Selasa, 30 Agustus 2016

MoU DAN PERJANJIAN, APA BEDANYA?

Opini Radar Jember Selasa, 30 Agustus 2016.

Sering kali kita membaca maupun mendengar pemberitaan di media yang terkait dengan penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding). Biasanya pemberitaan itu tentang penandatanganan MoU antara pimpinan suatu lembaga tertentu dengan pimpinan lembaga lainnya. Isi atau materi dari MoU yang ditandatangani tersebut  biasanya tentang hal-hal yang terkait dengan kepentingan kedua lembaga itu.

Selain MoU, sering juga kita lihat atau kita alami sendiri, adanya penandatanganan perjanjian. Bentuk perjanjian tersebut bisa perjanjian kerjasama, perjanjian kredit, perjanjian jual beli atau perjanjian lainnya. Tidak jarang pula terjadi, penandatanganan MoU tetapi isinya perjanjian. MoU disamakan dengan perjanjian. Hal ini terjadi karena masih banyak yang belum memahami dan membedakan antara MoU dan perjanjian.

MoU (Memorandum of Understanding) atau yang dalam bahasa Indonesia biasa disebut Nota Kesepahaman, sebenarnya tidak ditemukan pengaturannya didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Untuk dapat memahami apa pengertian MoU, kita dapat menggunakan pengertian dari para ahli hukum atau pengertian dalam kamus hukum yang biasa digunakan para ahli hukum. Black’s Law Dictionary, memberi pengertian MoU sebagai Letter of Intent, sebagai berikut : “A written statement detailing the preliminary understanding of parties who plan to enter into a contract or some other agreement; a non committal writing preliminary to a contract. A letter of inten is not meant to be binding and does not hinder the parties from bargaining with third party”. Suatu pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa komitmen/tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk kesepakatan. Suatu Letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat dan tidak menghalangi pihak dari tawar-menawar dengan pihak ketiga.

Kalau kita merujuk pada pengertian diatas, setidaknya terdapat tiga poin penting dari sebuah MoU. Pertama, MoU merupakan pernyataan kesepahaman antara kedua belah pihak sebelum memasuki sebuah perjanjian atau kontrak. Ada keinginan yang sama antara para pihak mengenai suatu hal tertentu untuk ditindaklanjuti, tetapi masih dalam batas kesepahaman saja. Belum sampai tahap tindak lanjut. Kedua,  MoU tidak mengikat kedua belah pihak. Tidak ada kewajiban atau keharusan bagi kedua belah pihak untuk melanjutkan kedalam perjanjian. Apabila dalam masa pelaksanaan MoU tersebut, kedua belah pihak merasa tidak menemukan kesesuaian terhadap klausul yang akan dituangkan dalam perjanjian, maka tidak ada keharusan para pihak untuk melanjutkan sampai tahap perjanjian. Konsekuensinya, salah satu pihak tidak dapat menuntut pihak lainnya, apabila tidak memenuhi isi dari MoU tersebut. Ketiga, MoU yang dibuat tidak menghalangi para pihak untuk menjalin hubungan dengan pihak ketiga. Meskipun para pihak telah membuat dan menandatangani MoU, para pihak tersebut tetap dapat berhubungan dengan pihak lain tanpa ada kekhawatiran akan dituntut oleh pihak yang menjadi bagian dalam MoU sebelumnya.

Berbeda dengan MoU yang tidak diatur dalam perundang-undangan, pengaturan tentang perjanjian sudah diatur jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian atau kontrak merupakan suatu perbuatan dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari perbuatan ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perjanjian.

Ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian telah diatur dalam Hukum Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu : Pertama, Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. Kesepakatan merupakan unsur yang mutlak untuk sahnya suatu perjanjian. Kesepakatan adalah kesesuaian kehendak antara kedua belah pihak dalam perjanjian. Diperlukannya kata sepakat untuk sahnya suatu perjanjian, berarti bahwa kedua belah pihak harus mempunyai kebebasan berkehendak. Kesepakatan tersebut harus dibuat secara sukarela, tanpa adanya  paksaan, penipuan dan kekhilafan yang dapat  menimbulkan cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.

Syarat Kedua adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Kecakapan bertindak merupakan kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, maksudnya bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut merupakan orang yang sudah memenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap cakap menurut hukum. Orang yang dianggap tidak cakap menurut hukum adalah orang-orang yang belum dewasa dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Ketiga, Suatu pokok persoalan tertentu. Suatu hal tertentu yang dimaksudkan adalah objek perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan oleh para pihak. Dalam hal suatu perjanjian tidak menentukan jenis objek dimaksud maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Keempat, Suatu sebab yang tidak terlarang. Suatu sebab yang tidak terlarang adalah bahwa perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Contoh perjanjian yang dilarang, diantaranya adalah perjanjian judi, perjanjian hutang-piutang dengan bunga yang tidak wajar, perjanjian jual beli narkoban dan lain-lain. suatu perjanjian yang tidak memenuhi suatu sebab yang tidak terlarang atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Selain itu, suatu perjanjian menganut asas pacta sunt servanda yang menyatakan bahwa ’’Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya’’. Asas ini dimaknai bahwa suatu perjanjian adalah hasil dari kesepakatan kedua belah pihak yang didasari dengan itikad baik. Oleh karena itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Pihak yang tidak melaksanakan perjanjian dapat dituntut ke pengadilan karena wanprestasi atau cidera janji.

Selanjutnya, bagaimana kekuatan hukum antara MoU dan perjanjian. Telah diauraikan diatas bahwa pada dasarnya sebuah MoU belum melahirkan suatu hubungan hukum, karena MoU baru merupakan persetujuan prinsip yang dituangkan secara tertulis. Klausul yang tercantum dalam MoU masih bersifat umum. Klausul dalam MoU baru langkah awal yang menjadi landasan penyusunan dalam melakukan hubungan hukum yang berbentuk perjanjian.

Nah, yang terjadi dalam masyarakat, ada perjanjian yang dibuat dengan nama MoU. Dokumen  diberi nama tidak sesuai dengan isinya. Dokumennya diberi nama MoU, tetapi isinya memuat klausul-klausul yang lazim digunakan dalam perjanjian, misalnya hak dan kewajiban para pihak, penyelesaian sengketa, dan lain-lain.  Apabila hal ini terjadi, maka MoU tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana perjanjian.

Kekuatan mengikat MoU pada dasarnya sama dengan perjanjian, apabila dibuat dan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam hukum perdata. Jika suatu MoU telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, maka keberlakuan MoU bagi para pihak dapat disamakan dengan sebuah undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat. Kekuatan mengikatnya tentu hanya menyangkut dan sebatas pada hal-hal yang termuat dalam MoU.

 MoU yang dibuat dengan cara demikian ini sudah menjadi perjanjian itu sendiri. Bukan lagi berkedudukan sebagai pendahuluan atau pra perjanjian, sebagaimana maksud pembuatan MoU yang sebenarnya.

*) Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Jember.