Dasar Hukum:
1. Pasal 162 – 177 HIR
2. Pasal 282 – 388 Rbg
3. Pasal 1865 – 1945 KUHPerdata
Hakim dalam melaksanakan
tugas pengadilan membutuhkan:
1. Pengetahuan
tentang hukum:
a. hukum tertulis yang berlaku;
b. hukum kebiasaan;
c. kaedah‐kaedah hukum asing.
2. Pengetahuan
tentang fakta:
a. Dalam hal hakim menjatuhkan putusan
verstek;
b. Dalam hal tergugat mengakui kebenaran gugatan
pengugat;
c. Dalam hal salah satu pihak mengangkat
sumpah decissoir (sumpah penentu);
d. Dalam hal tidak ada penyangkalan;
e. Dalam hal hakim karena jabatannya
dianggap telah mengetahui fakta‐faktanya yaitu:
i. Fakta notoir;
ii. Fakta prosesuil.
3. Pembuktian
fakta
a. Fakta notoir (fakta yg tdk memerlukan
pembuktian karena dianggap sudah diketahui oleh umum),
contoh
: tanggal 17 Agustus adalah hari libur.
b. Fakta prosesuil (fakta yg terjadi dalam
proses dan disaksikan sendiri oleh hakim), contoh: tidak datangnya
penggugat/tergugat dalam persidangan, pengakuan dalam sidang.
Beban pembuktian (Pasal 163
HIR ):
“Barang siapa yg
menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan
haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. Kesimpulan:
siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus membuktikan.
Titik tolak pembuktian
(Pasal 162 HIR):
“Tentang bukti dan
tentang menerima atau menolak alat‐alat
bukti dalam perkara perdata, Ketua Pengadilan Negeri wajib mengingat aturan
utama yg disebut dibawah ini”
Selanjutnya
mengenai beban pembuktian, kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat
dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat yang wajib membuktikan
peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat berkewajiban membuktikan kebenaran
bantahannya. Dalam hal ini ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang
dapat merupakan pedoman bagi hakim.
1. Teori Pembuktian
yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Teori ini
mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau
menyangkalnya. Dasar hokum teori ini adalah pendapat bahwa hal hal yang
negative tidak mungkin dibuktikan (negativa opn sunt probanda).
2. Teori Hukum
Subjektif
Teori ini
menggambarkan suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hokum
subjektif atau bertujuan memepertahankan hokum subjektif, dan siapa yang
mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya.
Teori ini
berdasarkan pada pasal 1865 BW “Pasal 1865 Setiap orang yang mengaku mempunyai
suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk
membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian
yang dikemukakan itu.”
3. Teori Hukum
Objektif
Teori ini
mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim
agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hokum objektif terhadap peristiwa
yang diajukan.
4. Teori Hukum
Publik
Menurut teori ini
mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan kepentingan
publik.
5. Teori Hukum Acara
Asas audi et
alteram atau juga asas kedudukan proseusuil yang sama daripada para pihak
di muka hakim yang merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
Pasal
164 HIR, alat‐alat
bukti terdiri dari :
1. Bukti surat (Pasal 165‐167 HIR);
2. Bukti saksi (Pasal 168‐172 HIR);
3. Persangkaan (Pasal 173‐174 HIR);
4. Pengakuan (Pasal 175‐176 HIR);
5. Sumpah (Pasal 177 jo 155, 156 HIR).
Ad.1 Bukti Surat
a. Surat akta;
Dibagi menjadi akta otentik dan akta bawah
tangan.
b. Surat bukan akta.
Dibuat tidak ditujukan untuk menjadi alat
bukti. Contoh: memo, undangan.
Akta otentik:
suatu akta yang dibuat dalam bentuk menurut UU oleh atau dihadapan seorang
pegawai umum yang berwenang untuk itu, di tempat di mana akta itu dibuat (165
HIR atau pasal 285 Rbg). Di dalam pasal 165 HIR ditentukan kekuatan hukum akta
otentik merupakan bukti yang sempurna bagi para pihak dan ahli warisnya. Terhadap
pihak ketiga akta tersebut merupakan alat bukti bebas. Akta otentik mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat, formil dan materil. Contoh:
surat‐surat yang dibuat oleh notaris, pegawai catatan sipil, panitera
pengadilan.
Akta di bawah tangan:
surat yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak dengan maksud untuk dijadikan
bukti dari suatu perbuatan hukum tetapi akta tersebut tidak dibuat dihadapan
seorang pejabat umum. Apabila akta tersebut sudah diakui oleh para pihak maka
itu memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna bagi akta tersebut (Ordonansi
1867/29 pasal 6, pasal 2).
Ad.2 Keterangan saksi
Yang dapat diterangkan oleh saksi adalah apa
yang saksi lihat, dengar dan alami sendiri. Pasal 171 HIR kesaksian harus
terbatas pada peristiwa‐peristiwa yang dialaminya sendiri, sedangkan
pendapat‐pendapat
atau persangkaan yang didapat secara
berfikir bukan merupakan kesaksian.
Pasal 169 HIR keterangan seorang saksi saja
dengan tidak ada sesuatu alat bukti lainnya tidak dapat dianggap sebagai bukti
yang cukup, Unus testis, Nullus testis (satu
saksi bukan saksi). Pihak–pihak yang tidak dapat didengar sebagai saksi (Pasal
145 HIR). Pihak–pihak yang dapat mengundurkan diri dalam memberikan kesaksian
(Pasal 146 HIR). Ahli diatur dalam Pasal 154 HIR.
Ahli harus dibedakan dengan saksi biasa.
Saksi biasa harus harus mengetahui sendiri peristiwanya, sedangkan untuk ahli
keterangan yang diberikan berdasarkan bidang ilmu pengetahuan yang dimilikinya atau
keahliannya.
Ad.3 Persangkaan
HIR tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan persangkaan, tetapi untuk dapat mengetahui definisi dari persangkaan ini
dapat dilihat dalam pasal 1915 KUHPerdata. Persangkaan: kesimpulan yang oleh UU
atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang dan nyata ke arah
peristiwa lain yang belum terang dan nyata.
Persangkaaan ada dua macam:
1. Persangkaan Hakim
Contoh: dalam hal perkara gugatan perceraian
atas dasar perzinahan
2. Persangkaan UU
Contoh: Pasal 1394 KUHPerdata yang
menentukan bahwa tiga kwitansi terakhir sudah dapat membuktikan suatu perbuatan
hukum kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya;
Ad.4 Pengakuan
Pengakuan sebagai alat bukti adalah
pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak yang berperkara yang dilakukan
di depan persidangan atau di luar sidang pengadilan. Pengakuan di dalam sidang
pengadilan mempunyai kekuatan bukti yang sempurna (pasal 174 HIR).
Pengakuan di dalam sidang
pengadilan oleh salah satu pihak yg berperkara dapat bersifat :
a.
Suatu pernyataan kehendak,
b. Suatu perbuatan; dan
c. Suatu perbuatan penguasaan.
Pengakuan dibedakan:
a. Pengakuan murni;
b. Pengakuan dengan suatu kualifikasi;
c. Pengakuan dengan suatu klausula.
Ad.5 Sumpah
Sumpah sebagai alat bukti berbeda dengan
sumpah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari‐hari. Arti sumpah disini
yaitu dimana sebelumnya ada suatu keterangan yang diucapkan oleh salah satu
pihak, dan keterangan tersebut kemudian diperkuat dengan sumpah.
Sumpah dibedakan menjadi :
a. Sumpah yang diperintahkan oleh hakim
karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara (sumpah supletoir)
tujuannya untuk melengkapi bukti yang telah ada ditangan salah satu pihak;
b. Sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan
(sumpah pemutus/sumpah decissoir)
Sumpah ini terdapat dalam salah satu pihak
yang berperkara mohon kepada hakim agar kepada pihak lawan diperintahkan untuk
melakukan sumpah meskipun tidak ada pembuktian sama sekali. Bila menyangkut
perjanjian timbal balik, sumpah ini dapat dikembalikan (pasal 156 ayat 2 HIR).
Sumpah ini harus bersifat Litis Decisoir yaitu
benar‐benar mengenai suatu hal yang menjadi pokok perselisihan.
Mengangkat sumpah dapat diwakilkan dengan
suatu akta otentik yang menyebutkan dengan seksama tentang sumpah yang akan
diangkat (pasal 157 HIR).