Lebih dari dua puluh tahun sejak
lulus SMA, saya tidak pernah berlebaran di kampung halaman. Kalau pulang
kampung biasanya pas ada momen-momen tertentu, selain momen hari raya. Selain
karena jarak yang jauh antara rumah dengan kampung halaman, alasannya adalah
karena ruwetnya perjalanan saat-saat menjelang lebaran dan harga tiket yang
naik lebih dua kali lipat dari harga biasa.
Lebaran tahun ini, meskipun tidak
pas hari raya pertama dan kedua, saya dapat menikmati kembali suasana hari raya
di kampung halaman. Saya diingatkan
kembali pada suasana berhari raya yang sudah terlewatkan lebih dari dua puluh
tahun yang lalu. Ucapan-ucapan permohonan maaf yang biasanya diucapkan “Mohon
maaf lahir dan batin”, disini cukup disingkat.
“Laer baten yo, Kang!”
“Iyo, podo-podo”, dijawab dengan
singkat pula.
Ucapan maaf-maafan versi singkat ini biasanya hanya
digunakan kepada yang muda-muda saja. Kalau ditujukan kepada yang lebih tua,
misalnya orang tua sendiri atau kakek nenek,
digunakan versi panjang dan lengkap. Plus dengan bahasa yang lebih halus
pula.
“Ngaturaken sugeng riyadi, sedaya
kalepatan kula nyuwun pangapura. Angsal dining syara’ mboten angsal dining
syara’, mugi-mugi Allah Ta’ala sageto nglebur dosa kula lan dosa Bapak ing
dinten riyaden meniko”.
Ucapan maaf demikian ini,
biasanya mendapat jawaban dengan versi lengkap pula.
“Iyo, Le. Wong tuwo okeh lupute,
seng enom okeh ngapurane. Mugi-mugi
Allah Ta’ala nglebur dosaku lan dosamu
ing dina riaya iki”.
Selama ini, saya mendengar
jawaban ucapan maaf hari raya ini hanya melalui telepon saja. Tetapi kali ini
saya bisa mendengar langsung dari mulut Bapak saya. Sesaat setelah mendangar
jawaban Bapak, perasaan saya langsung mengharu biru, haru bahagia. Bahagia
karena Bapak masih dikaruniai badan yang sehat diusia seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar