Kamis, 24 November 2016

SEMANGAT HIDUP

Ketika mendengar ada teman atau kerabat yang sedang sakit, apalagi sakit yang agak parah, apa reaksi kita?. Sebagian besar kita akan mendoakannya semoga segera sembuh. Sebagian lagi, tidak hanya mendoakan saja tetapi lebih dari itu, akan menjenguk ke rumahnya atau ke rumah sakit tempatnya dirawat. Sekedar memberikan dukungan dan semangat untuk kesembuhannya.
Saat kita menjenguk teman atau kerabat yang sedang sakit, kita akan melihat gambaran yang berbeda-beda dari orang yang sedang sakit itu. Ada yang sedih, pasrah, ada pula yang selalu mengeluhkan sakitnya. Gambaran ini setidaknya dapat menunjukkan kepada kita bagaimana sikap seseorang itu dalam memandang kehidupan ini.
Orang yang ketika sakit lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bersedih dan mengeluhkan penyakitnya, atau bahkan cenderung protes kepada Tuhan dengan pertanyaan “mengapa?”, “mengapa harus saya?”, menunjukkan kepada kita bahwa orang itu kurang bersyukur atas nikmat kesehatan yang telah dinikmatinya selama ini. Orang yang demikian tidak hanya menyusahkan dirinya sendiri tetapi juga menyusahkan orang-orang disekitarnya, orang-orang yang merawatnya.
Apalagi kalau orang itu tidak lagi memiliki semangat hidup. Tidak ada semangat untuk sembuh, hanya pasrah terhadap penyakitnya. Keadaan seperti ini akan lebih menyulitkan bagi kesembuhannya.
Bila kita hitung-hitung, selama kita hidup ini tentulah kesehatan kita nikmati lebih lama daripada saat merasakan sakit. Kita merasakan sakit hanya sesekali saja, itupun biasanya lebih banyak disebabkan oleh kesalahan kita sendiri. Misalnya, karena kurang istirahat, terlalu banyak begadang atau karena mengonsumsi makanan yang kita tahu akan berakibat yang kurang baik bagi tubuh kita.
Sebaliknya, ada juga orang-orang yang meskipun dalam keadaan sakit tetapi masih punya semangat yang tinggi. Masih mampu berkarya meskipun seluruh tubuhnya menahan rasa sakit. Banyak sekali kita dengar dan lihat, orang-orang yang mempunyai semangat hidup yang sangat tinggi, meskipun hidupnya hanya terbaring di tempat tidur. Dia mampu memberikan semangat dan motivasi, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga kepada orang lain. Tidak hanya kepada mereka yang sama-sama sedang sakit, bahkan kepada mereka yang sehat.
Kami punya pengalaman yang hampir sama dengan itu. Mbah kami dulu didiagnosis mengidap kanker payudara. Tetapi hal itu tidak membuatnya berkeluh kesah dan meratapi penyakitnya. Penyakit itu tidak menyurutkan semangatnya untuk sembuh dan menjalani hidup dengan normal seperti biasanya. Semua keluarga mendukung dan berupaya untuk mencari solusi pengobatan yang memungkinkan. Semangat hidup dan semangat untuk sembuh itulah yang membuatnya mampu bertahan hingga akhir usianya lebih dari delapan puluh tahun.
Semangat hidup yang tinggi menjadi kunci bagi kesembuhan suatu penyakit. Orang yang bersemangat akan menebarkan energi yang positif bagi siapapun yang ada disekelilingnya.
Semangat hidup kita adalah bukti kesyukuran kita….

HIDUP DAN BEKERJA

Sudah lama sekali saya tidak lari pagi di Alun-alun Jember. Barangkali sudah hampir sepuluh tahun lalu saya terakhir melakukannya. Beberapa hari yang lalu, setelah mengantarkan anak ke sekolah, saya bersama istri, kembali menikmati pagi itu dengan berlari mengelilingi Alun-alun.
Karena hari libur, pagi itu cukup ramai. Ada yang bermain basket, ada yang senam, ada pula yang hanya duduk-duduk saja menikmati segar dan hangatnya matahari. Namun, sebagian besar berolah raga dengan berlari atau berjalan mengelilingi Alun-alun yang cukup rimbun itu.
Di beberapa sisi Alun-alun, terlihat banyak terdapat neonbox yang bergambar pahlawan Nasional dari berbagai daerah. Di bagian atasnya tertulis ungkapan-ungkapan terkenal dan menjadi cirikhas yang sering diucapkan oleh Pahlawan itu.
Salah satu ungkapan yang cukup menggelitik perasaan saya adalah ucapan Buya Hamka. Seorang ulama besar asal Sumatera Barat ini memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Nama Hamka adalah singkatan dari nama yang panjang itu.
Ungkapan itu menyatakan,
“Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup”.
“Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja”.
Pada awal membacanya, saya agak tersindir. Saya sadar, ungkapan itu tentu tidak main-main. Seandainya yang mengatakan itu adalah teman saya sendiri, tentu tak akan saya pedulikan. Tetapi itu adalah ucapan tokoh ternama.
Saya coba mengulangi lagi membaca pada beberapa putaran berikutnya, hingga putaran ketiga. Saya mencoba mencerna apa sebenarnya maksud dari ungkapan itu. Tentu ada makna yang sangat mendalam dari kalimat itu.
Saya memikirkan kalimat itu satu per satu. Kalau hidup kita ini hanya sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kita dan babi hutan, sama-sama hidup. Tentu, kita tidak ingin hidup kita sama dengan hidup babi. Kita menginginkan hidup yang mempunyai kualitas lebih tinggi dari hewan. Agar hidup kita berkualitas, maka harus bermanfaat begi sesama. Kalau hidupnya hewan saja mempunyai manfaat, maka semestinya hidup kita jauh lebih bermanfaat bagi kehidupan ini.
Kalau kerja kita hanya sekadar bekerja saja, kera juga bekerja. Lalu, apa bedanya dengan kera? Kera juga bekerja, setidaknya bekerja untuk mencari makanan. Seekor kera bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dirinya saja, tidak peduli dengan yang lainnya. Kita bekerja untuk diri sendiri, untuk keluarga, hingga tingkat yang tertinggi adalah bekerja untuk kemanusiaan.
Kita bekerja tentu tidak sama dengan kera bekerja. Kita sebagai manusia, bekerja untuk kualitas kehidupan yang lebih baik. Kualitas kehidupan itu akan bisa dirasakan bila kita mampu memberi manfaat kepada orang lain, kepada mahkluk hidup lain.
Jika tidak, tentu kerja kita tak ada bedanya dengan kerjanya seekor kera. Karena kera juga bekerja….
Karena keterbatasan ilmu pengetahuan, hanya sebatas itu saja yang mampu saya pahami dari ungkapan Buya Hamka itu.
Selebihnya, “Yang paling tahu apa makna sebenarnya dari ucapan seseorang adalah orang yang mengucapkannya sendiri”, Begitu kata Pak Nusron Wahid....

KOMITMEN MEMBANGUN KELUARGA

Baru saja, saya membaca berita tentang masih tingginya angka perceraian, baik secara nasional maupun Kabupaten Jember. Untuk Kabupaten Jember, sampai dengan September 2016, angkanya lebih dari empat ribu kasus. Meskipun masih tinggi tetapi angka itu menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Faktor utama yang menjadi penyebab perceraian adalah masalah nafkah ekonomi dan karena terlalu muda usia pasangan saat mejalani perkawinan.
Saya mencoba menganalisis keterkaitan antara masalah ekonomi keluarga dan perkawinan dalam usia muda ini dengan perceraian.
Kalau kita lihat orang-orang tua kita dulu, sebagian besar mereka hidup dalam keadaan yang serba sulit. Kehidupan mereka sulit bukan karena malas bekerja, tetapi karena memang dalam masa perjuangan. Keadaan yang belum sepenuhnya aman tentu tidak memungkinkan untuk bekerja dengan tenang.
Ditambah lagi dengan belum banyaknya orang yang bersekolah ketika itu. Sebagian besar mereka tidak pernah merasakan bangku pendidikan. Pendidikan masih menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang tertentu saja.
Namun demikian, walaupun dalam kehidupan yang demikian itu, keluarga mereka baik-baik saja. Meskipun dalam keadaan ekonomi yang serba kekurangan, mereka saling bahu-membahu dan saling membantu dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Tidak banyak diantara mereka yang menuntut melebihi dari kemampuan masing-masing dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Saya merasakan adanya komitmen yang kuat diantara orang-orang tua kita dulu. Komitmen untuk membangun keluarga. Masing-masing menginginkan anak-anak mereka tumbuh dan mandiri. Yang mereka inginkan sangat sederhana, ingin anak-anak lebih baik kehidupannya dari orang tuanya. Itu saja.
Komitmen untuk membangun keluarga inilah yang sekarang ini kurang dimiliki oleh pasangan muda yang hendak menikah. Mereka ini lebih banyak yang hanya bersenang-senang saja. Setelah menikah, mereka tergagap-gagap dalam menghadapi persoalan yang menghadang. Ketidaksiapan secara mental, karena usia yang masih muda, menambah lengkap permasalahan mereka.
Komitmen yang kuat akan melahirkan rasa tanggung jawab. Tanggung jawab secara pribadi, tanggung jawab sebagai keluarga juga tanggung jawab sebagai anggota masyarakat. Beban semua tanggung jawab itu harus dipikul oleh mereka yang sudah berkeluarga, suami dan istri.
Bila komitmen dan tanggung jawab ini telah dimiliki oleh pasangan suami istri, persoalan seberat apapun akan mampu diatasi oleh mereka. Persoalan kurangnya nafkah ekonomi akan menjadi masalah yang sangat kecil bagi mereka.
Bila keringat telah terkuras, bila ikhtiar telah diupayakan semaksimal mungkin, maka ketika itu tanggung jawab telah ditunaikan. Persoalan hasil, pasrahkan hanya kepada Tuhan.
Memang, kita perlu menakar kembali besarnya komitmen kita untuk membangun keluarga. Saya jadi teringat kembali salah satu komentar seorang teman,
“True love isn't found but it is built….”,
Cinta sejati tidak ditemukan tetapi dibangun…”

TEMPAAN HIDUP

Banyak orang yang terlahir dan menjalani hidup dengan mulus-mulus saja. Terlahir dari keluarga yang mapan dengan segala kecukupannya. Hidupnya hampir tak pernah mengalami kesulitan yang berarti. Kalaupun ada masalah, banyak orang disekitarnya yang dengan cepat membantunya.
Tentu tidak ada masalah dengan kehidupan semacam itu. Kita semua juga menginginkannya. Tetapi bila tidak dibarengi dengan mengajarkan kemandirian dan kerja keras, mereka itu juga akan menemui kesulitan dalam menjalani kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan nyata yang menuntut kekuatan kita untuk menghadapinya.
Sering kita lihat, berapa banyak orang-orang kaya yang bangkrut karena ulah anak-anaknya sendiri. Kita juga sering mendengar, usaha orang tua yang gulung tikar akibat perselisihan antara anak-anaknya sendiri. Anak-anak yang telah terbiasa hidup senang, tidak mengerti arti perjuangan dan kerja keras orang tuanya.
Mengajarkan kemandirian dan kerja keras kepada anak adalah kewajiban kita, semua orang tua. Tidak hanya keluarga yang miskin dan pas-pasan saja, orang kaya juga mengajarkannya. Hanya saja ada bedanya, kalau untuk orang kaya, hal itu adalah semacam latihan saja. Tetapi bagi yang miskin, tidak ada pilihan lain selain harus menjalani kehidupan dengan kerja keras. Mandiri dan kerja keras bukan latihan dan bukan mencari pengalaman, tetapi memang begitulah kehidupan yang senyatanya.
Ada ungkapan yang mengatakan bahwa, “Keris yang bernilai tinggi dihasilkan dari tempaan yang keras dan lama”. Sebuah keris yang memiliki nilai yang tinggi tidak dihasilkan dengan cara-cara yang mudah dan instan, tetapi perlu tempaan yang keras dan dalam waktu yang lama. Pembuatnya juga seringkali melakukan tirakat dan berpuasa.
Demikian pula dengan diri kita, apabila hidup kita mengalami tempaan yang berat maka kita akan memiliki nilai tinggi dalam kehidupan. Nilai yang tinggi dalam kehidupan ini akan membawa kita kepada sikap yang lebih menghargai kehidupan. Langkah kita akan lebih berhati-hati dan terukur. Kita tidak mudah mengeluh apalagi menyerah terhadap masalah yang datang. Permasalahan hidup yang oleh orang lain dianggap berat, kita akan menganggapnya biasa-biasa saja.
Bagi kita yang hingga saat ini masih dalam keadaan yang sulit, bersabarlah dan jangan menyerah. Teruslah kita bekerja dan belajar. Anak-anak kita yang tumbuh dalam tempaan dan kerja keras, akan mengerti arti sebuah perjuangan.

JAUH DARI KELUARGA

Salah satu masalah keluarga yang paling berat adalah ketika harus berpisah jauh dari keluarga. Berpisah karena tuntutan tugas pekerjaan. Misalnya, karena ditugaskan ketempat yang jauh diluar kota atau bahkan keluar pulau. Karena kendala jarak yang jauh, tidak memungkinkan untuk pulang lebih sering.
Berpisah dengan keluarga tentu tidak diinginkan siapapun. Kalau berpisah hanya beberapa hari saja tentu tidak terlalu menjadi masalah. Tetapi kalau harus berpisah selama berbulan-bulan, pasti akan jadi masalah yang berat.
Pertama kali saya harus hidup terpisah dengan keluarga adalah ketika menginjak tahun kedua usia pernikahan kami. Tidak lama setelah istri melahirkan anak pertama, kami harus terpisah karena tuntutan pekerjaan. Saya bekerja di Pulau Sumbawa, sedangkan istri dan anak di Mataram, Lombok.
Kami menjalani kehidupan yang serba sulit ketika itu. Sebelumnya, saya sempat kehilangan pekerjaan karena krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dampaknya, peluang pekerjaan menjadi sangat terbatas. Jangankan untuk mencari pekerjaan yang baru, untuk mempertahankan yang sudah ada saja terasa sangat sulit.
Dalam keadaan seperti itu, apapun harus saya lakukan sebagai bentuk tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Meskipun harus berpisah dengan keluarga, tidak menjadi hambatan. Yang terpikir dan paling penting ketika itu adalah harus bekerja agar ada penghasilan. Tidak terpikirkan lagi bagaimana keadaan yang akan dituju, maupun jauhnya jarak yang memisahkan.
Tentu tidak mudah menjalani kehidupan seperti itu. Beberapa bulan sekali, saya mengajukan ijin untuk pulang menemui keluarga. Melepas rindu kepada anak dan istri.
Kami harus menjalani hidup terpisah selama lebih dari satu tahun.
Setahun berikutnya, keadaan terulang kembali. Kami harus berpisah lagi karena saya bekerja di Brunei selama hampir satu tahun, dengan alasan yang sama. Dalam fase ini, kehidupan menjadi lebih berat dari sebelumnya.
Satu hal yang membuat hidup terpisah terasa berat bagi saya adalah saya tidak bisa mengikuti dan mendampingi anak-anak tumbuh menjadi besar. Mereka tumbuh tanpa kehadiran kita dalam kesehariannya. Momen-momen itu sangat berharga, karena tidak mungkin dapat terulang kembali. Tak mungkin terulang meskipun kita menginginkannya.
Sejak itu saya bertekad, apapun keadaannya saya berusaha untuk tidak akan meninggalkan keluarga lagi. Saya berusaha untuk selalu bersama.
Memang tidak mudah, tetapi saya meyakini bila kita bersungguh-sungguh, Tuhan pasti akan memberi jalan bagi kita….

SIKAP KITA DI MEDIA SOSIAL

Melihat pemberitaan di dunia maya tentang politik dan hukum akhir-akhir ini, membuat saya sedih. Saling dukung antar calon atau menolak calon lain, terutama tentang Pilkada di Jakarta, telah membutakan nurani dan rasionalitas.
Pesta demokrasi yang semestinya menjadi ajang untuk beradu ide dan program untuk menyejahterakan rakyat, kini telah berubah menjadi ajang cacimaki antar sesama. Cacimaki sesama warga Negara, sesama umat beragama, bahkan sesama umat seagama, yang kebetulan saling berbeda pendapat.
Pilkada yang semestinya kita sambut dengan antusias dan sukacita, kini berubah menjadi menakutkan. Aksi-aksi menolak seseorang calon hingga perasaan saling curiga. Berbagai bentuk ancaman dari kelompok-kelompok tertentu, sampai dengan pengeboman tempat ibadah yang menimbulkan korban jiwa.
Berita-berita itu kemudian diperluas melalui media sosial yang banyak sekali jumlahnya. Banyak orang yang membagikan berita-berita itu melalui akun pribadinya di media sosial tanpa ada upaya untuk sedikit mencari kebenaran dari isi berita itu. Asalkan beritanya sesuai dengan pendapat pribadinya, maka seketika itu pula langsung dibagikannya.
Demikian pula sebaliknya, orang-orang yang membacanya, tanpa merasa perlu mencari kebenaran berita-berita yang dibacanya itu sedikitpun, langsung memberi komentar. Parahnya, komentar-komentar yang dikemukakan terkadang penuh emosi dan tanpa etika.
Satu hal yang membuat saya lebih sedih adalah komentar-komentar itu kemudian berubah menjadi cacimaki kepada orang lain, termasuk kepada tokoh agama yang selama ini dihormati. Penyebabnya hanya karena tokoh itu berbeda pendapat dengan mereka.
Dengan argumen apapun, cacimaki kepada orang lain tidak dapat dibenarkan. Apalagi hanya karena soal perbedaan pendapat yang tidak prinsip. Soal perbedaan pendapat adalah soal yang biasa saja. Siapapun orangnya, kecuali seorang nabi, pendapatnya bisa benar dan bisa juga salah. Seorang tokoh sekalipun, bila dia mengemukakan pendapat, pendapatnya mungkin benar atau mungkin juga salah. Oleh karena itu berprasangka baik akan lebih mendekati kebenaran daripada kita prasangka yang buruk.
Namun sebaliknya, cacimaki adalah perbuatan yang salah sejak awalnya. Apapun alasannya, apapun argumennya. Cacimaki tidak membawa manfaat dan dampak positif apapun bagi kemanusiaan. Justru rentetan dampak buruk sedang menanti apabila kita melakukannya.
Tentu saja akan ada yang mengatakan bahwa berpendapat adalah hak setiap orang. Apapun pendapat orang dan yang ingin dikatakannya di media sosial adalah urusannya sendiri.
Memang benar, berpendapat adalah hak setiap orang. Tetapi persoalan menyampaikan pendapat, apalagi menyampaikan pendapat ditempat umum dan media sosial yang bisa diakses oleh semua orang, tentu ada aturannya. Baik itu aturan hukum maupun etika.
Mengemukakan pendapat dengan cara yang bertentangan dengan aturan hukum tentu akan beresiko secara hukum. Demikian pula bila tidak memenuhi kaidah etik, nama kita akan dikenang sebagai orang yang tidak beretika.
Apapun yang kita tuliskan, baik status maupun komentar-komentar di media sosial, akan mengungkapkan dengan sendirinya, siapakah kita, orang terdidikkah kita atau orang-orang yang hanya mengumbar sumpah serapah saja…..

RUMAH BERANTAKAN

Banyak orang tua, terutama ibu-ibu yang masih muda, yang marah dan stress bila rumahnya terlihat berantakan. Mainan anak-anak tersebar di setiap tempat. Demikan pula buku-buku anak bertebaran, karena sehabis dilihat-lihat kemudian ditinggalkan begitu saja. Atau sisa-sisa makanan yang terselip di pojok-pojok kursi.
Apalagi bila dinding rumah penuh dengan coretan pensil dan spidol. Seolah-olah dinding itu menjadi kanvas lukis raksasa dengan lukisan yang tak pernah selesai. Tentu saja lukisan yang beraliran abstrak berupa garis-garis panjang bolak balik dan warna warni.
Mereka itu inginnya rumah yang terlihat rapi tertata, bersih dan teratur. Seperti rumah baru yang menjadi rumah contoh bagi perusahaan pengembang. Bagi saya, keadaan rumah seperti itu baru bisa diwujudkan tatkala mereka sudah pensiun. Anak-anak mereka sudah menikah semua dan masing-masing sudah tinggal di rumahnya sendiri. Tinggallah mereka berdua saja yang menempati rumah itu, tak ada orang lain.
Tetapi bila dalam rumah itu masih ada anak-anak, apalagi yang masih balita, tentu keadaan berantakan itu tak dapat elakkan. Bermain adalah sarana belajar bagi anak-anak kita. Anak-anak balita memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar. Rasa ingin tahu dan mencoba-coba sesuatu hal yang baru itu mereka wujudkan dengan mainan mereka. Jadi wajar saja bila mainan itu terlempar kesana kemari. Bahkan karena rasa ingin tahu apa yang ada didalam mainan itu juga, terkadang mainan itu dibongkarnya.
Kita sebagai orang tua biasanya menilai hal itu sebagai merusak. Tetapi sebenarnya itu adalah salah satu cara mereka belajar yang bersumber dari rasa ingin tahunya.
Bagi saya, keadaan rumah yang berantakan karena ulah anak-anak yang bermain, tidak ada masalah. Dengan begitu sebenarnya kita dapat dengan mudah untuk mengajarkan pentingnya karapian dan kebersihan kepada anak. Anak akan merasakan langsung perbedaan antara rumah yang rapi dan bersih dengan rumah dalam keadaan berantakan.
Demikian pula anak-anak yang suka mencoret-coret dinding. Tentu kurang bijak, apabila kita melarang mereka, tanpa menyediakan untuknya media yang dapat dipakainya untuk menggambar. Saya sempat menunda mengecat dinding rumah beberapa tahun karena saya tahu anak saya masih suka mencoret-coretnya.
Satu hal yang harus dipahami dan disyukuri oleh orang tua adalah bahwa keadaan rumah yang berantakan menandakan bahwa dirumah itu masih ada kehidupan. Bayangkan bila hanya kita seorang diri yang hidup didalamnya, rumah akan tetap rapi, sejak pagi hingga pagi hari berikutnya…

SARAPAN PAGI

Beberapa kali ketika mengantar anak ke sekolah, saya melihat anak-anak yang sedang mengerubungi gerobak penjual makanan. Mereka membeli makanan cilok, makanan yang biasanya dimakan sebagai camilan oleh orang dewasa. Padahal hari itu masih pagi sekali. Saya menduga perut mereka sedang lapar. Kemungkinan karena belum sarapan dari rumah.
Saya berpikir, apakah di rumah mereka tidak disiapkan makanan untuk sarapan pagi oleh orang tuanya. Sekiranya sudah sarapan, tentu mereka tidak akan jajan lagi di sekolah sepagi ini.
Bagi keluarga kami, sarapan pagi hukumnya wajib. Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah anak-anak wajib sarapan terlebih dahulu. Menu sarapan tentunya menyesuaikan dengan keseimbangan gizi. Tetapi tidak mesti begitu, terkadang menu sarapan hanya nasi putih dengan tempe goreng. Yang penting, harus sarapan. Untuk itu, saya mesti bangun lebih awal setiap hari, untuk membantu menyiapkan semua keperluan sarapan dan untuk bekal sekolah mereka.
Memang, terkadang ada sebagian anak yang tidak bisa sarapan. Perutnya terasa kembung dan mual kalau diisi dengan makanan. Tentu hal itu karena sarapan belum menjadi kebiasaan. Keadaan demikian haruslah dicarikan solusinya. Misalnya, anak membawa bekal nasi ke sekolah, agar ketika perut sudah terasa lapar, makanan sudah tersedia dan siap dimakan.
Tidak perlu lagi rasanya membahas tentang perlunya sarapan bagi kesehatan maupun sebagai pendukung aktifitas sehari-hari. Kita semua tentu sudah mengetahui bahwa sarapan merupakan asupan nutrisi awal bagi tubuh kita. Aktivitas yang dimulai di pagi hari perlu didukung dengan energi yang diperoleh dari sarapan kita.
Sarapan merupakan pasokan energi utama, setelah beberapa jam sebelumnya perut dalam keadaan kosong. Selama waktu tidur, setidaknya delapan jam, perut tidak menerima makanan sedikitpun. Sarapan berperan penting untuk memulihkan kembali tubuh kita untuk menjalani akativitas berikutnya.
Bagi anak-anak kita, sarapan pagi merupakan kebutuhan yang sangat penting, terlebih lagi jika si anak dalam usia sekolah dan pertumbuhan. Sarapan pagi merupakan awal persiapan otak anak untuk menerima pelajaran di sekolah.
Coba kita bayangkan, bila kebutuhan nutrisi anak hanya diperoleh dari makanan camilan yang tidak memenuhi standar gizi yang mencukupi. Apalagi bila pengolahan makanan itu tidak dalam keadaan bersih, tentu akan sangat beresiko bagi kesehatan anak itu sendiri.
Anak-anak yang mengawali kegiatan sekolah dengan sarapan terlebih dahulu, akan terlihat lebih bersemangat dan tidak lesu dalam mengikuti setiap kegiatan pelajaran.
Selain untuk mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang bagi pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak, sarapan pagi juga akan mencegah anak untuk tidak jajan sembarangan ketika perutnya terasa lapar.
Ayo sarapan setiap hari….!!

TRAGEDI DINI HARI

“Pak, bangun… bangun…”, istri saya membangunkan. Saya tersentak seketika. Dengan setengah sadar itu, saya berusaha bangkit dan duduk ditepi tempat tidur, sambil memegangi kepala yang terasa agak pusing. Menjadi kebiasaan saya apabila terbangun secara tiba-tiba, kepala akan terasa pusing.
“Jam berapa ini?”, tanya saya sambil mengumpulkan kesadaran.
“Jam setengah dua. Jam segini anaknya belum nelpon”, jawabnya dengan perasaan khawatir yang tampak jelas di wajahnya.
“Tadi katanya disuruh menjemput atau mau pulang sendiri?”, tanyanya lagi memastikan kesepakatan saya tadi sebelum berangkat.
“Dia mau pulang bareng temannya”, jawab saya singkat.
“Coba ditelpon”, saya memberi cara, barangkali ada jawaban.
“Telponnya tidak aktif”, jawabnya setelah beberapa kali mencoba menghubungi nomornya.
Memang sore tadi saya mengantarnya ke rumah temannya. Malam itu ada acara pentas seni sekolah. Setiap tahun acara itu digelar, sebagai ajang ekspresi siswa untuk menunjukkan kemampuannya dibidang seni. Acaranya diadakan di Hotel Cempaka, berjarak kira-kira sepuluh kilo dari rumah.
Karena hujan yang tidak kunjung reda, dia meminta saya untuk mengantarnya ke rumah temannya yang tidak terlalu jauh dari rumah. Sambil memakai jas hujan, saya mengantarkannya dengan sepeda motor. Disana telah berkumpul dua orang temannya yang akan berangkat bersama.
“Nanti pulangnya gimana?”, Tanya saya memastikan.
“Saya pulang bareng teman-teman saja, Pak”, Jawabnya singkat. Lalu saya berpamitan kembali pulang. Hujan sudah mulai reda, ketika saya tiba di rumah.
***
Saya masih terduduk di tepi tempat tidur. “Jam segini belum pulang, kemana saja anak ini?, Tanya saya dalam hati. Saya berfikir sejenak, kira-kira mulai dari mana saya mencarinya?. Apakah saya bertanya dulu ke rumah temannya tadi?. Tetapi, ah.. jam berapa ini… kalau harus membangunkan orang jam sekian tentu akan sangat mengganggu.
Tak lama kemudian, saya telah mengenakan celana panjang dan jaket. Segera saya keluarkan sepeda motor, menuju ke hotel tempat acara. Hawa dingin dini hari terasa menusuk tulang. Hawa dinginnya membuat kaca helm saya agak kabur, sesekali saya usap dengan telapak tangan.
Jalanan juga begitu sepi. Sesekali terlihat anak-anak muda nongkrong bergerombol menghabiskan malam. Terlihat juga beberapa pedagang sayur menuju ke pasar untuk belanja kulakan.
Tiba didepan hotel, suasana juga sepi. Pintu keluar sudah tertutup. Saya arahkan kendaraan menuju pintu masuk. Terlihat seorang satpam sedang berjaga. Ada juga karyawan hotel yang sedang berjalan menuju kearah pos satpam.
“Mohon maaf Pak, acara anak-anak pentas seni apa sudah selesai ya?”, saya coba bertanya.
“Sudah Pak. Sudah selesai tadi sebelum jam sebelas. Ada apa Pak?, katanya kembali bertanya.
“Anak saya nonton acara tadi, tapi sampai sekarang belum pulang”.
“Coba ditelpon Pak”.
“Sudah, tapi tidak tersambung”, jawab saya, kemudian berterima kasih dan pamit pulang.
Saya mencoba untuk tenang, setenang-tenangnya. Berfikir keras, apalagi yang mesti saya lakukan. Sambil mengendarai sepeda motor, saya terus berfikir. Saya arahkan kendaraan mengelilingi alaun-alun. Terlihat masih ramai anak-anak muda disana. Banyak kendaraan yang diparkir disekeliling alun-alun. Banyak sepeda motor dan beberapa mobil. Saya perhatikan mereka barangkali ada anak saya dan teman-temannya diantara yang sedang nongkrong itu. Namun tidak ada tanda-tanda yang tampak.
Saya putuskan untuk menemui temannya yang sore kemari saya mengantar kesana. Meskipun ada sedikit perasaan tidak enak untuk membangunkan orang malam-malam begini. Saya lihat jam di telepon genggam menunjukkan lebih jam dua dinihari ketika saya sampai di halaman rumah itu. Suasana rumah begitu sepi. Terlihat mobil terparkir di garasi dengan pagar terkunci. Saya mencoba mengetuk pagar besi itu dengan anak kunci sepeda motor.
“Ting…. ting… ting… Assalamualaikum”, saya mencoba membangunkan orang yang ada didalam. Sekali, dua kali, belum ada jawaban. Saya coba yang ketiga, belum juga ada tanda-tanda ada yang terbangun. Memang, saya tidak berani memukul pagar itu dengan agak keras, karena takut akan membangunkan para tetangga yang sedang tertidur pulas.
Akhirnya saya putuskan untuk kembali. Sepeda motor saya arahkan mengitari jalan raya, menuju sekolah. Barangkali ada informasi dari sekolah yang dapat saya peroleh. Saya lihat lagi jam menunjukkan hamper jam tiga pagi ketika saya berada didepan gerbang sekolah itu. Pintu gerbangnya telah tertutup, hanya terlihat satpan yang sedang asyik menonton tivi. Saya putuskan tidak berhenti dan bertanya, sebaliknya kendaraan langsung saya arahkan putar haluan kembali.
Saya hentikan kendaraan di pinggir jalan. Saya terduduk sejenak. Mulai terbersit pikiran-pikiran buruk di kepala saya. Ada kekhawatiran muncul dalam hati, “Ada apa dengan anak saya?”. Sesaat kemudian juga muncul geram dan amarah saya. “Kalau jam segini masih main-main, akan saya marahi habis-habisan nanti”, kata hati saya dalam kemarahan.
Tiba-tiba, HP saya berbunyi, “Bapak ada dimana sekarang?”, Istri saya menanyakan diujung telpon. Saya katakan bahwa saya masih di jalan.
“Sudah Pak, pulang saja. Ini sudah jam tiga”, tatanya lagi.
Dengan perasaan kosong, saya arahkan kendaraan untuk pulang. Begitu berat beban saya saat itu. Beberapa jam lagi, saya mesti berangkat keluar kota untuk menyelesaikan suatu tugas. Tetapu sudahlah, saya tak mau memikirkannya saat itu.
Setiba di rumah, istri saya membukakan pintu pagar untuk saya memasukkan kendaraan. Dengan senyum dia mengatakan, “Pak, anaknya sudah tidur di kamar”.
Tanpa berkata apa-apa, saya masuk dan berjalan menuju ke kamarnya. Saya lihat dia sedang tertidur pulas. Perasaan saya lega bercampur marah dan menyesal menjadi satu. Saya kembali ke tempat tidur untuk beristirahat. Masih ada waktu satu setengah jam lagi untuk istirahat, sebelum berangkat keluar kota sebentar lagi.
Dalam hati saya bertanya-tanya, “Mengapa tadi tidak dilihat dulu dikamarnya……?”.

HOOOOIIII….!!

Kalau kita menempuh perjalanan dari Jember ke Banyuwangi, kita akan melewati suatu daerah pegunungan yang dinamakan Gumitir. Jalannya naik turun dan berkelok-kelok, tetapi keloknya tidak setajam kelok ampek puluah ampek atau kelok Sembilan. Sebagaimana jalan di pegunungan pada umumnya, sepanjang jalan itu disisi kanan ada jurang yang dalam, sedang dikiri ada tebing batu yang terjal.
Ada yang unik di sepanjang jalan Gumitir ini. Di setiap belokan, selalu ada orang yang berdiri atau duduk di pinggir jalan sambil mengayun-ayunkan tangannya. Setiap ada kendaraan yang lewat, mereka akan meneriakkan “Hooooiiii….!”, kepada pengendara.
Saya pahami maksud mereka mengayunkan tangannya dan berteriak itu adalah mengharap lemparan uang sekedarnya dari para pengendara yang lewat. Memang, terkadang ada yang kasihan melihat mereka, lalu melemparkan uang kecil, seribu atau dua ribu. Tetapi lebih banyak yang tidak mempedulikan keberadaan mereka, karena harus berkonsentrasi pada laju kendaraan mereka yang menuntut kewaspadaan.
Satu hal yang memprihatinkan adalah sebagian mereka ini adalah orang-orang yang sudah berusia lanjut. Banyak yang sudah kakek-kakek dan nenek-nenek, jalannya juga sudah mulai membungkuk. Tetapi hari-hari mereka dihabiskan dengan berdiri di pinggir jalan yang sebenarnya membahayakan keselamatan mereka sendiri.
Ada juga ibu-ibu muda yang membawa anak dan bayinya. Mereka menggelar plastik untuk alas duduk mereka sambil mengayunkan tangan. Tidak hanya ibunya, anaknya juga ikut melambaikan tangan dan berteriak, “Hooooiiii….!”.
Menyaksikan pemandangan seperti itu cukup membuat miris dalam hati. Anak-anak yang semestinya bermain di rumah dengan aman dan nyaman, justru harus bermain di pinggir jalan yang membahayakan jiwa mereka. Selain karena beresiko bagi keselamatan jiwa anak-anak itu, polusi dari kendaraan yang lewat hampir ada tidak putus-putusnya itu juga mengancam kesehatan mereka.
Ketika saya melewati jalan Gumitir ini pertama kali sekitar lima belas tahun yang lalu, jumlah mereka belum sebanyak sekarang. Saya lihat hanya ada beberapa laki-laki dewasa yang berdiri di beberapa titik tikungan yang sangat tajam.
Mereka mengatur kendaraan yang datang dari dua arah agar tidak saling berpapasan di tikungan yang tajam itu. Bentuk komunikasi mereka kepada para pengendara itu adalah dengan mengayunkan tangan mereka sambil berteriak.
Peran mereka memang dibutuhkan oleh pengendara kendaraan berat dan panjang agar ketika melewati tikungan itu, kendaraan yang dari arah sebaliknya bisa berhenti sesaat. Memberi kesempatan kepada kendaraan berat itu melewati tikungan terlebih dahulu.
Para sopir kendaraan berat yang merasa diuntungkan oleh “pengatur tikungan” ini, tentu tidak keberatan kalau mereka mengeluarkan uang sekedarnya kepada mereka. Lha, cara mereka ini kemudian ditiru oleh ibu-ibu, kakek-kakek dan nenek-nenek itu untuk mencari penghasilan dengan cara yang hampir sama. Bedanya, peran mereka sebenarnya tidak dibutuhkan sama sekali oleh para pengendara itu.
Bagi saya, keberadaan mereka ada juga manfaatnya. Setidak-tidaknya ketika melewati jalan itu suasana tidak sepi dan menakutkan seperti dulu.
“Hooooiiii….!”.

SATU ONS VERSUS SATU TON

Dalam perkuliahan kemarin saya bertanya kepada mahasiswa, siapakah diantara mereka yang suka menulis. Salah seorang menjawab, “Sebenarnya saya suka, Pak. Tetapi tulisan saya jelek”.
Saya katakan kepada mereka bahwa tidak ada tulisan yang jelek. Semua tulisan yang kita hasilkan adalah bagus. Hanya saja, kemungkinannya adalah tilisan itu tidak mudah dipahami atau tidak disukai oleh yang membacanya.
Salah satu permasalahan yang kita hadapi dan seringkali menjadi hambatan dalam hal pengembangan diri adalah adanya persepsi kita terhadap kemampuan kita sendiri. Seringkali kita mempersepsikan diri kita tidak mampu untuk melakukan sesuatu hal, padahal kita belum pernah mencobanya.
Persepsi pada hakikatnya adalah merupakan proses penilaian seseorang terhadap obyek tertentu, termasuk terhadap kemampuan diri sendiri. Apabila persepsi demikian ini telah terbentuk dalam diri, maka untuk merubahnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Diperlukan keinginan yang kuat dan pendidikan yang terus-menerus untuk merubahnya.
Robert T. Kiyosaki, dalam salah satu bukunya yang berjudul “Rich Kid Smart Kid” mengungkapkan bahwa “Untuk merubah satu ons persepsi, diperlukan satu ton pendidikan”. Maksudnya adalah bahwa apabila persepsi terhadap diri sendiri telah terbentuk sedemikian rupa sehingga mempengaruhi terhadap kemampuannya untuk mengembangkan diri, maka untuk merubahnya diperlukan pendidikan yang jumlahnya ribuan kali lipat.
Persepsi negatif terhadap diri sendiri ini biasanya muncul dalam ungkapan “Saya tidak bisa melakukannya” atau “Tulisan saya jelek” atau “Saya orang bodoh”. Persepsi demikian tentu tidak timbul secara tiba-tiba. Boleh jadi karena ungkapan-ungkapan seperti itu yang selalu didengarnya sejak kecil, sehingga terekam dalam benak.
Oleh karena itu, persepsi demikian itu harus dihilangkan terlebih dahulu. Peran orang tua dan guru sangat besar pada terbentuknya persepsi anak terhadap kemampuan diri sendiri.
Peran orang tua dan guru adalah mempengaruhi persepsi anak bahwa dia mempunyai kemampuan yang luar biasa.

MENUDUH TANPA BUKTI

Dalam suatu rubrik konsultasi, ada seseorang yang mengemukakan bahwa dia dituduh telah mencuri perhiasan milik rekannya. Tuduhan itu dilakukan sedemikian rupa sehingga dia tidak diberi ruang untuk melawan dan menjelaskannya. Padahal tuduhan itu tanpa didasari dan diikuti dengan bukti-bukti yang kuat.
Dituduh demikian, tentu dia tidak terima. Selain karena tuduhan itu tanpa didukung dengan bukti, juga karena dia memang tidak merasa mengambil barang milik rekannya tersebut. Karena itu, dia akan membawa kasus itu ke ranah hukum.
Menuduh merupakan perbuatan seseorang yang bersifat menyudutkan atau memojokkan orang lain dengan maksud agar orang yang dituduh itu mengakui telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
Kalau tuduhan itu disertai dengan bukti yang kuat, misalnya disaksikan setidaknya oleh dua orang, maka hendaknya kasus dilaporkan kepada kepolisian. Sekali-kali kita tidak boleh melakukan perbuatan main hakim sendiri. Jika hal itu dilakukan, maka pelaku main hakim sendiri ini yang justru akan diproses secara hukum.
Perilaku menuduh tanpa bukti ini sering kali kita temui dalam masyarakat. Seseorang dengan mudahnya menuduh orang lain, tanpa menyadari bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum. Perilaku demikian tidak hanya terjadi pada kalangan masyarakat tertentu saja. Bahkan, terkadang juga dilakukan oleh orang yang mempunyai status sosial yang tinggi dalam masyarakat.
Mari kita bayangkan sejenak, seandainya suatu saat kita dituduh oleh seseorang. Orang itu mengatakan bahwa kita sudah mengambil barang miliknya, padahal sebenarnya perbuatan itu tidak pernah kita lakukan. Tuduhan itu tentu akan sangat menyakiti perasaan dan menghina diri kita.
Rasa sakit karena dituduh mencuri memang tidak dirasakan secara fisik, tetapi secara mental. Perasaan terhina, tersinggung dan merasa harga diri yang dilecehkan, sebenarnya lebih sakit daripada sakit secara fisik. Apalagi kalau tuduhan itu diucapkan didepan orang banyak, tentu hal itu akan membuat nama baik kita tercemar.
Apabila tuduhan itu dilakukan langsung tanpa diketahui oleh orang lain, maka proses hukum akan menggunakan dasar pasal penghinaan ringan. Tetapi, bila tuduhan dilakukan secara terbuka dan disaksikan oleh orang banyak, maka akan diproses dengan dasar pasal pencemaran nama baik.
Berhati-hatilah….

BELAJAR MENULIS

Sejak lama saya suka membaca. Saya membaca apa saja, mulai dari buku, majalah, koran dan lainnya. Dengan membaca, saya dapat menikmati dan memperoleh pengetahuan serta pengalaman dari penulisnya.
Membaca buku tentang humor, saya akan tertawa sendiri. Membaca buku tentang traveling, pikiran saya ikut traveling juga dan menjadi segar sesudahnya. Begitu pula bila membaca buku sejarah, saya merasakan seolah-olah saya menjalani sendiri peristiwa-peristiwa sejarah itu.
Berikutnya, keinginan saya berubah, ingin bisa menulis dan menjadi penulis. Beberapa buku yang mengajarkan bagaimana cara menulis bagi pemula, saya beli dan coba dipraktekkan. Hingga bertahun lamanya, tetap tidak ada hasilnya. Memang tidak mudah. Tips dan strategi menulis dalam buku-buku itu tidak membuat saya bisa menulis.
Ketika itu saya berkesimpulan bahwa menulis itu tidak dapat dipelajari. Kemampuan menulis adalah bakat, bakat yang dibawa seorang anak sejak kelahirannya. Dengan begitu, penulis-penulis yang bukunya banyak dijual di toko buku itu adalah penulis yang memiliki bakat sejak lahir. Bukan karena mereka belajar menulis.
Kesimpulan itu tentu bukan tanpa alasan. Selama sekolah dulu, sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, saya atau kita memang tidak memperoleh pelajaran tentang menulis ini, bagaimana menuangkan gagasan melalui tulisan. Boleh jadi karena materi itu tidak ada dalam kurikulum, atau mungkin juga karena guru-guru kita memang tidak dibekali untuk itu.
Ternyata kesimpulan saya itu salah belaka. Tidak ada kemampuan yang tidak dapat dipelajari. Yang diperlukan adalah keinginan yang kuat dan terus berlatih.
Satu hal yang menjadi penghambat adalah persepsi kita sendiri. Kita selalu mempersepsikan diri kita bahwa kita tidak bisa melakukannya. Oleh karenanya, hilangkan semua persepsi yang ada. kemudian ubah persepsi itu, yang awalnya tidak bisa menjadi pasti bisa.
Satu-satunya cara terbaik agar bisa menulis adalah dengan menulis. Terus berlatih menulis.