Sabtu, 23 Juli 2016

FUNGSI MATERAI DALAM PERJANJIAN



Dimuat Opini Radar Jember, 14 Januari 2016

Dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan sosial atau bisnis, kita tidak terlepas dari hubungan dengan orang lain. Hubungan tersebut terkadang perlu dituangkan dalam suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, Misalnya, perjanjian sewa menyewa rumah, perjanjian hutang piutang, perjanjian kerjasama bisnis atau pernyataan yang bersifat sepihak dalam bentuk Surat Pernyataan. Dalam proses penandatanganan perjanjian tertulis tersebut ada yang menggunakan materai namun banyak juga yang tidak menggunakannya.
Permasalahan biasanya timbul nanti pada saat pelaksanaan isi perjanjian. Pihak yang mempunyai itikad tidak baik, akan mencari-cari alasan untuk berkelit dan tidak melaksanakan kewajibannya. Berbagai macam alasan akan dikemukakan, termasuk soal penggunaan materai. Satu pihak mengatakan bahwa perjanjian tidak sah karena tidak menggunakan materai. Sementara pihak lainnya mengatakan perjanjian tetap sah. Yang terakhir ini merasa khawatir terhadap keabsahan perjanjian tersebut, karena apabila perjanjian dianggap tidak sah, maka dirinya akan sangat dirugikan.
Yang sering menjadi pertanyaan dalam masyarakat berkaitan dengan penggunaan materai dalam perjanjian adalah apakah suatu perjanjian yang tidak menggunakan materai menjadi tidak sah? Dan apakah sebenarnya fungsi materai dalam sebuah perjanjian? Pertanyaan-pertanyaan ini yang akan coba dijawab dalam tulisan singkat ini.
Secara prinsip, sebenarnya tidak ada keterkaitan antara keabsahan perjanjian dengan penggunaan materai dalam perjanjian. Keabsahan suatu perjanjian mempunyai syarat-syarat tersendiri sebagaimana yang diatur dalam Hukum Perdata. Sedangkan ketentuan tentang bea materai diatur dalam undang-undang tersendiri.
Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perjanjian. Ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu : Pertama, Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. Kesepakatan merupakan unsur yang mutlak untuk sahnya suatu perjanjian. Kesepakatan adalah kesesuaian kehendak antara kedua belah pihak dalam perjanjian. Diperlukannya kata sepakat untuk sahnya suatu perjanjian, berarti bahwa kedua belah pihak harus mempunyai kebebasan berkehendak. Kesepakatan tersebut harus dibuat secara sukarela, tanpa adanya  paksaan, penipuan dan kekhilafan yang dapat  menimbulkan cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.
Syarat Kedua adalah Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Kecakapan bertindak merupakan kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, maksudnya bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut merupakan orang yang sudah memenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap cakap menurut hukum. Orang yang dianggap tidak cakap menurut hukum adalah orang-orang yang belum dewasa dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Ketiga, Suatu pokok persoalan tertentu. Suatu hal tertentu yang dimaksudkan dalam persyaratan ketiga syarat sahnya suatu perjanjian  adalah objek perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan oleh para pihak. Keempat, Suatu sebab yang tidak terlarang. Suatu sebab yang tidak terlarang adalah bahwa perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Keempat syarat tentang sahnya perjanjian diatas tidak ada yang menyinggung mengenai penggunaan materai. Keabsahan isi perjanjian tidak ada hubungannya dengan penggunaan materai. Oleh karena itu, perjanjian yang tidak menggunakan materai tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian yang tidak sah. Sepanjang keempat syarat sahnya perjanjian telah terpenuhi maka perjanjian tetap sah, baik menggunakan atau tidak menggunakan materai. Tidak adanya materai dalam suatu surat perjanjian, misalnya perjanjian kerjasama bisnis, tidak berarti perbuatan hukumnya tidak sah. Perbuatan hukumnya sendiri tetap sah, karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan karena ada atau tidaknya materai. Kalau demikian, lalu apa fungsi materai dalam perjanjian?
Ketentuan tentang bea materai diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada semua Warga Negara untuk berperan serta dalam Pembangunan Nasional. Salah satu cara dalam mewujudkan peran serta masyarakat tersebut adalah dengan memenuhi kewajiban pembayaran atas pengenaan Bea Materai terhadap dokumen-dokumen tertentu yang digunakan. Jadi esensi dari bea materai adalah sebagai pajak atau penghimpun dana dari masyarakat yang dikenakan terhadap dokumen-dokumen tertentu.
Fungsi atau hakikat utama Bea Meterai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen-dokumen yang digunakan. Tidak semua dokumen-dokumen yang digunakan dikenai bea materai. Dokumen yang dikenakan Bea Meterai dibatasi pada dokumen-dokumen yang disebut dalam Undang  undang  saja, yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum.  Dokumen-dokumen yang dikenai bea materai adalah dokumen yang berbentuk antara lain : Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata; akta-akta notaris termasuk salinannya;  akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya; surat yang memuat jumlah uang, surat-surat berharga dan Efek.
Dokumen lain yang dikenai bea materai adalah dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan. Surat-surat biasa yang dibuat tidak untuk tujuan sesuatu pembuktian, misalnya seseorang mengirim surat biasa kepada orang lain untuk menjualkan sebuah barang. Surat semacam ini pada saat dibuat tidak kena Bea Meterai, tetapi apabila kemudian dipakai sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, maka terlebih dahulu dilakukan pemeteraian kemudian. Demikian pula terhadap surat-surat kerumahtanggaan, misalnya daftar harga barang. Daftar ini pada awalnya dibuat tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat pembuktian, oleh karena itu tidak dikenakan Bea Meterai. Tetapi apabila dikemudian hari ada sengketa dan daftar harga barang ini hendak digunakan sebagai alat pembuktian, maka daftar harga barang tersebut terlebih dahulu dilakukan pemeteraian kemudian.
Selanjutnya, bagaimana kalau perjanjian yang tidak dibubuhi meterai tersebut hendak dijadikan alat bukti di pengadilan? Telah diuraikan diatas bahwa suatu perjanjian yang tidak menggunakan materai tidak menjadikan perjanjian tersebut menjadi tidak sah. Perjanjian tetap sah, akan tetapi jika perjanjian hendak diajukan sebagai alat bukti di pengadilan, maka terhadap dokumen  tersebut harus dilunasi bea meterainya yang terutang. Perjanjian atau surat-surat yang belum dibubuhi meterai sebagai pelunasan bea meterai, maka pelunasan bea materainya dilakukan dengan cara Pemateraian Kemudian (nazegeling). Pemateraian kemudian (nazegeling) adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.
Supianto, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum dan Kepala LBHH Universitas Islam Jember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar