Rabu, 03 Agustus 2016

HARI RAYA DI KAMPUNG HALAMAN




Lebih dari dua puluh tahun sejak lulus SMA, saya tidak pernah berlebaran di kampung halaman. Kalau pulang kampung biasanya pas ada momen-momen tertentu, selain momen hari raya. Selain karena jarak yang jauh antara rumah dengan kampung halaman, alasannya adalah karena ruwetnya perjalanan saat-saat menjelang lebaran dan harga tiket yang naik lebih dua kali lipat dari harga biasa.
Lebaran tahun ini, meskipun tidak pas hari raya pertama dan kedua, saya dapat menikmati kembali suasana hari raya di kampung halaman.  Saya diingatkan kembali pada suasana berhari raya yang sudah terlewatkan lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Ucapan-ucapan permohonan maaf yang biasanya diucapkan “Mohon maaf lahir dan batin”, disini cukup disingkat.
“Laer baten yo, Kang!”
“Iyo, podo-podo”, dijawab dengan singkat pula.
 Ucapan maaf-maafan versi singkat ini biasanya hanya digunakan kepada yang muda-muda saja. Kalau ditujukan kepada yang lebih tua, misalnya orang tua sendiri atau kakek nenek,  digunakan versi panjang dan lengkap. Plus dengan bahasa yang lebih halus pula.
“Ngaturaken sugeng riyadi, sedaya kalepatan kula nyuwun pangapura. Angsal dining syara’ mboten angsal dining syara’, mugi-mugi Allah Ta’ala sageto nglebur dosa kula lan dosa Bapak ing dinten riyaden meniko”.
Ucapan maaf demikian ini, biasanya mendapat jawaban dengan versi lengkap pula.
“Iyo, Le. Wong tuwo okeh lupute, seng enom okeh ngapurane. Mugi-mugi  Allah Ta’ala nglebur dosaku lan dosamu  ing dina riaya iki”.
Selama ini, saya mendengar jawaban ucapan maaf hari raya ini hanya melalui telepon saja. Tetapi kali ini saya bisa mendengar langsung dari mulut Bapak saya. Sesaat setelah mendangar jawaban Bapak, perasaan saya langsung mengharu biru, haru bahagia. Bahagia karena Bapak masih dikaruniai badan yang sehat diusia seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar