Sabtu, 23 Juli 2016

DONOR DARAH




Ketika awal-awal Ibu menderita sakit tahun 2007 lalu, saya pulang menjenguknya. Saat itu Ibu dirawat di RSU Padang Panjang. Dirawat disana agar lebih dekat dengan tempat tinggal kakak saya. Keadaannya kemudian agak membaik, saya pun pamit kembali ke Jawa.
Tak lama kemudian saya mendapat kabar bahwa keadaan Ibu semakin parah dan harus dirujuk ke RS. M. Jamil, Padang. Dokter mengatakan bahwa Ibu menderita penyakit Leukemia atau Kanker darah.  Belakangan baru saya ketahui, Leukemia atau kanker darah terjadi akibat produksi sel darah putih yang terlalu cepat sehingga banyak sel yang masih belum terbentuk secara sempurna.
Ketika itu dokter menyarankan agar Ibu di transfusi darah. Kakak saya segera menghubungi PMI, untuk memperoleh darah yang diperlukan. Sayangnya, stok darah yang sesuai di PMI waktu itu sedang menipis. Selebihnya, harus mencari tambahan dengan membawa pendonor sendiri.
Kakak berusaha mencari pendonor sendiri, dengan cara mendatangkan orang-orang dari desa kami ke Kota Padang untuk dicek darahnya. Saya membayangkan betapa beratnya pekerjaan itu. Jarak desa kami dengan Kota Padang lebih dari tiga ratus kilometer. Mendatangkan orang-orang untuk mendonorkan darahnya dengan jarak sejauh itu, bukan pekerjaan yang ringan. Masalahnya, tidak semua orang yang didatangkan itu darahnya cocok dan layak untuk didonorkan.
Saya menghargai dan menghormati usaha saudara-saudara saya untuk menolong dan menyelamatkan Ibu. Saya sendiri, yang berada jauh terpisah ribuan kilometer, hanya mampu berdoa.
Pada akhirnya, kehendak  Allah jua yang berlaku. Keadaan ibu makin kritis. Tak lama kemudian, Ibu pergi meninggalkan kami untuk selamanya.
Mendapat kabar bahwa keadaan Ibu semakin kritis, saya putuskan segera pulang. Harapan saya setidaknya, dapat menemani Ibu diakhir-akhir hayatnya. Namun apa daya, perjalanan jauh tidak selalu sesuai dengan yang direncanakan.  Saya tiba di rumah ketika orang-orang sedang membaca tahlil untuk mendoakan Ibu.
Ketika itu saya berfikir, seandainya banyak orang berdonor sukarela, tentu stok darah di PMI tidak sampai menipis. Seandainya stok darah tercukupi, tentu beban saudara-sudara saya tidak perlu sekeras itu untuk mencari pendonor. Seandainya, transfusi itu dapat terus dilakukan, tentu masih ada harapan Ibu untuk bertahan. Setidaknya, kepergiannya tidak secepat itu.
Sejak itu, saya bertekad untuk menjadi pendonor darah. Pendonor sukarela secara rutin. Agar kejadian yang menimpa keluarga kami tidak terjadi pada orang lain.
Hingga kini, tekad itu masih tetap kuat dan terlaksana dengan istiqomah.
Mari berdonor….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar