Kamis, 29 Desember 2016

BERANGKAT KE BRUNEI 3

“Alhamdulillah…”, ucap syukurku ketika roda pesawat menyentuh landasan bandara. Ucapan yang selalu keluar dari mulutku secara spontan setiap kali pesawat yang kunaiki berhasil mendarat di landasan. Meskipun terasa ada sedikit hentakan namun pendaratan itu cukup mulus. Selalu ada kecemasan dalam hatiku setiap kali naik pesawat terbang, terutama saat-saat tinggal landas dan saat mendarat.
Memang aku tahu bahwa alat transportasi paling aman adalah pesawat terbang, dibandingkan dengan jenis transportasi lain. Hanya pesawat terbang yang kondisinya selalu terawat dan terkontrol. Setiap kali mendarat, kondisi pesawat akan selalu diperiksa pada setiap komponennya oleh teknisi yang terlatih. Demikian pula ketika akan terbang, pesawat akan kembali diperiksa kondisinya. Apabila terdapat masalah atau kerusakan, meskipun sedikit, pesawat tak akan diijinkan untuk terbang.
Meskipun begitu, tetap saja perasaan was-was selalu muncul. Barangkali karena persepsiku sendiri tentang resiko naik pesawat terbang lebih besar dari pada naik kendaraan darat. Hal ini timbul karena sebagai penumpang, kita tidak punya kendali apapun secara pribadi terhadap pesawat yang ditumpangi. Alas an lainnya, bisa juga karena kecelakaan pesawat selalu lebih tragis dampaknya dan menghilangkan banyak nyawa secara bersamaan.
Seasat setelah mendarat, terdengar suara bising, “klek..klek..klek…”. Suara itu tak asing bagiku, suara dari seatbelt yang dibuka sesaat setelah pesawat berhasil mendarat. Entahlah, meskipun sudah ada himbauan untuk tetap mengenakan sabuk pengaman, namun himbauan itu tak dihiraukan oleh sebagian besar penumpang. Tetap saja mereka cepat-cepat membukanya. Bahkan ada penumpang yang langsung membuka tempat penyimpanan barang yang berada dibagian atas kabin penumpang. Mereka terburu-buru, seolah-olah bisa turun dari pesawat lebih dahulu.
Tak banyak barang yang kubawa, hanya satu tas yang berisi beberapa pakaian dan satu tas pinggang untuk menyimpan dompet dan paspor. Hal ini memang telah kurencanakan sejak awal, agar tidak merepotkan ketika turun dari pesawat. Tak perlu mengambil bawaan ditempat pengambilan bagasi. Ketika para penumpang yang lain sibuk mengambil bagasi mereka, aku bisa langsung keluar ke tempat penjemputan.
Ketika aku berjajar mengikut antrian di loket imigrasi, waktu telah menunjukkan jam satu dinihari, atau jam dua waktu Brunei. Tak perlu berjalan terlalu jauh, karena bandara itu memang tak terlalu besar. Ditambah suasana cukup lengang, hanya pesawat yang kunaiki tadi saja yang sedang menurunkan penumpang. Maklum, karena ini sudah malam bahkan hari sudah berganti pagi.
Meskipun bandara itu adalah bandara internasional tetapi tidak sebesar bandara-bandara dikota besar di Indonesia. Belakangan aku sadari bahwa penerbangan yang dilayani bandara ini hanya penerbangan internasional saja, tidak ada penerbangan lokal. Di Negara sekecil itu, tak membutuhkan penerbangan untuk menghubungkan antar daerah didalam negeri.
Usai urusan imigrasi, aku berjalan kearah pintu keluar. Kuikuti saja kemana arah para penumpang lain itu berjalan. Kuingat pesan dari petugas perusahaan yang mengurus keberangkatanku, bahwa nanti aku akan dijemput di bandara langsung oleh bos tempat saya akan bekerja. Sesampai ditempat penjemputan, aku berdiri sesaat untuk memperhatikan apakah ada yang memanggil namaku atau membawa kertas yang tertulis namaku. Satu hal yang biasa dilakukan orang ketika menjemput seseorang yang belum dikenalnya. Tak ada yang memanggil namaku, pun tak ada orang yang membawa tulisan namaku.
Tiba-tiba dari arah samping ada seseorang yang menyapaku. Seorang laki-laki bertubuh tambun, ditemani seorang perempuan berbadan langsing, bermata sipit, wajahnya oriental. Belakangan kuketahui mereka adalah suami istri, calon bosku selama di Brunei. Yang laki-laki bernama Awang Bahrin, asli melayu Brunei. Istrinya, Su Moi, berasal dari Sibu, Serawak, Malaysia. Kulihat mereka membawa selembar foto ditangannya.
“Kau Supianto, ya?, tanyanya dengan dialek melayu yang kental.
“Iya, betul, Pak”, Jawabku singkat.
“Kami yang menjemput kau. Ayo naik ke kereta”.
Kami bertiga berjalan menuju tempat parkir mobil. Orang Brunei menyebut mobil dengan sebutan "kereta". Tak lama kemudian kami telah meninggalkan kompleks bandara, menyusuri jalanan yang lebar dan sangat-sangat sepi…
Bersambung lagi….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar