Kamis, 29 Desember 2016

MENJAGA KEDEKATAN DENGAN ANAK

Anak-anak saya sudah mulai beranjak dewasa. Anak yang besar mulai masuk bangku kuliah tahun depan, yang kecil masih kelas enam sekolah dasar. Kami berusaha selalu dekat dengan anak-anak. Tidak hanya dekat secara fisik, tetapi lebih dari itu, dekat secara emosi juga.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masa-masa anak beranjak dewasa adalah masa-masa kritis secara mental dan emosional. Dalam masa pencarian jati diri anak-anak itu, mereka membutuhkan figur ideal. Dan figur ideal itu adalah figur ayah atau bapaknya. Ayah yang memberi perlindungan, memberi arahan dan nasehat serta memberi dorongan semangat, kapanpun mereka membutuhkannya.
Yang dibutuhkan mereka sebenarnya tidak banyak dan tidak harus berupa materi. Mereka hanya butuh kedekatan, keakraban, perhatian dan waktu untuk mereka bercerita tentang apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkannya tentang kehidupan ini. Walaupun begitu, tidak semua orang tua dapat mengabulkan keinginan itu. Banyak orang tua lebih disibukkan dengan pekerjaan, bisnis atau urusan mencari nafkah. celakanya lagi, pada hari-hari libur, mereka justru disibukkan dengan memuaskan hobby dan kesenangannya sendiri.
Sepuluh hari terakhir ini, saya ditinggal sendirian dirumah. Anak-anak dan ibunya sedang berlibur ke Solo dan Jogja, mengisi liburan sekolah. Saya bukan tidak mau ikut, tetapi kegiatan akhir tahun ini cukup padat, disamping hari liburnya juga terbatas.
Selama beberapa hari ini, saya sering menelpon anak-anak untuk sekedar menanyakan kegiatan mereka. Apa yang mereka lakukan, bahkan hanya menanyakan sedah makan atau belum. Terkadang mereka juga yang menelpon atau minta ditelepon untuk sekedar menceritakan hal-hal yang ringan dan lucu.
Seperti yang terjadi kemaren. Telepon saya berbunyi, saya lihat anak saya yang besar menelpon.
“Haloo”, saya menjawabnya.
“Bapak, telepon balik, ya”, katanya.
Lalu saya menghubungi kembali.
“Halo, ada apa?”.
“Badan saya panas, Pak”, Jawabnya.
“Panas kenapa?. Minum obat penurun panas”.
“Aku tadi pergi ke tempat terapi ikan. Terus aku masukkan kakiku kedalam air, ikan-ikan itu mengerubungi dan menggigit-gigit kakiku. Jadi aku geli.” Jawabnya bercerita.
“Terus kenapa badannya panas?”, saya pun bertanya lagi.
“Perutku kaku menahan geli, jadinya badanku panas”, katanya.
“Oo, ya sudah, sekarang istirahat saja”.
Saya dengar suara adiknya yang laki-laki menyahut dari belakangnya sambil berteriak. “Nggak apa-apa, Pak. Mbak itu lebay.. ha..ha..”.
Begitulah anak-anak, keinginan mereka terkadang hanya sekedar bercerita. Sekedar membagi cerita saja, tidak lebih dari itu. Bagi sebagian orang dewasa, hal-hal seperti itu malah tidak menjadi perhatian mereka. Keinginan anak-anak untuk bercerita itu tidak menjadi perhatian utama, bahkan mereka menganggapnya tidak penting.
Dari bercerita tentang hal-hal kecil itulah kita membangun kedekatan dengan mereka. Dengan itu pula kita mengenal anak-anak kita. Bila kedekatan itu selalu terjaga, maka ketika mereka ingin membahas masalah yang lebih serius dan penting, mereka tidak merasa canggung lagi.
Kalau bukan dengan kita, orang tuanya, lalu dengan siapa lagi mereka akan mengungkapkan perasaannya. Dengan siapa mereka membahas hal-hal yang penting untuk masa depannya. Apakah kita menginginkan anak-anak itu bercerita kepada temannya, atau bahkan kapada orang lain?.
Ketika orang tua tak lagi dekat dengan anaknya, saat itulah orang tua tak lagi mengenal anaknya. Bila itu terjadi, apa lagi yang hendak kita banggakan sebagai orang tua?

PERMASALAHAN TKI KITA

Akhir-akhir ini banyak pihak yang meributkan soal adanya serbuan tenaga asing yang masuk ke Indonesia, terutama dari China, yang diduga kedatangan mereka illegal. Kita tentu perlu mendesak agar pemerintah segera bersikap untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pada saat yang sama, kita kurang menyadari bahwa permasalahan tenaga kerja kita diluar negeri juga luar biasa banyak dan rumit. Terutama tenaga kerja dibidang informal.
Pekerja yang legal, yang memenuhi seluruh ketentuan hukum yang berlaku saja, banyak diantara mereka yang menemui masalah, seperti gajinya yang tidak dibayar, bekerja melebihi yang apa tertulis dalam kontrak, bahkan pelecehan seksual, apalagi mereka yang berangkat secara illegal. Persoalan-persoalan buruh migran ini menjadi perhatian serius bagi para aktivis dan pemerhati kebijakan terkait dengan perlindungan buruh migran.
Hari ini saya menghadiri acara “Konsultasi Publik : Merancang Perlindungan TKI Asal Jember Melalui Mekanisme Produk Hukum Daerah”. Sebagai pemateri terdiri dari para pakar dan pemerhati pekerja migrant. Ada juga ahli hukum yang berkaitan dengan perlindungan pekerja migrant. Dalam acara tersebut, terungkap banyak hal terutama masalah-masalah yang dialami oleh pekerja dan solusi-solusi untuk menyelesaikannya.
Beberapa daerah yang merupakan basis pengirim tenaga kerja keluar negeri, biasanya terlihat berbeda pada soal tampilan fisik bangunan. Rumah yang bagus, pertokoan, rumah ibadah, bahkan kendaraan pribadi. Demikian pula terhadap tingkat pendidikan, banyak anak-anak TKI yang melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Hal-hal itu merupakan salah satu kontribusi positif dari keberadaan para TKI bagi peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Sebaliknya, masalah-masalah yang dihadapi oleh sebagian TKI kita juga sangat banyak dan rumit. Permasalahan ketenagakerjaan tersebut bahkan dimulai sejak mereka belum diberangkatkan. Penipuan, pungutan liar, pembayaran melebihi ketentuan, hingga permasalahan terkait dengan dokumen, adalah beberapa contoh permasalahan yang berkaitan dengan sebelum pemberangkatan.
Banyak calon TKI yang tergiur untuk bekerja keluar negeri karena melihat dan mendengar kawan atau saudara mereka sukses dan menghasilkan banyak uang. Mereka tergiur dengan cerita-cerita sukses, membangun rumah, membeli mobil baru atau membeli perhiasan. Meskipun terkadang ada cerita-cerita tentang kegagalan, penyiksaan, pemerkosaan bahkan ada yang dihukum gantung, hal itu tidak menyurutkan keinginan mereka untuk tetap pergi keluar negeri.
Terkadang, cerita sukses itu tidak diiringi dengan sikap yang arif dan bijak dalam mengatur hasil yang mereka peroleh. Materi yang mereka dapatkan dengan susah payah keluar negeri itu, lebih mereka gunakan untuk kepentingan konsumtif. Semestinya mereka lebih medahulukan keperluan belanja modal, yang dapat menghasilkan keuntungan hingga mereka kembali pulang nantinya.
Perlindungan TKI perlu terus menerus dilakukan, baik pada saat sebelum pemberangkatan hingga mereka kembali pulang. Tidak cukup sampai disitu, pemberdayaan mereka setelah kembali pulang ke kampung halaman juga penting, agar kehidupan mereka tidak kembali menurun yang membangkitkan mereka untuk pergi lagi.
Memang, secara hukum sudah ada produk perundang-undangan yang mengatur tentang tenaga kerja Indonesia di luar negeri ini, yaitu Undang-Undang dan Peraturan Daerah, namun dalam praktek masih banyak permasalahan TKI yang belum bisa terselesaikan. Dalam konteks daerah, diperlukan political will atau keseriusan pemerintah daerah dalam upaya untuk memberikan perlindungan kepada TKI. Keseriusan ini sangat penting karena keterlibatan pemerintah daerah sebelum pemberangkatan TKI ke luar negeri sangat menentukan bagi keberhasilan TKI itu sendiri.
TKI yang berangkat dengan membawa masalah, maka besar kemungkinan akan lebih bermasalah selama di luar negeri nanti.

BERANGKAT KE BRUNEI 3

“Alhamdulillah…”, ucap syukurku ketika roda pesawat menyentuh landasan bandara. Ucapan yang selalu keluar dari mulutku secara spontan setiap kali pesawat yang kunaiki berhasil mendarat di landasan. Meskipun terasa ada sedikit hentakan namun pendaratan itu cukup mulus. Selalu ada kecemasan dalam hatiku setiap kali naik pesawat terbang, terutama saat-saat tinggal landas dan saat mendarat.
Memang aku tahu bahwa alat transportasi paling aman adalah pesawat terbang, dibandingkan dengan jenis transportasi lain. Hanya pesawat terbang yang kondisinya selalu terawat dan terkontrol. Setiap kali mendarat, kondisi pesawat akan selalu diperiksa pada setiap komponennya oleh teknisi yang terlatih. Demikian pula ketika akan terbang, pesawat akan kembali diperiksa kondisinya. Apabila terdapat masalah atau kerusakan, meskipun sedikit, pesawat tak akan diijinkan untuk terbang.
Meskipun begitu, tetap saja perasaan was-was selalu muncul. Barangkali karena persepsiku sendiri tentang resiko naik pesawat terbang lebih besar dari pada naik kendaraan darat. Hal ini timbul karena sebagai penumpang, kita tidak punya kendali apapun secara pribadi terhadap pesawat yang ditumpangi. Alas an lainnya, bisa juga karena kecelakaan pesawat selalu lebih tragis dampaknya dan menghilangkan banyak nyawa secara bersamaan.
Seasat setelah mendarat, terdengar suara bising, “klek..klek..klek…”. Suara itu tak asing bagiku, suara dari seatbelt yang dibuka sesaat setelah pesawat berhasil mendarat. Entahlah, meskipun sudah ada himbauan untuk tetap mengenakan sabuk pengaman, namun himbauan itu tak dihiraukan oleh sebagian besar penumpang. Tetap saja mereka cepat-cepat membukanya. Bahkan ada penumpang yang langsung membuka tempat penyimpanan barang yang berada dibagian atas kabin penumpang. Mereka terburu-buru, seolah-olah bisa turun dari pesawat lebih dahulu.
Tak banyak barang yang kubawa, hanya satu tas yang berisi beberapa pakaian dan satu tas pinggang untuk menyimpan dompet dan paspor. Hal ini memang telah kurencanakan sejak awal, agar tidak merepotkan ketika turun dari pesawat. Tak perlu mengambil bawaan ditempat pengambilan bagasi. Ketika para penumpang yang lain sibuk mengambil bagasi mereka, aku bisa langsung keluar ke tempat penjemputan.
Ketika aku berjajar mengikut antrian di loket imigrasi, waktu telah menunjukkan jam satu dinihari, atau jam dua waktu Brunei. Tak perlu berjalan terlalu jauh, karena bandara itu memang tak terlalu besar. Ditambah suasana cukup lengang, hanya pesawat yang kunaiki tadi saja yang sedang menurunkan penumpang. Maklum, karena ini sudah malam bahkan hari sudah berganti pagi.
Meskipun bandara itu adalah bandara internasional tetapi tidak sebesar bandara-bandara dikota besar di Indonesia. Belakangan aku sadari bahwa penerbangan yang dilayani bandara ini hanya penerbangan internasional saja, tidak ada penerbangan lokal. Di Negara sekecil itu, tak membutuhkan penerbangan untuk menghubungkan antar daerah didalam negeri.
Usai urusan imigrasi, aku berjalan kearah pintu keluar. Kuikuti saja kemana arah para penumpang lain itu berjalan. Kuingat pesan dari petugas perusahaan yang mengurus keberangkatanku, bahwa nanti aku akan dijemput di bandara langsung oleh bos tempat saya akan bekerja. Sesampai ditempat penjemputan, aku berdiri sesaat untuk memperhatikan apakah ada yang memanggil namaku atau membawa kertas yang tertulis namaku. Satu hal yang biasa dilakukan orang ketika menjemput seseorang yang belum dikenalnya. Tak ada yang memanggil namaku, pun tak ada orang yang membawa tulisan namaku.
Tiba-tiba dari arah samping ada seseorang yang menyapaku. Seorang laki-laki bertubuh tambun, ditemani seorang perempuan berbadan langsing, bermata sipit, wajahnya oriental. Belakangan kuketahui mereka adalah suami istri, calon bosku selama di Brunei. Yang laki-laki bernama Awang Bahrin, asli melayu Brunei. Istrinya, Su Moi, berasal dari Sibu, Serawak, Malaysia. Kulihat mereka membawa selembar foto ditangannya.
“Kau Supianto, ya?, tanyanya dengan dialek melayu yang kental.
“Iya, betul, Pak”, Jawabku singkat.
“Kami yang menjemput kau. Ayo naik ke kereta”.
Kami bertiga berjalan menuju tempat parkir mobil. Orang Brunei menyebut mobil dengan sebutan "kereta". Tak lama kemudian kami telah meninggalkan kompleks bandara, menyusuri jalanan yang lebar dan sangat-sangat sepi…
Bersambung lagi….

BERANGKAT KE BRUNEI 2

Penerbangan dari Surabaya ke Brunei memakan waktu lebih dari dua jam. Meskipun badanku terasa lelah, karena menunggu kedatangan pesawat yang terlambat cukup lama, namun mata ini tak dapat terlelap. Tak ada kekhawatiran sedikitpun dalam hatiku soal bagaimana nanti di Brunei. Aku tahu pasti bahwa orang Brunei adalah orang Melayu, sama dengan Malaysia, sama dengan orang melayu di Sumatera. Hanya berbeda dialek saja. Bagiku, orang melayu dan bahasa melayu itu tidak asing lagi. Aku terlahir dan dibesarkan di Sumatera Barat yang sebagian besar masyarakatnya serumpun dengan Melayu. Aku bisa berbahasa melayu dengan baik, sehingga soal komunikasi, tak ada masalah bagiku.
Yang terpikir olehku justru kenapa aku memilih keluar negeri dan meninggalkan keluargaku. Tahun-tahun itu adalah tahun yang sulit bagiku. Belum lama sebelumnya, aku kehilangan pekerjaanku karena krisis moneter yang mulai melanda dua tahun sebelumnya. Kehilangan pekerjaan bagi seorang laki-laki, sungguh sangat menyakitkan, apalagi pekerjaan baru tak segera diperoleh. Bagiku, harga diri seorang laki-laki adalah ketika bekerja dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tak ada harganya seorang laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga, bila dia tidak bekerja untuk memenuhi tanggung jawabnya. Persoalan berapa yang mampu dihasilkannya, bagiku, itu persoalan lain.
Pekerjaanku sebagai surveyor pemetaan topografi yang kutekuni hampir sembilan tahun itu, telah mengantarkanku berkeliling ke banyak tempat. Ketika masih bekerja di Padang dulu, semua kabupaten di Sumatera Barat telah kukunjungi. Begitupun setelah aku pindah ke Jawa, lebih banyak lagi yang telah kukunjungi karena tugas pekerjaan. Bahkan hingga keluar pulau, Bali, Lombok, Sumbawa dan Timor Timur. Semua itu dapat kunikmati dengan baik ketika masih sendiri, belum berkeluarga. Namun kini, setelah berkeluarga terlebih setelah mempunyai anak, tak dapat lagi kunikmati hal itu. Aku memimpikan keluarga yang selalu berkumpul bersama, tak perlu berpisah jauh, meskipun karena alasan pekerjaan.
Mimpi tinggal mimpi, dihadapanku kini tak banyak pilihan lagi. Kesempatan ini harus kuambil dengan segala resiko yang menanti dibelakangnya.
Nama Brunei, bagi banyak orang adalah lambang kemakmuran. Sebuah Negara kerajaan kecil yang damai dan kaya minyak, semua warganya hidup dalam kemakmuran. Begitu pula yang ada dalam pikiranku. Apa salahnya bila kuadu nasibku kesana. Siapa tahu terbuka jalan bagiku. Toh, aku tidak bodoh, ada keahlian yang patut kubanggakan nantinya.
Lama-lama mataku terasa berat, rasa kantuk yang menghampiri tak sanggup kutolak. Aku biarkan mataku terlelap sejenak untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang sejak tadi terus bergumul dikepalaku. Aku berusaha membangkitkan rasa syukur kepada Tuhan, meskipun keadaanku masih terombang-ambing ditengah gelombang kehidupan, namun satu hal yang harus aku syukuri adalah badan dan jiwaku sejauh ini sehat-sehat saja. Belum pernah kurasakan badanku terkena sakit yang agak keras sehingga aku harus menjalani perawatan di rumah sakit. Akupun tak ingin dimasa yang akan datang ada penyakit yang menyerangku. Selalu kuusahakan untuk menjaga kesehatan badanku. Kuhindari begadang yang tak perlu, merokok, minuman beralkohol, bahkan makanan yang oleh banyak orang dianggap lezat tetapi tidak bagus untuk kesehatan, semacam gajih dan jerohan, berusaha kuhindari.
Begitupun untuk menjaga kesehatan jiwaku, aku berusaha untuk selalu terhubung dengan Tuhan penciptaku. Hubungan dengan Tuhan itulah yang selama ini membuatku selalu “terkendali”. Kalaupun aku sedang marah, tak sampai rasa amarahku meledak-ledak keluar, apalagi sampai melukai perasaan orang lain. Aku sadari sepenuhnya bahwa pengendalian emosi itu sangat penting dan merupakan ukuran dari kedewasaan seseorang, utamanya seorang laki-laki. Tak ada yang patut dibanggakan oleh seseorang yang apabila dia marah semua kata-kata kotor dikeluarkan dari mulutnya, kata-kata yang menyakitkan perasaan orang yang dimarahinya. Terlebih lagi bila amarahnya itu dilontarkan dihadapan orang banyak. Bila untuk mengendalikan emosinya sendiri saja belum mampu dilakukan apatah lagi mengendalikan emosi orang lain.
Selain itu, akupun berusaha untuk menghargai dan menghormati semua orang, siapapun dia, berapapun umurnya, apapun pekerjaannya, apapun jabantannya, apapun kepercayaannya. Tak lagi penting bagiku seberapa kaya seseorang, seberapa tinggi jabatan seseorang, seberapa elitnya pekerjaan seseorang, berapapun umurnya, apapun keyakinan orang itu. Penghargaanku kepada orang lain dilandasi kesadaran bahwa aku dan mereka adalah sama, sama-sama manusia. Sama-sama memiliki nilai kemanusiaan, itu saja. Penghormatanku kepada orang lain adalah wujud penghormatan kepada diriku sendiri, kepada kemanusiaanku.
Lelapku tersentak oleh suara yang keluar dari pengeras suara diatas tempat dudukku. Suara yang memberitahukan kepada penumpang bahwa pesawat segera mendarat.
“Para penumpang yang terhormat, dalam masa yang tak lama lagi pesawat ini akan mendarat di Lapangan Terbang Antar Bangsa di Negara Brunei Darussalam”.
Bersambung lagi….

Minggu, 25 Desember 2016

BERANGKAT KE BRUNEI

Jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika pesawat Royal Brunei yang kunaiki mulai bergerak melepaskan diri dari garbarata yang menjulur kearah pintu pesawat di Bandara Juanda Surabaya. Semua kursi pesawat dipenuhi penumpang. Kulihat para penumpang yang duduk disekitarku, semua wajah-wajah orang Indonesia. Bahasa yang mereka gunakan, yang terdengar olehku saat keriuhan ketika mencari nomor tempat duduk tadi, lebih banyak bahasa Jawa.
Karena malam yang telah mulai larut, tak ada keinginanku untuk menyapa atau mengajak berbincang penumpang yang duduk disebelahku. Aku hanya memberikan senyuman saja ketika penumpang duduk disebelahku. Begitupun ketika awak kabin pesawat yang semuanya berkerudung itu, tengah memperagakan petunjuk keselamatan penerbangan, tak lagi menarik perhatianku. Posisi tempat dudukku yang berada dekat dengan jendela memberiku peluang untuk menikmati pemandangan diluar. Semuanya yang terlihat seolah-olah sedang berlari kearah belakang meninggalkan pesawat.
Anganku melayang kembali kesaat aku memasuki bandara tadi. Hatiku serasa tersayat sembilu tatkala kulihat tatapan istri dan anakku yang masih dalam gendongan. Tak sanggup kubayangkan betapa berat perpisahan itu. Perpisahan yang akan kujalani setidaknya dua tahun kedepan. “Ah, sudahlah!!”, pikirku, sambil berusaha untuk menghilangkan bayangan itu. Kami toh sudah sepakat untuk berpisah sementara. Berpisah untuk mengawali kehidupan yang kami harapkan bisa jauh lebih baik dimasa depan kelak.
Lamunanku beralih ke masa beberapa hari lalu, ketika aku sedang bekerja di lapangan. Saat itu aku bertugas sebagai chief surveyor pengukuran Kali Bedadung Kabupaten Jember. pekerjaan pemetaan itu akan digunakan untuk perencanaan penanggulangan bencana. Seingatku, pekerjaan itu adalah proyek terakhir yang kukerjakan sebagai seorang surveyor.
Aku sedang berada ditepi muara sungai Bedadung yang terletak persis di sebelah Tempat Pelelangan Ikan Puger, ketika seorang teman memberi kabar bahwa aku mendapat panggilan dari Surabaya.
“Mas, sampean diminta untuk segera pulang ke Surabaya”.
“Ada apa?, tanyaku memastikan.
“Katanya, Sampean harus segera berangkat ke Brunei”.
Aku yang ketika itu sedang mengarahkan anggota pekerja pengukuran yang sedang berada diatas perahu untuk mengukur kedalaman muara, agak terkejut dan bingung. Terkejut karena tak menduga akan secepat ini aku harus berangkat, padahal belum genap satu bulan aku berangkat dari Surabaya untuk mengerjakan proyek ini. Aku juga merasa bingung, bagaimana aku akan mengatakan hal ini kepada manajer perusahaan. Padahal aku telah menandatangani kontrak untuk menyelesaikan pekerjaan ini hingga tuntas.
Lamunanku buyar saat terdengar suara pilot member tahu bahwa pesawat akan segera take-off. Aku memperbaiki posisi dudukku lebih tegak. Kulihat dari jendela keindahan kota Surabaya dari ketinggian. Lampu-lampu berwarna-warni semakin memperindah pemandangan. Makin lama pemandangan itu makin kecil dan akhirnya menghilang sama sekali.
Kini yang terlihat dari jendela hanya kegelapan. Kegelapan yang pekat. Teringat kembali olehku bagaimana aku harus mengatur strategi untuk mengatakan kepada manajer tentang kepergianku ke Brunei itu. Segera kutemui Pak T. Supriyadi, seorang anggota tim survey. Beliau adalah seniorku, mentorku dan sekaligus bosku, sejak di Padang dulu. Ketika aku mendapat pekerjaan ini, aku minta bantuan beliau yang ketika itu sedang tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Aku ceritakan semua permasalahanku kepadanya. Dengan bijak, beliau mengatakan akan menyelesaikan pekerjaan itu jika memang aku memutuskan untuk berangkat.
“Berangkatlah, ceritakan yang sebenarnya kepada manajer. Aku yang akan menyelesaikan pekerjaan ini”.
“Terima kasih, Pak Pri”, ucapku dengan penuh keharuan.
Lalu aku berpamitan kepada semua anggota tim, tak lupa pula kupinta maaf karena telah melarikan diri dari tanggung jawab yang mestinya aku selesaikan.
Esoknya, pagi-pagi aku telah tiba dikantor. Sengaja aku datang lebih awal, agar ketika sang manajer tiba, aku telah berada disana. Tak lupa kubawa serta semua dokumen yang pernah dibuat perusahaan untukku, surat kontrak, surat tugas hingga gaji bulan pertama yang telah kuterima.
Ketika manajer tiba, dia agak terkejut melihatku. Lalu kuungkapkan semua keadaan yang kualami. Namun, reaksinya tak seperti dugaanku. Dia agak marah.
“Bagaimana kau ini, kau sudah tanda tangan kontrak tetapi sekarang kau tinggalkan begitu saja”, teriaknya.
“Saya juga tidak menyangka kalau akan secepat ini pak”.
“Berarti kau mengutamakan ke Brunei daripada perusahaan. Dan kau tidak menghargai kontrak yang sudah ditandatangani sendiri”.
“Saya mohon maaf, Pak. Kalau soal pekerjaan, saya jamin akan tuntas. Pak Supriyadi yang akan menyelesaikannya. Beliau itu atasan saya dulu”, aku mencoba meyakinkannya.
Tiba-tiba lamunanku dikejutkan oleh suara roda kotak makanan yang didorong oleh pramugari yang hendak membagikan makanan kepada penumpang. Tak lama berselang, satu kotak makanan disodorkan oleh seorang pramugari kearahku. Segera kubuka kotak itu, lalu kututup kembali. Tak ada keinginan sedikitpun untuk mencicipi makanan itu. Lidahku terasa pahit, sepahit jalan hidup yang kurasakan.
Bersambung…..

Sabtu, 24 Desember 2016

DANAU MANINJAU YANG INDAH




Sesaat setelah saya mengganti foto sampul akun facebook kemarin, teman saya langsung memberi komentar, “@danau maninjau”. Saya pun membenarkannya. “Hafal betul temanku itu dengan Danau maninjau”, pikir saya. Danau maninjau memang luar biasa indahnya, mampu memikat siapa saja yang memandangnya. Danau kebanggaan masyarakat Sumatera Barat, termasuk saya yang dilahirkan disana.
Foto-foto itu saya ambil beberapa waktu lalu ketika saya pulang kampung. Saya mengambilnya dari atas bis yang saya tumpangi. Ketika itu saya dalam perjalanan dari Bukittinggi ke Pasaman Barat, kampung kelahiran saya.
Saya merasa dekat dengan Danau Maninjau, tanah kelahiran Buya Hamka, seorang ulama besar yang menjadi kebanggaan orang minang itu. Bukan hanya karena sering melewatinya, tetapi karena saya pernah bekerja di sekitar daerah aliran sungai Batang Antokan, sungai yang menjadi pembuangan air PLTA Maninjau. Namun itu sudah lama sekali, dua puluh tiga tahun yang lalu.
Danau Maninjau letaknya tidak terlalu jauh dari Bukittinggi, sekitar tiga puluhan kilometer saja. Untuk mencapainya kita harus melalui jalan sempit berkelok-kelok yang sangat tajam. Tak hanya itu, setiap kelokan, jalannya juga menurun curam. Kelok-kelok itu dinamakan kelok “ampek puluah ampek”, yang artinya jumlah keloknya empat puluh empat.
Kita tak perlu menghitung kelok-keloknya karena setiap kelok sudah diberi nomor. Kelok satu paling bawah didekat danau hingga kelok terakhir paling atas. Nomor-nomor itu memudahkan untuk menentukan kita berada pada kelokan keberapa.
Tidak disarankan melalui jalan itu bagi pengendara yang belum berpengalaman atau masih tahap belajar. Selain karena jalanan yang berkelok dan curam, kearifan lokal dalam berkendara juga harus diikuti. Misalnya, kendaraan yang dari atas berhenti sejenak, mendahulukan kendaraan yang dari bawah melewati kelok. Selain itu, pengendara menghindari kendaraannya saling berpapasan persis di tikungan, karena jalan yang sempit dan curam.
Salah satu view terbaik untuk menikmati indahnya Danau Maninjau adalah dari Puncak Lawang. Puncak lawang adalah objek wisata tersendiri yang berada di puncak bukit, letaknya sebelum menuruni kelok ampek puluah ampek. Dari puncak lawang, pemandangan danau tampak sangat cantik, awan terasa begitu dekat dengan bukit tempat kita berdiri. Ditambah dengan hawa yang sejuk, menambah indah dan segar suasana alam ciptaan Sang Maha Pencipta.
Soal makanan, salah satu makanan yang khas dari Danau Maninjau adalah “Pensi”. Sejenis kerang tetapi sangat kecil, hanya sebesar ujung jari kelingking. Pensi ini biasanya dijual sudah dimasak dengan kulitnya. Kita hanya perlu menghisap daging pensi dari kulitnya yang sudah sedikit terbuka.

Jumat, 23 Desember 2016

MENIKAH, PENYESUAIAN SEUMUR HIDUP

Banyak pasangan yang mengakhiri ikatan perkawinan mereka dengan alasan karena tidak ada kecocokan. Dengan kalimat yang diperhalus mereka menyebutnya “Ada perbedaan prinsip”. Sebenarnya, jika yang berbeda itu adalah hal-hal yang sangat prinsip, tentu hal itu sudah diketahui dan dirasakan sebelum mereka memutuskan menikah. Sesuatu yang sangat prinsip biasanya sulit diubah dalam waktu yang singkat.
Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, rasa cinta yang membara dan suasana kebahagiaan yang dirasakan, akan menyingkirkan sisi-sisi negatif pasangannya. Semua tampak indah dan bahagia. Segala nasehat yang tidak sejalan dengan isi hatinya akan ditolaknya. Baru ketika kehidupan perkawinan telah dijalani, kehidupan sebenarnya akan tampak dan terasa. Sisi-sisi buruk pasangan mulai terlihat dengan segala dalih-dalihnya.
Tetapi, apakah ada pasangan yang benar-benar cocok satu sama lain?, sehingga tak pernah ada perselisihan diantara mereka.
Mungkin ada, tetapi itu langka. Pasangan suami istri, masing-masing mereka dulu bukan siapa-siapa. Orang Jawa menyebutnya “Ora sanak ora kadhang”, bukan saudara bukan kerabat, orang lain. Tak boleh ada hubungan darah diantara mereka yang hendak menikah. Mereka bertemu karena jodoh, lalu terikat dengan ikatan yang sangat teguh, ikatan perkawinan.
Masing-masing dilahirkan oleh ibu yang berbeda, dibesarkan dengan asuhan yang berbeda. Makanan yang dimakannya berbeda pula. Teman, sekolah, lingkungan bahkan budaya dan bahasa yang berbeda. Semua itu membentuk karakter dan perilaku yang berbeda pula.
Tiba-tiba mereka bertemu, berikrar untuk menjalani kehidupan yang baru berdua. Lalu mereka tinggal bersama, tidur bersama, makan dengan makanan yang sama. Semua itu mereka lakukan dengan orang yang sama sekali baru dalam semua halnya.
Banyak diantaranya yang terkejut dan tergagap diawal kehidupan barunya. Tentu hal itu wajar saja. Kebiasaan yang telah terbentuk pilihan tahun, bahkan sejak ia dilahirkan, tiba-tiba harus berubah secara singkat. Setiap keinginan yang biasanya selalu bisa terkabul karena dipenuhi orang tua, kini harus menahan diri karena tidak diinginkan oleh pasangannya.
Dalam keadaan demikian, satu-satunya yang dibutuhkan adalah penyesuaian. Masing-masing melakukan penyesuaian diri terhadap pasangannya. Penyesuaian ucapan, sikap, perbuatan, pemikiran, bahkan yang paling sulit adalah penyesuaian selera. Tak ada rumah tangga yang mampu bertahan lama tanpa masing-masing mau menyesuaikan diri. Bahkan terkadang itu saja tidaklah cukup, harus melakukan lebih dari sekedar menyesuaikan diri, yaitu mengalah.
Seorang rekan, pernah mengatakan bahwa diusia perkawinannya yang telah memasuki lebih dari tiga puluh tahun, dia masih terus melakukan penyesuaian diri, setiap hari. Memasuki usia senja, emosi lebih sering tidak stabil, soal selera pun demikian. Hal itu menuntut kesabaran yang lebih dari sebelumnya. Penyesuaian itu mesti diperbaharui setiap saat.
Bila kini telah kau putuskan untuk menikah, maka bersiap-siaplah untuk melakukannya seumur hidupmu…

KEUNGGULAN-KEUNGGULAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Oleh : Supianto, SH., MH.*)

Diterbitkan dalam Kolom Opini Radar Jember, Kamis, 22 Desember 2016

Banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan pendapat dalam bidang keperdataan. Secara garis besar, penyelesaian sengketa dapat dibagi dua cara, yaitu penyelesaian melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian diluar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa melalui pengadilan bisanya membutuhkan waktu yang lama karena prosedurnya yang formalistis. Selain itu pemeriksaan perkara dipengadilan juga menganut asas terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap rang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan dipersidangan.
Penyelesaian sengketa yang kedua adalah penyelesaian alternatif diluar pengadilan. Kata alternatif menunjukkan bahwa para pihak yang bersengketa bebas melalui kesepakatan bersama memilih bentuk dan tata cara penyelesaian yang sesuai. Cara ini secara tradisional telah banyak dipakai dalam masyarakat melalui proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Secara yuridis, ketentuan mengenai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini telah diatur dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).
Penyelesaian sengketa secara musyawarah sebenarnya memiliki nilai yang luhur dan telah dipraktekkan dalam masyarakat di Indonesia. Hukum-hukum lokal yang terdapat dan dianut oleh masyarakat memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Hukum lokal merupakan hukum yang hidup dan berlaku dalam suatu komunitas tertentu yang secara nyata diwujudkan dalam mengatur perbuatan anggota masyarakat pendukungnya yang dapat berupa hukum adat, hukum agama, maupun perpaduan dari keduanya.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan memiliki prinsip fundamental yang bersumber dari hukum adat yang telah banyak dipraktekkan masyarakat adat di banyak daerah di Indonesia. Beberapa prinsip tersebut antara lain mengusahakan agar mendapat kesepakatan, penyelesaian sengketa secara damai, mencapai persetujuan atau kesepakatan dan mendapatkan pemecahan atas persoalan yang timbul akibat konflik tersebut.
Undang-undang No. 30 Tahun1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sehingga dalam praktik, para praktisi hanya merujuk pada pengertian-pengertian yang selama ini beredar di masyarakat. Istilah “alternatif” dalam APS memang dapat menimbulkan kebingungan, seolah-olah mekanisme APS pada akhirnya khususnya dalam sengketa bisnis, akan menggantikan proses litigasi di pengadilan.
Perlu juga dipahami bahwa APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat berdampingan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Memang, APS lazimnya dilakukan di luar yurisdiksi pengadilan. Sama seperti istilah “pengobatan alternatif”, bahwa “pengobatan alternatif” sama sekali tidak mengeliminasi “pengobatan dokter”. Bahkan terkadang keduanya saling berdampingan. Begitu juga dengan APS dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat berjalan saling berdampingan. Oleh karena itu, para hakim perlu terus-menerus mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh upaya damai meskipun perkara sedang dalam proses persidangan.
Penyelesaian sengketa melalui APS dilakukan melalui prosedur yang disepakati para pihak dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi. Negosiasi merupakan proses konsensual yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan antara mereka yang berskengketa. Negosiasi dijadikan sarana bagi mereka yang bersengketa untuk mencari pemecahan masalah mereka tanpa melibatkan pihak ketiga. Proses negosiasi ini sama dengan praktek musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti yang telah banyak dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.
Penyelesaian sengketa dilakukan melalui prosedur negosiasi, mediasi, konsiliasi diatas mengarah pada satu kesepakatan bersama yaitu perdamaian. Penyelesaian dengan jalur APS atau non litigasi memiliki beberapa keunggulan dibanding dengan jalur litigasi. Meskipun APS tidak dianggap sebagai pengganti dari forum pengadilan, namun jangan dilupakan bahwa faktanya APS dianggap sebagai alternatif oleh mereka yang sangat kritis terhadap sistem peradilan Indonesia. Kelambanan proses perkara, terutama di Mahkamah Agung,  dilihat sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah  permasalahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta adanya mafia hukum yang memperparah buruknya penegakan hukum.
Diantara keunggulan dari penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah sifat kesukarelaan dalam proses, prosedur yang cepat, putusan non yudisial, bersifat rahasia, fleksibel, hemat waktu dan biaya, pemeliharaan hubungan baik, lebih mudah dikontrol dan putusan yang cenderung bertahan lama.
Pertama, Sifat kesukarelaan dalam proses. Kesukarelaan disini berarti bahwa penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Perjajian tersebut dibuat berdasarkan pada kesukarelaan, baik menyangkut substansi maupun prosesnya. Tidak demikian jika proses beracara di pengadilan, prosedur di pengadilan telah ditentukan secara pasti. Kedua, Prosedur yang cepat. Karena sifatnya yang informal, proses APS  jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan proses di pengadilan. Beban-beban pembuktian tidak terlalu prosedural dan kaku yang dapat membebani para pihak.
Ketiga, Putusan bersifat Nonyudisial. Berbeda dengan litigasi dan arbitrase dimana sengketa diputus oleh pihak ketiga yaitu hakim atau arbiter, keputusan lebih kepada kesepakatan para pihak yang bersengketa sendiri, baik dengan atau tanpa pihak ketiga yang netral. Putusan yang dihasilkan juga tidak bersifat kalah menang (win-loss) sebagaimana putusan pengadilan dan arbitrase, akan tetapi bersifat saling memenangkan (win-win). Keempat, Bersifat rahasia (confidential).   Proses dan putusan penyelesaian melalui APS bersifat rahasia, hal ini berbeda dengan proses dan putusan melalui lembaga peradilan yang menganut asas terbuka untuk umum sehingga setiap orang dapat melihat dan mendengar setiap proses pemeriksaan perkara. Sifat kerahasiaan ini ditujukan untuk menjaga reputasi dari para pihak yang bersengketa. Khusus dalam mediasi, ketentuan Perma No. 1 tahun 2016  Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, menyatakan bahwa proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain. 
Kelima, Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian sengketa. Syarat-syarat dalam penyelesaikan sengketa melalui APS lebih fleksibel karena ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai kesepakatan. Keenam, Hemat waktu dan biaya. Sebagai konsekuensi logis dari cepatnya prosedur dan fleksibelnya syarat-syarat APS maka akan menghemat waktu dan biaya. Proses penyelesaian melalui APS ini sebenarnya sesuai dengan asas penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat dan biaya ringan, yang menjadi asas dalam proses peradilan.
Ketujuh, Pemeliharaan hubungan baik antar pihak (remedial). Pemeliharaan hubungan baik berarti bahwa hubungan antara para pihak selama  bersengketa menjadi beku dapat pulih kembali. Hal ini karena selama proses penyelesaian sengketa, para pihak terlibat secara aktif dan turut menentukan dalam proses tersebut. Kedelapan, Hasil lebih mudah dikontrol. Hasil dari penyelesaian melalui APS ini lebih mudah dikontrol atau diperkirakan (predictable). Hal ini karena para pihak terlibat aktif dalam proses dan dalam penentuan prosedur dan syarat-syarat penyelesaian sengketa tersebut, sehingga para pihak dapat memperkirakan bagaimana hasil yang mungkin dicapai dalam proses tersebut.
Terakhir kesembilan, Putusan yang dihasilkan cenderung bertahan lama. Hal ini disebabkan penyelesaian sengketa dilakukan secara kooperatif bukan dengan pendekatan adversial atau pertentangan. Putusan yang dihasilkan pada dasarnya merupakan keputusan dari masing-masing pihak yang telah disepakati bersama. Dengan demikian konsekuensi dari putusan tersebut, pelaksanaannya juga akan dilakukan secara sukarela dan meminimalisir konflik yang dapat timbul dikemudian hari.


*) Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Jember.

KIL-KILAN - NGARIT

Mengenang masa-masa kecil, selalu menyenangkan bagi saya. Meskipun masa kecil saya bukan hanya sekedar bermain-main saja. Sebagai anak seorang petani yang sangat jauh dari kota, saya nyaris tak pernah dibelikan mainan. Mainan saya dan anak-anak didesa lainnya, semua berasal dari apa yang ada dialam. Bahkan saat bermainpun kami langsung di sawah, di ladang bahkan di hutan.
Keluarga kami keluarga petani, yang mengandalkan penghasilan utama dari hasil pertanian. Untuk usaha sampingan, bapak saya memelihara sapi. Sedang ibu berjualan pecel di dan beberapa makanan lain. Namun tidak setiap hari, hanya sekali dalam seminggu saja, bertepatan dengan hari pekan.
Kami memelihara dua ekor sapi, satu induk dan yang satu anaknya. Setiap hari bapak saya mencari rumput untuk pakan sapi itu. Ketika anak sapi itu mulai tumbuh agak besar, rumput yang didapatkan oleh bapak tidak cukup lagi untuk pakan kedua sapi itu. Akhirnya, saya juga dapat tugas baru sebagai tugas tambahan, mencari rumput.
Mencari rumput untuk pakan ternak, orang jawa menyebutnya “ngarit”. Kata ngarit ini berasal dari kata “arit” artinya alat tradisional untuk memotong rumput, dalam istilah lain orang menyebutnya sabit atau celurit. Ngarit secara umum maksudnya adalah mencari rumput dengan menggunakan arit sebagai alat untuk memotongnya.
Hampir semua keluarga di desa saya, dulu, memelihara sapi. Jumlah sapi yang dimiliki, menjadi semacam penunjuk status sosial keluarga itu. Bila jumlah sapi yang dimiliki semakin banyak, maka status sosialnya semakin tinggi. Harta kekayaan mereka diukur dengan berapa jumlah sapinya.
Karena hampir semua keluarga memelihara sapi, maka semua anak laki-laki disana punya tugas yang sama, ngarit. Sepulang sekolah, biasanya kami beramai-ramai, sekitar enam atau tujuh anak tetangga sekitar, pergi ngarit bersama.
Ketika ngarit bersama itulah, sifat kekanak-kanakan itu tak bisa dilepaskan. Pekerjaan berat itu selalu diselingi dengan permainan khas anak-anak. Permainan yang selalu menyenangkan. Permainan itu kami namakan “kil-kilan”. Kil-kilan maksudnya adalah mengukur jarak dengan kil yang menggunakan panjang arit dan tangkainya untuk mengukur.
Permainan dimulai dengan masing-masing mengumpulkan setumpuk rumput yang ditumpuk di satu tempat. Kemudian dipasanglah tonggak dari potongan ranting kayu. Masing-masing anak berdiri berbaris sejauh kira-kira dua puluh meter dari tonggak kayu itu. Lalu, secara bergantian, melemparkan aritnya kearah kayu itu, tetapi tak boleh mengenainya. Siapa yang aritnya paling dekat dengan tonggak itu, dialah pemenangnya. Kami mengukurnya dengan menggunakan panjang salah satu arit, untuk menentukan siapa yang menang.
Bagi yang menang hadiahnya adalah setumpuk rumput yang sudah dikumpulkan tadi. Bagi yang menang, dia tak perlu ngarit lagi, karena rumput yang dikumpulkan tadi sudah lebih dari cukup untuk dibawa pulang. Sementara yang kalah, harus mencari rumput yang lain untuk dibawa pulang. Saya yang ketika itu memiliki postur yang lebih kecil dibanding teman-teman saya, nyaris tak pernah menang dalam permainan itu.
Permainan tetap permainan, anak-anak tetap anak-anak. Meskipun yang menang itu tak perlu lagi mencari tambahan rumput, tetapi tak pernah sekalipun dia lantas pulang lebih dulu. Kami selalu pulang bersama-sama. Bahkan seringkali dia membantu teman-temannya agar dapat segera pulang bersama.
Itulah dunia anak-anak, bermain adalah pekerjaan utamanya….

Selasa, 20 Desember 2016

BAHASA TANGIS

Bila kita ingin menyampaikan pesan kepada orang lain, banyak cara yang bisa digunakan. Cara yang paling umum adalah menyampaikannya dengan bahasa lisan. Namun terkadang, diam seribu bahasa justru lebih ampuh untuk menunjukkan sikap daripada rentetan kata-kata.
Demikian pula bahasa untuk mengungkapkan rasa cinta, terkadang lirikan mata lebih mampu mengungkapkan lebih banyak makna daripada kata-kata indah. Tatapan mata yang menyala lebih mampu mengungkapkan rasa cinta kepada sang kekasih.
Bahasa lain untuk mengungkapkan pesan yang lebih dalam adalah bahasa tangis. Tangisan, selama ini dianggap sebagai sikap kekanak-kanakan, lemah dan teraniaya. Apakah anggapan itu benar?. Ternyata tidak. Manusia-manusia agung dalam sejarah banyak yang mencucurkan airmata. Banyak kisah-kisah para nabi dan tokoh-tokoh terkenal yang acapkali menangis mencucurkan air mata.
Mari kita bertanya pada diri sendiri, kapan terakhir kita menangis? Lalu kenapa kita menangis?. Secara biologis, menangis tentu berguna untuk membersihkan mata dari kotoran-kotoran yang mengendap pada mata kita, cuci mata. Tetapi lebih dari itu, menangis memiliki keterkaitan dengan respons emosional manusia.
Kita akan menangis bila disakiti. Dalam keadaan tak berdaya untuk melawan tindakan-tindakan yang sangat menyakitkan hati, biasanya kita akan mengekpresikan perasaan itu dalam bentuk tangisan.
Dalam sedih karena kehilangan, apalagi kehilangan orang-orang yang berarti dan kita kasihi. Kematian tanpa tangisan justru dianggap aneh bagi sebagian orang. Bahkan terkadang tidak hanya manusia, kehilangan hewan kesayangan pun terkadang kepergiannya ditangisi.
Kita juga akan menangis ketika sedang merasakan kebahagiaan. Rasa bahagia yang meluap-luap seringkali tak mampu menahan cucuran airmata. Ketika hari perkawinan, kelahiran anak pertama atau ketika berhasil menyelesaikan studi, ketika itu airmata kebahagiaan selalu menghiasi momen-momen indah itu.
Bahasa tangis adalah ungkapan dari hati manusia yang paling dalam. Tangisan bersumber dari sesuatu yang terletak jauh didalam jiwa yang terkait dengan sumber spiritualitas manusia. Tangis yang tercurah karena penyesalan atas dosa-dosa yang telah dilakukan merupakan bagian dari nilai spiritual itu.
Tetapi jangan pula terkecoh, tangisan terkadang dijadikan modus tipuan. Seringkali tangis digunakan untuk mengundang simpati orang lain. Seseorang dapat saja menunjukkan penyesalannya untuk meringankan hukuman.
Tentu saja, kita akan dapat membedakan mana tangisan yang tulus dan mana yang modus…

SEMUA INDAH PADA WAKTUNYA

Beberapa hari lalu, sambil makan siang, saya dan dua orang rekan berbincang-bincang tentang kenangan ketika muda dulu. Masing-masing menceritakan tentang masa-masa sulit ketika menjalani awal-awal perkawinan.
Seorang rekan menceritakan bagaimana dia dipusingkan oleh keadaan dirinya, keadaan ekonomi yang masih belum sanggup untuk mecukupi kebutuhan dasar dalam keluarga. Ketika itu, istrinya tengah hamil tua dan segera memasuki masa melahiran. Masalahnya adalah dia tidak punya cukup uang untuk membiayai proses persalinan istrinya.
Ketika hari melahirkan itu tiba, perasaan bingung semakin memuncak. Apalagi, Bidan yang membantu persalinan menyatakan bahwa istrinya perlu perawatan khusus karena ada sesuatu hal dengan kesehatannya. Hal itu membuatnya semakin risau dan tertekan. Dicobanya menemui beberapa temannya yang keadaan ekonominya lebih baik, untuk memohon pinjaman uang. Namun semua teman yang ditemuinya tidak berpihak kepadanya.
Akhirnya kuasa Tuhan pulalah yang berlaku. Tak disangka tak diduga sebelumnya, datanglah seorang teman yang tidak perkirakan akan membantunya. Dibantunya perawatan istrinya hingga sembuh, tanpa pinjaman tanpa pengembalian…
Seorang rekan satunya juga menceritakan kisah pilunya. Ketika itu, dia masih menjalani kehidupan berumah tangga ditahun pertama. Tak ada cukup uang ditangannya untuk sekedar membayar sewa kamar kos selama satu bulan, apatah lagi untuk mengontrak rumah. Uang ditangannya hanya cukup untuk makan seadanya.
Kehidupannya akhirnya menumpang dirumah teman. Bila merasa sudah tak nyaman, maka berpindah menumpang ditempat teman satunya. Begitulah seterusnya. Hingga pada suatu hari, ketika teman yang ditumpanginya pulang kerja dan didapatinya dia sedang mandi, terdengar olehnya teman itu mengomel tentang dirinya. “Puas-puaskan mandinya, memangnya air itu tidak bayar?”, begitu didengarnya dari kamar mandi.
Dia merasa tidak enak sendiri. Dia merasa temannya tidak sungguh-sungguh ikhlas membantunya. Akhirnya dia pamit, keluar dari rumah itu tanpa tahu akan kemana lagi hendak menumpang tidur malam nanti. Akhirnya, kuasa Tuhan jugalah yang berlaku.
Ditengah kebingungan itu, datanglah seorang teman yang tidak sangka-sangka akan menolong. Diajaknya dia untuk tinggal dirumahnya, selama yang dia inginkan.
Hanya saya saja, yang tidak menceritakan keadaan sulit ketika awal-awal perkawinan dulu. Saya hanya sedikit bingung untuk memilih cerita mana yang hendak disampaikan, karena cerita sulit itu banyak sekali. Sehingga saya merasa tak perlu memilih salah satu diantaranya. Masa-masa sulit itu sudah banyak saya ceritakan, sudah banyak saya tuliskan.
Namun ada satu hal penting yang mereka sepakati, semua cerita itu tak lagi menjadi cerita sedih. Cerita memilukan itu kini menjadi indah bila dikenang. Cerita pilu itu hanya pilu ketika terjadi, namun kini cerita itu indah belaka. Cerita sedih masa lalu melahirkan rasa syukur yang besar atas nikmat yang dirasakan kini.
Kehidupan yang sulit melahirkan sikap kerja keras. Merasakan diabaikan akan melahirkan penghormatan. Keadaan berkekurangan melahirkan empati.
Jika hidupmu kini masih sulit, jalani dan syukuri saja. Semua akan indah pada waktunya…

Minggu, 18 Desember 2016

SEMALAM DI PARAMAN AMPALU

(sebuah cerpen)
“Jadi, mau kalian apa?”, tanya orang tua itu dengan nada tinggi.
Pertanyaan itu membuat hati kami kecut. Dari nada suaranya, kami tahu bahwa orang tua itu sedang menahan marah.
Sambil memegang pisau yang berkilau, tangan kanannya terus mengoretkan pisau itu ke permukaan kulit ari buah pinang. Selesai satu buah, tangan kirinya dengan spontan mengambil buah yang lainnya. Begitu seterusnya hingga onggokan buah pinang itu berpindah tempat.
Aku tahu, yang dilakukannya itu hanya pelampiasan saja, hanya untuk mengalihkan rasa geram dihatinya saja. Aku dapat memahami perasaannya, akupun dapat memahami kenapa dia begitu marah.
***
Ucok adalah adik kelasku di SMA. Dia tinggal di sebuah kamar kos. Tak terlalu jauh, sekitar lima ratus meter dari tempat tinggalku. Siang tadi, Ucok menemuiku diteras depan masjid. Terlihat jelas ketegangan diwajahnya. Wajahnya pucat pasi.
“Mas, Aku minta tolong!”, pintanya penuh harap.
“Ada apa, Cok?”
“Aku dipanggil Bapaknya Leni”
“Leni siapa?”
“Leni, pacarku”
“Lho, ada apa kok dipanggil sama Bapaknya?”
Ucok lalu menceritakan kejadian yang dialaminya.
Ucok dan Leni memang berpacaran, belum begitu lama. Kebetulan tempat kos mereka cukup dekat, hanya berpuluh meter saja jaraknya. Karena dekat, Ucok sering berkunjung ketempat kos Leni, meski hanya sebentar. Biasanya, mereka ngobrol di ruang tamu. membicarakan hal yang ringan-ringan saja dan yang menyenangkan mereka berdua.
Beberapa hari lalu, suasana cukup sepi dirumah kos itu. Ibu kos tidak ada dirumah, begitu pula anak-anak kos yang lain juga sedang ada acara keluar. Leni sedang dikamarnya, sendirian.
Tiba-tiba, terdengar pintu kamarnya diketuk seseorang. Segera saja dibukanya pintu itu. Dilihatnya Ucok sudah berdiri didepan pintu. Mereka lalu masuk kedalam kamar, berdua saja. Tak ada seorangpun yang tahu apa yang mereka perbuat di kamar itu.
Tak ada yang tahu bahwa mereka berduaan di kamar itu, hingga salah seorang teman kos Leni, pulang lebih cepat dari rencana. Maka gemparlah berita itu. Dengan cepat, kabar tentang Ucok dan Leni berduaan didalam kamar kos itu pun tersebar seperti terbakarnya semak-semak kering yang tertiup angin.
Kabar itu akhir sampai juga ke telinga orang tua Leni. Hatinya menjadi panas mendengar anak perempuannya melakukan perbuatan yang dianggap mencoreng nama baik orang tua. Dengan cepat, orang tua itu mengambil sikap, “Panggil anak laki-laki itu kemari. Aku ingin berurusan dengannya!”.
Pesan orang tua itu dengan cepat pula sampai kepada Ucok. Ketika pertama mendengarnya, lututnya seolah lepas, tubuhnya lemas tak berdaya. Ketakutanpun menghantui pikirannya, ketakutan akan apa yang terjadi pada dirinya.
Kecemasan Ucok mulai reda ketika dia menyelesaikan ceritanya. Aku mampu memahami rasa cemasnya itu.
“Lalu, kapan kita akan kesana?”, tanyaku menegaskan.
“Kalau bisa sekarang, Mas. Bapaknya menunggu kita nanti malam”.
“Baiklah, tunggu sebentar. Aku siap-siap dulu”.
***
Waktu hampir menjelang magrib ketika kami tiba di Paraman Ampalu. Sebuah desa yang cukup jauh dari tempat kami. Kami beristirahat sejenak dirumah seorang teman yang tak jauh dari rumah Leni. Sambil mencoba mengatur strategi tentang apa yang akan kami katakan untuk menjawab pertanyaan dari orang tua Leni. Tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti.
Waktu berputar begitu cepat. Magrib telah usai. Kami bertiga menuju ke rumah Leni, sambil berjalan kaki beriringan. Tak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulut kami. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri. Akupun begitu, pikiranku berkecamuk. Aku membayangkan seolah-olah sedang dipanggil menghadap seorang penyidik polisi untuk dimintai keterangan yang akan dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan.
Jantung terasa berdegup lebih kencang, ketika kami telah tiba didepan pintu. Rumah itu berbentuk panggung, berlantai kayu. Ada tiga anak tangga yang terbuat dari kayu pula. Kami harus menaikinya agar bisa masuk kedalam rumah.
“Assalamu’alaikum”, kami mengucap salam.
“Waalaikumsalam”, terdengar jawaban dari dalam. Pendek saja, jawaban yang terkesan tak ramah.
Kami masuk setelah dibukakan pintu. Sepintas kulihat Leni duduk diruang sebelah. Orang tua Leni duduk dipojok ruangan. Duduk bersimpuh sambil kaki kanannya ditekuk dengan lutut keatas.
“Duduk”, katanya dengan ketus. “Kalian ini siapa”, lanjutnya memulai pembicaraan.
“Saya Ucok, Pak”, jawab Ucok memperkenalkan diri.
“Saya temannya Ucok, Pak. Ini juga temannya”, aku juga memperkenalkan diri lalu menepuk lutut temanku yang duduk disampingku.
“Jadi, kau yang masuk ke kamar Leni”, katanya, sambil menatap kearah Ucok yang terus menundukkan kepala. Amarah orang tua itu mulai naik. Kami terdiap sesaat.
“Mohon maaf, Pak. Mereka memang khilaf”, aku berusaha menetralkan suasana yang mulai tegang.
“Apa kalian kira perbuatan itu pantas dilakukan oleh anak yang berpendidikan. Apa kalian diajarkan seperti itu disekolah?”.
“Tidak, Pak”, jawabku pelan. Kepala kami semua tertunduk, tak berani lagi menatap kearah orang tua itu. Ucok semakin pucat pasi, wajahnya seolah tak dialiri darah.
“Aku ingin kau dan Leni berhenti sekolah sekarang juga. Lalu aku nikahkan saja kalian, agar tak bikin malu lagi”, kini amarahnya makin memuncak.
“Sekali lagi mohon maaf, Pak”, aku menjawab sesopan mungkin agar emosinya tak semakin memuncak. “Mereka masih muda, tolong beri mereka kesempatan. Kalau mereka harus dinikahkan dan tidak meneruskan sekolah, bagaimana dengan masa depan mereka”, lanjutku mencoba meyakinkan orang tua itu.
“Jadi, mau kalian apa?”, katanya sambil setengah berteriak.
Kami tak ada yang berani langsung menjawab. Aku yang sejak sebelum berangkat siang tadi memang diminta oleh Ucok, untuk menghadapi orang tua itu, tak punya pilihan lain. Aku melirik kearah Ucok untuk mengajukan penawaran yang memungkinkan untuk diambil jalan tengah. Ucok mengangguk pelan. Akupun memberanikan diri untuk kembali bersuara.
“Mohon maaf, Pak. Masa depan mereka berdua masih panjang. Kami mohon Bapak mengijinkan mereka untuk tetap meneruskan sekolah. Setidaknya sampai mereka lulus SMA. Setelah itu, terserah kepada Bapak untuk memutuskan”.
Negosiasi itupun berjalan begitu alot, negosiasi untuk meyakinkan orang tua Leni. Aku meyakini bahwa akan jauh lebih baik bila mereka menyelesaikan sekolah dulu. Kalaupun mereka harus dinikahkan, sebaiknya itu dilakukan setelah mereka lulus SMA. Tak ada alasan yang mendesak untuk menikahkan mereka sekarang. Begitu yang ada dalam pikiranku ketika itu.
Akhirnya, luluh juga hati orang tua itu. Setelah sekian lama diyakinkan. Perasaan kami lega, beban berat yang bertumpu pada pundak kami sejak siang tadi tiba-tiba lenyap seketika. Namun itu tak terlihat pada wajah Ucok. Walaupun tidak setegang tadi, diwajahnya masih tampak tanda-tanda kecemasan. Memang, Ucok bisa lega sekarang, tapi itu tak lama. Setahun lagi Ucok akan lulus SMA, dan dia tidak bisa mengelak dari tuntutan orang tua itu. Tuntutan untuk menikah dengan Leni.
***
Sepuluh tahun kemudian, baru aku bertemu dengan mereka lagi. Mereka telah menjalani kehidupan berumah tangga. Mereka terlihat bahagia.
Sayangnya, aku tak pernah bertemu mereka lagi, hingga kini….

PELAJAR BERTANI

Ketika saya lulus SMP dulu, belum ada sekolah SMA di daerah saya. Sekolah SMA terdekat berada di kecamatan lain, berjarak lebih dari empat puluh kilometer dari rumah. Sekolah itu bernama SMA Negeri Lembah Melintang di Ujunggading.
Anak-anak lulusan SMP di desa saya banyak yang melanjutkan ke sekolah itu. Sebagian besar mereka kos di rumah-rumah orang setempat. Ada pula beberapa orang yang dibantu oleh orang Jawa yang sudah lama tinggal disana. Mereka menempati pondok-pondok kecil yang dibuat diatas tanah milik orang itu.
Ada lima pondok yang berjajar memanjang. Pondok itu kecil sekali, berbentuk panggung, berukuran dua kali tiga meter, beratap alang-alang. Setiap pondok biasanya ditempati dua orang.
Saya pernah merasakan tinggal disana meskipun tidak terlalu lama.
Didalam pondok yang kecil itu, kami tidur, menyimpan berbagai peralatan, hingga memasak. Memasak masih menggunakan dengan kayu bakar. Tungku untuk memasak diberi lapisan alas dari tanah liat agar apinya tidak membakar lantai yang terbuat dari kayu.
Ada yang unik dari para pelajar yang tinggal di pondok itu. Biasanya, seseorang yang melanjutkan pendidikan hingga keluar meninggalkan desanya, akan fokus dan sungguh-sungguh dalam belajar. Mereka tidak akan melakukan kegiatan-kegiatan lain yang justru akan menggangu studinya.
Namun, untuk mereka yang tinggal di pondok-pondok itu berbeda, mereka tidak hanya bersekolah saja. Mereka juga bertani, menggarap sawah untuk menanam padi. Memang di wilayah itu masih banyak lahan-lahan sawah yang sebenarnya produktif tetapi tidak digarap, hanya dibiarkan terlantar saja. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh para pelajar ini untuk menambah penghasilan dan membiayai sekolah mereka.
Mereka adalah pelajar yang pekerja keras. Setiap pulang sekolah, mereka langsung berganti seragam. Dari seragam sekolah berganti menjadi pakaian petani. Rutinitas itu mereka jalani setiap hari. Bila hari libur, mereka menghabiskan waktu seharian di sawah.
Saya berpikir, mereka tidak sedang belajar bertani. Mereka sedang bertani. Sawah yang mereka garap itu cukup luas, sesuai kemampuan mereka. Berapapun luas yang diinginkan, lahannya tersedia. Mereka menggunakan sepenuhnya tenaga mereka untuk menggarap sawah itu, mulai mengolah tanah, menanam, menyiangi, hingga panen.
Bila masa panen telah tiba, biasanya saudara-saudara mereka yang didesa akan datang membantu. Membantu memanen padi yang bagi saya jumlahnya banyak sekali.
Saya menyebut mereka pelajar bertani…

TERUS BERJUANG

Suatu hari, seorang teman sekolah tiba-tiba menelepon. Saya cukup kaget, karena sejak lulus sekolah dulu sampai sekarang, kami tidak pernah bertemu lagi. Saya berusaha memutar kembali memori ke masa dua puluh lima tahun yang lalu, untuk mengingat nama dan suara dari telepon itu.
Dia ingin berdiskusi tentang suatu masalah hukum yang dialaminya. Sebelum masuk kedalam materi yang ingin didiskusikan, kami saling bertanya tentang kabar masing-masing. Tentang apa saja kegiatan sekarang, tentang anak dan lain-lain yang ringan-ringan. Dari ceritanya, saya dapat menyimpulkan kalau dia sukses dalam karir dan keluarga.
“Saya masih terus berjuang”, jawab saya ketika dia bertanya tentang pekerjaan dan kegiatan yang saya lakukan.
“Pekerjaan kan sudah pasti, apalagi yang diperjuangkan?” tanyanya lagi.
“Memang benar, pekerjaan sudah pasti, tetapi kehidupan saya masih terus saya perjuangkan. Masih banyak hal yang harus dicapai dimasa depan”.
Kehidupan yang saya alami memang penuh perjuangan. Sejak kecil saya sudah biasa membantu orang tua untuk sedikit meringankan beban mereka. Ketika lulus sekolah SMA, saya tidak langsung kuliah. Kemampuan orang tua untuk membiayai kuliah tidak memungkinkan, sementara adik saya masih ada tiga orang lagi yang harus dibiayai sekolahnya.
Akhirnya, saya memutuskan bekerja sambil belajar. Bekerja, karena saya memperoleh penghasilan, meskipun tidak banyak, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu saya juga belajar dan berlatih untuk menjadi seorang surveyor pengukuran tanah. Tak memerlukan waktu yang lama untuk belajar, tiba-tiba saya sudah menjadi seorang Surveyor. Bahkan hingga menjadi Chief Surveyor.
Keadaan kemudian mengantarkan saya menjadi seorang Sales. Pekerjaan yang saya tekuni lebih dari Sembilan tahun kemudian. Pekerjaan ini yang mengantarkan saya pada kehidupan dan tempat tinggal saya yang sekarang. Perjuangan itu terasa lebih berat. Selama menggeluti pekerjaan ini pula, saya menyelesaikan kuliah S1, S2 dan Pendidikan Profesi.
Namun itu tidak cukup menentramkan hati dan fikiran. Saya ingin diri saya lebih bermanfaat bagi lebih banyak orang. Saya mensyukuri kehidupan ini sebagai anugrah Tuhan, tetapi saya juga harus berjuang lagi.
Kini saya merasa, ternyata dalam kehidupan ini masih banyak yang harus diperjuangkan. Saya masih memimpikan untuk meraih pendidikan level tertinggi. Semoga…

Senin, 12 Desember 2016

MAULID NABI

Hari ini, Dua belas Rabiul Awal, hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Karena hari libur, saya menikmati waktu dirumah bersama keluarga. Momen maulid Nabi ini mendorong saya untuk mengingat kembali sejarah kehidupan Nabi yang agung itu.
Saya buka lemari buku, untuk melihat buku-buku yang menulis tentang itu. Mata saya tertuju pada buku tebal berjudul “Sejarah Hidup Muhammad”, judul aslinya adalah “Hayat Muhammad” yang ditulis oleh Muhammad Husain Haekal dan diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Ali Audah.
Seperti biasanya, setiap membaca suatu buku, setelah melihat sampul depan kemudian saya baca sampul bagian belakang. Biasanya ada sekelumit ringkasan tentang isi buku atau pendapat para tokoh tentang buku itu. Ketika saya buka halaman pertama, ada tulisan tangan saya di pojok kanan atas, “Surabaya, Maret ‘98”. Tulisan itu mengingatkan saya dimana dan kapan buku itu saya beli.
Dulu, ketika baru membelinya, saya sudah pernah membacanya. Sekarang ini hanya ingin mengingatkan kembali dengan membaca sekilas saja.
Saya buka halaman demi halaman, hingga tiba dihalaman prakata dari penulis. Bagian Prakata itu agak panjang, tak sampai selesai saya membacanya, hanya diawalnya saja. Tertulis dengan kata-kata yang indah tentang sosok yang mulia dan agung itu.....
“MUHAMMAD, ‘alaihi’sh-shalatu wassalam.
Dengan nama yang begitu mulia, jutaan bibir setiap hari mengucapkannya, jutaan jantung setiap saat berdenyut, berulang kali. Bibir dan jantung yang bergerak dan berdenyut sejak seribu tiga ratus lima puluh tahun. Dengan nama yang begitu mulia, berjuta bibir akan terus mengucapkan, berjuta jantung akan terus berdenyut, sampai akhir zaman.
Pada setiap hari dikala fajar menyingsing, lingkaran-lingkaran putih di ufuk sana mulai nampak hendak menghalau kegelapan malam, ketika itu seorang muazzin bangkit, berseru kepada setiap makhluk insan, bahwa bangun bersembahyang lebih baik daripada terus tidur. Ia mengajak mereka bersujud kepada Allah, membaca selawat buat Rasulullah.
Seruan ini disambut oleh ribuan, oleh jutaan umat manusia dari segenap penjuru bumi, menyemarakkannya dengan salat menyambut pahala dan Rahmat Allah bersamaan dengan terbitnya hari baru..……”
Hanya sampai disitu, saya tidak melanjutkan membaca bagian itu. Kemudian, saya kirimkan Shalawat dan salam kepada junjungan kita, panutan kita, Nabi Muhammad SAW.
“Allah dan para malaikat memberikan rahmat kepada Nabi. Orang-orang beriman, berikanlah selawat dan salam kepadanya”. (Qur’an, 33;56).