Sabtu, 28 Januari 2017

TENTANG ANAK NAKAL

Satu ketika, saya berbincang-bincang dengan seorang rekan. Dia menceritakan tentang anaknya yang menurutnya sangat “nakal”.
“Anak saya itu sangat nakal, sering tidak mau sekolah. Kalau dia sedang tidak mau sekolah tidak ada yang bisa merayu atau menyuruhnya untuk sekolah. Omongan saya sudah tidak didengarkan lagi. Tidak mempan”, begitu katanya.
“Kenapa bisa begitu?”
“Saya juga tidak tahu. Padahal kakak-kakaknya yang lain tidak begitu”.
“Apa kegiatannya sehari-hari selain sekolah?”, Tanya saya menimpali.
“Tidak ada, Mas. Kalau pas tidak mau sekolah, kerjanya ya cuma main saja”, jawabnya.
Begitulah, seringkali kita mengatakan bahwa anak kita "nakal". Sengaja saya beri tanda petik pada kata nakal diatas, karena pengertiannya bisa berbeda-beda. Setiap orang akan memaknai dan menggunakannya dengan cara yang berbeda-beda pula.
Ada yang menggunakannya untuk anak-anak yang usil, anak yang super aktif, bahkan ada pula yang memakai kata nakal itu untuk anak-anak yang tidak mau menurut kata-kata orang tuanya. Penggunaan kata nakal pada yang terakhir ini yang lebih sering digunakan para orang tua untuk menilai anaknya.
Saya selalu bertanya tentang apa kegiatan anak-anak diluar sekolah. Hal ini menurut saya sangat penting karena kita sebagai orang tua harus tahu dengan siapa anak kita bergaul. Lingkungan seperti apa tempat anak-anak kita bersosialisasi setiap harinya. Apalagi ketika anak-anak itu tengah dalam usia rentan dalam perkembangan mentalnya, ketika SD dan SMP.
Sebagai orang tua, kitalah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak kita sendiri. Sekolah hanya tempat menitipkan anak-anak kita untuk belajar pada jam-jam tertentu, dan itu tidak terlalu lama. Sisanya, seratus persen tanggung jawab orang tuanya sendiri. Merupakan tanggung jawab orang tua pula untuk memilih sekolah itu. Sekolah yang sesuai dengan pendidikan macam apa yang diinginkan oleh orang tuanya.
Memang banyak hal yang bisa menyebabkan anak menjadi anak yang “nakal”. Kurangnya kasih sayang orang tua, keluarga yang tidak harmonis, adanya tekanan dari orang tua, maupun anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga. Kalau kita lihat beberapa sebab itu, semuanya berawal dari sikap orang tua orang tua sendiri.
Kalau begitu, sebenarnya sikap kita sebagai orang tua kepada anaklah yang menjadi penyebab anak-anak itu menjadi nakal.
Selain itu, kurangnya kedekatan hubungan antara orang tua dan anak turut memberi andil pada kenakalan anak. Anak-anak yang hubungannya sangat dekat dan akrab dengan orang tuanya, lebih mudah untuk berbicara, bercerita, berdiskusi dan menumpahkan persoalan-persoalan yang dialaminya. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh anak-anak dapat dengan mudah dan cepat diselesaikan bersama dengan orang tuanya.
Sebaliknya, bila hubungan itu kurang dekat, anak-anak menjadi takut dan malu untuk bercerita kepada orang tuanya sendiri. Ada pula orang tua yang tidak memberi perhatian penuh kepada anak ketika mereka menyampaikan persoalan yang dialaminya. Alasannya biasanya karena persoalan anak-anak itu dianggap tidak penting.
Dalam keadaan demikian, kepada siapa lagi anak-anak itu akan bercerita. Kepada siapa lagi anak-anak itu akan mengadu, bila orang tuanya sendiri tidak menghiraukannya. Padahal masa-masa itu adalah masa yang sangat rawan dalam pertumbuhan dan pergaulannya. Sedangkan pengetahuan dan pengalaman hidupnya masih sangat minim untuk menjalani kehidupan mereka. Pada saat yang sama, mereka sangat membutuhkan seseorang untuk mendengarkannya.
Ketika itulah mereka akan mencari orang lain. Mereka bercerita kepada temannya, mungkin kepada orang lain yang tidak dikenalnya. Bahkan tidak jarang pula, mereka menceritakannya di media sosial. Dalam keadaan yang demikian ini, akan sangat mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk berbuat kejahatan.
Karena itu, bila kita menganggap anak kita termasuk anak yang “nakal”, maka kita perlu bercermin kembali, bagaimana sikap kita kepada anak-anak itu selama ini…

OBROLAN BULE SEMALAM

Banyak topik yang kami obrolkan dengan Mr. Luca, pemuda bule dari Itali itu. Kami mengobrol dengan dua keluarga, keluarga saya dan keluarga pakHari Gita Karyadi . Mulai dari makanan, budaya, bahasa, agama, hingga beberapa pemain olah raga dari Negara Itali.
Mr. Luca adalah seorang penjaga pantai di San marino, Itali. Wajahnya mirip pemain tenis yang kini menjadi peringkat satu dunia asal Inggris, Andy Murray. Kebetulan dia bareng satu kereta dengan anak saya, dari Solo Menuju Surabaya. Dua hari kemudian dia berkunjung ke Jember. anak saya membantunya mencari hotel yang murah dan menunjukkan tempat-tempat yang ingin dikunjunginya selama di Jember.
Umurnya sekitar dua puluh tujuh tahun. Tutur katanya sangat sopan. Bahasa Inggrisnya tidak terlalu fasih karena bahasa sehari-harinya disana adalah bahasa Itali. Hal ini membuat kami memahami semua yang dikatakannya. Gaya bicaranya yang tidak terlalu cepat memudahkan kami yang bahasa Inggrisnya masih belepotan, untuk mengerti apa yang dimaksudkan masing-masing. Meskipun begitu, komunikasi berjalan sangat baik, bahkan kami sampai tertawa terbahak-bahak bersama karena membicarakan sesuatu yang lucu.
Kami berbincang sambil menikmati nasi goreng, mie goreng, kopi hingga wedang uwuh. Wedang uwuh ini konon adalah minuman para bangsawan dari raja-raja Jogjakarta. Kami menyebutnya “drink for the king”. Wedang uwuh yang diseduh dalam satu gelas besar itu, dinikmatinya hingga tuntas.
Waktu menunjukkan hampir jam sepuluh ketika kami mengakhiri obrolan. Saya lalu mengantarkannya ke hotel dengan sepeda motor. Sepanjang perjalanan, dia masih bersemangat untuk berbicara. Sepertinya sepanjang obrolan tadi dia mengamati saya dan keluarga. Ada rasa penasaran dalam pikirannya.
“Mohon maaf, apa betul anda memang muslim?”, dia mulai bertanya.
“Betul, saya dan keluarga saya muslim semua”.
“Saya lihat anda berbeda, keluarga anda yang perempuan tidak pakai kerudung dan tidak memakai baju yang panjang, tidak seperti yang lain”, dia berkata sambil penasaran.
“Masalah bentuk pakaian yang ingin dipakai itu adalah pilihan masing-masing pribadi. Kalau dia ingin memakai kerudung atau baju yang panjang, silakan pakai. Kalau tidak ingin, pun tidak ada masalah. Menjadi muslim adalah soal keyakinan dan perilaku. Bukan soal pakaian yang dikenakan. Sepanjang masih dalam kesopanan, hal itu tidak menjadi masalah”, saya menjelaskan agak panjang lebar, meski dengan bahasa yang belepotan.
“Moslem inside, not outside”, dia menyahut.
“Yes”, jawab saya singkat.
“Apakah orang yang naik sepeda motor didepan itu juga muslim?”, dia bertanya sambil menunjuk orang yang dibonceng sepeda motor didepan saya. Orang itu perempuan tidak menggunakan kerudung di kepalanya.
“Yes, dia juga muslim, dan tidak ada masalah dengan dia”.
Obrolan berlanjut hingga tiba di hotel tempatnya menginap. Sebelum turun dia mengatakan bahwa menurutnya pemikiran saya sudah sangat terbuka.
“You are the real teacher, thank you”, katanya mengakhiri perbincangan.
“Sampai ketemu lagi, Mr. Luca”….