Dimuat Opini Radar Jember, 14 Januari 2016
Dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan
sosial atau bisnis, kita tidak terlepas dari hubungan dengan orang lain.
Hubungan tersebut terkadang perlu dituangkan dalam suatu perjanjian yang dibuat
secara tertulis, Misalnya, perjanjian sewa menyewa rumah, perjanjian hutang
piutang, perjanjian kerjasama bisnis atau pernyataan yang bersifat sepihak dalam
bentuk Surat Pernyataan. Dalam proses penandatanganan perjanjian tertulis
tersebut ada yang menggunakan materai namun banyak juga yang tidak
menggunakannya.
Permasalahan biasanya timbul nanti pada saat
pelaksanaan isi perjanjian. Pihak yang mempunyai itikad tidak baik, akan
mencari-cari alasan untuk berkelit dan tidak melaksanakan kewajibannya.
Berbagai macam alasan akan dikemukakan, termasuk soal penggunaan materai. Satu
pihak mengatakan bahwa perjanjian tidak sah karena tidak menggunakan materai. Sementara
pihak lainnya mengatakan perjanjian tetap sah. Yang terakhir ini merasa
khawatir terhadap keabsahan perjanjian tersebut, karena apabila perjanjian dianggap
tidak sah, maka dirinya akan sangat dirugikan.
Yang sering menjadi pertanyaan dalam masyarakat berkaitan
dengan penggunaan materai dalam perjanjian adalah apakah suatu perjanjian yang
tidak menggunakan materai menjadi tidak sah? Dan apakah sebenarnya fungsi
materai dalam sebuah perjanjian? Pertanyaan-pertanyaan ini yang akan coba
dijawab dalam tulisan singkat ini.
Secara prinsip, sebenarnya tidak ada keterkaitan
antara keabsahan perjanjian dengan penggunaan materai dalam perjanjian. Keabsahan
suatu perjanjian mempunyai syarat-syarat tersendiri sebagaimana yang diatur
dalam Hukum Perdata. Sedangkan ketentuan tentang bea materai diatur dalam
undang-undang tersendiri.
Perjanjian merupakan
suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini
timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perjanjian. Ketentuan mengenai syarat sahnya suatu
perjanjian diatur dalam Hukum Perdata, yang menyatakan
bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu
: Pertama, Kesepakatan mereka yang mengikatkan
dirinya. Kesepakatan merupakan unsur yang mutlak
untuk sahnya suatu perjanjian. Kesepakatan adalah kesesuaian kehendak antara
kedua belah pihak dalam perjanjian. Diperlukannya kata sepakat untuk sahnya
suatu perjanjian, berarti bahwa kedua belah
pihak harus mempunyai kebebasan berkehendak. Kesepakatan tersebut harus
dibuat secara sukarela, tanpa adanya
paksaan, penipuan dan kekhilafan yang dapat menimbulkan cacat bagi perwujudan kehendak
tersebut.
Syarat Kedua adalah
Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan. Kecakapan
bertindak merupakan kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan, maksudnya bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian
tersebut merupakan orang yang sudah memenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap
cakap menurut hukum. Orang yang dianggap tidak cakap
menurut hukum adalah orang-orang yang belum dewasa dan
orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Ketiga, Suatu
pokok persoalan tertentu. Suatu hal tertentu yang dimaksudkan
dalam persyaratan ketiga syarat sahnya suatu perjanjian adalah objek perjanjian harus jelas dan dapat
ditentukan oleh para pihak. Keempat, Suatu
sebab yang tidak terlarang. Suatu
sebab yang tidak terlarang adalah bahwa perjanjian tersebut tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Keempat syarat tentang sahnya perjanjian diatas tidak
ada yang menyinggung mengenai penggunaan materai. Keabsahan isi perjanjian
tidak ada hubungannya dengan penggunaan materai. Oleh karena itu, perjanjian
yang tidak menggunakan materai tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian yang
tidak sah. Sepanjang keempat syarat sahnya perjanjian telah terpenuhi maka
perjanjian tetap sah, baik menggunakan atau tidak menggunakan materai. Tidak adanya
materai dalam suatu surat perjanjian, misalnya
perjanjian kerjasama bisnis, tidak berarti
perbuatan hukumnya tidak sah. Perbuatan hukumnya sendiri tetap sah,
karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan karena ada
atau tidaknya materai. Kalau demikian, lalu apa fungsi materai dalam perjanjian?
Ketentuan tentang bea materai diatur dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1985 Tentang
Bea Materai. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa Negara Republik Indonesia sebagai
negara hukum memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada semua Warga Negara
untuk berperan serta dalam Pembangunan Nasional. Salah satu cara dalam
mewujudkan peran serta masyarakat tersebut adalah dengan memenuhi kewajiban
pembayaran atas pengenaan Bea Materai terhadap dokumen-dokumen tertentu yang
digunakan. Jadi esensi
dari bea materai adalah sebagai pajak atau
penghimpun dana dari masyarakat yang dikenakan terhadap dokumen-dokumen tertentu.
Fungsi
atau hakikat utama Bea Meterai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara
untuk dokumen-dokumen yang digunakan. Tidak
semua dokumen-dokumen yang digunakan dikenai bea materai.
Dokumen yang dikenakan Bea Meterai dibatasi pada dokumen-dokumen yang disebut dalam
Undang undang saja, yang dipakai
oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum. Dokumen-dokumen yang dikenai bea materai
adalah dokumen yang berbentuk antara lain : Surat
perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai
alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat
perdata; akta-akta notaris termasuk salinannya;
akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk
rangkap-rangkapnya; surat yang memuat jumlah uang, surat-surat
berharga dan Efek.
Dokumen lain yang dikenai bea materai adalah dokumen yang akan digunakan sebagai
alat pembuktian di muka pengadilan. Surat-surat
biasa yang dibuat tidak untuk tujuan sesuatu pembuktian, misalnya seseorang
mengirim surat biasa kepada orang lain untuk menjualkan sebuah barang. Surat
semacam ini pada saat dibuat tidak kena Bea Meterai, tetapi apabila kemudian
dipakai sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, maka terlebih dahulu
dilakukan pemeteraian kemudian. Demikian pula terhadap surat-surat
kerumahtanggaan, misalnya daftar harga barang. Daftar ini pada awalnya dibuat
tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat pembuktian, oleh karena itu
tidak dikenakan Bea Meterai. Tetapi apabila dikemudian hari ada sengketa dan
daftar harga barang ini hendak digunakan sebagai alat pembuktian, maka daftar
harga barang tersebut terlebih dahulu dilakukan pemeteraian kemudian.
Selanjutnya,
bagaimana kalau
perjanjian yang tidak dibubuhi
meterai tersebut hendak dijadikan alat bukti di pengadilan? Telah diuraikan diatas bahwa suatu perjanjian
yang tidak menggunakan materai tidak menjadikan
perjanjian tersebut menjadi tidak sah. Perjanjian tetap
sah, akan
tetapi jika perjanjian hendak diajukan sebagai alat
bukti di pengadilan, maka terhadap dokumen tersebut harus dilunasi bea
meterainya yang terutang. Perjanjian atau surat-surat yang belum dibubuhi meterai sebagai pelunasan
bea meterai, maka pelunasan bea materainya dilakukan
dengan cara Pemateraian
Kemudian (nazegeling). Pemateraian kemudian (nazegeling) adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos
atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana
mestinya.
Supianto, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum dan Kepala
LBHH Universitas Islam Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar