Kamis, 01 Desember 2016

SUATU HARI DI PENGADILAN

Beberapa waktu lalu, saya dan beberapa rekan di organisasi Lembaga Bantuan Hukum sedang piket di Pengadilan. Kami memang dijadwal piket, untuk melayani masyarakat yang memerlukan bantuan hukum.
Hari itu agak ramai. Masyarakat yang datang ke pengadilan lebih banyak dari biasanya. Sebagian besar mereka mengajukan perkara perceraian.
Diatas meja, tumpukan berkas pendaftaran perkara, sedikit demi sedikit mulai berkurang. Satu per satu nama mereka dipanggil untuk diwawancarai dan dibuatkan surat gugatan.
Wajah-wajah mereka yang datang itu, wajah-wajah yang dipenuhi ketegangan, kesedihan dan amarah. Berbagai ekspresi yang membuat kami terkadang ikut hanyut dalam suasana hati mereka. Tak jarang, sebagian mereka bahkan sambil menangis terisak-isak ketika menjawab pertanyaan.
Kami dapat memahami perasaan mereka, perasaan yang menggambarkan nasib rumah tangga mereka yang berada di ujung kehancuran. Nasib diri mereka yang sebentar lagi berubah status menjadi janda atau duda. Nasib masa depan anak-anak mereka, yang harus menjalani kehidupan dengan satu orang tua.
Tumpukan map diatas meja itu semakin menipis. Satu nama dipanggil melalui pengeras suara. Belum ada yang masuk. Panggilan itu diulangi sekali lagi. Lalu, masuklah seorang perempuan yang masih terlihat muda. Wajahnya selalu tersenyum, tak terlihat kesedihan pada raut mukanya.
Dengan santai dia berjalan menuju kursi yang telah kosong. Wawancara pun dimulai,
“Namanya siapa, Mbak?”
“Melati*, Pak"
“Umurnya berapa?”
“Dua puluh tiga tahun”
“Pendidikan terakhir, Mbak?”
“SMP”.
Wawancara pun berlanjut hingga masalah rumah tangga yang menjadi penyebab gugatan perceraian diajukan.
Saya sedikit penasaran dengan sikap orang ini. Sementara yang lain wajahnya diliputi ketegangan dan kegelisahan, orang ini justru santai saja. Seolah tak ada beban yang ditanggungnya. Seolah tak ada masalah dengan dengan dirinya yang tak lama lagi akan berubah menjadi janda.
Saya mencoba bertanya tentang hal ini,
“Maaf ya Mbak, biasanya orang yang mengajukan gugatan cerai itu wajahnya terlihat sedih, tapi sampean kok terlihat santai saja, seperti nggak terjadi apa-apa?”
Saya memperoleh jawaban yang mengejutkan. Jawaban yang sama sekali tidak pernah terbayang dalam fikiran saya, apalagi umurnya yang masih dua puluh tiga.
“Saya sudak sering ke pengadilan, Pak. Saya sudah tiga kali mengajukan perceraian. Sekarang ini saya menggugat suami saya yang ketiga”.
“Haaaa…..!!?”.
*Melati, bukan nama sebenarnya,
Untuk yang namanya Melati, mohon maaf......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar