Jumat, 22 Juli 2016

PENARIKAN SEPIHAK KENDARAAN BERMOTOR SEBAGAI BARANG JAMINAN



Oleh : Supianto, S.H., M.H.*)
Dimuat dalam Kolom Opini Radar Jember 9 Oktober 2015


Akhir-akhir ini di masyarakat semakin banyak ditemui pemberitaan tentang para penagih hutang atau debt collector yang melakukan penarikan barang jaminan di jalan raya secara paksa, baik berupa kendaraan sepeda motor atau mobil. Para debt collector ini bekerja mengatasnamakan lembaga pembiayaan (leasing)  untuk menarik kendaraan bermotor yang menjadi barang jaminan, yang tidak atau belum membayar angsuran kepada pemberi pinjaman sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Dalam melakukan pekerjaannya, mereka biasanya mendatangi rumah debitur atau mengintai dari tempat-tempat tertentu yang strategis di pinggir jalan raya yang kemungkinan besar dilalui oleh kendaraan bermotor yang akan ditarik.
Berdasarkan hal tersebut, yang sering menjadi pertanyaan dalam masyarakat  adalah apakah pemberi pinjaman atau kreditur dapat menarik benda jaminan secara sepihak apabila penerima pinjaman atau debitur tidak atau terlambat membayar angsuran?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu dilihat terlebih dahulu apakah kedua belah pihak tersebut telah menggunakan lembaga jaminan dengan tepat.
Secara umum, tidak ada salahnya apabila seseorang memberikan kuasa kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan atas nama pemberi kuasa sepanjang perbuatan tersebut tidak melanggar hukum atau dilakukan dengan cara yang melanggar hukum. Termasuk dalam hal ini lembaga pembiayaan (leasing) boleh saja memberikan kuasa kepada pihak lain, misalnya debt collector, untuk menagih hutang kepada debitur apabila belum melaksanakan kewajibannya. Namun demikian, dalam melaksanakan kuasa tersebut debt collector dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum, seperti mengancam atau melakukan perampasan.
Sebenarnya sejak tahun 1999, Pemerintah telah memberikan lembaga jaminan yang dikhususkan untuk benda bergerak, yang memungkinkan benda jaminan tersebut tetap dikuasai dan dapat dipergunakan oleh pemilik benda jaminan. Lembaga jaminan tersebut adalah Jaminan Fidusia. Secara formal pengaturan lembaga Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-undang ini, dimaksudkan untuk menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan Jaminan Fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan. Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada pihak Pemberi Fidusia atau debitur untuk menguasai Benda yang dijaminkan, untuk melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan Jaminan Fidusia.
Tahapan-tahapan penting yang harus dilalui dalam pelaksanaan jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terdiri dari dua tahap, pertama, adalah tahap pembebanan jaminan fidusia dan kedua, tahap pendaftaran jaminan fidusia. Tahap pembebanan jaminan fidusia merupakan tahap penandatanganan akta Pembebanan jaminan fidusia atau disebut juga Akta Jaminan Fidusia.  Pembebanan jaminan fidusia ini harus dibuat dengan akta notaris, tidak boleh dilakukan dengan akta yang dibuat sendiri oleh para pihak atau yang disebut dengan akta dibawah tangan. Jadi, apabila debitur merasa tidak pernah menandatangani akta notaris tentang pembebanan jaminan fidusia maka dapat dipastikan bahwa jaminan fidusia tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Tahap kedua adalah tahap pendaftaran jaminan fidusia. Pendaftaran Jaminan fidusia dilakukan oleh Penerima Fidusia (kreditur) atau kuasa atau wakilnya. Permohonan pendaftaran dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang berada dalam lingkup tugas Kementerian Hukum dan HAM. Pendaftaran jaminan fidusia mempunyai peran yang sangat penting karena lahirnya hak-hak kebendaan yang timbul melalui lembaga jaminan fidusia adalah pada hari yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia tersebut pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Setelah melakukan pendaftaran, Kantor Pendaftaran Fidusia akan menerbitkan dan menyerahkan kepada Penerima Fidusia “Sertifikat Jaminan fidusia” yang mencantumkan irah-irah atau kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Sertifikat Jaminan fidusia tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sampai pada tahap ini, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya dalam melakukan pembayaran angsuran sesuai dengan perjanjian atau cidera janji, maka Penerima Fidusia (kreditur) mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dan debitur wajib menyerahkan benda jaminan kepada pihak kreditur.
Selanjutnya, bagaimana halnya dengan penarikan sepihak kendaraan bermotor sebagai benda jaminan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan (leasing) dengan menggunakan jasa debt collector yang sering terjadi pada saat ini. Dalam hal ini perlu dilihat kembali apakah proses jaminan fidusia yang dilakukan telah sesuai dengan tahapan-tahapan diatas atau tidak. Untuk mempermudah pemahaman bagi masyarakat yang awam hukum, berikut ini beberapa cara untuk mengidentifikasi apakah suatu jaminan fidusia sudah sesuai dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia atau tidak. Pertama, apakah debitur pernah menandatangani Akta Jaminan Fidusia di kantor notaris atau tidak. Kalau tidak, maka dapat dipastikan bahwa jaminan fidusia tersebut tidak prosedural dan tidak dapat didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, karena salah satu syarat pendaftaran fidusia adalah melampirkan Akta Jaminan Fidusia yang dibuat dalam bentuk akta notaris. Kedua, apakah pihak kreditur dapat menunjukkan Sertifikat Jaminan Fidusia atau tidak. Kalau iya, maka berarti tahapan jaminan fidusia telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan apabila debitur cidera janji maka kreditur berhak untuk menarik benda jaminan dari tangan debitur dan debitur wajib menyerahkan benda jaminan tersebut kepada kreditur. Sedangkan kalau jawabannya tidak, maka secara hukum kreditur tidak boleh melakukan penarikan kendaraan bermotor secara sepihak, apalagi dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Apabila cara-cara kekerasan dilakukan seperti perampasan, maka pelakunya dapat dilaporkan telah melakukan tindak pidana perampasan kepada kepolisian.
Namun demikian, satu hal yang perlu mendapat perhatian terutama bagi debitur, adalah bahwa secara keperdataan antara debitur dan kreditur telah terikat suatu perjanjian, baik dalam bentuk perjanjian kredit maupun perjanjian pembiayaan konsumen. Oleh karena itu, para pihak terikat dengan asas-asas atau prinsip umum dalam hukum perjanjian, salah satunya adalah asas itikad baik. Masing-masing pihak hendaknya mengedepankan prinsip itikad baik ini dalam menyelesaikan permasalahan diantara mereka, termasuk apabila debitur mengalami kesulitan dalam pembayaran angsuran. Permasalahan tersebut akan lebih baik apabila diselesaikan dengan cara menyampaikan kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi tersebut kepada pihak kreditur. Dengan cara ini diharapkan dapat dicapai kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, tanpa perlu melibatkan pihak lain, seperti menggunakan jasa debt collector.

*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Jember dan Kepala Lembaga Bantuan Hukum & HAM UIJ

PENTINGNYA PERDA BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN




Oleh : Supianto, SH., MH.*)
Dimuat dalam Kolom Opini Radar, Jember 3 September 2015

Sejak tahun 2010, masyarakat beberapa kali dikagetkan dengan maraknya pemberitaan media tentang ketidakadilan dalam proses hukum yang dialami oleh sebagian warga negara Indonesia. Misalnya dalam kasus Nenek Minah, warga Banyumas berusia 55 tahun, yang dijatuhi hukuman 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan karena dituduh mencuri tiga biji kakao seharga Rp. 2.000,00. Kasus kedua yang menjadi perhatian publik secara nasional adalah kasus Nenek Asyani.  Nenek Asyani berasal dari Dusun Kristal, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situbondo. Asyani didakwa melakukan pencurian 38 papan kayu jati dari kawasan hutan produksi pada 7 Juli 2014.
Kedua kasus diatas hanya merupakan contoh kecil dari ketidakadilan terhadap warga negara dihadapan hukum. Bahkan dapat dikatakan mereka lebih beruntung dibandingkan dengan nasib warga negara lainnya, karena kasusnya sempat dipublikasikan oleh media dan mendapat banyak dukungan dari masyarakat, sedangkan warga negara lainnya tidak demikian. Setidaknya ada dua hal yang menjadi kesamaan dari dua kasus diatas, yaitu keduanya tidak didampingi oleh advokat dalam menjalani proses hukum, dan keduanya tergolong kedalam masyarakat yang miskin. Berdasarkan fakta diatas dapat dikatakan bahwa proses penegakan hukum di Indonesia masih belum mampu menyediakan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang membutuhkan keadilan.
Sejak Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum disahkan pada tanggal 4 Oktober 2011 sebenarnya akses masyarakat miskin untuk mendapatkan bantuan hukum sudah terbuka. Namun hal ini belum banyak diketahui oleh masyarakat secara luas. Oleh karena itu perlu dilakukan sosialisasi secara terus menerus oleh pemerintah agar harapan masyarakat terutama masyarakat miskin untuk memperoleh keadilan dalam proses penegakan hukum dapat terwujud.
Secara teoritis, Bantuan Hukum dianggap mampu memberikan kesamaan dan jaminan terhadap seluruh masyarakat tanpa terkecuali, dalam menikmati perlindungan  dan menciptakan persamaan dihadapan hukum. Kedudukan yang lemah dan ketidakmampuan seseorang tidak boleh menghalangi orang tersebut mendapatkan keadilan. Pendampingan hukum kepada setiap orang tanpa diskriminasi merupakan perwujudan dari perlindungan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum tersebut. Tanpa adanya pendampingan hukum maka kesetaraan dihadapan hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi dan nilai-nilai universal hak asasi manusia tersebut tidak akan pernah terpenuhi.
Bantuan hukum merupakan media bagi warga Negara yang tidak mampu untuk mendapatkan akses terhadap keadilan sebagai manifestasi jaminan hak-haknya secara konstitusional. Masalah bantuan hukum meliputi masalah pemberdayaan warga negara yang tidak mampu dalam akses terhadap keadilan dan masalah hukum faktual yang dialami warga negara yang tidak mampu dalam menghadapi kekuatan negara secara struktural dalam proses hukum. Pemberian bantuan hukum, mempunyai manfaat besar bagi perkembangan pendidikan penyadaran hak-hak warga Negara yang tidak mampu khususnya secara ekonomi, dalam akses terhadap keadilan, serta perubahan sosial masyarakat kearah peningkatan kesejahteraan hidup dalam semua bidang kehidupan berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun dalam prakteknya, seperti dalam kasus diatas bantuan hukum masih minim dalam pelaksanaan.
Undang-Undang Bantuan Hukum menjadi dasar bagi Negara untuk menjamin hak-hak warga Negara yang tidak mampu untuk mendapatkan akses kepada keadilan dan persamaan dihadapan hukum. Dana untuk penyelenggaraan bantuan hukum secara nasional dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk ditingkat daerah, Undang-Undang Bantuan Hukum mengamanatkan untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di masing-masing daerah. Hal ini karena pembentuk undang-undang menyadari bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak akan mampu menanggung semua permohonan bantuan hukum untuk semua daerah dari seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Pasal 19 Undang-Undang Bantuan Hukum memberi ruang kepada daerah untuk mengalokasikan dana bantuan hukum melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di masing-masing daerah. Memang, Undang-Undang Bantuan Hukum tidak mewajibkan daerah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBD, karena ketentuan pasal 19 ayat (1) menggunakan kata “dapat”, yang berarti bahwa ketentuan pasal ini memberikan pilihan bagi daerah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum atau tidak. Pilihan sepenuhnya tergantung pada political will dan komitmen Pemerintah Daerah dan DPRD untuk menyediakan akses keadilan kepada warganya yang kurang mampu secara ekonomi melalui pemberian bantuan hukum. Apabila  Pemerintah Daerah dan DPRD menghendaki dana penyelenggaraan bantuan hukum dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maka harus diatur melalui Peraturan Daerah (Perda).
Penyelenggaraan bantuan hukum merupakan upaya Pemerintah untuk memenuhi dan implementasi Negara hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak warga Negara dan kesamaan dihadapan hukum. Kabupaten Jember sampai dengan saat ini belum memiliki Peraturan Daerah tentang bantuan hukum. Mengingat pentingnya Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum ini maka diperlukan komitmen yang kuat dari Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Jember untuk segera mengimplementasikan pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Jember tentang Bantuan hukum. Oleh karena itu semua pihak perlu memberikan dorongan kepada Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Jember agar pemenuhan hak-hak warga Negara khususnya masyarakat Jember yang kurang mampu terhadap akses keadilan dan persamaan dihadapan hukum dapat terwujud. 
*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Jember dan Kepala Lembaga Bantuan Hukum dan HAM UIJ