Sabtu, 23 Juli 2016

PARADIGMA BARU PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PILKADA MELALUI MAHKAMAH KONSTITUSI



Dimuat Opini Radar Jember, 18 Desember 2015

Ajang demokrasi dalam Pilkada yang dilaksanakan serentak tanggal 9 Desember 2015 telah usai. Masing-masing calon sedang sibuk melakukan penghitungan hasil perolehan suara baik secara hitung cepat (quick count) maupun dengan penghitungan real count. Bahkan ada pasangan calon yang sudah mendeklarasikan kemenangannya. Namun demikian, perhitungan suara yang memiliki kekuatan hukum adalah perhitungan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Bagi pasangan calon yang dinyatakan menang tentu akan berpesta pora merayakan kemenangannya. Sedang pasangan calon yang kalah perlu melakukan instrospeksi apa ada yang salah atau bahkan ada yang keliru dalam proses perhitungan suaranya. Tidak jarang pasangan calon yang kalah akan menempuh jalur hukum untuk memperoleh kepastian hukum dan menuntut keadilan. Penyelesaian sengketa hasil pilkada melalui jalur hukum ini dilakukan dengan cara mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Tidak sama dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, tidak semua perselisihan hasil Pilkada dapat diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Perubahan terjadi setelah Mahkamah Konstitusi menerbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, tanggal 24 Agustus 2015. Peraturan Mahkamah Konstitusi ini menggantikan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 15 tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan. Pasangan calon kepala daerah yang kalah dalam pemilihan kepala daerah mesti berpikir matang dan harus didukung dengan data yang akurat jika ingin mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam PMK tersebut, Mahkamah Konstitusi mengatur secara ketat ketentuan untuk dapat mengajukan perselisihan hasil Pilkada kepada Mahkamah Konstitusi. Salah satu ketentuan tersebut adalah ketentuan adanya selisih perolehan suara maksimum antara pasangan calon yang menang dengan perolahan suara pasangan calon yang akan mengajukan permohonan gugatan. Dalam Pasal 6 angka (2) PMK Nomor 1 Tahun 2015 menegaskan bahwa Pemohon yang mengajukan permohonan kepada Mahkamah dengan ketentuan : (a) Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa, permohonan dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak sebesar 2% antara Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak berdasarkan penetapan hasil perhitungan suara oleh Termohon.
(b) Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 sampai dengan 500.000 jiwa, permohonan dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak sebesar 1,5% antara Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak berdasarkan penetapan hasil perhitungan suara oleh Termohon. (c) Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 500.000 sampai dengan 1.000.000 jiwa, permohonan dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak sebesar 1% antara Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak berdasarkan penetapan hasil perhitungan suara oleh Termohon. (d) Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa, permohonan dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak sebesar 0,5% antara Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak berdasarkan penetapan hasil perhitungan suara oleh Termohon.
Dalam Konteks Pemilihan Bupati Jember, ketentuan tentang pembatasan selisih suara dapat disimulasikan sebagai berikut, Jumlah penduduk Kabupaten Jember berdasarkan data BPS adalah lebih dari 2 juta jiwa. Oleh karena itu maka termasuk dalam kategori ketentuan pasal 6 angka (2) huruf d diatas. Permohonan  perselisihan hasil Pilkada dapat diajukan apabila terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak sebesar 0,5% antara Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak.
Merujuk data perolehan suara sementara KPU Jember, pasangan calon nomor urut 2 lebih unggul daripada pasangan calon nomor urut 1 (Radar Jember, 14 Desember 2015). Sebagai contoh, apabila perolehan suara pasangan calon nomor urut 2 sebesar 500.000 suara, maka 500.000 dikalikan 0.5%, menghasilkan 2.500 suara. Selisih perolehan suara antara pasangan  calon nomor urut 2 dengan perolehan suara pasangan calon nomor urut 1 paling banyak adalah 2.500 suara. Apabila selisih perolehan suara lebih kecil dari 2.500 suara maka pasangan calon yang kalah dapat mengajukan gugatan perselisihan hasil Pilkada kepada Mahkamah Konstitusi. Sedangkan sebaliknya, apabila selisih perolehan suara melebihi angka 2.500 suara, maka pasangan calon nomor urut 1 tidak memenuhi ketentuan untuk mengajukan permohonan gugatan perselisihan hasil Pilkada kepada Mahkamah Konstitusi.
Namun demikian, perhitungan tersebut hanya angka perkiraan untuk memperoleh gambaran perhitungan selisih suara yang memungkinkan untuk mengajukan gugatan ke MK. Sedangkan untuk besarnya angka perolehan suara yang sebenarnya masih menunggu hasil perhitungan secara manual oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Jember.
Ketentuan tentang pembatasan selisih perolehan suara tersebut, disatu sisi dinilai tidak adil, karena menutup ruang hukum bagi para pasangan calon yang akan meminta penegakan hukum dan keadilan. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga akan kewalahan menerima gugatan jika 263 provinsi, kota, dan kabupaten, mengajukan gugatan secara bersamaan, sementara batas waktu untuk memproses sampai pada putusan hanya diberi waktu selama 45 hari.

Supianto
Dosen Fakultas Hukum dan Kepala Lembaga Bantuan Hukum dan HAM Universitas Islam Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar