Ketika awal-awal Ibu menderita sakit tahun 2007 lalu, saya
pulang menjenguknya. Saat itu Ibu dirawat di RSU Padang Panjang. Dirawat disana
agar lebih dekat dengan tempat tinggal kakak saya. Keadaannya kemudian agak
membaik, saya pun pamit kembali ke Jawa.
Tak lama kemudian saya mendapat kabar bahwa keadaan Ibu
semakin parah dan harus dirujuk ke RS. M. Jamil, Padang. Dokter mengatakan
bahwa Ibu menderita penyakit Leukemia atau Kanker darah. Belakangan baru saya ketahui, Leukemia atau
kanker darah terjadi akibat produksi sel darah putih yang terlalu cepat
sehingga banyak sel yang masih belum terbentuk secara sempurna.
Ketika itu dokter menyarankan agar Ibu di transfusi darah.
Kakak saya segera menghubungi PMI, untuk memperoleh darah yang diperlukan. Sayangnya,
stok darah yang sesuai di PMI waktu itu sedang menipis. Selebihnya, harus
mencari tambahan dengan membawa pendonor sendiri.
Kakak berusaha mencari pendonor sendiri, dengan cara
mendatangkan orang-orang dari desa kami ke Kota Padang untuk dicek darahnya.
Saya membayangkan betapa beratnya pekerjaan itu. Jarak desa kami dengan Kota
Padang lebih dari tiga ratus kilometer. Mendatangkan orang-orang untuk
mendonorkan darahnya dengan jarak sejauh itu, bukan pekerjaan yang ringan. Masalahnya,
tidak semua orang yang didatangkan itu darahnya cocok dan layak untuk
didonorkan.
Saya menghargai dan menghormati usaha saudara-saudara saya
untuk menolong dan menyelamatkan Ibu. Saya sendiri, yang berada jauh terpisah
ribuan kilometer, hanya mampu berdoa.
Pada akhirnya, kehendak Allah jua yang berlaku. Keadaan ibu makin
kritis. Tak lama kemudian, Ibu pergi meninggalkan kami untuk selamanya.
Mendapat kabar bahwa keadaan Ibu semakin kritis, saya
putuskan segera pulang. Harapan saya setidaknya, dapat menemani Ibu
diakhir-akhir hayatnya. Namun apa daya, perjalanan jauh tidak selalu sesuai
dengan yang direncanakan. Saya tiba di
rumah ketika orang-orang sedang membaca tahlil untuk mendoakan Ibu.
Ketika itu saya berfikir, seandainya banyak orang berdonor
sukarela, tentu stok darah di PMI tidak sampai menipis. Seandainya stok darah
tercukupi, tentu beban saudara-sudara saya tidak perlu sekeras itu untuk
mencari pendonor. Seandainya, transfusi itu dapat terus dilakukan, tentu masih
ada harapan Ibu untuk bertahan. Setidaknya, kepergiannya tidak secepat itu.
Sejak itu, saya bertekad untuk menjadi pendonor darah. Pendonor
sukarela secara rutin. Agar kejadian yang menimpa keluarga kami tidak terjadi
pada orang lain.
Hingga kini, tekad itu masih tetap kuat dan terlaksana dengan
istiqomah.
Mari berdonor….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar