Minggu, 29 Oktober 2017

TV DI DESAKU

Sebagai anak seorang petani yang tinggal di pelosok desa, saya tahu dan merasakan betul bagaimana rasanya kehidupan anak-anak di desa. Hari-hari setelah pulang sekolah, biasanya langsung membantu pekerjaan orangtua di sawah atau di ladang. Tidak lupa pula melakukan tugas rutin mencari rumput untuk pakan ternak.
Setelah itu, waktu lebih banyak dihabiskan untuk bermain bersama teman-teman. Kami tak terlalu berfikir tentang bagaimana kehidupan dimasa depan nanti, kami hanya menjalani kehidupan apa adanya dan bersenang-senang saja.
Waktu saya masih kecil, belum ada listrik PLN di desa saya. Yang ada hanya listrik disel swadaya masyarakat yang dikelola oleh perorangan. Listrik itu tidak menyala sehari penuh, hanya pada malam hari saja. Mulai magrib hingga selesai subuh.
Di desa kami hanya beberapa orang saja yang punya televisi. Hanya orang yang benar-benar kaya saja yang mampu membelinya. Jumlahnya tak banyak, tak lebih banyak dari jumlah jari tangan. Itupun semuanya bukan TV berwarna, masih hitam putih.
Bila ingin menonton TV, kami harus pergi ke rumah orang yang punya TV tadi. Tetapi itu tidak gratis. Semua rumah pemilik TV itu dijadikan sebagai warung kopi. Televisi menjadi ladang bisnis.
Ada beberapa bangku dan meja panjang disediakan untuk pengunjung yang ingin menonton TV. Pengunjung yang datang biasanya memesan kopi, teh atau minuman kemasan, ditambah beberapa makanan ringan sebagai camilan.
Yang paling ramai pengunjung biasanya pada malam minggu. Pada malam itu biasanya ada film yang bagus. Selain itu, yang membuat ramai adalah banyak anak-anak. Anak-anak sekolah hanya boleh menonton saat malam minggu saja.
Sayangnya, tak ada pilihan chanel. Hanya TVRI satu-satunya....