Kamis, 24 November 2016

HOOOOIIII….!!

Kalau kita menempuh perjalanan dari Jember ke Banyuwangi, kita akan melewati suatu daerah pegunungan yang dinamakan Gumitir. Jalannya naik turun dan berkelok-kelok, tetapi keloknya tidak setajam kelok ampek puluah ampek atau kelok Sembilan. Sebagaimana jalan di pegunungan pada umumnya, sepanjang jalan itu disisi kanan ada jurang yang dalam, sedang dikiri ada tebing batu yang terjal.
Ada yang unik di sepanjang jalan Gumitir ini. Di setiap belokan, selalu ada orang yang berdiri atau duduk di pinggir jalan sambil mengayun-ayunkan tangannya. Setiap ada kendaraan yang lewat, mereka akan meneriakkan “Hooooiiii….!”, kepada pengendara.
Saya pahami maksud mereka mengayunkan tangannya dan berteriak itu adalah mengharap lemparan uang sekedarnya dari para pengendara yang lewat. Memang, terkadang ada yang kasihan melihat mereka, lalu melemparkan uang kecil, seribu atau dua ribu. Tetapi lebih banyak yang tidak mempedulikan keberadaan mereka, karena harus berkonsentrasi pada laju kendaraan mereka yang menuntut kewaspadaan.
Satu hal yang memprihatinkan adalah sebagian mereka ini adalah orang-orang yang sudah berusia lanjut. Banyak yang sudah kakek-kakek dan nenek-nenek, jalannya juga sudah mulai membungkuk. Tetapi hari-hari mereka dihabiskan dengan berdiri di pinggir jalan yang sebenarnya membahayakan keselamatan mereka sendiri.
Ada juga ibu-ibu muda yang membawa anak dan bayinya. Mereka menggelar plastik untuk alas duduk mereka sambil mengayunkan tangan. Tidak hanya ibunya, anaknya juga ikut melambaikan tangan dan berteriak, “Hooooiiii….!”.
Menyaksikan pemandangan seperti itu cukup membuat miris dalam hati. Anak-anak yang semestinya bermain di rumah dengan aman dan nyaman, justru harus bermain di pinggir jalan yang membahayakan jiwa mereka. Selain karena beresiko bagi keselamatan jiwa anak-anak itu, polusi dari kendaraan yang lewat hampir ada tidak putus-putusnya itu juga mengancam kesehatan mereka.
Ketika saya melewati jalan Gumitir ini pertama kali sekitar lima belas tahun yang lalu, jumlah mereka belum sebanyak sekarang. Saya lihat hanya ada beberapa laki-laki dewasa yang berdiri di beberapa titik tikungan yang sangat tajam.
Mereka mengatur kendaraan yang datang dari dua arah agar tidak saling berpapasan di tikungan yang tajam itu. Bentuk komunikasi mereka kepada para pengendara itu adalah dengan mengayunkan tangan mereka sambil berteriak.
Peran mereka memang dibutuhkan oleh pengendara kendaraan berat dan panjang agar ketika melewati tikungan itu, kendaraan yang dari arah sebaliknya bisa berhenti sesaat. Memberi kesempatan kepada kendaraan berat itu melewati tikungan terlebih dahulu.
Para sopir kendaraan berat yang merasa diuntungkan oleh “pengatur tikungan” ini, tentu tidak keberatan kalau mereka mengeluarkan uang sekedarnya kepada mereka. Lha, cara mereka ini kemudian ditiru oleh ibu-ibu, kakek-kakek dan nenek-nenek itu untuk mencari penghasilan dengan cara yang hampir sama. Bedanya, peran mereka sebenarnya tidak dibutuhkan sama sekali oleh para pengendara itu.
Bagi saya, keberadaan mereka ada juga manfaatnya. Setidak-tidaknya ketika melewati jalan itu suasana tidak sepi dan menakutkan seperti dulu.
“Hooooiiii….!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar