Minggu, 25 Desember 2016

BERANGKAT KE BRUNEI

Jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika pesawat Royal Brunei yang kunaiki mulai bergerak melepaskan diri dari garbarata yang menjulur kearah pintu pesawat di Bandara Juanda Surabaya. Semua kursi pesawat dipenuhi penumpang. Kulihat para penumpang yang duduk disekitarku, semua wajah-wajah orang Indonesia. Bahasa yang mereka gunakan, yang terdengar olehku saat keriuhan ketika mencari nomor tempat duduk tadi, lebih banyak bahasa Jawa.
Karena malam yang telah mulai larut, tak ada keinginanku untuk menyapa atau mengajak berbincang penumpang yang duduk disebelahku. Aku hanya memberikan senyuman saja ketika penumpang duduk disebelahku. Begitupun ketika awak kabin pesawat yang semuanya berkerudung itu, tengah memperagakan petunjuk keselamatan penerbangan, tak lagi menarik perhatianku. Posisi tempat dudukku yang berada dekat dengan jendela memberiku peluang untuk menikmati pemandangan diluar. Semuanya yang terlihat seolah-olah sedang berlari kearah belakang meninggalkan pesawat.
Anganku melayang kembali kesaat aku memasuki bandara tadi. Hatiku serasa tersayat sembilu tatkala kulihat tatapan istri dan anakku yang masih dalam gendongan. Tak sanggup kubayangkan betapa berat perpisahan itu. Perpisahan yang akan kujalani setidaknya dua tahun kedepan. “Ah, sudahlah!!”, pikirku, sambil berusaha untuk menghilangkan bayangan itu. Kami toh sudah sepakat untuk berpisah sementara. Berpisah untuk mengawali kehidupan yang kami harapkan bisa jauh lebih baik dimasa depan kelak.
Lamunanku beralih ke masa beberapa hari lalu, ketika aku sedang bekerja di lapangan. Saat itu aku bertugas sebagai chief surveyor pengukuran Kali Bedadung Kabupaten Jember. pekerjaan pemetaan itu akan digunakan untuk perencanaan penanggulangan bencana. Seingatku, pekerjaan itu adalah proyek terakhir yang kukerjakan sebagai seorang surveyor.
Aku sedang berada ditepi muara sungai Bedadung yang terletak persis di sebelah Tempat Pelelangan Ikan Puger, ketika seorang teman memberi kabar bahwa aku mendapat panggilan dari Surabaya.
“Mas, sampean diminta untuk segera pulang ke Surabaya”.
“Ada apa?, tanyaku memastikan.
“Katanya, Sampean harus segera berangkat ke Brunei”.
Aku yang ketika itu sedang mengarahkan anggota pekerja pengukuran yang sedang berada diatas perahu untuk mengukur kedalaman muara, agak terkejut dan bingung. Terkejut karena tak menduga akan secepat ini aku harus berangkat, padahal belum genap satu bulan aku berangkat dari Surabaya untuk mengerjakan proyek ini. Aku juga merasa bingung, bagaimana aku akan mengatakan hal ini kepada manajer perusahaan. Padahal aku telah menandatangani kontrak untuk menyelesaikan pekerjaan ini hingga tuntas.
Lamunanku buyar saat terdengar suara pilot member tahu bahwa pesawat akan segera take-off. Aku memperbaiki posisi dudukku lebih tegak. Kulihat dari jendela keindahan kota Surabaya dari ketinggian. Lampu-lampu berwarna-warni semakin memperindah pemandangan. Makin lama pemandangan itu makin kecil dan akhirnya menghilang sama sekali.
Kini yang terlihat dari jendela hanya kegelapan. Kegelapan yang pekat. Teringat kembali olehku bagaimana aku harus mengatur strategi untuk mengatakan kepada manajer tentang kepergianku ke Brunei itu. Segera kutemui Pak T. Supriyadi, seorang anggota tim survey. Beliau adalah seniorku, mentorku dan sekaligus bosku, sejak di Padang dulu. Ketika aku mendapat pekerjaan ini, aku minta bantuan beliau yang ketika itu sedang tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Aku ceritakan semua permasalahanku kepadanya. Dengan bijak, beliau mengatakan akan menyelesaikan pekerjaan itu jika memang aku memutuskan untuk berangkat.
“Berangkatlah, ceritakan yang sebenarnya kepada manajer. Aku yang akan menyelesaikan pekerjaan ini”.
“Terima kasih, Pak Pri”, ucapku dengan penuh keharuan.
Lalu aku berpamitan kepada semua anggota tim, tak lupa pula kupinta maaf karena telah melarikan diri dari tanggung jawab yang mestinya aku selesaikan.
Esoknya, pagi-pagi aku telah tiba dikantor. Sengaja aku datang lebih awal, agar ketika sang manajer tiba, aku telah berada disana. Tak lupa kubawa serta semua dokumen yang pernah dibuat perusahaan untukku, surat kontrak, surat tugas hingga gaji bulan pertama yang telah kuterima.
Ketika manajer tiba, dia agak terkejut melihatku. Lalu kuungkapkan semua keadaan yang kualami. Namun, reaksinya tak seperti dugaanku. Dia agak marah.
“Bagaimana kau ini, kau sudah tanda tangan kontrak tetapi sekarang kau tinggalkan begitu saja”, teriaknya.
“Saya juga tidak menyangka kalau akan secepat ini pak”.
“Berarti kau mengutamakan ke Brunei daripada perusahaan. Dan kau tidak menghargai kontrak yang sudah ditandatangani sendiri”.
“Saya mohon maaf, Pak. Kalau soal pekerjaan, saya jamin akan tuntas. Pak Supriyadi yang akan menyelesaikannya. Beliau itu atasan saya dulu”, aku mencoba meyakinkannya.
Tiba-tiba lamunanku dikejutkan oleh suara roda kotak makanan yang didorong oleh pramugari yang hendak membagikan makanan kepada penumpang. Tak lama berselang, satu kotak makanan disodorkan oleh seorang pramugari kearahku. Segera kubuka kotak itu, lalu kututup kembali. Tak ada keinginan sedikitpun untuk mencicipi makanan itu. Lidahku terasa pahit, sepahit jalan hidup yang kurasakan.
Bersambung…..