya bias membantu memperbaikinya. “No, I am Sorry”, Jawab saya singkat. Saya menyesal tidak bisa membantunya.
Angelique berusaha sekali lagi untuk mencoba memperbaiki. Namun tak kunjung berhasil. Saya lihat kesabarannya mulai hilang. Sekilas saya dengar dia mulai menggerutu dalam bahasa Belanda, yang tidak saya ketahui artinya.
“Overdamn”, begitu kira-kira yang saya dengar.
Akhirnya masalah itu berhasil diatasi Angelique, setelah dipandu oleh seniornya melalui pesawat handy talky (HT).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar