Oleh : Supianto, SH.,
MH.*)
Diterbitkan dalam
Kolom Opini Radar Jember, Kamis, 22 Desember 2016
Banyak cara
yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan pendapat
dalam bidang keperdataan. Secara garis besar, penyelesaian sengketa dapat
dibagi dua cara, yaitu penyelesaian melalui pengadilan (litigasi) dan
penyelesaian diluar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa melalui
pengadilan bisanya membutuhkan waktu yang lama karena prosedurnya yang
formalistis. Selain itu
pemeriksaan perkara dipengadilan juga menganut asas terbuka untuk umum, yang
berarti bahwa setiap rang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan
dipersidangan.
Penyelesaian
sengketa yang kedua adalah penyelesaian alternatif diluar pengadilan. Kata
alternatif menunjukkan bahwa para pihak yang bersengketa bebas melalui
kesepakatan bersama memilih bentuk dan tata cara penyelesaian yang sesuai. Cara
ini secara tradisional telah banyak dipakai dalam masyarakat melalui proses
musyawarah untuk mencapai mufakat. Secara yuridis, ketentuan mengenai
alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini telah diatur dalam
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS).
Penyelesaian sengketa secara musyawarah sebenarnya memiliki nilai yang
luhur dan telah dipraktekkan dalam masyarakat di Indonesia. Hukum-hukum lokal
yang terdapat dan dianut oleh masyarakat memiliki cara tersendiri untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Hukum lokal
merupakan hukum yang hidup dan berlaku dalam suatu komunitas tertentu yang
secara nyata diwujudkan dalam mengatur perbuatan anggota masyarakat
pendukungnya yang dapat berupa hukum adat, hukum agama, maupun perpaduan dari
keduanya.
Penyelesaian
sengketa diluar pengadilan memiliki prinsip fundamental yang bersumber dari
hukum adat yang telah banyak dipraktekkan masyarakat adat di banyak daerah di
Indonesia. Beberapa prinsip tersebut antara lain mengusahakan agar mendapat
kesepakatan, penyelesaian sengketa secara damai, mencapai persetujuan atau
kesepakatan dan mendapatkan pemecahan atas persoalan yang timbul akibat konflik
tersebut.
Undang-undang No. 30 Tahun1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud
dengan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sehingga
dalam praktik, para praktisi hanya merujuk pada pengertian-pengertian yang
selama ini beredar di masyarakat. Istilah “alternatif” dalam APS memang dapat
menimbulkan kebingungan, seolah-olah mekanisme APS pada akhirnya khususnya
dalam sengketa bisnis, akan menggantikan proses litigasi di pengadilan.
Perlu juga dipahami bahwa APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat
berdampingan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Memang, APS
lazimnya dilakukan di luar yurisdiksi pengadilan. Sama seperti istilah
“pengobatan alternatif”, bahwa “pengobatan alternatif” sama sekali tidak
mengeliminasi “pengobatan dokter”. Bahkan terkadang keduanya saling
berdampingan. Begitu juga dengan APS dan penyelesaian sengketa melalui
pengadilan dapat berjalan saling berdampingan. Oleh karena itu, para hakim
perlu terus-menerus mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh upaya
damai meskipun perkara sedang dalam proses persidangan.
Penyelesaian
sengketa melalui APS dilakukan melalui prosedur yang disepakati para pihak
dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi. Negosiasi merupakan proses
konsensual yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan antara mereka
yang berskengketa. Negosiasi dijadikan sarana bagi mereka yang bersengketa
untuk mencari pemecahan masalah mereka tanpa melibatkan pihak ketiga. Proses
negosiasi ini sama dengan praktek musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti
yang telah banyak dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.
Penyelesaian
sengketa dilakukan melalui prosedur negosiasi, mediasi, konsiliasi diatas
mengarah pada satu kesepakatan bersama yaitu perdamaian. Penyelesaian dengan
jalur APS atau non litigasi memiliki beberapa keunggulan dibanding dengan jalur
litigasi. Meskipun APS tidak dianggap sebagai pengganti dari forum
pengadilan, namun jangan dilupakan bahwa faktanya APS dianggap sebagai
alternatif oleh mereka yang sangat kritis terhadap sistem peradilan Indonesia.
Kelambanan proses perkara, terutama di Mahkamah Agung, dilihat sebagai kelemahan dari sistem
peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah
permasalahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta adanya mafia
hukum yang memperparah buruknya penegakan hukum.
Diantara
keunggulan dari penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah sifat
kesukarelaan dalam proses, prosedur yang cepat, putusan non yudisial, bersifat
rahasia, fleksibel, hemat waktu dan biaya, pemeliharaan hubungan baik, lebih
mudah dikontrol dan putusan yang cenderung bertahan lama.
Pertama, Sifat kesukarelaan dalam proses. Kesukarelaan
disini berarti bahwa penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan perjanjian
yang dibuat oleh para pihak. Perjajian tersebut dibuat berdasarkan pada
kesukarelaan, baik menyangkut substansi maupun prosesnya. Tidak demikian jika
proses beracara di pengadilan, prosedur di pengadilan telah ditentukan secara
pasti. Kedua, Prosedur yang cepat. Karena
sifatnya yang informal, proses APS jauh
lebih sederhana jika dibandingkan dengan proses di pengadilan. Beban-beban
pembuktian tidak terlalu prosedural dan kaku yang dapat membebani para pihak.
Ketiga, Putusan bersifat Nonyudisial. Berbeda
dengan litigasi dan arbitrase dimana sengketa diputus oleh pihak ketiga yaitu
hakim atau arbiter, keputusan lebih kepada kesepakatan para pihak yang
bersengketa sendiri, baik dengan atau tanpa pihak ketiga yang netral. Putusan
yang dihasilkan juga tidak bersifat kalah menang (win-loss) sebagaimana
putusan pengadilan dan arbitrase, akan tetapi bersifat saling memenangkan (win-win).
Keempat, Bersifat rahasia (confidential).
Proses dan putusan penyelesaian melalui
APS bersifat rahasia, hal ini berbeda dengan proses dan putusan melalui lembaga
peradilan yang menganut asas terbuka untuk umum sehingga setiap orang dapat
melihat dan mendengar setiap proses pemeriksaan perkara. Sifat kerahasiaan ini
ditujukan untuk menjaga reputasi dari para pihak yang bersengketa. Khusus dalam
mediasi, ketentuan Perma No. 1 tahun 2016
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, menyatakan bahwa proses mediasi
pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain.
Kelima, Fleksibilitas dalam merancang
syarat-syarat penyelesaian sengketa. Syarat-syarat dalam penyelesaikan sengketa
melalui APS lebih fleksibel karena ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai
kesepakatan. Keenam, Hemat waktu dan
biaya. Sebagai konsekuensi logis dari cepatnya prosedur dan fleksibelnya
syarat-syarat APS maka akan menghemat waktu dan biaya. Proses penyelesaian
melalui APS ini sebenarnya sesuai dengan asas penyelesaian sengketa yang
sederhana, cepat dan biaya ringan, yang menjadi asas dalam proses peradilan.
Ketujuh, Pemeliharaan hubungan baik
antar pihak (remedial). Pemeliharaan hubungan baik berarti bahwa
hubungan antara para pihak selama
bersengketa menjadi beku dapat pulih kembali. Hal ini karena selama
proses penyelesaian sengketa, para pihak terlibat secara aktif dan turut
menentukan dalam proses tersebut. Kedelapan,
Hasil lebih mudah dikontrol. Hasil dari penyelesaian melalui APS ini lebih
mudah dikontrol atau diperkirakan (predictable). Hal ini karena para pihak
terlibat aktif dalam proses dan dalam penentuan prosedur dan syarat-syarat
penyelesaian sengketa tersebut, sehingga para pihak dapat memperkirakan
bagaimana hasil yang mungkin dicapai dalam proses tersebut.
Terakhir
kesembilan, Putusan yang dihasilkan cenderung
bertahan lama. Hal ini disebabkan penyelesaian sengketa dilakukan secara
kooperatif bukan dengan pendekatan adversial atau pertentangan. Putusan yang
dihasilkan pada dasarnya merupakan keputusan dari masing-masing pihak yang
telah disepakati bersama. Dengan demikian konsekuensi dari putusan tersebut,
pelaksanaannya juga akan dilakukan secara sukarela dan meminimalisir konflik
yang dapat timbul dikemudian hari.
*) Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Jember.