Senin, 09 Januari 2017

MASALAH PRIBADI DAN MEDIA SOSIAL

Ada orang yang suka menceritakan permasalahan pribadinya di media sosial. Tidak punya uang, hutang yang menumpuk, kesal kepada orang lain atau sekedar soal pasangannya yang kurang perhatian, semuanya diceritakan di media sosial. Apa ada yang salah?, secara hukum, memang tidak ada yang salah, tidak ada ketentuan yang dilanggar.
Tidak ada yang tahu, apa sebenarnya tujuannya melakukan hal itu. Bila tujuannya untuk meminta bantuan kepada orang lain, kepada siapa dia meminta bantuan. Bukankah lebih baik dia mengirimkan pesan langsung kepada seseorang yang dinilai mampu membantunya. Hal itu akan lebih efektif dan lebih menjaga privasi kita sendiri.
Bila tujuannya hanya untuk mencurahkan perasaan atau curhat saja, bukankah hal itu justru membuka aib kita sendiri. Memang, berbagi rasa dengan menceritakan permasalahan kita kepada orang lain sudah dapat sedikit meringankan beban pikiran sesaat. Tetapi mesti dilihat dulu kepada siapa dan dimana permasalahan kita itu diceritakan.
Media sosial adalah media yang terbuka, apapun yang kita tuliskan atau kita katakan dapat dilihat oleh semua orang. Bila kita menceritakan permasalahan hidup kita di media sosial, sama saja dengan kita berteriak di jalan raya yang dipenuhi banyak orang. Mereka semua dapat melihat dan mendengar apa yang kita katakan. Bagaimana reaksi mereka? Ada yang peduli, tetapi sebagian besar tidak mempedulikannya. Mereka yang peduli, biasanya hanya menyarankan supaya bersabar. Selebihnya tidak ambil pusing dengan hal itu, bahkan merasa heran dengan dengan apa yang dilakukannya.
Seseorang yang sedang menghadapi masalah apalagi masalah itu cukup pelik, akan merasa seolah-olah didunia ini hanya dia sendiri yang sedang menghadapi masalah, orang lain tidak. Apalagi ketika melihat status teman-temannya di media sosial yang selalu menampilkan kata-kata dan gambar-gambar ceria dan bahagia bersama keluarganya, itu semakin membuat hatinya terpuruk.
Tentu saja tidak ada seorangpun dalam hidupnya yang tanpa permasalahan. Setiap orang mempunyai masalahnya sendiri. Yang membedakannya adalah bagaimana menyikapi dan menyelesaikan permasalahan itu. Sebagian besar orang tidak mau mengumbar permasalahan pribadinya keranah publik, seperti di media sosial. Selain karena alasan tidak etis, menceritakan persoalan pribadi di media sosial lebih banyak merugikan diri sendiri. Karena hal itu akan dimanfaatkan oleh orang-orang mempunyai niat jahat. Sudah banyak contoh kasus-kasus penipuan dan kejahatan lain yang dilakukan melalui media sosial. Diantara kasus-kasus itu ada yang terungkap oleh aparat, yang belum terungkap tentu lebih banyak lagi.
Gunakanlah media sosial untuk hal-hal yang positif saja. Berbagi ide, berbagi cerita, membangun kembali persahabatan dengan teman masa sekolah dulu atau untuk memperluas jaringan bisnis.
Hindari menggunakan media sosial untuk menebar kebencian, apalagi kebencian yang berkaitan dengan SARA. Karena hal itu akan membawa kita berurusan dengan hukum...

“HATIKU TERLUKA DI BUKHARA”

Brunei seri 7
Pusat perbelanjaan itu tak terlalu ramai pengunjung. Aku berjalan kearah Toko Buku “Paul & Elizabeth” di Jalan McArthur, yang tak jauh dari Terminal Bus Bandar. Toko buku itu cukup bagus namun tidak terlalu besar. Koleksi bukunya lebih banyak yang berbahasa Inggris, sisanya berbahasa Melayu. Buku-buku yang berbahasa melayu sebagian besar berasal dari Malaysia dan diterbitkan oleh penerbit Malaysia.
Aku berjalan mengelilingi hampir semua tumpukan buku-buku. Tak jelas buku apa yang kucari, memang tak ada niatku untuk membeli, hanya melihat-lihat saja. Ketika melewati tumpukan buku-buku sastra, muncul minatku untuk membacanya lebih lama. Novel-novel berbahasa Melayu mendominasi pajangan. Dengan tampilan cover yang dibuat cantik, novel-novel itu menarik perhatianku. Aku ingin membelinya satu, untuk kubaca-baca menghabiskan waktu sehari ini.
Memang, ketika aku berangkat beberapa waktu lalu, tak sempat aku membawa buku untuk kubaca-baca sambil mengisi waktu luang. Kebiasaanku membaca buku setiap hari membuatku bingung ketika buku-buku itu kini tak ada. Terutama waktu malam hari ketika sudah selesai bekerja, saat tak ada kegiatan yang perlu kuselesaikan lagi. Ketika itulah aku merasa ada ruang dan waktu yang kosong dalam pikiranku untuk diisi dengan sesuatu yang bermanfaat. Apalagi ketika hidup sendiri seperti ini, tak ada orang lain yang dapat diajak berbincang-bincang. Kekosongan itu semakin terasa.
Selain untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan pengalaman dari penulisnya, membaca juga dapat membantu mengurang stress karena beban kerja yang berat. Membaca buku yang bagus akan mengajak pembacanya larut dalam bacaannya. Membaca buku tentang humor, membuatku tertawa sendiri. Membaca buku tentang traveling, pikiranku seolah ikut traveling juga dan menjadi segar sesudahnya. Begitu pula ketika membaca buku sejarah, aku merasakan seolah-olah aku sendiri yang menjalani peristiwa-peristiwa sejarah itu.
Kebiasaan membaca buku sama dengan kebiasaan merokok atau minum alkohol. Kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus dapat menjadikan orang ketagihan atau kecanduan. Hanya saja ada bedanya, ketagihan membaca buku itu sifatnya positif, sedangkan ketagihan rokok atau zat-zat adiktif yang lain merupakan ketagihan yang negatif dan merusak. Seseorang yang kecanduan akan merasakan kenikmatan dan kepuasan apabila mengkonsumsi zat atau melakukan aktivitas yang membuatnya kecanduan itu.
“Ada yang minat?”, Tiba-tiba seorang pegawai toko buku bertanya dengan logat Melayu. Aku agak terkejut. Pertanyaan itu bernada curiga. Sejak tadi aku memang hanya melihat-lihat saja, tak ada tanda-tanda ingin membeli sasuatu pun.
“Iya, sekejap”, jawabku singkat.
Pertanyaan pengawai toko itu mulai membuatku tak nyaman lagi berlama-lama disitu. Aku mulai lagi dengan sungguh-sungguh untuk memilih satu buku yang hendak kubeli. Pandanganku tertuju pada novel kecil berwarna hitam dengan sedikit gambar ornamen berwarna emas dibagian bawah tulisan judulnya. Belakangan kuketahui bahwa gambar itu adalah gambar salah satu Madrasah yang terletak di kota Bukhara, Uzbekistan.
Novel itu berjudul “Hatiku Terluka di Bukhara”. Dibagian bawah gambar ornamen tertulis kata-kata “Sebuah Travelog Kaya Ilmu”, yang ditulis oleh sastrawan Malaysia bernama Wan Hasyim Wan Teh. Aku tertarik dengan yang ini, pikirku dalam hati. Kulihat bagian belakang sampulnya, disana diterangkan bahwa novel ini adalah rekaman perjalanan penulisnya ketika berkunjung ke Negara Uni Soviet.
Lalu aku membawanya ke meja kasir.
“Berapa harganya?”, tanyaku kepada petugas kasir.
“Tiga belas dolar sembilan puluh sen”.
Akupun segera membayarnya, lalu keluar meninggalkan toko buku. Diluar, udara terasa sangat panas. Memang begitulah keadaan disana, selalu panas. Untungnya ada angin yang bertiup dari arah sungai diseberang jalan, sedikit mengurangi rasa panas yang menyengat itu. Aku berjalan menyusuri jalan raya McArthur yang berdampingan dengan sungai Brunei yang lebar.
Yang kuinginkan sekarang adalah duduk di tempat yang teduh ditepi sungai. Sambil menikmati hembusan angin yang sejuk, aku ingin segera menikmati buku yang baru saja kubeli…

BERTANGGUNG JAWAB

Banyak orang yang merasa hidupnya dikendalikan oleh orang lain. Sikap hidupnya ditentukan oleh keadaan lingkungannya. Seolah dia tidak punya kendali atas sikapnya sendiri. Apabila dia marah, dia akan menyalahkan orang lain yang menyebabkannya marah. Demikian pula bila dia sedang sedih, dia pun akan menyalahkan orang yang menyebabkan dia bersedih.
Bahkan ada pula yang menimpakan keadaan hidup yang tidak diinginkannya dengan mengatakan bahwa keadaan itu sudah ditentukan oleh Tuhan. “Semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa”, begitu katanya. Padahal dia menyadari bahwa keadaan yang menimpanya itu disebabkan oleh perbuatan yang dilakukannya sendiri.
Mereka itu menganggap bahwa dirinya tidak punya pilihan. Keadaan seolah tidak memberinya pilihan-pilihan. Padahal, sebenarnya pilihan itu selalu ada setiap saat. Setiap pilihan yang diambil memiliki konsekuensi dan resiko.
Mengapa seseorang memilih satu pilihan, tidak pilihan yang lain, biasanya karena memperhitungkan besarnya resiko yang harus ditanggung sebagai konsekuensi diambilnya pilihan itu. Bila resikonya besar, tidak diambilnya pilihan itu.
Orang-orang yang demikian ini adalah orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka tidak mau bertanggung jawab terhadap pilihan yang telah diambilnya. Mereka lebih senang menyalahkan pihak lain daripada menanggung resiko dari pilihan yang diambilnya. Menyalahkan pihak lain selalu terasa lebih mudah dan menyenangkan.
Agar tidak terjebak dalam pemikiran dan tindakan demikian, ada yang perlu kita ubah pada diri kita. Pertama, ubahlah cara pandang kita tentang segala sesuatu. Mengubah cara pandang adalah dengan memperbanyak pengetahuan. Jangan pernah bosan untuk belajar apapun, kapanpun, dimanapun dan kepada siapapun.
Hidup ini sesungguhnya adalah pilihan-pilihan, apapun yang kita pilih selalu ada resiko. Seseorang dengan pengetahuan yang cukup, pilihan yang diambilnya akan mendekati kebenaran, dibandingkan dengan yang tidak mempunyai pengetahuan sama sekali.
Kedua, hadapi segala resiko yang timbul atas pilihan yang telah diambil. Sikap berani menanggung resiko itu adalah sikap yang bertanggung jawab. Daripada selalu melemparkan kesalahan kepada orang lain, akan lebih baik mengambil sikap ksatria dengan menghadapi resiko yang telah dipilih. Meskipun resiko gagal itu mungkin akan timbul, namun setidaknya kita dapat mengambil pelajaran agar hal itu tidak terulang lagi dimasa yang akan datang.
Bagaimanapun, kehidupan ini berada ditangan kita masing-masing. Kita sendirilah yang menjadi penentu hendak kemana kehidupan ini kita tujukan.

TERMINAL BANDAR

Brunei seri 6
Hari-hari kerja kulalui biasa-biasa saja. Tak ada kesulitan berarti yang kutemui dalam pekerjaanku selama ini. Semua tugas-tugas aku kerjakan dengan sebaik-baiknya dan yang paling penting dengan sejujur-jujurnya.
Diakhir bulan, aku berkesempatan mengisi liburan ke Bandar Seri Begawan, ibukota Negara Brunei Darussalam. Orang-orang disana menyebutnya “Bandar” saja. Untuk menuju kesana hanya ada satu angkutan umum, yaitu Bus kota. Mirip dengan Bus Trans Jakarta atau Trans Jogja. Dari kampong Lambak, tempatku tinggal sampai ke Bandar, hanya butuh waktu dua puluh lima menit.
Salah satu yang unik adalah, tidak ada warga Brunei yang menggunakan sarana transportasi umum ini. Sarana ini memang disediakan untuk warga asing yang bekerja disana. Warga asli Brunei tak perlu repot-repot naik angkutan umum, karena mereka semua memiliki mobil pribadi. Dan mobil mereka bagus-bagus. Jarang terlihat mobil jelek digunakan dijalan-jalan kota.
Sepanjang perjalanan tidak terasa membosankan. Barangkali karena busnya yang full AC dan pengemudinya yang santai, tidak dikejar setoran. Setiap pemberangkatan Bus itu sudah dijadwalkan waktunya, jadi tidak perlu terburu-buru dan tak perlu berdesak-desakan.
Ketika kondektur bus menarik ongkos, aku mengulurkan uang satu Dollar Brunei dari kantungku. Memang, tarif bus disana hanya sebesar itu untuk semua tujuan, jauh dekat sama saja. Kondektur tak perlu lagi bertanya dimana penumpang akan turun, semua ongkosnya sama.
Orang Brunei menyebut mata uang mereka sehari-hari dengan sebutan Ringgit, dalam bahasa Melayu. Tetapi dalam bahasa Inggris, bahasa kedua mereka, atau dalam kegiatan yang formal, mereka menyebutnya dengan Dollar Brunei. Nilai mata uang ini sama dengan nilai tukar mata uang Dollar Singapura.
Tak ada macet. Kata macet tidak dikenal disana. Tak ada hambatan sepanjang jalan. Meskipun semua jalan halus dan lebar, namun tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Bahkan cenderung lengang, karena memang jumlah penduduknya tidak banyak.
Perjalananku hampir sampai. Jalananpun masih lengang, meskipun telah memasuki pusat kota. Tak ada gedung-gedung yang tinggi menjulang. Gedung-gedung bertingkat hanya sampai beberapa lantai saja.
Sampailah aku di Terminal Bus atau Stesen Bas Bandar Seri Begawan. Terminal itu terletak di Jalan Cator, di pusat kota. Berada dibagian bawah gedung bertingkat. Ketika turun dari bus, aku mencoba berkeliling di sekitar kompleks terminal itu, sekedar untuk mengenali suasananya.
Satu hal yang kurasakan ketika itu, aku merasa tidak sedang berada diluar negeri. Aku tidak merasa berada di negeri orang, semuanya begitu nyaman. Aku seolah-olah berada di sebuah terminal dikota kecil di Jawa. Barangkali karena suara-suara yang terdengar ditelingaku adalah bahasa yang tidak asing bagiku, bahasa Jawa. Bagaimana tidak, para sopir bus itu sebagian besar adalah orang jawa, demikian pula kondekturnya. Yang lebih mengesankan lagi adalah sebagian besar penumpangnya adalah orang Jawa juga.
Diantara mereka yang bergerombol cangkru’an di tempat-tempat duduk disamping terminal itupun banyak orang dari Jawa. Hanya sebagian dari mereka yang berasal dari India dan Bangladesh yang terlihat dari raut wajah mereka.
Bosan dengan lingkungan terminal yang bising dan panas itu, aku berjalan keluar, kearah pusat perbelanjaan. Bukan untuk belanja, tetapi melihat-lihat ke Toko Buku “Paul & Elizabeth Educational Books”…