Kamis, 29 Desember 2016

BERANGKAT KE BRUNEI 2

Penerbangan dari Surabaya ke Brunei memakan waktu lebih dari dua jam. Meskipun badanku terasa lelah, karena menunggu kedatangan pesawat yang terlambat cukup lama, namun mata ini tak dapat terlelap. Tak ada kekhawatiran sedikitpun dalam hatiku soal bagaimana nanti di Brunei. Aku tahu pasti bahwa orang Brunei adalah orang Melayu, sama dengan Malaysia, sama dengan orang melayu di Sumatera. Hanya berbeda dialek saja. Bagiku, orang melayu dan bahasa melayu itu tidak asing lagi. Aku terlahir dan dibesarkan di Sumatera Barat yang sebagian besar masyarakatnya serumpun dengan Melayu. Aku bisa berbahasa melayu dengan baik, sehingga soal komunikasi, tak ada masalah bagiku.
Yang terpikir olehku justru kenapa aku memilih keluar negeri dan meninggalkan keluargaku. Tahun-tahun itu adalah tahun yang sulit bagiku. Belum lama sebelumnya, aku kehilangan pekerjaanku karena krisis moneter yang mulai melanda dua tahun sebelumnya. Kehilangan pekerjaan bagi seorang laki-laki, sungguh sangat menyakitkan, apalagi pekerjaan baru tak segera diperoleh. Bagiku, harga diri seorang laki-laki adalah ketika bekerja dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tak ada harganya seorang laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga, bila dia tidak bekerja untuk memenuhi tanggung jawabnya. Persoalan berapa yang mampu dihasilkannya, bagiku, itu persoalan lain.
Pekerjaanku sebagai surveyor pemetaan topografi yang kutekuni hampir sembilan tahun itu, telah mengantarkanku berkeliling ke banyak tempat. Ketika masih bekerja di Padang dulu, semua kabupaten di Sumatera Barat telah kukunjungi. Begitupun setelah aku pindah ke Jawa, lebih banyak lagi yang telah kukunjungi karena tugas pekerjaan. Bahkan hingga keluar pulau, Bali, Lombok, Sumbawa dan Timor Timur. Semua itu dapat kunikmati dengan baik ketika masih sendiri, belum berkeluarga. Namun kini, setelah berkeluarga terlebih setelah mempunyai anak, tak dapat lagi kunikmati hal itu. Aku memimpikan keluarga yang selalu berkumpul bersama, tak perlu berpisah jauh, meskipun karena alasan pekerjaan.
Mimpi tinggal mimpi, dihadapanku kini tak banyak pilihan lagi. Kesempatan ini harus kuambil dengan segala resiko yang menanti dibelakangnya.
Nama Brunei, bagi banyak orang adalah lambang kemakmuran. Sebuah Negara kerajaan kecil yang damai dan kaya minyak, semua warganya hidup dalam kemakmuran. Begitu pula yang ada dalam pikiranku. Apa salahnya bila kuadu nasibku kesana. Siapa tahu terbuka jalan bagiku. Toh, aku tidak bodoh, ada keahlian yang patut kubanggakan nantinya.
Lama-lama mataku terasa berat, rasa kantuk yang menghampiri tak sanggup kutolak. Aku biarkan mataku terlelap sejenak untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang sejak tadi terus bergumul dikepalaku. Aku berusaha membangkitkan rasa syukur kepada Tuhan, meskipun keadaanku masih terombang-ambing ditengah gelombang kehidupan, namun satu hal yang harus aku syukuri adalah badan dan jiwaku sejauh ini sehat-sehat saja. Belum pernah kurasakan badanku terkena sakit yang agak keras sehingga aku harus menjalani perawatan di rumah sakit. Akupun tak ingin dimasa yang akan datang ada penyakit yang menyerangku. Selalu kuusahakan untuk menjaga kesehatan badanku. Kuhindari begadang yang tak perlu, merokok, minuman beralkohol, bahkan makanan yang oleh banyak orang dianggap lezat tetapi tidak bagus untuk kesehatan, semacam gajih dan jerohan, berusaha kuhindari.
Begitupun untuk menjaga kesehatan jiwaku, aku berusaha untuk selalu terhubung dengan Tuhan penciptaku. Hubungan dengan Tuhan itulah yang selama ini membuatku selalu “terkendali”. Kalaupun aku sedang marah, tak sampai rasa amarahku meledak-ledak keluar, apalagi sampai melukai perasaan orang lain. Aku sadari sepenuhnya bahwa pengendalian emosi itu sangat penting dan merupakan ukuran dari kedewasaan seseorang, utamanya seorang laki-laki. Tak ada yang patut dibanggakan oleh seseorang yang apabila dia marah semua kata-kata kotor dikeluarkan dari mulutnya, kata-kata yang menyakitkan perasaan orang yang dimarahinya. Terlebih lagi bila amarahnya itu dilontarkan dihadapan orang banyak. Bila untuk mengendalikan emosinya sendiri saja belum mampu dilakukan apatah lagi mengendalikan emosi orang lain.
Selain itu, akupun berusaha untuk menghargai dan menghormati semua orang, siapapun dia, berapapun umurnya, apapun pekerjaannya, apapun jabantannya, apapun kepercayaannya. Tak lagi penting bagiku seberapa kaya seseorang, seberapa tinggi jabatan seseorang, seberapa elitnya pekerjaan seseorang, berapapun umurnya, apapun keyakinan orang itu. Penghargaanku kepada orang lain dilandasi kesadaran bahwa aku dan mereka adalah sama, sama-sama manusia. Sama-sama memiliki nilai kemanusiaan, itu saja. Penghormatanku kepada orang lain adalah wujud penghormatan kepada diriku sendiri, kepada kemanusiaanku.
Lelapku tersentak oleh suara yang keluar dari pengeras suara diatas tempat dudukku. Suara yang memberitahukan kepada penumpang bahwa pesawat segera mendarat.
“Para penumpang yang terhormat, dalam masa yang tak lama lagi pesawat ini akan mendarat di Lapangan Terbang Antar Bangsa di Negara Brunei Darussalam”.
Bersambung lagi….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar