Minggu, 01 Januari 2017

MENJAGA KEPERCAYAAN

Brunei Seri 5
Aku masih berdiri didepan toko. Memperhatikan sekeliling tempat itu. “Aku sekarang berada di negeri orang”, kataku dalam hati. Meskipun tak terlalu jauh dari negaraku sendiri, tetapi negera ini adalah Negara lain. Sebuah Negara kerajaan yang makmur secara ekonomi dan stabil secara politik.
“Apa macam?”, sapa Awang Bahrin kepadaku. Ucapan “apa macam” adalah seperti ucapan “apa kabar” dalam bahasa Indonesia. Kulihat tadi Awang Bahrin berjalan dari arah selatan, bersama Su Moi, istrinya. Awang Bahrin bekerja sebagai pegawai kerajaan di bagian penjaga keamanan tapi bukan anggota polisi. Barangkali semacam Satpol PP atau Satpam kalau di Indonesia. Sedangkan Su Moi yang menjalankan bisnis keluarga itu.
Mereka berjalan sambil membawa kotak makanan. Belakangan aku ketahui bahwa mereka tinggal tidak jauh dari Pet Shop ini, kira-kira seratus meter kearah selatan. Disana mereka juga ada bisnis yang dikelola, yaitu bisnis ikan aquarium dengan nama, “Su Moi Aquarium”.
“Baik-baik”, jawabku. “Saya masih lihat-lihat sekitar sini”.
“Makanlah dulu, sama Syaiful”, katanya lagi.
“Iya, terima kasih”.
Aku dan Syaiful lalu makan bersama. Sementara mereka berdua memeriksa buku laporan penjualan hari kemarin sambil melayani pembeli yang datang. Kuambil nasi seperlunya, lalu kubuka kotak yang lain untuk menambahkan lauknya. Masakan itu daging ayam yang dipotong-potong dengan bumbu berwarna agak kecoklatan. Beraroma sedikit aneh dan menyengat. Aku menduga itu adalah jenis masakan china, menggunakan bumbu fermentasi dari bahan-bahan tertentu.
Kucoba untuk mencicipinya sedikit, rasanya aneh dilidahku. Perutku bergejolak tak sanggup menerimanya, terasa mual. Tak ada pilihan lain, akhirnya aku makan nasi putih saja, tanpa lauk apapun. Perut yang terasa lapar membuatku mampu menghabiskan sepiring nasi putih itu tanpa sisa.
Sehabis makan, aku keluar ruangan menemui Awang Bahrin yang sedang bermain-main dengan ayam Serama. Jenis ayam berbadan mungil yang saat itu sedang menjadi tren dikalangan pecinta hewan piaraan. Selain berbadan mungil, cirikhas ayam serama adalah dadanya membusung dan ekornya tegak hampir bersentuhan dengan kepalanya. Semakin tegak badannya, semakin membusung dadanya, semakin mahal pula harganya.
“Mulai hari ini, Syaiful tidak ada disini lagi. Jadi, kau seorang yang akan menjaga ini kedai”, kata Awang Bahrin aku menghampirinya.
“Ok, baiklah”, aku menjawab dan mengerti.
“Bila ada customer yang beli, kau tulis disini”, Su Moi menimpali sambil menunjukkan buku catatan penjualan. “Semua harga sudah tertulis dalam kemasan dan ada tergantung di masing-masing sangkar. Kau mengerti?”.
“Ya, mengerti”, jawabku lagi. Tak ada yang sulit kupahami, baik dari bahasa maupun cara kerjanya.
“Untuk makan siang nanti ada yang antar kesini”, katanya lagi sambil berpamitan untuk kembali kerumah. Syaiful pun sudah mulai mengemas barang-barangnya, kelihatannya dia juga akan segera pergi.
Kini tinggallah aku sendirian di toko. Semua yang ada disana kini berada dibawah pengawasan dan tanggung jawabku. Aku sendiri tak habis pikir, baru saja beberapa jam aku bertemu mereka ketika mereka menjemputku semalam. Tapi kini mereka sudah menyerahkan semua kendali toko itu kepadaku semuanya, tanpa merasa ragu soal kejujuranku. Selain itu, aku tak melihat ada buku catatan yang berisi berapa jumlah stok masing-masing barang yang dijual.
Aku tidak tahu mengapa mereka memberi kepercayaan penuh kepadaku. Mereka belum mengenalku sepenuhnya, mereka tidak tahu latar belakangku, merekapun tidak tahu bagaimana kepribadianku. Kalau aku mau berbuat curang soal keuangan, aku bisa melakukannya dengan mudah. Tetapi aku tak mau melakukan itu, walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Kalau aku ingin mengotori rejekiku dengan kecurangan, mengapa aku harus jauh-jauh pergi sampai disini?. Mengapa harus kutinggalkan keluargaku kalau hanya untuk mencari uang yang tidak halal?.
Banyak orang mengatakan bahwa kepercayaan itu mahal harganya. Sesuatu yang dinilai mahal tentu karena langka. Demikian pula kepercayaan, bila ia dinilai sangat mahal berarti memang kepercayaan itu sangat langka. Aku tentu tak akan menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan kepadaku. Jika aku tak mampu menjaga kepercayaan yang kecil-kecil yang diberikan kepadaku, bagaimana mungkin aku akan diberi kepercayaan yang lebih besar?.
Tetapi lebih dari itu, aku memahaminya sebagai perasaan selalu dilihat oleh Tuhan. Aku merasa setiap perasaan, niat, pikiran dan tindakanku tak ada yang lepas dari pengetahuan Tuhan yang maha mengetahui segalanya. Perasaan demikian ini yang membuatku berusaha selalu berbuat jujur, meskipun tak ada orang lain yang melihatnya.
Aku merasa malu bila aku tidak jujur, akupun malu bila aku tidak bersungguh-sungguh…

RENUNGAN TAHUN BARU

Malam ini… malam terakhir bagi kita. Malam terakhir untuk menikmati tahun 2016. Tak lama lagi, hanya beberapa jam berselang, kita telah meninggalkan tahun 2016 dan memasuki 2017.
Malam ini adalah kesempatan untuk kita mencoba merenung dan menarik pelajaran, apa yang telah kita lakukan selama setahun ini. Apa saja kesalahan-kesalahan yang fatal yang telah kita lakukan. Boleh jadi kesalahan itu karena disengaja, atau karena kebodohan kita. Bila kita mampu menyadari kesalahan itu, maka kuatkanlah tekad untuk tidak akan mengulanginya di tahun depan.
Malam ini adalah kesempatan untuk kita mengevaluasi diri, apa saja kekurangan-kekurangan kita selama setahun ini. Kekurangan semangat, kekurangan ilmu pengetahuan, kekurangan kesabaran, kekurangan rasa syukur, atau bahkan kekurangan kasih sayang kepada orang-orang yang telah mengasihi kita. Sering kali kita lupa atau terlena dengan kesibukan kita sendiri, sehingga meninggalkan mereka yang selalu menantikan kedatangan kita.
Malam ini adalah kesempatan untuk kita untuk merumuskan apa yang ingin kita capai di tahun depan. Kita teguhkan tekad dengan kuat, tanpa ada keraguan dalam hati, untuk menggapainya di tahun depan. Orang menyebutnya dengan “Resolusi”.
Tahun ini umur saya telah lebih dari empat puluh tiga tahun. Angka yang bagi sebagian orang, telah memasuki masa puncak kejayaan dalam banyak hal. Kekayaan materi, karir, pemikiran, karya intelektual dan lain sebagainya. Tentu saja hal itu bisa diraih apabila kehidupan ini direncanakan dan dirancang dengan baik. Mereka dibimbing dan diarahkan, agar jalur yang dilalui tetap fokus sesuai dengan rencana.
Tetapi kehidupan saya tidak seperti itu. Jangankan untuk merencanakan masa depan, membayangkan saya menjadi apa kelak, itupun saya tidak mampu. Sementara orang lain sudah melesat menapaki rencana kehidupan mereka, saya masih berkutat dengan keadaan bagaimana bertahan hidup. Namun saya tidak menyesalinya. Saya bersyukur bahwa saya sudah menyadari bahwa memang hidup ini mesti direncanakan, dan itu bagi saya sudah cukup. Cukup untuk membantu anak-anak saya, merancang masa depannya.
Dimalam akhir tahun ini, saya sangat mensyukuri apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepada saya. Keluarga yang baik, kesehatan yang baik, rumah sederhana tetapi nyaman, pekerjaan yang dapat selalu saya nikmati. Semua itu patut saya syukuri, sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Tuhan.
Tak ada kejadian yang begitu mengecewakan saya ditahun ini. Semua tampak baik-baik saja. Segala sesuatu yang menjadi tanggung jawab saya, saya tunaikan dengan sebaik-baiknya. Sehingga bila ada yang dirasa kurang, hal itu tidak menjadi beban pikiran. Tugas saya adalah menjadikan diri saya pantas untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar.
Sekarang ini, saya sedang merumuskan apa-apa yang hendak saya capai ditahun 2017 nanti. Terima kasih atas dukungan teman-teman semua.
Selamat Tahun Baru 2017… Teloleeettttt…..!!

HARI PERTAMA DI BRUNEI

Brunei Seri 4
Tak banyak yang kami bicarakan didalam mobil itu. Barangkali karna kami sudah sama-sama lelah dan mengantuk. Aku lelah karena perjalanan malam hari memang selalu demikian, apalagi perjalanan tidak selancar yang dijadwalkan. Meskipun didalam pesawat aku hanya duduk dan tertidur, namun rasa lelah tetap menghampiriku. Kalau untuk mereka berdua, aku pikir mereka juga kelelahan karena menunggu. Menunggu hingga larut malam bahkan hari telah berganti.
“Kau sudah makan?”, Tanya Awang Bahrin kepadaku.
“Sudah, tadi sore sebelum berangkat”, jawabku singkat. Memang aku makan terakhir sore tadi, lebih tepatnya sore kemarin, sebelum berangkat ke bandara.
“Ok, kalau begitu kita makan dulu. Kami juga lapar”. Katanya lagi.
Kulihat sekilas dia sedang berpikir kemana mencari kedai makan yang masih buka selarut ini. Sambil terus mengendalikan kemudi, kulihat dia sedang berdiskusi dengan Su Moi, istrinya, untuk menentukan dimana kami akan makan.
Lalu sampailah kami di sebuah kedai yang agak terbuka. Kursi-kursi disusun di halaman, disetiap meja ada empat kusi yang mengelilinginya. Kulihat kedai itu tidak banyak pengunjung. Kami memilih duduk agak di sudut.
“Kau makan apa?”, tanyanya sambil mengulurkan daftar menu kepadaku. Kulihat beberapa saat daftar menu itu. Tak banyak yang kuketahui nama-nama makanan yang tertulis didalamnya. Tapi ada satu dua yang bisa kuduga rasanya. Akupun memutuskan dengan cepat.
“Mi goreng saja”, jawabku.
Aku tak tahu menu apa yang dipesan untuk mereka sendiri. Namun tak lama kemudian makanan sudah terhidang dan kamipun menyantapnya.
“Kau katanya kolej di teknik ya?, dia bertanya untuk mencairkan suasana.
“Pernah, di teknik sipil. Tapi tidak sampai lulus”. Jawabku.
“Semacam architect tu?”,
“Tidak. Teknik sipil itu tentang bangunannya, kalau arsitek itu rancangan bentuknya”, jawabku sekenanya.
“Oh, begitu…”, sahutnya terlihat masih tak mengerti.
Dingin dan lembabnya hawa malam mendesakku untuk segera menghabiskan makananku. Tak ingin aku berlama-lama. Aku ingin segera istirahat.
Selesai makan kami melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan kulihat satu rumah dengan rumah lainnya terpisah agak jauh. Seperti rumah desa-desa di Indonesia. Bentuknya panggung, dibagian bawahnya digunakan untuk parkir mobil.
Mobil itu berhenti didepan sebuah bangunan persegi. Berdinding kayu, beratap seng. Awang Bahrin kemudian mengetuk pintunya sambil memanggil-manggil satu nama.
“Ful… Ful…, Syaiful”, panggilnya. Sekali, dua kali hingga panggilan ketiga baru ada jawaban dari dalam rumah itu. Pintu itupun akhirnya terbuka. Belakangan kuketahui, Syaiful adalah seorang anak muda, masih saudara jauh keluarga Bahrin. Dia diminta membantu menjaga toko itu sampai datang pegawai baru dari Indonesia.
Ketika aku masuk, dalam remang-remang kulihat tumpukan sangkar-sangkar besar yang terbuat dari besi berjajar memanjang didinding. Didalam masing-masing sangkar itu, terdapat satu jenis burung peliharaan. Ada juga ayam berbadan kecil. Disisi lainnya ada tumpukan karung berwarna putih. Aku duga itu tumpukan pakan burung-burung itu.
Setelah ditunjukkan dimana tempatku beristirahat dan dimana kamar mandi berada, lalu mereka berpamitan pulang. Akupun tak ingin menyia-nyiakan waktu, segera kurebahkan badan di sofa. Kulihat Syaiful telah kembali terlelap, tak mempedulikan kehadiranku. Akupun tak peduli.
Aku terlelap dengan pulas, hingga sinar terang mentari yang membayang melalui kaca jendela membangunkanku. Aku segera bangkit. Kulihat Syaiful sedang membersihkan toko dan mengeluarkan sangkar-sangkar besi berisi berbagai jenis burung itu ke bagian depan toko. Kusapa dengan seramah mungkin.
“Halo Syaiful, apa kabar?!”, sapaku.
“Ya, bagus”, jawabnya kurang ramah. Kulihat anak muda itu tidak begitu suka dengan kehadiranku. Tapi hal itu tak masalah bagiku.
Lalu aku keluar ke halaman toko, kulihat jalan raya yang besar dan lurus tapi sepi kendaraan. Hanya ada satu dua kendaraan saja yang lewat. Tak ada sepeda motor. Bangunan dipinggir jalan juga jarang-jarang, seperti suasana di pedesaan. Aku berbalik kearah toko, disana tertulis plang nama, “SU MOI PET SHOP”, Jalan Berakas, Kampong Lambak.
Aku mulai membayangkan bagaimana kehidupanku waktu-waktu berikutnya. “Di tempat ini akan aku habiskan waktuku, setidaknya dua tahun kedepan”, pikirku.