Kamis, 24 November 2016

TRAGEDI DINI HARI

“Pak, bangun… bangun…”, istri saya membangunkan. Saya tersentak seketika. Dengan setengah sadar itu, saya berusaha bangkit dan duduk ditepi tempat tidur, sambil memegangi kepala yang terasa agak pusing. Menjadi kebiasaan saya apabila terbangun secara tiba-tiba, kepala akan terasa pusing.
“Jam berapa ini?”, tanya saya sambil mengumpulkan kesadaran.
“Jam setengah dua. Jam segini anaknya belum nelpon”, jawabnya dengan perasaan khawatir yang tampak jelas di wajahnya.
“Tadi katanya disuruh menjemput atau mau pulang sendiri?”, tanyanya lagi memastikan kesepakatan saya tadi sebelum berangkat.
“Dia mau pulang bareng temannya”, jawab saya singkat.
“Coba ditelpon”, saya memberi cara, barangkali ada jawaban.
“Telponnya tidak aktif”, jawabnya setelah beberapa kali mencoba menghubungi nomornya.
Memang sore tadi saya mengantarnya ke rumah temannya. Malam itu ada acara pentas seni sekolah. Setiap tahun acara itu digelar, sebagai ajang ekspresi siswa untuk menunjukkan kemampuannya dibidang seni. Acaranya diadakan di Hotel Cempaka, berjarak kira-kira sepuluh kilo dari rumah.
Karena hujan yang tidak kunjung reda, dia meminta saya untuk mengantarnya ke rumah temannya yang tidak terlalu jauh dari rumah. Sambil memakai jas hujan, saya mengantarkannya dengan sepeda motor. Disana telah berkumpul dua orang temannya yang akan berangkat bersama.
“Nanti pulangnya gimana?”, Tanya saya memastikan.
“Saya pulang bareng teman-teman saja, Pak”, Jawabnya singkat. Lalu saya berpamitan kembali pulang. Hujan sudah mulai reda, ketika saya tiba di rumah.
***
Saya masih terduduk di tepi tempat tidur. “Jam segini belum pulang, kemana saja anak ini?, Tanya saya dalam hati. Saya berfikir sejenak, kira-kira mulai dari mana saya mencarinya?. Apakah saya bertanya dulu ke rumah temannya tadi?. Tetapi, ah.. jam berapa ini… kalau harus membangunkan orang jam sekian tentu akan sangat mengganggu.
Tak lama kemudian, saya telah mengenakan celana panjang dan jaket. Segera saya keluarkan sepeda motor, menuju ke hotel tempat acara. Hawa dingin dini hari terasa menusuk tulang. Hawa dinginnya membuat kaca helm saya agak kabur, sesekali saya usap dengan telapak tangan.
Jalanan juga begitu sepi. Sesekali terlihat anak-anak muda nongkrong bergerombol menghabiskan malam. Terlihat juga beberapa pedagang sayur menuju ke pasar untuk belanja kulakan.
Tiba didepan hotel, suasana juga sepi. Pintu keluar sudah tertutup. Saya arahkan kendaraan menuju pintu masuk. Terlihat seorang satpam sedang berjaga. Ada juga karyawan hotel yang sedang berjalan menuju kearah pos satpam.
“Mohon maaf Pak, acara anak-anak pentas seni apa sudah selesai ya?”, saya coba bertanya.
“Sudah Pak. Sudah selesai tadi sebelum jam sebelas. Ada apa Pak?, katanya kembali bertanya.
“Anak saya nonton acara tadi, tapi sampai sekarang belum pulang”.
“Coba ditelpon Pak”.
“Sudah, tapi tidak tersambung”, jawab saya, kemudian berterima kasih dan pamit pulang.
Saya mencoba untuk tenang, setenang-tenangnya. Berfikir keras, apalagi yang mesti saya lakukan. Sambil mengendarai sepeda motor, saya terus berfikir. Saya arahkan kendaraan mengelilingi alaun-alun. Terlihat masih ramai anak-anak muda disana. Banyak kendaraan yang diparkir disekeliling alun-alun. Banyak sepeda motor dan beberapa mobil. Saya perhatikan mereka barangkali ada anak saya dan teman-temannya diantara yang sedang nongkrong itu. Namun tidak ada tanda-tanda yang tampak.
Saya putuskan untuk menemui temannya yang sore kemari saya mengantar kesana. Meskipun ada sedikit perasaan tidak enak untuk membangunkan orang malam-malam begini. Saya lihat jam di telepon genggam menunjukkan lebih jam dua dinihari ketika saya sampai di halaman rumah itu. Suasana rumah begitu sepi. Terlihat mobil terparkir di garasi dengan pagar terkunci. Saya mencoba mengetuk pagar besi itu dengan anak kunci sepeda motor.
“Ting…. ting… ting… Assalamualaikum”, saya mencoba membangunkan orang yang ada didalam. Sekali, dua kali, belum ada jawaban. Saya coba yang ketiga, belum juga ada tanda-tanda ada yang terbangun. Memang, saya tidak berani memukul pagar itu dengan agak keras, karena takut akan membangunkan para tetangga yang sedang tertidur pulas.
Akhirnya saya putuskan untuk kembali. Sepeda motor saya arahkan mengitari jalan raya, menuju sekolah. Barangkali ada informasi dari sekolah yang dapat saya peroleh. Saya lihat lagi jam menunjukkan hamper jam tiga pagi ketika saya berada didepan gerbang sekolah itu. Pintu gerbangnya telah tertutup, hanya terlihat satpan yang sedang asyik menonton tivi. Saya putuskan tidak berhenti dan bertanya, sebaliknya kendaraan langsung saya arahkan putar haluan kembali.
Saya hentikan kendaraan di pinggir jalan. Saya terduduk sejenak. Mulai terbersit pikiran-pikiran buruk di kepala saya. Ada kekhawatiran muncul dalam hati, “Ada apa dengan anak saya?”. Sesaat kemudian juga muncul geram dan amarah saya. “Kalau jam segini masih main-main, akan saya marahi habis-habisan nanti”, kata hati saya dalam kemarahan.
Tiba-tiba, HP saya berbunyi, “Bapak ada dimana sekarang?”, Istri saya menanyakan diujung telpon. Saya katakan bahwa saya masih di jalan.
“Sudah Pak, pulang saja. Ini sudah jam tiga”, tatanya lagi.
Dengan perasaan kosong, saya arahkan kendaraan untuk pulang. Begitu berat beban saya saat itu. Beberapa jam lagi, saya mesti berangkat keluar kota untuk menyelesaikan suatu tugas. Tetapu sudahlah, saya tak mau memikirkannya saat itu.
Setiba di rumah, istri saya membukakan pintu pagar untuk saya memasukkan kendaraan. Dengan senyum dia mengatakan, “Pak, anaknya sudah tidur di kamar”.
Tanpa berkata apa-apa, saya masuk dan berjalan menuju ke kamarnya. Saya lihat dia sedang tertidur pulas. Perasaan saya lega bercampur marah dan menyesal menjadi satu. Saya kembali ke tempat tidur untuk beristirahat. Masih ada waktu satu setengah jam lagi untuk istirahat, sebelum berangkat keluar kota sebentar lagi.
Dalam hati saya bertanya-tanya, “Mengapa tadi tidak dilihat dulu dikamarnya……?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar