Sabtu, 03 Desember 2016

JUM’ATAN

Sering kali ketika shalat jum’at, mata ini rasanya sangat berat untuk dibuka. Serasa ada bandul besar tergantung di bulu mata, hingga mengangkatnya sedikit saja terasa seperti mengangkat beban berton-ton beratnya.
Saya perhatikan disekeliling, ternyata tidak hanya saya. Sebagian besar mereka juga dalam keadaan yang sama, mengantuk berjamaah. Suasana sejuk didalam masjid, ditambah hembusan kipas angin dari segala penjuru, semakin membuat kepala tertunduk lebih rendah.
Seolah-olah sedang khusuk menyimak isi khutbah. Namun hingga iqamah diserukan, beberapa diantaranya tak segera bangun. Tak sadar kalau khutbah sudah selesai, sampai orang disebelahnya mencolek lengannya. Dengan terkejut, langsung berdiri meluruskan shaf dan tak ingat lagi apa yang disampaikan oleh khatib tadi.
Seorang teman mengatakan, rasa kantuk ketika khutbah memang godaan syaitan. “Kita mesti melawan dan mengalahkan rasa kantuk itu, kalau tidak mau hanyut dalam godaannya”, katanya. Saya mengiyakan saja pernyataan itu.
Rasa kantuk bisa timbul karena kelelahan bekerja. Bisa jadi juga karena kurang tidur. Namun, terkadang lebih karena penyampaian khutbahnya kurang menarik.
Di beberapa masjid, khutbah disampaikan dengan bahasa yang enak didengar, membangkitkan antusiasme dan menyejukkan. Materinya sangat kontekstual sesuai dengan masa sekarang. Saya lihat, jamaah tertarik dengan materi seperti itu, sehingga semua mata tertuju kepada sang khatib. Tak sempat ada rasa kantuk menghampiri mata.
Saya pikir, sebagai jamaah kita mengharapkan khatib yang mampu menyampaikan materi-materi keagamaan yang kontekstual. Agar kita memperolah tambahan pengetahuan tentang ilmu agama, tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar