Oleh : Supianto, S.H., M.H.*)
Dimuat dalam
Kolom Opini Radar Jember 9 Oktober 2015
Akhir-akhir ini di masyarakat semakin banyak ditemui
pemberitaan tentang para penagih hutang atau debt collector yang melakukan penarikan barang jaminan di jalan
raya secara paksa, baik berupa kendaraan sepeda motor atau mobil. Para debt collector ini bekerja mengatasnamakan
lembaga pembiayaan (leasing) untuk menarik kendaraan bermotor yang menjadi
barang jaminan, yang tidak atau belum membayar angsuran kepada pemberi pinjaman
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Dalam melakukan pekerjaannya,
mereka biasanya mendatangi rumah debitur atau mengintai dari tempat-tempat tertentu
yang strategis di pinggir jalan raya yang kemungkinan besar dilalui oleh
kendaraan bermotor yang akan ditarik.
Berdasarkan hal tersebut, yang sering menjadi
pertanyaan dalam masyarakat adalah
apakah pemberi pinjaman atau kreditur dapat menarik benda jaminan secara
sepihak apabila penerima pinjaman atau debitur tidak atau terlambat membayar
angsuran?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu dilihat terlebih
dahulu apakah kedua belah pihak tersebut telah menggunakan lembaga jaminan dengan
tepat.
Secara umum, tidak ada salahnya apabila seseorang
memberikan kuasa kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan atas nama
pemberi kuasa sepanjang perbuatan tersebut tidak melanggar hukum atau dilakukan
dengan cara yang melanggar hukum. Termasuk dalam hal ini lembaga pembiayaan (leasing) boleh saja memberikan kuasa
kepada pihak lain, misalnya debt
collector, untuk menagih hutang kepada debitur apabila belum melaksanakan
kewajibannya. Namun demikian, dalam melaksanakan kuasa tersebut debt collector dilarang melakukan perbuatan-perbuatan
yang melanggar hukum, seperti mengancam atau melakukan perampasan.
Sebenarnya sejak tahun 1999, Pemerintah telah
memberikan lembaga jaminan yang dikhususkan untuk benda bergerak, yang memungkinkan
benda jaminan tersebut tetap dikuasai dan dapat dipergunakan oleh pemilik benda
jaminan. Lembaga jaminan tersebut adalah Jaminan Fidusia. Secara formal
pengaturan lembaga Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-undang ini, dimaksudkan untuk menampung
kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan Jaminan Fidusia sebagai salah satu
sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum
kepada para pihak yang berkepentingan. Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan
kepada pihak Pemberi Fidusia atau debitur untuk menguasai Benda yang
dijaminkan, untuk melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman dengan
menggunakan Jaminan Fidusia.
Tahapan-tahapan penting yang harus dilalui dalam
pelaksanaan jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia terdiri dari dua tahap, pertama, adalah tahap pembebanan jaminan fidusia dan kedua, tahap pendaftaran jaminan
fidusia. Tahap pembebanan jaminan fidusia merupakan tahap penandatanganan akta Pembebanan
jaminan fidusia atau disebut juga Akta Jaminan Fidusia. Pembebanan jaminan fidusia ini harus dibuat
dengan akta notaris, tidak boleh dilakukan dengan akta yang dibuat sendiri oleh
para pihak atau yang disebut dengan akta dibawah tangan. Jadi, apabila debitur
merasa tidak pernah menandatangani akta notaris tentang pembebanan jaminan
fidusia maka dapat dipastikan bahwa jaminan fidusia tersebut tidak sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Tahap kedua
adalah tahap pendaftaran jaminan fidusia. Pendaftaran Jaminan
fidusia dilakukan oleh Penerima Fidusia (kreditur) atau kuasa atau wakilnya. Permohonan
pendaftaran dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang berada dalam lingkup
tugas Kementerian Hukum dan HAM. Pendaftaran jaminan fidusia mempunyai
peran yang sangat penting karena lahirnya hak-hak kebendaan yang timbul melalui
lembaga jaminan fidusia adalah pada hari yang sama dengan tanggal dicatatnya
jaminan fidusia tersebut pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Setelah melakukan pendaftaran, Kantor Pendaftaran Fidusia akan menerbitkan
dan menyerahkan kepada Penerima Fidusia “Sertifikat Jaminan fidusia” yang
mencantumkan irah-irah atau kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA". Sertifikat Jaminan fidusia tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sampai pada tahap ini, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya dalam
melakukan pembayaran angsuran sesuai dengan perjanjian atau cidera janji, maka Penerima
Fidusia (kreditur) mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi obyek Jaminan
Fidusia dan debitur wajib menyerahkan benda jaminan kepada pihak kreditur.
Selanjutnya, bagaimana halnya dengan penarikan sepihak
kendaraan bermotor sebagai benda jaminan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan
(leasing) dengan menggunakan jasa debt collector yang sering terjadi pada
saat ini. Dalam hal ini perlu dilihat kembali apakah proses jaminan fidusia
yang dilakukan telah sesuai dengan tahapan-tahapan diatas atau tidak. Untuk
mempermudah pemahaman bagi masyarakat yang awam hukum, berikut ini beberapa
cara untuk mengidentifikasi apakah suatu jaminan fidusia sudah sesuai dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia atau tidak. Pertama, apakah
debitur pernah menandatangani Akta Jaminan Fidusia di kantor notaris atau
tidak. Kalau tidak, maka dapat dipastikan bahwa jaminan fidusia tersebut tidak prosedural
dan tidak dapat didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, karena salah satu
syarat pendaftaran fidusia adalah melampirkan Akta Jaminan Fidusia yang dibuat
dalam bentuk akta notaris. Kedua,
apakah pihak kreditur dapat menunjukkan Sertifikat Jaminan Fidusia atau tidak. Kalau
iya, maka berarti tahapan jaminan fidusia telah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan dan apabila debitur cidera janji maka kreditur berhak untuk
menarik benda jaminan dari tangan debitur dan debitur wajib menyerahkan benda
jaminan tersebut kepada kreditur. Sedangkan kalau jawabannya tidak, maka secara
hukum kreditur tidak boleh melakukan penarikan kendaraan bermotor secara
sepihak, apalagi dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Apabila cara-cara
kekerasan dilakukan seperti perampasan, maka pelakunya dapat dilaporkan telah
melakukan tindak pidana perampasan kepada kepolisian.
Namun demikian, satu hal yang perlu mendapat perhatian
terutama bagi debitur, adalah bahwa secara keperdataan antara debitur dan
kreditur telah terikat suatu perjanjian, baik dalam bentuk perjanjian kredit maupun
perjanjian pembiayaan konsumen. Oleh karena itu, para pihak terikat dengan
asas-asas atau prinsip umum dalam hukum perjanjian, salah satunya adalah asas
itikad baik. Masing-masing pihak hendaknya mengedepankan prinsip itikad baik ini
dalam menyelesaikan permasalahan diantara mereka, termasuk apabila debitur
mengalami kesulitan dalam pembayaran angsuran. Permasalahan tersebut akan lebih
baik apabila diselesaikan dengan cara menyampaikan kesulitan-kesulitan yang
sedang dihadapi tersebut kepada pihak kreditur. Dengan cara ini diharapkan
dapat dicapai kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, tanpa
perlu melibatkan pihak lain, seperti menggunakan jasa debt collector.
*) Dosen
Fakultas Hukum Universitas Islam Jember dan Kepala Lembaga Bantuan Hukum &
HAM UIJ