Jumat, 23 Desember 2016

MENIKAH, PENYESUAIAN SEUMUR HIDUP

Banyak pasangan yang mengakhiri ikatan perkawinan mereka dengan alasan karena tidak ada kecocokan. Dengan kalimat yang diperhalus mereka menyebutnya “Ada perbedaan prinsip”. Sebenarnya, jika yang berbeda itu adalah hal-hal yang sangat prinsip, tentu hal itu sudah diketahui dan dirasakan sebelum mereka memutuskan menikah. Sesuatu yang sangat prinsip biasanya sulit diubah dalam waktu yang singkat.
Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, rasa cinta yang membara dan suasana kebahagiaan yang dirasakan, akan menyingkirkan sisi-sisi negatif pasangannya. Semua tampak indah dan bahagia. Segala nasehat yang tidak sejalan dengan isi hatinya akan ditolaknya. Baru ketika kehidupan perkawinan telah dijalani, kehidupan sebenarnya akan tampak dan terasa. Sisi-sisi buruk pasangan mulai terlihat dengan segala dalih-dalihnya.
Tetapi, apakah ada pasangan yang benar-benar cocok satu sama lain?, sehingga tak pernah ada perselisihan diantara mereka.
Mungkin ada, tetapi itu langka. Pasangan suami istri, masing-masing mereka dulu bukan siapa-siapa. Orang Jawa menyebutnya “Ora sanak ora kadhang”, bukan saudara bukan kerabat, orang lain. Tak boleh ada hubungan darah diantara mereka yang hendak menikah. Mereka bertemu karena jodoh, lalu terikat dengan ikatan yang sangat teguh, ikatan perkawinan.
Masing-masing dilahirkan oleh ibu yang berbeda, dibesarkan dengan asuhan yang berbeda. Makanan yang dimakannya berbeda pula. Teman, sekolah, lingkungan bahkan budaya dan bahasa yang berbeda. Semua itu membentuk karakter dan perilaku yang berbeda pula.
Tiba-tiba mereka bertemu, berikrar untuk menjalani kehidupan yang baru berdua. Lalu mereka tinggal bersama, tidur bersama, makan dengan makanan yang sama. Semua itu mereka lakukan dengan orang yang sama sekali baru dalam semua halnya.
Banyak diantaranya yang terkejut dan tergagap diawal kehidupan barunya. Tentu hal itu wajar saja. Kebiasaan yang telah terbentuk pilihan tahun, bahkan sejak ia dilahirkan, tiba-tiba harus berubah secara singkat. Setiap keinginan yang biasanya selalu bisa terkabul karena dipenuhi orang tua, kini harus menahan diri karena tidak diinginkan oleh pasangannya.
Dalam keadaan demikian, satu-satunya yang dibutuhkan adalah penyesuaian. Masing-masing melakukan penyesuaian diri terhadap pasangannya. Penyesuaian ucapan, sikap, perbuatan, pemikiran, bahkan yang paling sulit adalah penyesuaian selera. Tak ada rumah tangga yang mampu bertahan lama tanpa masing-masing mau menyesuaikan diri. Bahkan terkadang itu saja tidaklah cukup, harus melakukan lebih dari sekedar menyesuaikan diri, yaitu mengalah.
Seorang rekan, pernah mengatakan bahwa diusia perkawinannya yang telah memasuki lebih dari tiga puluh tahun, dia masih terus melakukan penyesuaian diri, setiap hari. Memasuki usia senja, emosi lebih sering tidak stabil, soal selera pun demikian. Hal itu menuntut kesabaran yang lebih dari sebelumnya. Penyesuaian itu mesti diperbaharui setiap saat.
Bila kini telah kau putuskan untuk menikah, maka bersiap-siaplah untuk melakukannya seumur hidupmu…

KEUNGGULAN-KEUNGGULAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Oleh : Supianto, SH., MH.*)

Diterbitkan dalam Kolom Opini Radar Jember, Kamis, 22 Desember 2016

Banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan pendapat dalam bidang keperdataan. Secara garis besar, penyelesaian sengketa dapat dibagi dua cara, yaitu penyelesaian melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian diluar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa melalui pengadilan bisanya membutuhkan waktu yang lama karena prosedurnya yang formalistis. Selain itu pemeriksaan perkara dipengadilan juga menganut asas terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap rang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan dipersidangan.
Penyelesaian sengketa yang kedua adalah penyelesaian alternatif diluar pengadilan. Kata alternatif menunjukkan bahwa para pihak yang bersengketa bebas melalui kesepakatan bersama memilih bentuk dan tata cara penyelesaian yang sesuai. Cara ini secara tradisional telah banyak dipakai dalam masyarakat melalui proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Secara yuridis, ketentuan mengenai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini telah diatur dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).
Penyelesaian sengketa secara musyawarah sebenarnya memiliki nilai yang luhur dan telah dipraktekkan dalam masyarakat di Indonesia. Hukum-hukum lokal yang terdapat dan dianut oleh masyarakat memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Hukum lokal merupakan hukum yang hidup dan berlaku dalam suatu komunitas tertentu yang secara nyata diwujudkan dalam mengatur perbuatan anggota masyarakat pendukungnya yang dapat berupa hukum adat, hukum agama, maupun perpaduan dari keduanya.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan memiliki prinsip fundamental yang bersumber dari hukum adat yang telah banyak dipraktekkan masyarakat adat di banyak daerah di Indonesia. Beberapa prinsip tersebut antara lain mengusahakan agar mendapat kesepakatan, penyelesaian sengketa secara damai, mencapai persetujuan atau kesepakatan dan mendapatkan pemecahan atas persoalan yang timbul akibat konflik tersebut.
Undang-undang No. 30 Tahun1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sehingga dalam praktik, para praktisi hanya merujuk pada pengertian-pengertian yang selama ini beredar di masyarakat. Istilah “alternatif” dalam APS memang dapat menimbulkan kebingungan, seolah-olah mekanisme APS pada akhirnya khususnya dalam sengketa bisnis, akan menggantikan proses litigasi di pengadilan.
Perlu juga dipahami bahwa APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat berdampingan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Memang, APS lazimnya dilakukan di luar yurisdiksi pengadilan. Sama seperti istilah “pengobatan alternatif”, bahwa “pengobatan alternatif” sama sekali tidak mengeliminasi “pengobatan dokter”. Bahkan terkadang keduanya saling berdampingan. Begitu juga dengan APS dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat berjalan saling berdampingan. Oleh karena itu, para hakim perlu terus-menerus mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh upaya damai meskipun perkara sedang dalam proses persidangan.
Penyelesaian sengketa melalui APS dilakukan melalui prosedur yang disepakati para pihak dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi. Negosiasi merupakan proses konsensual yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan antara mereka yang berskengketa. Negosiasi dijadikan sarana bagi mereka yang bersengketa untuk mencari pemecahan masalah mereka tanpa melibatkan pihak ketiga. Proses negosiasi ini sama dengan praktek musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti yang telah banyak dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.
Penyelesaian sengketa dilakukan melalui prosedur negosiasi, mediasi, konsiliasi diatas mengarah pada satu kesepakatan bersama yaitu perdamaian. Penyelesaian dengan jalur APS atau non litigasi memiliki beberapa keunggulan dibanding dengan jalur litigasi. Meskipun APS tidak dianggap sebagai pengganti dari forum pengadilan, namun jangan dilupakan bahwa faktanya APS dianggap sebagai alternatif oleh mereka yang sangat kritis terhadap sistem peradilan Indonesia. Kelambanan proses perkara, terutama di Mahkamah Agung,  dilihat sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah  permasalahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta adanya mafia hukum yang memperparah buruknya penegakan hukum.
Diantara keunggulan dari penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah sifat kesukarelaan dalam proses, prosedur yang cepat, putusan non yudisial, bersifat rahasia, fleksibel, hemat waktu dan biaya, pemeliharaan hubungan baik, lebih mudah dikontrol dan putusan yang cenderung bertahan lama.
Pertama, Sifat kesukarelaan dalam proses. Kesukarelaan disini berarti bahwa penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Perjajian tersebut dibuat berdasarkan pada kesukarelaan, baik menyangkut substansi maupun prosesnya. Tidak demikian jika proses beracara di pengadilan, prosedur di pengadilan telah ditentukan secara pasti. Kedua, Prosedur yang cepat. Karena sifatnya yang informal, proses APS  jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan proses di pengadilan. Beban-beban pembuktian tidak terlalu prosedural dan kaku yang dapat membebani para pihak.
Ketiga, Putusan bersifat Nonyudisial. Berbeda dengan litigasi dan arbitrase dimana sengketa diputus oleh pihak ketiga yaitu hakim atau arbiter, keputusan lebih kepada kesepakatan para pihak yang bersengketa sendiri, baik dengan atau tanpa pihak ketiga yang netral. Putusan yang dihasilkan juga tidak bersifat kalah menang (win-loss) sebagaimana putusan pengadilan dan arbitrase, akan tetapi bersifat saling memenangkan (win-win). Keempat, Bersifat rahasia (confidential).   Proses dan putusan penyelesaian melalui APS bersifat rahasia, hal ini berbeda dengan proses dan putusan melalui lembaga peradilan yang menganut asas terbuka untuk umum sehingga setiap orang dapat melihat dan mendengar setiap proses pemeriksaan perkara. Sifat kerahasiaan ini ditujukan untuk menjaga reputasi dari para pihak yang bersengketa. Khusus dalam mediasi, ketentuan Perma No. 1 tahun 2016  Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, menyatakan bahwa proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain. 
Kelima, Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian sengketa. Syarat-syarat dalam penyelesaikan sengketa melalui APS lebih fleksibel karena ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai kesepakatan. Keenam, Hemat waktu dan biaya. Sebagai konsekuensi logis dari cepatnya prosedur dan fleksibelnya syarat-syarat APS maka akan menghemat waktu dan biaya. Proses penyelesaian melalui APS ini sebenarnya sesuai dengan asas penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat dan biaya ringan, yang menjadi asas dalam proses peradilan.
Ketujuh, Pemeliharaan hubungan baik antar pihak (remedial). Pemeliharaan hubungan baik berarti bahwa hubungan antara para pihak selama  bersengketa menjadi beku dapat pulih kembali. Hal ini karena selama proses penyelesaian sengketa, para pihak terlibat secara aktif dan turut menentukan dalam proses tersebut. Kedelapan, Hasil lebih mudah dikontrol. Hasil dari penyelesaian melalui APS ini lebih mudah dikontrol atau diperkirakan (predictable). Hal ini karena para pihak terlibat aktif dalam proses dan dalam penentuan prosedur dan syarat-syarat penyelesaian sengketa tersebut, sehingga para pihak dapat memperkirakan bagaimana hasil yang mungkin dicapai dalam proses tersebut.
Terakhir kesembilan, Putusan yang dihasilkan cenderung bertahan lama. Hal ini disebabkan penyelesaian sengketa dilakukan secara kooperatif bukan dengan pendekatan adversial atau pertentangan. Putusan yang dihasilkan pada dasarnya merupakan keputusan dari masing-masing pihak yang telah disepakati bersama. Dengan demikian konsekuensi dari putusan tersebut, pelaksanaannya juga akan dilakukan secara sukarela dan meminimalisir konflik yang dapat timbul dikemudian hari.


*) Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Jember.

KIL-KILAN - NGARIT

Mengenang masa-masa kecil, selalu menyenangkan bagi saya. Meskipun masa kecil saya bukan hanya sekedar bermain-main saja. Sebagai anak seorang petani yang sangat jauh dari kota, saya nyaris tak pernah dibelikan mainan. Mainan saya dan anak-anak didesa lainnya, semua berasal dari apa yang ada dialam. Bahkan saat bermainpun kami langsung di sawah, di ladang bahkan di hutan.
Keluarga kami keluarga petani, yang mengandalkan penghasilan utama dari hasil pertanian. Untuk usaha sampingan, bapak saya memelihara sapi. Sedang ibu berjualan pecel di dan beberapa makanan lain. Namun tidak setiap hari, hanya sekali dalam seminggu saja, bertepatan dengan hari pekan.
Kami memelihara dua ekor sapi, satu induk dan yang satu anaknya. Setiap hari bapak saya mencari rumput untuk pakan sapi itu. Ketika anak sapi itu mulai tumbuh agak besar, rumput yang didapatkan oleh bapak tidak cukup lagi untuk pakan kedua sapi itu. Akhirnya, saya juga dapat tugas baru sebagai tugas tambahan, mencari rumput.
Mencari rumput untuk pakan ternak, orang jawa menyebutnya “ngarit”. Kata ngarit ini berasal dari kata “arit” artinya alat tradisional untuk memotong rumput, dalam istilah lain orang menyebutnya sabit atau celurit. Ngarit secara umum maksudnya adalah mencari rumput dengan menggunakan arit sebagai alat untuk memotongnya.
Hampir semua keluarga di desa saya, dulu, memelihara sapi. Jumlah sapi yang dimiliki, menjadi semacam penunjuk status sosial keluarga itu. Bila jumlah sapi yang dimiliki semakin banyak, maka status sosialnya semakin tinggi. Harta kekayaan mereka diukur dengan berapa jumlah sapinya.
Karena hampir semua keluarga memelihara sapi, maka semua anak laki-laki disana punya tugas yang sama, ngarit. Sepulang sekolah, biasanya kami beramai-ramai, sekitar enam atau tujuh anak tetangga sekitar, pergi ngarit bersama.
Ketika ngarit bersama itulah, sifat kekanak-kanakan itu tak bisa dilepaskan. Pekerjaan berat itu selalu diselingi dengan permainan khas anak-anak. Permainan yang selalu menyenangkan. Permainan itu kami namakan “kil-kilan”. Kil-kilan maksudnya adalah mengukur jarak dengan kil yang menggunakan panjang arit dan tangkainya untuk mengukur.
Permainan dimulai dengan masing-masing mengumpulkan setumpuk rumput yang ditumpuk di satu tempat. Kemudian dipasanglah tonggak dari potongan ranting kayu. Masing-masing anak berdiri berbaris sejauh kira-kira dua puluh meter dari tonggak kayu itu. Lalu, secara bergantian, melemparkan aritnya kearah kayu itu, tetapi tak boleh mengenainya. Siapa yang aritnya paling dekat dengan tonggak itu, dialah pemenangnya. Kami mengukurnya dengan menggunakan panjang salah satu arit, untuk menentukan siapa yang menang.
Bagi yang menang hadiahnya adalah setumpuk rumput yang sudah dikumpulkan tadi. Bagi yang menang, dia tak perlu ngarit lagi, karena rumput yang dikumpulkan tadi sudah lebih dari cukup untuk dibawa pulang. Sementara yang kalah, harus mencari rumput yang lain untuk dibawa pulang. Saya yang ketika itu memiliki postur yang lebih kecil dibanding teman-teman saya, nyaris tak pernah menang dalam permainan itu.
Permainan tetap permainan, anak-anak tetap anak-anak. Meskipun yang menang itu tak perlu lagi mencari tambahan rumput, tetapi tak pernah sekalipun dia lantas pulang lebih dulu. Kami selalu pulang bersama-sama. Bahkan seringkali dia membantu teman-temannya agar dapat segera pulang bersama.
Itulah dunia anak-anak, bermain adalah pekerjaan utamanya….