Senin, 03 September 2018

GUGATAN PERDATA


HIR tidak mengatur secara tegas tentang bagaimana struktur surat gugatan, namun berdasarkan yurisprudensi dikenal bahwa gugatan terdiri dari:
1. Persona Standi In Judicio
a. kompetensi
b. para pihak
c. kualitas para pihak
2. Posita/Fundamentum Petendi
a. kejadian/ peristiwa
b. penjelasan duduk perkara
c. adanya hubungan hukum
3. Petitum/Tuntutan
apa yang oleh penggugat diminta/diharapkan agar diputuskan hakim.

Penambahan atau Perubahan Gugatan
HIR tidak mengatur mengenai Penambahan atau Perubahan Gugatan. Hal ini merupakan kewenangan hakim, akan tetapi dalam praktek mengenai masalah perubahan, pencabutan dan penggabungan surat gugatan dapat dilakukan berdasarkan Pasal 393 HIR.
Pada asasnya, perubahan surat gugatan dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah atau menambah pokok gugatan (Pasal 127 RV) selama tidak merugikan Tergugat, pengurangan senantiasa diperbolehkan.
Perubahan gugatan juga diperbolehkan sepanjang tidak mengubah atau menambah petitum.
Perubahan gugatan dilarang:
Bila berdasarkan hukum yang sama dimohon pelaksanaan suatu hak lain
Contoh: semula dimohon ganti rugi berdasarkan wanprestasi diubah menjadi pemenuhan perjanjian.
Adanya penambahan keadaankeadaan baru sehingga diperlukan putusan hakim ttg suatu perhubungan
hukum antara para pihak yang lain daripada yang semula telah dikemukakan
Contoh: semula dasar gugatan perceraian adalah perzinahan kemudian diubah menjadi keretakan yang
tidak dapat diperbaiki lagi.
Perubahan surat gugatan dapat dilaksanakan dalam 2 tahap:
1. Tahap sebelum tergugat mengajukan jawaban
2. tahap sesudah tergugat mengajukan jawaban

Apabila perubahan surat gugatan dilakukan sebelum tergugat memberikan jawaban, maka dapat dilakukan tanpa perlu seizin tergugat. Akan tetapi, jika diajukan sesudah ada jawaban dari tergugat harus dilakukan dengan seizin tergugat.

Perubahan dapat dilakukan jika:
1. perubahan tersebut tidak merugikan kepentingan kedua belah pihak terutama tergugat.
2. perubahan tersebut tidak menyinggung pokok perkara.
3. perubahan tersebut tidak boleh menimbulkan keadaan baru.
4. Perubahan gugatan dapat dilakukan pada tingkat banding.
Sedangkan pencabutan surat gugatan pada dasarnya dilakukan sebelum ada jawaban dari tergugat. Apabila pencabutan dilakukan setelah adanya jawaban tergugat hanya dapat dilakukan dengan seizin tergugat.
Pencabutan surat gugatan lazimnya dinyatakan dalam suatu ”penetapan”, apabila sudah ada jawaban dari tergugat. Apabila sebelum adanya jawaban lazimnya dinyatakan dalam ”Berita Acara Sidang” yang kemudian dicatat dalam buku register perkara perdata.
Penggabungan Kumulasi Gugatan dan Penggabungan gugatan
Bila dalam 1 pengadilan ada 2 perkara yg satu dan lainnya saling berhubungan terutama apabila pgg dan
tgg nya sama maka salah satu pihak atau ke‐2nya dapat meminta kepada majelis hakim agar perkara tsb digabung.

 Konkursus (kebersamaan adanya tuntutan hak)
Terjadi apabila penggugat mengajukan gugatan yang mengandung beberapa tuntutan yang menuju pada suatu akibat yang sama, dengan dikabulkannya salah satu dari tuntutan maka tuntutan lainnya sekaligus terkabul. Contoh: para debitur tanggung renteng.
Pencabutan dan Penarikan Gugatan

Tidak diatur dalam HIR, sedangkan dalam Pasal 271 Rv hanya diperbolehkan apabila tergugat belum memberikan jawaban, kecuali apabila tergugat setuju apabila gugatan dicabut. Hal ini untuk mencegah kerugian di pihak tergugat.

PEMBUKTIAN DALAM ACARA PERDATA

Dasar Hukum:
1. Pasal 162 – 177 HIR
2. Pasal 282 – 388 Rbg
3. Pasal 1865 – 1945 KUHPerdata

Hakim dalam melaksanakan tugas pengadilan membutuhkan:
1. Pengetahuan tentang hukum:
a. hukum tertulis yang berlaku;
b. hukum kebiasaan;
c. kaedah‐kaedah hukum asing.

2. Pengetahuan tentang fakta:
a. Dalam hal hakim menjatuhkan putusan verstek;
b. Dalam hal tergugat mengakui kebenaran gugatan pengugat;
c. Dalam hal salah satu pihak mengangkat sumpah decissoir (sumpah penentu);
d. Dalam hal tidak ada penyangkalan;
e. Dalam hal hakim karena jabatannya dianggap telah mengetahui fakta‐faktanya yaitu:
     i. Fakta notoir;
     ii. Fakta prosesuil.

3. Pembuktian fakta
a. Fakta notoir (fakta yg tdk memerlukan pembuktian karena dianggap sudah diketahui oleh umum),
contoh : tanggal 17 Agustus adalah hari libur.
b. Fakta prosesuil (fakta yg terjadi dalam proses dan disaksikan sendiri oleh hakim), contoh: tidak datangnya penggugat/tergugat dalam persidangan, pengakuan dalam sidang.
Beban pembuktian (Pasal 163 HIR ):
“Barang siapa yg menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. Kesimpulan: siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus membuktikan.
Titik tolak pembuktian (Pasal 162 HIR):
“Tentang bukti dan tentang menerima atau menolak alatalat bukti dalam perkara perdata, Ketua Pengadilan Negeri wajib mengingat aturan utama yg disebut dibawah ini”

Selanjutnya mengenai beban pembuktian, kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat yang wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat berkewajiban membuktikan kebenaran bantahannya. Dalam hal ini ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi hakim.
1.      Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Teori ini mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hokum teori ini adalah pendapat bahwa hal hal yang negative tidak mungkin dibuktikan (negativa opn sunt probanda).
2.      Teori Hukum Subjektif
Teori ini menggambarkan suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hokum subjektif atau bertujuan memepertahankan hokum subjektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya.
Teori ini berdasarkan pada pasal 1865 BW “Pasal 1865 Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”

3.      Teori Hukum Objektif
Teori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hokum objektif terhadap peristiwa yang diajukan.

4.      Teori Hukum Publik
Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan kepentingan publik.
5.      Teori Hukum Acara
Asas audi et alteram atau juga asas kedudukan proseusuil yang sama daripada para pihak di muka hakim yang merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.

Pasal 164 HIR, alatalat bukti terdiri dari :
1. Bukti surat (Pasal 165‐167 HIR);
2. Bukti saksi (Pasal 168‐172 HIR);
3. Persangkaan (Pasal 173‐174 HIR);
4. Pengakuan (Pasal 175‐176 HIR);
5. Sumpah (Pasal 177 jo 155, 156 HIR).

Ad.1 Bukti Surat
a. Surat akta;
Dibagi menjadi akta otentik dan akta bawah tangan.
b. Surat bukan akta.
Dibuat tidak ditujukan untuk menjadi alat bukti. Contoh: memo, undangan.

Akta otentik: suatu akta yang dibuat dalam bentuk menurut UU oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu, di tempat di mana akta itu dibuat (165 HIR atau pasal 285 Rbg). Di dalam pasal 165 HIR ditentukan kekuatan hukum akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi para pihak dan ahli warisnya. Terhadap pihak ketiga akta tersebut merupakan alat bukti bebas. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat, formil dan materil. Contoh: surat‐surat yang dibuat oleh notaris, pegawai catatan sipil, panitera pengadilan.
Akta di bawah tangan: surat yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak dengan maksud untuk dijadikan bukti dari suatu perbuatan hukum tetapi akta tersebut tidak dibuat dihadapan seorang pejabat umum. Apabila akta tersebut sudah diakui oleh para pihak maka itu memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna bagi akta tersebut (Ordonansi 1867/29 pasal 6, pasal 2).

Ad.2 Keterangan saksi
Yang dapat diterangkan oleh saksi adalah apa yang saksi lihat, dengar dan alami sendiri. Pasal 171 HIR kesaksian harus terbatas pada peristiwa‐peristiwa yang dialaminya sendiri, sedangkan pendapat‐pendapat
atau persangkaan yang didapat secara berfikir bukan merupakan kesaksian.
Pasal 169 HIR keterangan seorang saksi saja dengan tidak ada sesuatu alat bukti lainnya tidak dapat dianggap sebagai bukti yang cukup, Unus testis, Nullus testis (satu saksi bukan saksi). Pihak–pihak yang tidak dapat didengar sebagai saksi (Pasal 145 HIR). Pihak–pihak yang dapat mengundurkan diri dalam memberikan kesaksian (Pasal 146 HIR). Ahli diatur dalam Pasal 154 HIR.
Ahli harus dibedakan dengan saksi biasa. Saksi biasa harus harus mengetahui sendiri peristiwanya, sedangkan untuk ahli keterangan yang diberikan berdasarkan bidang ilmu pengetahuan yang dimilikinya atau keahliannya.

 Ad.3 Persangkaan
HIR tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan persangkaan, tetapi untuk dapat mengetahui definisi dari persangkaan ini dapat dilihat dalam pasal 1915 KUHPerdata. Persangkaan: kesimpulan yang oleh UU atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang dan nyata ke arah peristiwa lain yang belum terang dan nyata.
Persangkaaan ada dua macam:
1. Persangkaan Hakim
Contoh: dalam hal perkara gugatan perceraian atas dasar perzinahan
2. Persangkaan UU
Contoh: Pasal 1394 KUHPerdata yang menentukan bahwa tiga kwitansi terakhir sudah dapat membuktikan suatu perbuatan hukum kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya;
Ad.4 Pengakuan
Pengakuan sebagai alat bukti adalah pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak yang berperkara yang dilakukan di depan persidangan atau di luar sidang pengadilan. Pengakuan di dalam sidang pengadilan mempunyai kekuatan bukti yang sempurna (pasal 174 HIR).
Pengakuan di dalam sidang pengadilan oleh salah satu pihak yg berperkara dapat bersifat :
a. Suatu pernyataan kehendak,
b. Suatu perbuatan; dan
c. Suatu perbuatan penguasaan.
Pengakuan dibedakan:
a. Pengakuan murni;
b. Pengakuan dengan suatu kualifikasi;
c. Pengakuan dengan suatu klausula.

Ad.5 Sumpah
Sumpah sebagai alat bukti berbeda dengan sumpah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari‐hari. Arti sumpah disini yaitu dimana sebelumnya ada suatu keterangan yang diucapkan oleh salah satu pihak, dan keterangan tersebut kemudian diperkuat dengan sumpah.

Sumpah dibedakan menjadi :
a. Sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara (sumpah supletoir) tujuannya untuk melengkapi bukti yang telah ada ditangan salah satu pihak;
b. Sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan (sumpah pemutus/sumpah decissoir)
Sumpah ini terdapat dalam salah satu pihak yang berperkara mohon kepada hakim agar kepada pihak lawan diperintahkan untuk melakukan sumpah meskipun tidak ada pembuktian sama sekali. Bila menyangkut perjanjian timbal balik, sumpah ini dapat dikembalikan (pasal 156 ayat 2 HIR). Sumpah ini harus bersifat Litis Decisoir yaitu benar‐benar mengenai suatu hal yang menjadi pokok perselisihan.

Mengangkat sumpah dapat diwakilkan dengan suatu akta otentik yang menyebutkan dengan seksama tentang sumpah yang akan diangkat (pasal 157 HIR).