Jumat, 14 April 2017

MENOLONG KELAHIRAN

Ibu saya seorang pekerja keras. Semangatnya dalam bekerja jauh melebihi Bapak. Selesai satu pekerjaan, lalu disambung dengan pekerjaan lainnya. Jarang sekali saya lihat Ibu bersantai di rumah tanpa ada kegiatan yang dilakukannya. Kalaupun dia berdiam di rumah biasanya ketika dalam keadaan badannya kurang sehat.
Kami memiliki beberapa bidang tanah yang digarap sebagai lahan pertanian. Ada yang tiga bidang sawah dan dua ladang. Sawah ditanami padi. Hasilnya untuk persediaan pangan keluarga besar kami. Selain itu, bila sewaktu-waktu memerlukan uang yang mendesak, seperti untuk membayar biaya sekolah, padi juga bisa dijual dengan cepat.
Dulu, Ladang kami semua ditanami kacang kedelai. Memang, semua lading di desa ditanami kedelai. Ketika saya masih sekolah SD dan SMP di desa dulu, desa kami Desa Baru, adalah salah satu sentra penghasil kedelai di Sumatera Barat. Sekarang semua telah berubah menjadi hutan sawit.
Semua pekerjaan di sawah dan di ladang itu dikerjakan sendiri oleh Ibu dan Bapak. Hanya pekerjaan tertentu saja yang meminta bantuan orang lain untuk mengerjakannya. Tetapi, saya lihat, Ibu yang lebih sering pergi ke sawah dan ke ladang. Bapak mengerjakan bagian pengolahan tanah, menyemprot hama dan ketika panen saja. Untuk pekerjaan-pekerjaan perawatan tanaman memang lebih banyak dikerjakan oleh ibu-ibu.
Tidak hanya itu, setiap hari pekan, hari Minggu, Ibu juga berjualan makanan lontong pecel di pasar yang letaknya tak jauh dari rumah. Berjualan itu dimaksudkan untuk menambah pemasukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bila hanya mengandalkan dari hasil tani saja, uangnya baru diperoleh setelah panen tiba, empat bulan setelah ditanam.
Suatu hari, saya diminta menemani Ibu ke sawah untuk menjaga padi yang mulai berbuah. Menjaganya dari burung-burung liar pemakan padi. Serangan burung-burung itu cukup dahsyat. Bila tak dijaga maka dipastikan tak akan panen, hanya tangkainya saja yang tersisa.
Sawah kami terletak di Bancah Sodang, Desa Batu Sondat, sekitar enam kilometer dari rumah. Lokasi sawah itu tak hanya lain desa, bahkan berlainan provinsi pula dengan desa saya. Desa saya masuk Sumatera Barat sedangkan sawah itu masuk dalam provinsi Sumatera Utara. Untuk menuju kesana biasanya kami berjalan kaki, jalan itu hanya berbatu tak beraspal. Bila musim hujan, jalan berubah menjadi kubangan disana-sini.
Letak sawahnya sedikit masuk dari jalan. Untuk menuju kesana harus melewati jalan kecil disebelah rumah penduduk. Rumah itu sendirian, tetangganya yang terdekat berjarak puluhan meter dari situ.
Sore itu sudah agak gelap, menjelang magrib. Hujan rinai-rinai terus saja turun sejak kami berangkat dari rumah belum juga berhenti. Sudah saatnya kami pulang. Kami berjalan menuju kearah jalan raya melalui pematang kecil yang lembek dan licin. Ibu berjalan didepan, saya mengikuti di belakangnya.
Ketika kami melewati rumah itu, terdengan suara seorang yang merintih. Seorang merintih karena kesakitan. Ibu menghentikan langkahnya sebentar untuk memastikan darimana dan mengapa ada suara rintihan itu. Ternyata suara berasal dari dalam rumah. Ibu menyuruh saya menunggu di teras rumah. Kami memang mengenal orang yang punya rumah itu karena sering bertemu ketika hendak pergi dan pulang dari sawah. Tetapi hanya kenal sekedarnya saja.
“Kamu tunggu disini, Le.. Ibu mau melihat kedalam”.
“Iya, Bu..”, saya menurut saja.
Pintu rumah itu tertutup tetapi tidak dikunci. Ibu langsung saja masuk dan mencari siapa yang sedang kesakitan. Ternyata suara itu adalah suara seorang ibu pemilik rumah yang menahan sakit karena akan melahirkan. Ibu lalu segera menolongnya.
“Mano ayahnyo..?”, Ibu bertanya dalam bahasa melayu. Menanyakan kemana suaminya pergi meninggalkan istrinya sendirian dirumah.
“Poi ke rumah dukun bayi”, jawabnya pelan. Ternyata suaminya sedang pergi menjemput dukun bayi ke rumahnya.
Ibu lalu memandu dan menolongnya selama persalinan, hingga tak lama kemudian terdengar suara tangis bayi yang sangat keras. Ibu dan bayinya selamat dalam persalinan yang menegangkan itu.
Saya tidak tahu darimana Ibu belajar tentang ilmu persalinan. Rasanya saya tak pernah melihat beliau mengikuti kursus atau kegiatan semacamnya tentang persalinan. Atau barangkali Ibu belajar dari pengalaman beliau sendiri selama melahirkan tujuh orang anaknya itu. Ketika itu memang sebagian besar persalinan masih dibantu oleh dukun bayi. Belum ada Puskesmas, belum ada bidan yang berpraktek membantu ibu yang akan melahirkan.
Tak lama kemudian suaminya datang, hanya sendirian tak ditemani dukun yang hendak dijemputnya. Saya tidak tahun apa alasannya. Namun yang jelas terlihat di wajahnya adalah kegembiraan dan keharuan ketika dilihatnya anaknya sudah bersih dan sedang disusui oleh ibunya. Berkali-kali dia mengucapkan syukur dan terima kasih atas bantuan Ibu pada istrinya.
Setelah semua dirasa sudah cukup, kami lalu pamit pulang. Hari sudah agak malam, sepanjang jalan hanya terlihat kegelapan. Sekali-sekali terlihat lampu minyak tanah yang dinyalakan didepan rumah-rumah penduduk. Ketika itu memang belum ada listrik disana.
Lima hari kemudian, kami menerima kiriman satu paket nasi dengan seekor ingkung ayam. Kiriman itu sebagai ucapan terima kasih atas bantuan Ibu dalam proses kelahiran anaknya.
Saya merasa lebih berbahagia karena dapat makan besar hari itu…