Kamis, 29 Desember 2016

MENJAGA KEDEKATAN DENGAN ANAK

Anak-anak saya sudah mulai beranjak dewasa. Anak yang besar mulai masuk bangku kuliah tahun depan, yang kecil masih kelas enam sekolah dasar. Kami berusaha selalu dekat dengan anak-anak. Tidak hanya dekat secara fisik, tetapi lebih dari itu, dekat secara emosi juga.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masa-masa anak beranjak dewasa adalah masa-masa kritis secara mental dan emosional. Dalam masa pencarian jati diri anak-anak itu, mereka membutuhkan figur ideal. Dan figur ideal itu adalah figur ayah atau bapaknya. Ayah yang memberi perlindungan, memberi arahan dan nasehat serta memberi dorongan semangat, kapanpun mereka membutuhkannya.
Yang dibutuhkan mereka sebenarnya tidak banyak dan tidak harus berupa materi. Mereka hanya butuh kedekatan, keakraban, perhatian dan waktu untuk mereka bercerita tentang apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkannya tentang kehidupan ini. Walaupun begitu, tidak semua orang tua dapat mengabulkan keinginan itu. Banyak orang tua lebih disibukkan dengan pekerjaan, bisnis atau urusan mencari nafkah. celakanya lagi, pada hari-hari libur, mereka justru disibukkan dengan memuaskan hobby dan kesenangannya sendiri.
Sepuluh hari terakhir ini, saya ditinggal sendirian dirumah. Anak-anak dan ibunya sedang berlibur ke Solo dan Jogja, mengisi liburan sekolah. Saya bukan tidak mau ikut, tetapi kegiatan akhir tahun ini cukup padat, disamping hari liburnya juga terbatas.
Selama beberapa hari ini, saya sering menelpon anak-anak untuk sekedar menanyakan kegiatan mereka. Apa yang mereka lakukan, bahkan hanya menanyakan sedah makan atau belum. Terkadang mereka juga yang menelpon atau minta ditelepon untuk sekedar menceritakan hal-hal yang ringan dan lucu.
Seperti yang terjadi kemaren. Telepon saya berbunyi, saya lihat anak saya yang besar menelpon.
“Haloo”, saya menjawabnya.
“Bapak, telepon balik, ya”, katanya.
Lalu saya menghubungi kembali.
“Halo, ada apa?”.
“Badan saya panas, Pak”, Jawabnya.
“Panas kenapa?. Minum obat penurun panas”.
“Aku tadi pergi ke tempat terapi ikan. Terus aku masukkan kakiku kedalam air, ikan-ikan itu mengerubungi dan menggigit-gigit kakiku. Jadi aku geli.” Jawabnya bercerita.
“Terus kenapa badannya panas?”, saya pun bertanya lagi.
“Perutku kaku menahan geli, jadinya badanku panas”, katanya.
“Oo, ya sudah, sekarang istirahat saja”.
Saya dengar suara adiknya yang laki-laki menyahut dari belakangnya sambil berteriak. “Nggak apa-apa, Pak. Mbak itu lebay.. ha..ha..”.
Begitulah anak-anak, keinginan mereka terkadang hanya sekedar bercerita. Sekedar membagi cerita saja, tidak lebih dari itu. Bagi sebagian orang dewasa, hal-hal seperti itu malah tidak menjadi perhatian mereka. Keinginan anak-anak untuk bercerita itu tidak menjadi perhatian utama, bahkan mereka menganggapnya tidak penting.
Dari bercerita tentang hal-hal kecil itulah kita membangun kedekatan dengan mereka. Dengan itu pula kita mengenal anak-anak kita. Bila kedekatan itu selalu terjaga, maka ketika mereka ingin membahas masalah yang lebih serius dan penting, mereka tidak merasa canggung lagi.
Kalau bukan dengan kita, orang tuanya, lalu dengan siapa lagi mereka akan mengungkapkan perasaannya. Dengan siapa mereka membahas hal-hal yang penting untuk masa depannya. Apakah kita menginginkan anak-anak itu bercerita kepada temannya, atau bahkan kapada orang lain?.
Ketika orang tua tak lagi dekat dengan anaknya, saat itulah orang tua tak lagi mengenal anaknya. Bila itu terjadi, apa lagi yang hendak kita banggakan sebagai orang tua?

PERMASALAHAN TKI KITA

Akhir-akhir ini banyak pihak yang meributkan soal adanya serbuan tenaga asing yang masuk ke Indonesia, terutama dari China, yang diduga kedatangan mereka illegal. Kita tentu perlu mendesak agar pemerintah segera bersikap untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pada saat yang sama, kita kurang menyadari bahwa permasalahan tenaga kerja kita diluar negeri juga luar biasa banyak dan rumit. Terutama tenaga kerja dibidang informal.
Pekerja yang legal, yang memenuhi seluruh ketentuan hukum yang berlaku saja, banyak diantara mereka yang menemui masalah, seperti gajinya yang tidak dibayar, bekerja melebihi yang apa tertulis dalam kontrak, bahkan pelecehan seksual, apalagi mereka yang berangkat secara illegal. Persoalan-persoalan buruh migran ini menjadi perhatian serius bagi para aktivis dan pemerhati kebijakan terkait dengan perlindungan buruh migran.
Hari ini saya menghadiri acara “Konsultasi Publik : Merancang Perlindungan TKI Asal Jember Melalui Mekanisme Produk Hukum Daerah”. Sebagai pemateri terdiri dari para pakar dan pemerhati pekerja migrant. Ada juga ahli hukum yang berkaitan dengan perlindungan pekerja migrant. Dalam acara tersebut, terungkap banyak hal terutama masalah-masalah yang dialami oleh pekerja dan solusi-solusi untuk menyelesaikannya.
Beberapa daerah yang merupakan basis pengirim tenaga kerja keluar negeri, biasanya terlihat berbeda pada soal tampilan fisik bangunan. Rumah yang bagus, pertokoan, rumah ibadah, bahkan kendaraan pribadi. Demikian pula terhadap tingkat pendidikan, banyak anak-anak TKI yang melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Hal-hal itu merupakan salah satu kontribusi positif dari keberadaan para TKI bagi peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Sebaliknya, masalah-masalah yang dihadapi oleh sebagian TKI kita juga sangat banyak dan rumit. Permasalahan ketenagakerjaan tersebut bahkan dimulai sejak mereka belum diberangkatkan. Penipuan, pungutan liar, pembayaran melebihi ketentuan, hingga permasalahan terkait dengan dokumen, adalah beberapa contoh permasalahan yang berkaitan dengan sebelum pemberangkatan.
Banyak calon TKI yang tergiur untuk bekerja keluar negeri karena melihat dan mendengar kawan atau saudara mereka sukses dan menghasilkan banyak uang. Mereka tergiur dengan cerita-cerita sukses, membangun rumah, membeli mobil baru atau membeli perhiasan. Meskipun terkadang ada cerita-cerita tentang kegagalan, penyiksaan, pemerkosaan bahkan ada yang dihukum gantung, hal itu tidak menyurutkan keinginan mereka untuk tetap pergi keluar negeri.
Terkadang, cerita sukses itu tidak diiringi dengan sikap yang arif dan bijak dalam mengatur hasil yang mereka peroleh. Materi yang mereka dapatkan dengan susah payah keluar negeri itu, lebih mereka gunakan untuk kepentingan konsumtif. Semestinya mereka lebih medahulukan keperluan belanja modal, yang dapat menghasilkan keuntungan hingga mereka kembali pulang nantinya.
Perlindungan TKI perlu terus menerus dilakukan, baik pada saat sebelum pemberangkatan hingga mereka kembali pulang. Tidak cukup sampai disitu, pemberdayaan mereka setelah kembali pulang ke kampung halaman juga penting, agar kehidupan mereka tidak kembali menurun yang membangkitkan mereka untuk pergi lagi.
Memang, secara hukum sudah ada produk perundang-undangan yang mengatur tentang tenaga kerja Indonesia di luar negeri ini, yaitu Undang-Undang dan Peraturan Daerah, namun dalam praktek masih banyak permasalahan TKI yang belum bisa terselesaikan. Dalam konteks daerah, diperlukan political will atau keseriusan pemerintah daerah dalam upaya untuk memberikan perlindungan kepada TKI. Keseriusan ini sangat penting karena keterlibatan pemerintah daerah sebelum pemberangkatan TKI ke luar negeri sangat menentukan bagi keberhasilan TKI itu sendiri.
TKI yang berangkat dengan membawa masalah, maka besar kemungkinan akan lebih bermasalah selama di luar negeri nanti.

BERANGKAT KE BRUNEI 3

“Alhamdulillah…”, ucap syukurku ketika roda pesawat menyentuh landasan bandara. Ucapan yang selalu keluar dari mulutku secara spontan setiap kali pesawat yang kunaiki berhasil mendarat di landasan. Meskipun terasa ada sedikit hentakan namun pendaratan itu cukup mulus. Selalu ada kecemasan dalam hatiku setiap kali naik pesawat terbang, terutama saat-saat tinggal landas dan saat mendarat.
Memang aku tahu bahwa alat transportasi paling aman adalah pesawat terbang, dibandingkan dengan jenis transportasi lain. Hanya pesawat terbang yang kondisinya selalu terawat dan terkontrol. Setiap kali mendarat, kondisi pesawat akan selalu diperiksa pada setiap komponennya oleh teknisi yang terlatih. Demikian pula ketika akan terbang, pesawat akan kembali diperiksa kondisinya. Apabila terdapat masalah atau kerusakan, meskipun sedikit, pesawat tak akan diijinkan untuk terbang.
Meskipun begitu, tetap saja perasaan was-was selalu muncul. Barangkali karena persepsiku sendiri tentang resiko naik pesawat terbang lebih besar dari pada naik kendaraan darat. Hal ini timbul karena sebagai penumpang, kita tidak punya kendali apapun secara pribadi terhadap pesawat yang ditumpangi. Alas an lainnya, bisa juga karena kecelakaan pesawat selalu lebih tragis dampaknya dan menghilangkan banyak nyawa secara bersamaan.
Seasat setelah mendarat, terdengar suara bising, “klek..klek..klek…”. Suara itu tak asing bagiku, suara dari seatbelt yang dibuka sesaat setelah pesawat berhasil mendarat. Entahlah, meskipun sudah ada himbauan untuk tetap mengenakan sabuk pengaman, namun himbauan itu tak dihiraukan oleh sebagian besar penumpang. Tetap saja mereka cepat-cepat membukanya. Bahkan ada penumpang yang langsung membuka tempat penyimpanan barang yang berada dibagian atas kabin penumpang. Mereka terburu-buru, seolah-olah bisa turun dari pesawat lebih dahulu.
Tak banyak barang yang kubawa, hanya satu tas yang berisi beberapa pakaian dan satu tas pinggang untuk menyimpan dompet dan paspor. Hal ini memang telah kurencanakan sejak awal, agar tidak merepotkan ketika turun dari pesawat. Tak perlu mengambil bawaan ditempat pengambilan bagasi. Ketika para penumpang yang lain sibuk mengambil bagasi mereka, aku bisa langsung keluar ke tempat penjemputan.
Ketika aku berjajar mengikut antrian di loket imigrasi, waktu telah menunjukkan jam satu dinihari, atau jam dua waktu Brunei. Tak perlu berjalan terlalu jauh, karena bandara itu memang tak terlalu besar. Ditambah suasana cukup lengang, hanya pesawat yang kunaiki tadi saja yang sedang menurunkan penumpang. Maklum, karena ini sudah malam bahkan hari sudah berganti pagi.
Meskipun bandara itu adalah bandara internasional tetapi tidak sebesar bandara-bandara dikota besar di Indonesia. Belakangan aku sadari bahwa penerbangan yang dilayani bandara ini hanya penerbangan internasional saja, tidak ada penerbangan lokal. Di Negara sekecil itu, tak membutuhkan penerbangan untuk menghubungkan antar daerah didalam negeri.
Usai urusan imigrasi, aku berjalan kearah pintu keluar. Kuikuti saja kemana arah para penumpang lain itu berjalan. Kuingat pesan dari petugas perusahaan yang mengurus keberangkatanku, bahwa nanti aku akan dijemput di bandara langsung oleh bos tempat saya akan bekerja. Sesampai ditempat penjemputan, aku berdiri sesaat untuk memperhatikan apakah ada yang memanggil namaku atau membawa kertas yang tertulis namaku. Satu hal yang biasa dilakukan orang ketika menjemput seseorang yang belum dikenalnya. Tak ada yang memanggil namaku, pun tak ada orang yang membawa tulisan namaku.
Tiba-tiba dari arah samping ada seseorang yang menyapaku. Seorang laki-laki bertubuh tambun, ditemani seorang perempuan berbadan langsing, bermata sipit, wajahnya oriental. Belakangan kuketahui mereka adalah suami istri, calon bosku selama di Brunei. Yang laki-laki bernama Awang Bahrin, asli melayu Brunei. Istrinya, Su Moi, berasal dari Sibu, Serawak, Malaysia. Kulihat mereka membawa selembar foto ditangannya.
“Kau Supianto, ya?, tanyanya dengan dialek melayu yang kental.
“Iya, betul, Pak”, Jawabku singkat.
“Kami yang menjemput kau. Ayo naik ke kereta”.
Kami bertiga berjalan menuju tempat parkir mobil. Orang Brunei menyebut mobil dengan sebutan "kereta". Tak lama kemudian kami telah meninggalkan kompleks bandara, menyusuri jalanan yang lebar dan sangat-sangat sepi…
Bersambung lagi….

BERANGKAT KE BRUNEI 2

Penerbangan dari Surabaya ke Brunei memakan waktu lebih dari dua jam. Meskipun badanku terasa lelah, karena menunggu kedatangan pesawat yang terlambat cukup lama, namun mata ini tak dapat terlelap. Tak ada kekhawatiran sedikitpun dalam hatiku soal bagaimana nanti di Brunei. Aku tahu pasti bahwa orang Brunei adalah orang Melayu, sama dengan Malaysia, sama dengan orang melayu di Sumatera. Hanya berbeda dialek saja. Bagiku, orang melayu dan bahasa melayu itu tidak asing lagi. Aku terlahir dan dibesarkan di Sumatera Barat yang sebagian besar masyarakatnya serumpun dengan Melayu. Aku bisa berbahasa melayu dengan baik, sehingga soal komunikasi, tak ada masalah bagiku.
Yang terpikir olehku justru kenapa aku memilih keluar negeri dan meninggalkan keluargaku. Tahun-tahun itu adalah tahun yang sulit bagiku. Belum lama sebelumnya, aku kehilangan pekerjaanku karena krisis moneter yang mulai melanda dua tahun sebelumnya. Kehilangan pekerjaan bagi seorang laki-laki, sungguh sangat menyakitkan, apalagi pekerjaan baru tak segera diperoleh. Bagiku, harga diri seorang laki-laki adalah ketika bekerja dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tak ada harganya seorang laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga, bila dia tidak bekerja untuk memenuhi tanggung jawabnya. Persoalan berapa yang mampu dihasilkannya, bagiku, itu persoalan lain.
Pekerjaanku sebagai surveyor pemetaan topografi yang kutekuni hampir sembilan tahun itu, telah mengantarkanku berkeliling ke banyak tempat. Ketika masih bekerja di Padang dulu, semua kabupaten di Sumatera Barat telah kukunjungi. Begitupun setelah aku pindah ke Jawa, lebih banyak lagi yang telah kukunjungi karena tugas pekerjaan. Bahkan hingga keluar pulau, Bali, Lombok, Sumbawa dan Timor Timur. Semua itu dapat kunikmati dengan baik ketika masih sendiri, belum berkeluarga. Namun kini, setelah berkeluarga terlebih setelah mempunyai anak, tak dapat lagi kunikmati hal itu. Aku memimpikan keluarga yang selalu berkumpul bersama, tak perlu berpisah jauh, meskipun karena alasan pekerjaan.
Mimpi tinggal mimpi, dihadapanku kini tak banyak pilihan lagi. Kesempatan ini harus kuambil dengan segala resiko yang menanti dibelakangnya.
Nama Brunei, bagi banyak orang adalah lambang kemakmuran. Sebuah Negara kerajaan kecil yang damai dan kaya minyak, semua warganya hidup dalam kemakmuran. Begitu pula yang ada dalam pikiranku. Apa salahnya bila kuadu nasibku kesana. Siapa tahu terbuka jalan bagiku. Toh, aku tidak bodoh, ada keahlian yang patut kubanggakan nantinya.
Lama-lama mataku terasa berat, rasa kantuk yang menghampiri tak sanggup kutolak. Aku biarkan mataku terlelap sejenak untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang sejak tadi terus bergumul dikepalaku. Aku berusaha membangkitkan rasa syukur kepada Tuhan, meskipun keadaanku masih terombang-ambing ditengah gelombang kehidupan, namun satu hal yang harus aku syukuri adalah badan dan jiwaku sejauh ini sehat-sehat saja. Belum pernah kurasakan badanku terkena sakit yang agak keras sehingga aku harus menjalani perawatan di rumah sakit. Akupun tak ingin dimasa yang akan datang ada penyakit yang menyerangku. Selalu kuusahakan untuk menjaga kesehatan badanku. Kuhindari begadang yang tak perlu, merokok, minuman beralkohol, bahkan makanan yang oleh banyak orang dianggap lezat tetapi tidak bagus untuk kesehatan, semacam gajih dan jerohan, berusaha kuhindari.
Begitupun untuk menjaga kesehatan jiwaku, aku berusaha untuk selalu terhubung dengan Tuhan penciptaku. Hubungan dengan Tuhan itulah yang selama ini membuatku selalu “terkendali”. Kalaupun aku sedang marah, tak sampai rasa amarahku meledak-ledak keluar, apalagi sampai melukai perasaan orang lain. Aku sadari sepenuhnya bahwa pengendalian emosi itu sangat penting dan merupakan ukuran dari kedewasaan seseorang, utamanya seorang laki-laki. Tak ada yang patut dibanggakan oleh seseorang yang apabila dia marah semua kata-kata kotor dikeluarkan dari mulutnya, kata-kata yang menyakitkan perasaan orang yang dimarahinya. Terlebih lagi bila amarahnya itu dilontarkan dihadapan orang banyak. Bila untuk mengendalikan emosinya sendiri saja belum mampu dilakukan apatah lagi mengendalikan emosi orang lain.
Selain itu, akupun berusaha untuk menghargai dan menghormati semua orang, siapapun dia, berapapun umurnya, apapun pekerjaannya, apapun jabantannya, apapun kepercayaannya. Tak lagi penting bagiku seberapa kaya seseorang, seberapa tinggi jabatan seseorang, seberapa elitnya pekerjaan seseorang, berapapun umurnya, apapun keyakinan orang itu. Penghargaanku kepada orang lain dilandasi kesadaran bahwa aku dan mereka adalah sama, sama-sama manusia. Sama-sama memiliki nilai kemanusiaan, itu saja. Penghormatanku kepada orang lain adalah wujud penghormatan kepada diriku sendiri, kepada kemanusiaanku.
Lelapku tersentak oleh suara yang keluar dari pengeras suara diatas tempat dudukku. Suara yang memberitahukan kepada penumpang bahwa pesawat segera mendarat.
“Para penumpang yang terhormat, dalam masa yang tak lama lagi pesawat ini akan mendarat di Lapangan Terbang Antar Bangsa di Negara Brunei Darussalam”.
Bersambung lagi….