Sabtu, 03 Desember 2016

KHUTBAH

“Dik, siapa jadwal khatib hari ini?, Tanya Bapak Penasehat Takmir Masjid.
“Bapak Anang Suryana, Pak. Tapi beliau tidak bisa hadir karena masih diluar kota”, jawab saya sambil menjelaskan soal ketidakhadiran khatib sesuai jadwal hari itu.
Saya bukan anggota Takmir Masjid, nama saya juga tidak ada dalam struktur takmir. Meskipun begitu, saya selalu terlibat dalam setiap pengelolaan dan kegiatan ketakmiran masjid itu.
Masjid itu bernama Al-Jihad. Konon, nama Al-Jihad dipilih karena masjid itu dibangun penuh dengan perjuangan. Letaknya di Pasaman Baru, Kota Simpang Empat, Kabupaten Pasaman Barat.
Didalam masjid itu ada ruang khusus untuk ditempati para pelajar, khususnya yang berasal dari luar kota. Ada tiga ruang di masjid itu yang bisa dimanfaatkan. Saya salah satu diantara para pelajar yang tinggal disana.
Kami tak perlu membayar sepeserpun selama tinggal disana. Hanya saja, kami harus bersedia melaksanakan tugas-tugas ketakmiran. Menjadi muazzin, bersih-bersih, membantu kegiatan Taman Pendidikan Alqur’an dan kegiatan ibadah lainnya. Termasuk menyiapkan kegiatan untuk shalat Jum’at.
Siang itu hari Jum’at. Kami sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk memulai shalat jum’at. Hanya satu yang belum siap, pengganti khatib yang berhalangan hadir. Kami semua cemas. Bagaimana kalau khatib pengganti tidak ada?
Satu per satu jamaah mulai datang dan memasuki masjid. Tak lama lagi rangkaian shalat jumat segera dimulai. Saya bertanya untuk memastikan kepada Bapak Penasehat Takmir yang sudah hadir.
“Siapa yang akan diminta untuk menjadi khatib pengganti, Pak?”
“Kalau tidak ada yang lain, ya… Dik Anto saja yang maju”, Jawab beliau dengan tenangnya. Saya terkejut mendengar jawaban itu.
“Saya, Pak?”, Saya bertanya seolah tidak percaya dengan apa yang saya dengar.
“Iya, kenapa? Sanggup kan..?”
Saya terdiam sejenak. Sambil mengumpulkan keberanian, saya membayangkan apa yang akan saya sampaikan dalam khutbah nanti. Saya belum pernah melakukannya. Dengan ragu-ragu saya menyatakan kesanggupan saya.
“Iya Pak. Tapi saya belum pernah jadi khatib sebelumnya,”.
“Nggak apa-apa, makanya dicoba”. Beliau meyakinkan saya.
Segera saya melangkah dengan cepat kearah tumpukan buku-buku disudut ruangan. Mencoba mengumpulkan sekilas materi apa yang hendak saya sampaikan dalam khutbah nanti. Saya buat catatan kecil untuk berjaga-jaga barangkali nanti ada yang terlupa atau kehabisan bahan.
Tak lama kemudian, saya sudah berdiri diatas mimbar. Berdiri diatas mimbar dihadapan begitu banyak orang adalah pengalaman yang luar biasa. Semua mata seolah tertuju pada saya. Saya merasa diri saya sangat kecil dan dimata-matai oleh semua orang. Orang-orang itu mungkin terheran-heran kok anak ini yang jadi khatib.
Ada sedikit rasa bangga sekaligus khawatir dalam hati. Bangga tentu saja, karena ketika itu saya masih kelas dua SMA, namun sudah dipercaya untuk menjadi khatib jum’at.
Sebaliknya, rasa khawatir muncul kalau-kalau khutbah nanti jadi macet ditengah jalan karena lupa bacaannya, atau karena kehabisan materi atau keliru yang disampaikan atau…. Atau…
Saya coba mengendalikan emosi diri yang mulai berkecamuk. Detak jantung terasa sekali seolah diperbesar volumenya puluhan kali. Dag..dug.. Dag..dug...
Pertama-tama, saya tarik napas dalam-dalam, lalu menatap para jamaah yang telah memenuhi ruang utama masjid. Mulai dari sisi kiri, tengah kemudian kesisi kanan, untuk membangkitkan rasa percaya diri.
Ketika menatap jamaah di bagian tengah, terlihat dua orang guru saya di sekolah menjadi jamaah. Keduanya menatap kearah saya. Hal itu membuat saya kembali grogi. Tapi tak apa, apapun alasannya khutbah harus dilanjutkan….
“Bapak-Bapak dan Saudara, Sidang Jum’at Yang Berbahagia……..”.

JUM’ATAN

Sering kali ketika shalat jum’at, mata ini rasanya sangat berat untuk dibuka. Serasa ada bandul besar tergantung di bulu mata, hingga mengangkatnya sedikit saja terasa seperti mengangkat beban berton-ton beratnya.
Saya perhatikan disekeliling, ternyata tidak hanya saya. Sebagian besar mereka juga dalam keadaan yang sama, mengantuk berjamaah. Suasana sejuk didalam masjid, ditambah hembusan kipas angin dari segala penjuru, semakin membuat kepala tertunduk lebih rendah.
Seolah-olah sedang khusuk menyimak isi khutbah. Namun hingga iqamah diserukan, beberapa diantaranya tak segera bangun. Tak sadar kalau khutbah sudah selesai, sampai orang disebelahnya mencolek lengannya. Dengan terkejut, langsung berdiri meluruskan shaf dan tak ingat lagi apa yang disampaikan oleh khatib tadi.
Seorang teman mengatakan, rasa kantuk ketika khutbah memang godaan syaitan. “Kita mesti melawan dan mengalahkan rasa kantuk itu, kalau tidak mau hanyut dalam godaannya”, katanya. Saya mengiyakan saja pernyataan itu.
Rasa kantuk bisa timbul karena kelelahan bekerja. Bisa jadi juga karena kurang tidur. Namun, terkadang lebih karena penyampaian khutbahnya kurang menarik.
Di beberapa masjid, khutbah disampaikan dengan bahasa yang enak didengar, membangkitkan antusiasme dan menyejukkan. Materinya sangat kontekstual sesuai dengan masa sekarang. Saya lihat, jamaah tertarik dengan materi seperti itu, sehingga semua mata tertuju kepada sang khatib. Tak sempat ada rasa kantuk menghampiri mata.
Saya pikir, sebagai jamaah kita mengharapkan khatib yang mampu menyampaikan materi-materi keagamaan yang kontekstual. Agar kita memperolah tambahan pengetahuan tentang ilmu agama, tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja.