Kamis, 26 Oktober 2017

MENGAWASI ANAK

Ketika memberikan materi dalam acara pembinaan keluarga sadar hukum (Kadarkum) kemarin, saya mendapat tugas untuk menyampaikan materi tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat tidak mampu. Selain materi yang saya sampaikan, ada juga materi lain yaitu tentang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba. Materi yang terakhir ini disampaikan oleh pemateri dari Satuan Narkoba Kepolisian.
Materi tentang Penyalahgunaan Narkoba ini mendapat giliran pertama, lalu disusul materi saya.
Dalam pemaparannya, pak polisi ini banyak menjelaskan pengalamannya dalam menangani kasus-kasus narkoba yang akhir-akhir ini semakin marak. Tidak hanya di wilayah perkotaan saja, narkoba juga telah merambah hingga ke pelosok desa. Bahkan penyalahgunaan narkoba di pedesaan justru semakin banyak daripada di kota.
Dari sisi penggunanya, pengguna narkoba saat ini tidak hanya kalangan orang dewasa saja, namun remaja bahkan anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar pun sudah mulai banyak yang menggunakannya. Keadaan penyalahgunaan narkoba di kalangan anak-anak dan remaja ini sudah dalam taraf yang mengkhawatirkan. Dikatakan mengkhawatirkan karena anak-anak dan remaja ini nantinya yang akan menjadi generasi penerus bangsa kita.
Berkali-kali disampaikan oleh pemateri ini bahwa orang tua harus selalu mengawasi anaknya. Tidak kurang dari tiga kali kalimat itu diulang-ulangnya. “Orang tua harus selalu mengawasi anaknya!”.
Mendengarkan kalimat yang diulang-ulang agar para orangtua harus selalu mengawasi anak-anaknya tersebut, saya membayangkan bahwa seolah-olah semua anak-anak kita itu tengah menggunakan narkoba. Saya membayangkan semua anak-anak itu sebagai pengguna narkoba. Sehingga setiap orang tua harus selalu dan secara terus-menerus mengawasi anak-anaknya. Bila tidak diawasi atau ketika orang tua sedang lengah dalam mengawasi maka anak-anak itu pun akan langsung menggunakan narkoba.
Memang benar, penyalahgunaan narkoba saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Tetapi bagaimanapun, yang diungkapkan tersebut adalah kasus-kasus terjadi. Karena hal tersebut adalah kasus maka kitapun harus melihatnya dengan pendekatan kasus. Tidak semua anak-anak menggunakan narkoba dan masih lebih banyak anak-anak yang menjalani kehidupan secara normal dan positif.
Karena itu, diawal pemaparan, saya meyakinkan para peserta bahwa anak-anak kita akan baik-baik saja bila orangtua mempunyai hubungan emosional yang dekat dengan anak-anaknya. Saya juga menyampaikan harapan semoga anak-anak dan keluarga terhindar dari bentuk-bentuk penyalahgunaan narkoba.
Bagi saya, sebenarnya hal yang paling penting dan efektif dalam upaya mencegah penyalahgunaan narkoba adalah dalam lingkup keluarga. Bagaimana pola pengasuhan orang tua terhadap anak dan relasi atau kedekatan hubungan antara orang tua dan anak, memegang peranan penting. Jika pola pengasuhan dan relasi orang tua dan anak berjalan baik dan terbuka, maka semua kegiatan anak dan pergaulannya akan dapat diketahui oleh orangtua.
Bila kondisi demikian sudah tercapai, maka tidak diperlukan lagi kalimat seperti diatas, “Orang tua harus selalu mengawasi anaknya!”.

DUA SISI

Ketika dalam perjalanan ke Banyuwangi kemarin, ada sisi jalan di wilayah pegunungan Gumitir yang sedang diperbaiki karena mengalami longsor. Pada sisi jalan yang longsor itu kemudian dibangun tanggul penahan agar longsoran tidak bertambah lebar.
Perbaikan jalan itu mengakibatkan lajur jalan menyempit. Selain karena aktivitas pekerja, juga karena tumpukan material yang cukup banyak diletakkan disisi jalan. Lajur jalan yang biasanya dua lajur, kini hanya satu lajur saja. Kendaraan yang melintas dari dua arah harus dibuat bergantian. Hal ini menimbulkan kemacetan yang cukup panjang dari kedua arah.
Keadaan itu dimanfaatkan oleh para pemuda setempat untuk mengatur jalur lalulintas agar lancar dan tidak saling serobot. Mereka lalu menyodorkan baskom kepada para pengemudi untuk meminta uang recehan.
Begitulah, selalu ada dua sisi dalam melihat persoalan. Setiap persoalan akan selalu dapat dilihat dari sisi positif maupun negatif. Seperti kejadian longsor diatas, sebagian besar orang melihatnya sebagai bencana. Bencana yang berdampak pada banyak aspek kehidupan, antara lain kemacetan yang panjang.
Tetapi disisi lain, jalan longsor juga menjadi sumber rejeki bagi sebagian orang lainnnya. Selain bagi para pengatur lalu lintas tadi, jalan longsor yang dianggap sebagai bencana juga menjadi sumber rejeki bagi kontraktor yang mengerjakan tanggul penahan jalan.
Setiap persoalan selalu memiliki dua sisi, positif dan negatif. Bila persoalan yang kita alami tidak begitu menyenangkan bagi kita, maka kita akan cenderung melihatnya dari sisi negatifnya saja. Cara pandang seperti ini biasanya akan memunculkan sikap-sikap yang negatif pula. Tidak mampu mengendalikan emosi, selalu protes dan tak dapat menerima keadaan dan cenderung menyalahkan pihak lainnya, merupakan contoh sikap-sikap yang timbul dari cara pandang yang negatif dan sempit tadi.
Banyak hal positif yang dapat kita peroleh dengan merubah cara pandang dari dua sisi atau cara pandang yang lebih luas. Melihat persoalan dari dua sisi yang berbeda akan menjadikan pandangan kita jauh lebih luas. Melihat persoalan dari banyak sisi juga akan memperlihatkan celah-celah yang tidak mungkin akan terlihat bila kita hanya berkutat pada satu sisi saja. Pandangan yang luas ini akan menjadikan kita tidak mudah untuk menyalahkan pihak lain, apalagi mereka yang tidak sependapat kita.
Melihat persoalan dari dua sisi yang berbeda akan membuat pikiran kita menjadi lebih terbuka dan mampu menerima pendapat yang berbeda...

PERBEDAAN PERILAKU

Perbincangan dengan seorang guru senior kemarin, masih tentang pendidikan. Beliau mengeluhkan tentang perilaku anak-anak terhadap orang yang lebih tua yang dinilainya tidak lagi menghiraukan tatakrama.
"Kalau dulu, Mas. Anak-anak itu sangat hormat kepada orang yang lebih tua, apalagi kepada gurunya. Tidak hanya di sekolah saja, tetapi diluar sekolah juga masih tetap penuh hormat".
"Kalau sekarang ini bagaimana, Pak?", saya lanjut bertanya.
"Wah... kalau sekarang sudah sangat jauh, Mas. Jauh berbeda dengan anak-anak dulu. Penghormatan mereka kepada guru dan orang tuanya sudah sangat berkurang", beliau menjelaskan dengan semangat.
"Kira-kira apa penyebabnya ya, Pak?".
"Ya... itu..., Mas!. Saya juga tidak terlalu yakin. Mungkin inilah hasil sistem pendidikan kita selama ini".
***
Memang begitulah faktanya, kalau kita lihat dalam keseharian kita.
Bagi saya, membandingkan perilaku anak-anak dahulu dengan sekarang tentu saja kurang tepat. Banyak keadaan yang dihadapi anak-anak sekarang yang tidak ditemui anak-anak jaman dulu.
Selain adanya perkembangan teknologi yang sangat pesat dan hal ini pasti akan berdampak pula pada perilaku, anak-anak sekarang belajar dari lebih banyak sumber dibandingkan dahulu. Kalau dulu anak-anak belajar dan memperoleh pengetahuan hanya dari guru, sekarang sumber pengetahuan lebih banyak dari dunia maya.
Internet saat ini menjadi sumber pengetahuan utama yang tanpa batas, semua tersedia dengan mudah, murah dan cepat. Tak perlu lagi jauh-jauh keluar rumah, justru sebaliknya, semua dapat diakses dari genggaman. Persoalannya, materi dari internet itu tidak semuanya positif. Materi yang negatif pun jumlahnya sama banyaknya.
Hal demikian tentunya sangat berpengaruh pada perubahan perilaku seseorang, terlebih lagi terhadap anak-anak itu.
Disisi lain, mengaitkan perubahan perilaku anak dengan sistem pendidikan di sekolah, menurut saya juga kurang tepat. Bagaimana pun, anak-anak itu berada di sekolah hanya beberapa jam saja dalam sehari. Kira-kira hanya enam jam saja, selebihnya mereka berada diluar sekolah. Tentu tidak adil pula apabila kita membebankan masalah perilaku dan moral etika anak-anak itu hanya pada guru dan sekolah.
Selama mereka berada diluar sekolah, maka tanggung jawab sepenuhnya berada ditangan orang tuanya. Penanaman nilai moral dan etika sosial anak-anak menjadi tanggung jawab sepenuhnya pada orang tuanya.
Bila faktanya saat ini terjadi perubahan perilaku pada anak-anak kita, maka boleh jadi telah terjadi perubahan pula pada pendidikan moral dan etika di rumah kita sendiri.
Tidaklah pada tempatnya, bila kita menyalahkan hanya kepada para guru, apalagi menyalahkan sistem pendidikan di sekolah....

KEBERHASILAN ORANG TUA

Kemarin saya berbincang dengan seorang yang sudah amat sepuh. Beliau seorang pensiunan guru, namun hingga kini masih aktif dalam kegiatan pendidikan. Gaya bicaranya masih penuh semangat.
Setiap orang yang berada didekatnya, diajaknya berbicara, termasuk saya. Sudah beberapa kali ini saya diajaknya berbincang, tentang banyak hal. Yang lebih sering adalah tentang pendidikan dan perilaku anak-anak di sekolah. Tetapi pada perbincangan kali ini saya lebih banyak mengambil pelajaran.
"Mas, sampean tahu apa ukuran untuk menilai keberhasilan orang tua?", beliau bertanya kepada saya.
"Saya tidak tahu, Pak", jawab saya singkat sekaligus penasaran.
"Ukurannya adalah anaknya, Mas".
"Maksudnya bagaimana, Pak", saya tambah penasaran.
"Kebanggaan orang tua bukanlah jumlah harta yang banyak atau rumah yang banyak. Bukan pula jabatan atau pangkatnya yang tinggi", katanya penuh semangat.
"Lalu apa ukurannya, Pak?", saya makin tak sabar.
"Kalau kita ingin tahu keberhasilan orang tua maka lihatlah anaknya. Kebanggaan orang tua adalah anak. Bila pendidikan anaknya lebih baik daripada orang tuanya, bila kualitas kehidupan anaknya lebih baik daripada orang tuanya, maka itulah ukuran keberhasilannya sebagai orang tua".
"Bagaimana kalau sebaliknya, Pak?".
"Begitu pula sebaliknya. Kalau kualitas kehidupan seorang anak lebih rendah daripada orang tuanya, hal itu sangat menyedihkan bagi orangtua. Keadaan demikian akan membuat orangtua merasa dirinya tidak berhasil".
"Oh.. begitu ya.., Pak?".
"Iya Mas... Intinya, kehidupan anak harus lebih baik daripada orang tuanya".
"Terimakasih, Pak..".
Saya pun mengakhiri pembicaraan, sambil berharap semoga kehidupan anak-anak saya nantinya akan lebih baik daripada yang saya alami saat ini.
Semoga....!!!

KOLESTEROL

Ketika sedang jalan-jalan pagi di alun-alun beberapa waktu lalu, saya lihat ada tiga orang perempuan muda sedang duduk dipinggir lapangan. Ketiganya duduk beralaskan selembar tikar plastik.
Disampingnya ada plakat yang menunjukkan bahwa mereka adalah mahasiswi Fakultas Kedokteran. Mereka sedang menawarkan berbagai tes kesehatan. Kadar kolesterol, gula darah, kadar asam urat dan lainnnya. Saya lihat peralatan yang mereka gunakan cukup sederhana, semacam peralatan digital.
Saya yang beberapa hari sebelumnya merasakan agak tegang di bagian pundak, mencoba untuk periksa.
"Silahkan, Pak. Tes kolesterol 25 ribu, gula darah 15 ribu, asam urat 15 ribu. Kalau mengambil yang paket harga semuanya 50 ribu".
"Kalau cek tensi berapa, Mbak?".
" Kalau untuk tensi gratis, Pak".
"Kalau gitu, saya mau tes kolesterol dan gula darah saja. Ditambah tensi juga, Mbak".
"Mari silahkan, Pak".
Setelah selesai diambil darah dan dimasukkan kedalam alat periksa semacam testpack, hasilnya pun langsung dapat diketahui. Kadar gula darah agak rendah dibawah angka normal. Tapi untuk kolesterol agak tinggi, beberapa puluh diatas angka normal.
Angka itu cukup membuat hati saya kecut tetapi tidak sampai khawatir. Sebelumnya memang saya belum pernah tes kadar kolesterol, jadi agak terkejut saja ketika melihat angka itu. Saya coba putar memori mundur beberapa hari sebelumnya, untuk mencari apa kira-kira yang menyebabkan si kolesterol itu meningkat.
Akhirnya ketemu... "kambing". Iya benar "daging kambing". Beberapa hari sebelumnya, saya makan daging kambing setiap hari. Sate, gule, kare dan krengsengan setiap hari. Daging itu diperoleh selain dari kepanitiaan kurban, juga pemberian dari tetangga yang sedang berkurban.
Sayapun mulai memprogram diet plus olahraga teratur untuk menurunkan kadar kolesterol sekaligus berat badan. Diet itu dibawah pengawasan ketat dari konsultan Vreda Panorama....