Dimuat Opini
Radar Jember, 18 Desember 2015
Ajang
demokrasi dalam Pilkada yang dilaksanakan serentak tanggal 9 Desember 2015
telah usai. Masing-masing calon sedang sibuk melakukan penghitungan hasil
perolehan suara baik secara hitung cepat (quick
count) maupun dengan penghitungan real
count. Bahkan ada pasangan calon yang sudah mendeklarasikan kemenangannya.
Namun demikian, perhitungan suara yang memiliki kekuatan hukum adalah
perhitungan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Bagi
pasangan calon yang dinyatakan menang tentu akan berpesta pora merayakan
kemenangannya. Sedang pasangan calon yang kalah perlu melakukan instrospeksi
apa ada yang salah atau bahkan ada yang keliru dalam proses perhitungan
suaranya. Tidak jarang pasangan calon yang kalah akan menempuh jalur hukum
untuk memperoleh kepastian hukum dan menuntut keadilan. Penyelesaian sengketa
hasil pilkada melalui jalur hukum ini dilakukan dengan cara mengajukan gugatan
kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Tidak
sama dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, tidak semua perselisihan
hasil Pilkada dapat diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Perubahan terjadi
setelah Mahkamah Konstitusi menerbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK)
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, tanggal 24 Agustus 2015. Peraturan
Mahkamah Konstitusi ini menggantikan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 15
tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum Kepala Daerah yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan.
Pasangan calon kepala daerah yang kalah dalam pemilihan kepala daerah mesti
berpikir matang dan harus didukung dengan data yang akurat jika ingin
mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam
PMK tersebut, Mahkamah Konstitusi mengatur secara ketat ketentuan untuk dapat
mengajukan perselisihan hasil Pilkada kepada Mahkamah Konstitusi. Salah satu
ketentuan tersebut adalah ketentuan adanya selisih perolehan suara maksimum antara
pasangan calon yang menang dengan perolahan suara pasangan calon yang akan
mengajukan permohonan gugatan. Dalam Pasal 6 angka (2) PMK Nomor 1 Tahun 2015
menegaskan bahwa Pemohon yang mengajukan permohonan kepada Mahkamah dengan
ketentuan : (a) Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000
jiwa, permohonan dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara paling
banyak sebesar 2% antara Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak
berdasarkan penetapan hasil perhitungan suara oleh Termohon.
(b) Kabupaten/Kota
dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 sampai dengan 500.000 jiwa,
permohonan dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak
sebesar 1,5% antara Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak
berdasarkan penetapan hasil perhitungan suara oleh Termohon. (c) Kabupaten/Kota
dengan jumlah penduduk sampai dengan 500.000 sampai dengan 1.000.000 jiwa,
permohonan dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak
sebesar 1% antara Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak
berdasarkan penetapan hasil perhitungan suara oleh Termohon. (d) Kabupaten/Kota
dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa, permohonan dilakukan jika
terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak sebesar 0,5% antara Pemohon
dengan pasangan calon peraih suara terbanyak berdasarkan penetapan hasil
perhitungan suara oleh Termohon.
Dalam
Konteks Pemilihan Bupati Jember, ketentuan tentang pembatasan selisih suara dapat
disimulasikan sebagai berikut, Jumlah penduduk Kabupaten Jember berdasarkan
data BPS adalah lebih dari 2 juta jiwa. Oleh karena itu maka termasuk dalam
kategori ketentuan pasal 6 angka (2) huruf d diatas. Permohonan perselisihan hasil Pilkada dapat diajukan
apabila terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak sebesar 0,5% antara
Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak.
Merujuk
data perolehan suara sementara KPU Jember, pasangan calon nomor urut 2 lebih
unggul daripada pasangan calon nomor urut 1 (Radar Jember, 14 Desember 2015). Sebagai
contoh, apabila perolehan suara pasangan calon nomor urut 2 sebesar 500.000
suara, maka 500.000 dikalikan 0.5%, menghasilkan 2.500 suara. Selisih perolehan
suara antara pasangan calon nomor urut 2
dengan perolehan suara pasangan calon nomor urut 1 paling banyak adalah 2.500
suara. Apabila selisih perolehan suara lebih kecil dari 2.500 suara maka
pasangan calon yang kalah dapat mengajukan gugatan perselisihan hasil Pilkada
kepada Mahkamah Konstitusi. Sedangkan sebaliknya, apabila selisih perolehan
suara melebihi angka 2.500 suara, maka pasangan calon nomor urut 1 tidak
memenuhi ketentuan untuk mengajukan permohonan gugatan perselisihan hasil Pilkada
kepada Mahkamah Konstitusi.
Namun
demikian, perhitungan tersebut hanya angka perkiraan untuk memperoleh gambaran
perhitungan selisih suara yang memungkinkan untuk mengajukan gugatan ke MK.
Sedangkan untuk besarnya angka perolehan suara yang sebenarnya masih menunggu
hasil perhitungan secara manual oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Jember.
Ketentuan
tentang pembatasan selisih perolehan suara tersebut, disatu sisi dinilai tidak
adil, karena menutup ruang hukum bagi para pasangan calon yang akan meminta
penegakan hukum dan keadilan. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga akan
kewalahan menerima gugatan jika 263 provinsi, kota, dan kabupaten, mengajukan gugatan secara bersamaan, sementara
batas waktu untuk memproses sampai pada putusan hanya diberi waktu selama 45
hari.
Supianto
Dosen Fakultas Hukum dan Kepala Lembaga Bantuan Hukum dan HAM
Universitas Islam Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar