Minggu, 01 Januari 2017

HARI PERTAMA DI BRUNEI

Brunei Seri 4
Tak banyak yang kami bicarakan didalam mobil itu. Barangkali karna kami sudah sama-sama lelah dan mengantuk. Aku lelah karena perjalanan malam hari memang selalu demikian, apalagi perjalanan tidak selancar yang dijadwalkan. Meskipun didalam pesawat aku hanya duduk dan tertidur, namun rasa lelah tetap menghampiriku. Kalau untuk mereka berdua, aku pikir mereka juga kelelahan karena menunggu. Menunggu hingga larut malam bahkan hari telah berganti.
“Kau sudah makan?”, Tanya Awang Bahrin kepadaku.
“Sudah, tadi sore sebelum berangkat”, jawabku singkat. Memang aku makan terakhir sore tadi, lebih tepatnya sore kemarin, sebelum berangkat ke bandara.
“Ok, kalau begitu kita makan dulu. Kami juga lapar”. Katanya lagi.
Kulihat sekilas dia sedang berpikir kemana mencari kedai makan yang masih buka selarut ini. Sambil terus mengendalikan kemudi, kulihat dia sedang berdiskusi dengan Su Moi, istrinya, untuk menentukan dimana kami akan makan.
Lalu sampailah kami di sebuah kedai yang agak terbuka. Kursi-kursi disusun di halaman, disetiap meja ada empat kusi yang mengelilinginya. Kulihat kedai itu tidak banyak pengunjung. Kami memilih duduk agak di sudut.
“Kau makan apa?”, tanyanya sambil mengulurkan daftar menu kepadaku. Kulihat beberapa saat daftar menu itu. Tak banyak yang kuketahui nama-nama makanan yang tertulis didalamnya. Tapi ada satu dua yang bisa kuduga rasanya. Akupun memutuskan dengan cepat.
“Mi goreng saja”, jawabku.
Aku tak tahu menu apa yang dipesan untuk mereka sendiri. Namun tak lama kemudian makanan sudah terhidang dan kamipun menyantapnya.
“Kau katanya kolej di teknik ya?, dia bertanya untuk mencairkan suasana.
“Pernah, di teknik sipil. Tapi tidak sampai lulus”. Jawabku.
“Semacam architect tu?”,
“Tidak. Teknik sipil itu tentang bangunannya, kalau arsitek itu rancangan bentuknya”, jawabku sekenanya.
“Oh, begitu…”, sahutnya terlihat masih tak mengerti.
Dingin dan lembabnya hawa malam mendesakku untuk segera menghabiskan makananku. Tak ingin aku berlama-lama. Aku ingin segera istirahat.
Selesai makan kami melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan kulihat satu rumah dengan rumah lainnya terpisah agak jauh. Seperti rumah desa-desa di Indonesia. Bentuknya panggung, dibagian bawahnya digunakan untuk parkir mobil.
Mobil itu berhenti didepan sebuah bangunan persegi. Berdinding kayu, beratap seng. Awang Bahrin kemudian mengetuk pintunya sambil memanggil-manggil satu nama.
“Ful… Ful…, Syaiful”, panggilnya. Sekali, dua kali hingga panggilan ketiga baru ada jawaban dari dalam rumah itu. Pintu itupun akhirnya terbuka. Belakangan kuketahui, Syaiful adalah seorang anak muda, masih saudara jauh keluarga Bahrin. Dia diminta membantu menjaga toko itu sampai datang pegawai baru dari Indonesia.
Ketika aku masuk, dalam remang-remang kulihat tumpukan sangkar-sangkar besar yang terbuat dari besi berjajar memanjang didinding. Didalam masing-masing sangkar itu, terdapat satu jenis burung peliharaan. Ada juga ayam berbadan kecil. Disisi lainnya ada tumpukan karung berwarna putih. Aku duga itu tumpukan pakan burung-burung itu.
Setelah ditunjukkan dimana tempatku beristirahat dan dimana kamar mandi berada, lalu mereka berpamitan pulang. Akupun tak ingin menyia-nyiakan waktu, segera kurebahkan badan di sofa. Kulihat Syaiful telah kembali terlelap, tak mempedulikan kehadiranku. Akupun tak peduli.
Aku terlelap dengan pulas, hingga sinar terang mentari yang membayang melalui kaca jendela membangunkanku. Aku segera bangkit. Kulihat Syaiful sedang membersihkan toko dan mengeluarkan sangkar-sangkar besi berisi berbagai jenis burung itu ke bagian depan toko. Kusapa dengan seramah mungkin.
“Halo Syaiful, apa kabar?!”, sapaku.
“Ya, bagus”, jawabnya kurang ramah. Kulihat anak muda itu tidak begitu suka dengan kehadiranku. Tapi hal itu tak masalah bagiku.
Lalu aku keluar ke halaman toko, kulihat jalan raya yang besar dan lurus tapi sepi kendaraan. Hanya ada satu dua kendaraan saja yang lewat. Tak ada sepeda motor. Bangunan dipinggir jalan juga jarang-jarang, seperti suasana di pedesaan. Aku berbalik kearah toko, disana tertulis plang nama, “SU MOI PET SHOP”, Jalan Berakas, Kampong Lambak.
Aku mulai membayangkan bagaimana kehidupanku waktu-waktu berikutnya. “Di tempat ini akan aku habiskan waktuku, setidaknya dua tahun kedepan”, pikirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar