Sabtu, 23 Juli 2016

MENONTON WAYANG




 Meskipun desa saya berada cukup jauh di pelosok Sumatera, namun kesenian Jawa masih tetap bertahan hingga kini. Dulu ketika saya masih kecil, kesenian jawa cukup lengkap. Wayang kulit, Jaranan, Ludruk, dan Ketoprak, sering dimainkan. Sekarang, Ludruk dan Ketoprak sudah punah. Tinggal Wayang kulit dan Jaranan yang masih bertahan. Bahkan, untuk Jaranan, akhir-akhir ini cukup berkembang. Banyak kelompok-kelompok Jaranan baru yang muncul dan dimainkan oleh anak-anak muda.

Tradisi yang ada di keluarga kami, setiap punya gawe atau hajat, misalnya acara perkawinan, selalu nanggap kesenian tradisional. Yang selalu ditanggap adalah Wayang Kulit. Di desa saya, wayang kulit kurang banyak peminatnya. Peminatnya hanya orang-orang tua. Karena tidak banyak peminat jadinya jarang ditanggap atau dimainkan.
“Kenapa wayang, Pak?”. Tanya kami kepada bapak.
“Kalau ingin wayang tetap bertahan, caranya harus sering dimainkan. Kalau punya gawe, ya harus ditanggap”.
Begitu alasan Bapak saya ketika ditanya kenapa harus nanggap wayang waktu acara perkawinan adik kami kemarin.
Itu salah satu cara mempertahankan agar budaya ini tidak punah. Dengan menjaga dan memeliharanya. “Nguri-uri” budaya jawa, begitu orang jawa menyebutnya. 

Nama Pak Sampir, dalam dunia pewayangan di desa kami adalah nama yang populer. Jangan heran, karena beliau adalah pimpinan grup wayang dan satu-satunya dalang yang ada di desa kami. Dengan peralatan yang sangat sederhana, jika dibandingkan dengan di Jawa, beliau mampu menjaga dan memepertahankannya hingga kini.

Ketika wayang kulit mulai dimainkan, cukup banyak yang menonton. Terutama dari keluarga dan para tamu.  Saya adalah salah satunya, dan saya menikmatinya.
Lama kelamaan jumlahnya makin menyusut, makin menyusut. Menjelang dini hari, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Saya masih bertahan.

Menjelang akhir pertunjukan, hanya ada dua penonton yang bertahan. Ada seorang bapak tua dan saya. Mata saya tak sanggup lagi membuka. Kepala tertungkup diatas meja. Tak terdengar lagi suara gamelan itu.
Ketika saya dibangunkan, saya lihat orang-orang sedang memasukkan kembali wayang-wayang itu kedalam peti.
Haaaah…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar