Meskipun desa saya berada cukup jauh
di pelosok Sumatera, namun kesenian Jawa masih tetap bertahan hingga kini. Dulu
ketika saya masih kecil, kesenian jawa cukup lengkap. Wayang kulit, Jaranan, Ludruk,
dan Ketoprak, sering dimainkan. Sekarang, Ludruk dan Ketoprak sudah punah. Tinggal
Wayang kulit dan Jaranan yang masih bertahan. Bahkan, untuk Jaranan,
akhir-akhir ini cukup berkembang. Banyak kelompok-kelompok Jaranan baru yang
muncul dan dimainkan oleh anak-anak muda.
Tradisi yang ada di keluarga
kami, setiap punya gawe atau hajat, misalnya acara perkawinan, selalu nanggap
kesenian tradisional. Yang selalu ditanggap adalah Wayang Kulit. Di desa saya,
wayang kulit kurang banyak peminatnya. Peminatnya hanya orang-orang tua. Karena
tidak banyak peminat jadinya jarang ditanggap atau dimainkan.
“Kenapa wayang, Pak?”. Tanya kami
kepada bapak.
“Kalau ingin wayang tetap
bertahan, caranya harus sering dimainkan. Kalau punya gawe, ya harus
ditanggap”.
Begitu alasan Bapak saya ketika
ditanya kenapa harus nanggap wayang waktu acara perkawinan adik kami kemarin.
Itu salah satu cara
mempertahankan agar budaya ini tidak punah. Dengan menjaga dan memeliharanya.
“Nguri-uri” budaya jawa, begitu orang jawa menyebutnya.
Nama Pak Sampir, dalam dunia pewayangan
di desa kami adalah nama yang populer. Jangan heran, karena beliau adalah
pimpinan grup wayang dan satu-satunya dalang yang ada di desa kami. Dengan
peralatan yang sangat sederhana, jika dibandingkan dengan di Jawa, beliau mampu
menjaga dan memepertahankannya hingga kini.
Ketika wayang kulit mulai
dimainkan, cukup banyak yang menonton. Terutama dari keluarga dan para
tamu. Saya adalah salah satunya, dan
saya menikmatinya.
Lama kelamaan jumlahnya makin
menyusut, makin menyusut. Menjelang dini hari, jumlahnya bisa dihitung dengan
jari. Saya masih bertahan.
Menjelang akhir pertunjukan,
hanya ada dua penonton yang bertahan. Ada seorang bapak tua dan saya. Mata saya
tak sanggup lagi membuka. Kepala tertungkup diatas meja. Tak terdengar lagi
suara gamelan itu.
Ketika saya dibangunkan,
saya lihat orang-orang sedang memasukkan kembali wayang-wayang itu kedalam peti.
Haaaah…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar