Kamis, 28 Desember 2017

BERLATIH MENULIS

Banyak orang yang ingin bisa menulis. Banyak pula yang ingin jadi seorang penulis. Tentu saja. Selain karena bisa mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya, banyak pula penulis yang kaya dari hasil tulisannya.
Bila membaca tulisan orang yang pandai menulis, seringkali kita terheran-heran dengan kemampuannya menulis. Kemampuannya dalam menyusun kata-kata bisa membuat kita hanyut dalam alur ceritanya.
Sebenarnya, kalau hanya sekedar menulis kita semua bisa melakukannya. Bertahun-tahun kita belajar di sekolah, sejak sekolah dasar hingga sekolah lanjutan, kita sudah diajarkan untuk selalu menulis dan membaca. Bahkan hingga di bangku kuliahpun, menulis menjadi bagian pokok dalam pembelajaran.
Tetapi, sebagian besar kita selalu mengeluh tidak bisa menulis. Persoalannya adalah kita tidak terbiasa untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran kita, apa yang kita pikirkan. Yang kita tulis selama ini adalah materi-materi pelajaran sekolah, bukan apa yang sedang kita pikirkan saat itu. Karena itu, kita menjadi tidak terbiasa untuk menuangkan gagasan-gagasan yang sebenarnya sudah menumpuk dalam pikiran kita.
Misalnya, ketika kita diminta untuk menulis sesuatu, apakah itu esai, cerita, karangan ataupun makalah. Seringkali tatkala hendak menuliskan kalimat pertama, jemari kita tak kunjung bergerak menulis. Hanya pikiran kita saja yang terus berputar-putar tanpa henti, padahal idenya sudah tersimpan dalam pikiran tetapi tak mampu terhubung kedalam tulisan.
Lalu, bagaimana caranya agar bisa menulis? Satu-satunya cara adalah dengan berlatih. Terus berlatih. Tak ada cara lain selain berlatih, apalagi cara-cara yang instan.
Tulisan ini saya buat sebagai wujud terus berlatih itu tadi...

MENDAMPINGI ANAK BELAJAR

Satu hal yang perlu kita perhatikan sebagai orangtua adalah mendampingi anak-anak dalam belajar.
Banyak orangtua yang menyerahkan seluruh urusan belajar ini kepada sekolah. Ketika anak-anak sedang berada di sekolah tentu akan menjadi tanggung jawab pihak sekolah, tetapi diluar itu maka menjadi tanggung jawab orangtua sepenuhnya.
Soal belajar di rumah ini seringkali orangtua hanya sekedar menyuruh saja. Setelah itu, seolah tanggung jawab telah usai. Padahal anak-anak sangat perlu didampingi ketika mereka sedang belajar. Disamping sebagai bentuk apresiasi dan dukungan kepada mereka, seringkali anak-anak membutuhkan bimbingan untuk memahami apa yang mereka pelajari itu.
Salah satu contohnya, kemarin pada saat membaca buku pelajarannya, tiba-tiba anak saya yang masih kelas enam bertanya tentang satu istilah yang artinya belum dia ketahui.
"Pak, hak paten itu apa?"
"Di bukunya apa tidak ada penjelasannya?".
"Tidak ada".
"Hak paten itu adalah hak yang diberikan kepada seorang penemu dalam bidang teknologi", saya mencoba menjelaskan dengan bahasa yang disederhanakan agar bisa dipahaminya. "Ngerti nggak...?".
"Nggak"
"Begini contohnya, Habibie itu pernah menemukan salah satu teknologi dalam bidang pembuatan pesawat terbang. Karena penemuannya itu maka dia punya hak paten".
"Oh begitu.."
Begitulah, apabila anak-anak kita belajar sendiri tanpa didampingi seringkali ketika mereka menemui kesulitan dalam memahami istilah-istilah yang sulit, tidak ada yang membantunya. Bila artinya saja mereka tidak tahu bagaimana mungkin mereka bisa memahami apa yang dimaksud oleh buku pelajaran itu.
Selalu dampingi anak-anak saat mereka belajar...

SI-MBOK

Bagi orang Jawa, terutama yang di desa-desa, ”Mbok” atau “Simbok” adalah kata sapaan kepada orang tua perempuan, ibu. Ada yang mengartikan kata mbok itu sebagai “seng tombok”, maksudnya orang yang selalu tombok, menutupi kekurangan, melunasi dan membuat sempurna terhadap kekurangan anaknya.
Kami sekeluarga menggunakan kata Mbok untuk memanggil Ibu. Meskipun kami tidak dilahirkan di Jawa, tetapi di lingkungan kami semuanya orang Jawa dan menggunakan bahasa Jawa, Kromo Ngoko. Tentu saja bahasa Jawa yang kami gunakan adalah bahasa Jawa yang diucapkan sehari-hari, begitu pula tata bahasanya. Kami tidak pernah dapat pelajaran bahasa Jawa waktu sekolah.
Di desa saya dulu, hampir semua orang memanggil ibunya dengan kata Mbok. Ada juga yang menggunakan kata “Emak”, tetapi hanya sebagian kecil saja. Panggilan ini biasanya dipadankan dengan “Pak” untuk memanggil orang tua laki-laki. Dalam pemakaian sehari-hari biasanya kata mbok ditambah dengan akhiran “e”, sehingga menjadi “Mbok-e”. Misalnya untuk menanyakan dimana keberadaan ibunya digunakan kalimat “Mbok-e tindak menyang ngendi, Le?”, yang artinya “Ibu pergi kemana, Nak?.
Karena digunakan oleh orang-orang desa, panggilan mbok ini menyiratkan sifat kesederhanaan, keluguan dan tidak neko-neko. Namun disisi lain juga menunjukkan sikap yang gigih, pekerja keras dan berani.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi arti kata mbok sebagai 1. kata sapaan (ragam kromo ngoko) terhadap wanita; 2. kata sapaan terhadap orang tua wanita; ibu; 3. kata sapaan terhadap wanita tua yang kedudukan sosialnya lebih rendah daripada yang menyebutnya.
Dalam perkembangannya, kata mbok sudah banyak berubah maknanya. Seperti arti ketiga dari kata mbok dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diatas, mbok lebih dipahami dan digunakan untuk kata sapaan terhadap wanita tua yang kedudukan sosialnya lebih rendah daripada yang menyebutnya. Seperti dalam film dan sinetron-sinetron yang sering ditayangkan di televisi, panggilan mbok selalu tertuju pada seseorang yang berwujud sebagai pembantu rumah tangga. Mereka biasanya ditampilkan dalam bentuk perempuan tua yang lugu dan selama berpuluh tahun mengabdi sebagai pembantu secara terus-menerus.
Apakah anak-anak masa sekarang masih menggunakan kata mbok untuk memanggil ibu mereka? Atau apakah ibu-ibu muda di desa-desa itu kini masih mengajarkan panggilan mbok kepada anak-anaknya? Entahlah… mungkin saja masih ada. Mbok memang kalah keren dibanding Ibu, apalagi mama-papa, mami-papi...