Dimuat dalam Opini Radar Jember, 1 Januari 2016
Dalam beberapa waktu kedepan, pekerjaan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jember akan semakin bertambah dalam menjalani
tahapan-tahapan Pemilihan Bupati Jember. Penyebabnya antara lain, pertama, pasangan Calon Bupati nomor
urut 1 telah mendaftarkan sengketa Perselisihan Hasil Pilkada Jember ke
Mahkamah Konstitusi. Gugatan ke MK ini karena KPU dinilai mengabaikan Peraturan
KPU (PKPU) Nomor 8 tahun 2015 berkaitan dengan pelaporan dana kampanye pasangan
calon Bupati. Dengan adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi ini, tahapan Pilkada
akan semakin panjang. Penetapan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih
yang sedianya dijadwalkan tanggal 21-22 Desember 2015 mundur menjadi tanggal 12
Februari 2016 sampai 13 Maret 2016.
Kedua, KPU Jember juga
digugat secara perdata di Pengadilan Negeri Jember. Data Sistem Informasi
perkara PN Jember menyatakan gugatan telah diregistrasi dengan nomor perkara
156/PDT.G/2015/PN.Jmr. Dalam gugatannya Penggugat meminta majelis hakim untuk
Menyatakan Tergugat telah melakukan tindakan inkonstitusional dan melawan hukum
dengan tidak melakukan tindakan pembatalan atas kedua pasangan Calon Bupati dan
Wakil Bupati Kabupaten Jember tahun 2015.
Inti dari kedua gugatan tersebut
sama-sama mempermasalahkan keterlambatan pasangan calon bupati Jember dalam
menyerahkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) Pemilihan
Kepala Daerah Jember 2015, sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Peraturan KPU No.
8 Tahun 2015 Tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Pasal
54 Peraturan KPU tersebut menyatakan bahwa : “Pasangan
Calon yang terlambat menyampaikan LPPDK kepada KPU Provinsi/KIP Aceh atau
KPU/KIP Kabupaten/Kota sampai batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai
Pasangan Calon”.
Memang,
membawa persoalan-persoalan
Pilkada untuk diselesaikan melalui jalur
hukum, dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah
Konstitusi maupun ke Pengadilan Negeri, adalah hak dari Kedua pasangan
calon Bupati dan wakil Bupati Jember. Jelas hal ini dilindungi oleh hukum. Demikian
pula sebaliknya, Pengadilan juga dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutus suatu perkara yang
diajukan kepadanya, meskipun dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas. Pengadilan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Oleh karena itu, tidak
ada alasan bagi pengadilan untuk tidak menerima dan memeriksa perkara yang
diajukan. Biarkan proses hukum berjalan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Apabila dirunut kembali kebelakang, permasalahan
keterlambatan dalam
menyerahkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) dialami
oleh kedua pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati. KPU Jember menyatakan bahwa
kedua pasangan calon sama-sama melanggar ketentuan batas akhir pelaporan dana
kampanye. Oleh karena kedua pasangan calon sama-sama melanggar ketentuan batas
akhir pelaporan dana kampanye, apabila ketentuan Pasal 54 Peraturan KPU No. 8
Tahun 2015 diterapkan secara kaku, maka kedua pasangan calon akan dibatalkan
sebagai pasangan calon dalam Pilkada Jember 2015. Langkah ini tentu akan
menimbulkan kerugian yang lebih luas bagi masyarakat Jember dalam segala aspek.
Dalam hal ini dapat dipahami langkah KPU Jember untuk tetap melanjutkan tahapan
Pilkada dengan persetujuan dari semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan
Pilkada Jember. Langkah KPU Jember tersebut sebenarnya secara tidak langsung telah
disetujui oleh kedua pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dengan
ditandatanganinya Deklarasi kesepakatan Pilkada Damai di Alun-Alun Kabupaten
Jember, pada hari Senin 7 Desember 2015.
Untuk dapat memahami secara utuh
permasalahan sengketa Pilkada Jember dari kacamata hukum, kita dapat
menggunakan perspektif apa sebenarnya tujuan hukum itu. Secara teoritis, dalam
ilmu hukum dikenal tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum. Menurut ahli hukum yang menganut tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan
menilai bahwa hukum memiliki tujuan
suci memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Menurut teori ini
hukum semata-mata bertujuan demi keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan
etis kita, mana yang adil dan mana yang tidak. Artinya hukum menurut teori ini
bertujuan mewujudkan mewujudkan keadilan.
Teori tujuan hukum kedua adalah menciptakan sebesar-besarnya kemanfaatan.
Menurut teori ini hukum bertujuan untuk menghasilkan kemanfaatan yang
sebesar-besarnya pada manusia dalam mewujudkan kesenangan dan kebahagiaan.
Penganut teori ini berpendapat bahwa hukum dititikberatkan pada hal-hal yang berfaedah
bagi orang banyak dan bersifat umum meskipun dengan menomorduakan aspek
keadilan. Bagi aliran ini, pada asasnya tujuan hukum adalah untuk menciptakan kemanfaatan atau
kebahagiaan warga masyarakat. Tujuan hukum
itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan rakyatnya. Artinya, tujuan hukum hendaknya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada warga
masyarakat. Hukum dipandang semata-mata untuk memberikan kebahagiaan bagi warga masyarakat
dan pelaksanaan hukumnya tetap mengacu pada manfaat bagi warga
masyarakat.
Teori ketiga tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan
kepastian hukum. Kepastian hukum yang dimaksud disini adalah dengan melegalkan
kepastian hak dan kewajiban. Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum adalah
menjaga setiap kepentingan manusia agar tidak diganggu dan terjamin
kepastiannya. Teori ini bersumber dari pemikiran
positivistis dalam dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu
yang otonom. Bagi penganut aliran ini, hukum tak lain hanya kumpulan peraturan-peraturan.
Tujuan hukum tidak lain dari menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum
itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum.
Meskipun aturan hukum atau penerapan
hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas
masyarakat, hal itu tidak menjadi soal asalkan kepastian hukum dapat terwujud.
Dalam
konteks sengketa Pilkada Jember, ketiga teori tujuan hukum tersebut dapat
dilihat relevansinya. Bagi pasangan calon nomor urut 1 yang mengajukan gugatan
ke MK dengan dasar KPU
mengabaikan Peraturan KPU Nomor 8 tahun 2015 berkaitan dengan pelaporan dana
kampanye pasangan calon Bupati dan tidak menjatuhkan sanksi berupa pembatalan sebagai Pasangan Calon, jelas berpijak
pada tujuan hukum adalah untuk menjamin kepastian kepastian hukum. Pasal-pasal
dalam perundang-undangan harus dilaksanakan sebagaimana yang tertulis
didalamnya. Meskipun penerapan hukum itu terasa tidak memberikan
manfaat yang lebih besar bagi mayoritas masyarakat Jember, hal itu tidak terlalu
menjadi persoalan asalkan lahir kepastian hukum.
Sebaliknya bagi KPU Jember, hukum dititikberatkan pada hal-hal yang bermanfaat
bagi orang banyak dan bersifat umum. Pada
asasnya tujuan
hukum adalah untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan warga masyarakat terutama masyarakat Jember. Penerapan Pasal 54 Peraturan KPU
No. 8 Tahun 2015 secara kaku tidak akan membawa kemanfaatan bagi masyarakat
Jember dan bagi kedua pasangan calon. Justru apabila pasal tersebut diterapkan akan
menimbulkan kerugian yang lebih luas bagi masyarakat Jember secara umum.
Bagi
kedua belah pihak tentu berharap memperoleh keadilan sesuai dengan apa yang
diinginkan masing-masing. Demikian pula bagi masyarakat Jember berharap agar
putusan MK dan Pengadilan Negeri Jember mampu mencerminkan nilai-nilai keadilan
sekaligus yang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat
Jember.
Supianto, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum dan Kepala LBHH Universitas
Islam Jember (UIJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar