Sabtu, 23 Juli 2016

MEMAHAMI SENGKETA PILKADA JEMBER DALAM PERSPEKTIF TUJUAN HUKUM



Dimuat dalam Opini Radar Jember, 1 Januari 2016

Dalam beberapa waktu kedepan, pekerjaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jember akan semakin bertambah dalam menjalani tahapan-tahapan Pemilihan Bupati Jember. Penyebabnya antara lain, pertama, pasangan Calon Bupati nomor urut 1 telah mendaftarkan sengketa Perselisihan Hasil Pilkada Jember ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ke MK ini karena KPU dinilai mengabaikan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 tahun 2015 berkaitan dengan pelaporan dana kampanye pasangan calon Bupati. Dengan adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi ini, tahapan Pilkada akan semakin panjang. Penetapan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih yang sedianya dijadwalkan tanggal 21-22 Desember 2015 mundur menjadi tanggal 12 Februari 2016 sampai 13 Maret 2016.
Kedua, KPU Jember juga digugat secara perdata di Pengadilan Negeri Jember. Data Sistem Informasi perkara PN Jember menyatakan gugatan telah diregistrasi dengan nomor perkara 156/PDT.G/2015/PN.Jmr. Dalam gugatannya Penggugat meminta majelis hakim untuk Menyatakan Tergugat telah melakukan tindakan inkonstitusional dan melawan hukum dengan tidak melakukan tindakan pembatalan atas kedua pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Jember tahun 2015.
Inti dari kedua gugatan tersebut sama-sama mempermasalahkan keterlambatan pasangan calon bupati Jember dalam menyerahkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) Pemilihan Kepala Daerah Jember 2015, sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Peraturan KPU No. 8 Tahun 2015 Tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Pasal 54 Peraturan KPU tersebut menyatakan bahwa : “Pasangan Calon yang terlambat menyampaikan LPPDK kepada KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota sampai batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Pasangan Calon”.
Memang, membawa persoalan-persoalan Pilkada untuk diselesaikan melalui jalur hukum, dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi maupun ke Pengadilan Negeri, adalah hak dari Kedua pasangan calon Bupati dan wakil Bupati Jember. Jelas hal ini dilindungi oleh hukum. Demikian pula sebaliknya, Pengadilan juga dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus  suatu perkara yang diajukan kepadanya, meskipun dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Pengadilan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pengadilan untuk tidak menerima dan memeriksa perkara yang diajukan. Biarkan proses hukum berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
 Apabila dirunut kembali kebelakang, permasalahan keterlambatan dalam menyerahkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) dialami oleh kedua pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati. KPU Jember menyatakan bahwa kedua pasangan calon sama-sama melanggar ketentuan batas akhir pelaporan dana kampanye. Oleh karena kedua pasangan calon sama-sama melanggar ketentuan batas akhir pelaporan dana kampanye, apabila ketentuan Pasal 54 Peraturan KPU No. 8 Tahun 2015 diterapkan secara kaku, maka kedua pasangan calon akan dibatalkan sebagai pasangan calon dalam Pilkada Jember 2015. Langkah ini tentu akan menimbulkan kerugian yang lebih luas bagi masyarakat Jember dalam segala aspek. Dalam hal ini dapat dipahami langkah KPU Jember untuk tetap melanjutkan tahapan Pilkada dengan persetujuan dari semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan Pilkada Jember. Langkah KPU Jember tersebut sebenarnya secara tidak langsung telah disetujui oleh kedua pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dengan ditandatanganinya Deklarasi kesepakatan Pilkada Damai di Alun-Alun Kabupaten Jember, pada hari Senin 7 Desember 2015.
Untuk dapat memahami secara utuh permasalahan sengketa Pilkada Jember dari kacamata hukum, kita dapat menggunakan perspektif apa sebenarnya tujuan hukum itu. Secara teoritis, dalam ilmu hukum dikenal tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Menurut ahli hukum yang menganut tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan menilai bahwa hukum memiliki tujuan suci memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Menurut teori ini hukum semata-mata bertujuan demi keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan etis kita, mana yang adil dan mana yang tidak. Artinya hukum menurut teori ini bertujuan mewujudkan mewujudkan keadilan.
Teori tujuan hukum kedua adalah menciptakan sebesar-besarnya kemanfaatan. Menurut teori ini hukum bertujuan untuk menghasilkan kemanfaatan yang sebesar-besarnya pada manusia dalam mewujudkan kesenangan dan kebahagiaan. Penganut teori ini berpendapat bahwa hukum dititikberatkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum meskipun dengan menomorduakan aspek keadilan. Bagi aliran ini, pada asasnya tujuan hukum adalah untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan warga masyarakat. Tujuan hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya. Artinya, tujuan hukum hendaknya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada warga masyarakat. Hukum dipandang semata-mata untuk memberikan kebahagiaan bagi warga masyarakat dan pelaksanaan hukumnya tetap mengacu pada manfaat bagi warga masyarakat.
Teori ketiga tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum. Kepastian hukum yang dimaksud disini adalah dengan melegalkan kepastian hak dan kewajiban. Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum adalah menjaga setiap kepentingan manusia agar tidak diganggu dan terjamin kepastiannya. Teori ini bersumber dari pemikiran positivistis dalam dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom. Bagi penganut aliran ini, hukum tak lain hanya kumpulan peraturan-peraturan. Tujuan hukum tidak lain dari menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum. Meskipun  aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas masyarakat, hal itu tidak menjadi soal asalkan kepastian hukum dapat terwujud.
Dalam konteks sengketa Pilkada Jember, ketiga teori tujuan hukum tersebut dapat dilihat relevansinya. Bagi pasangan calon nomor urut 1 yang mengajukan gugatan ke MK dengan dasar KPU mengabaikan Peraturan KPU Nomor 8 tahun 2015 berkaitan dengan pelaporan dana kampanye pasangan calon Bupati dan tidak menjatuhkan sanksi berupa pembatalan sebagai Pasangan Calon, jelas berpijak pada tujuan hukum adalah untuk menjamin kepastian kepastian hukum. Pasal-pasal dalam perundang-undangan harus dilaksanakan sebagaimana yang tertulis didalamnya.  Meskipun  penerapan hukum itu terasa tidak memberikan manfaat yang lebih besar bagi mayoritas masyarakat Jember, hal itu tidak terlalu menjadi persoalan asalkan lahir kepastian hukum.
Sebaliknya bagi KPU Jember, hukum dititikberatkan pada hal-hal yang bermanfaat bagi orang banyak dan bersifat umum. Pada asasnya tujuan hukum adalah untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan warga masyarakat terutama masyarakat Jember. Penerapan Pasal 54 Peraturan KPU No. 8 Tahun 2015 secara kaku tidak akan membawa kemanfaatan bagi masyarakat Jember dan bagi kedua pasangan calon. Justru apabila pasal tersebut diterapkan akan menimbulkan kerugian yang lebih luas bagi masyarakat Jember secara umum.
Bagi kedua belah pihak tentu berharap memperoleh keadilan sesuai dengan apa yang diinginkan masing-masing. Demikian pula bagi masyarakat Jember berharap agar putusan MK dan Pengadilan Negeri Jember mampu mencerminkan nilai-nilai keadilan sekaligus yang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat Jember.  
Supianto, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum dan Kepala LBHH Universitas Islam Jember (UIJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar