Minggu, 18 Desember 2016

SEMALAM DI PARAMAN AMPALU

(sebuah cerpen)
“Jadi, mau kalian apa?”, tanya orang tua itu dengan nada tinggi.
Pertanyaan itu membuat hati kami kecut. Dari nada suaranya, kami tahu bahwa orang tua itu sedang menahan marah.
Sambil memegang pisau yang berkilau, tangan kanannya terus mengoretkan pisau itu ke permukaan kulit ari buah pinang. Selesai satu buah, tangan kirinya dengan spontan mengambil buah yang lainnya. Begitu seterusnya hingga onggokan buah pinang itu berpindah tempat.
Aku tahu, yang dilakukannya itu hanya pelampiasan saja, hanya untuk mengalihkan rasa geram dihatinya saja. Aku dapat memahami perasaannya, akupun dapat memahami kenapa dia begitu marah.
***
Ucok adalah adik kelasku di SMA. Dia tinggal di sebuah kamar kos. Tak terlalu jauh, sekitar lima ratus meter dari tempat tinggalku. Siang tadi, Ucok menemuiku diteras depan masjid. Terlihat jelas ketegangan diwajahnya. Wajahnya pucat pasi.
“Mas, Aku minta tolong!”, pintanya penuh harap.
“Ada apa, Cok?”
“Aku dipanggil Bapaknya Leni”
“Leni siapa?”
“Leni, pacarku”
“Lho, ada apa kok dipanggil sama Bapaknya?”
Ucok lalu menceritakan kejadian yang dialaminya.
Ucok dan Leni memang berpacaran, belum begitu lama. Kebetulan tempat kos mereka cukup dekat, hanya berpuluh meter saja jaraknya. Karena dekat, Ucok sering berkunjung ketempat kos Leni, meski hanya sebentar. Biasanya, mereka ngobrol di ruang tamu. membicarakan hal yang ringan-ringan saja dan yang menyenangkan mereka berdua.
Beberapa hari lalu, suasana cukup sepi dirumah kos itu. Ibu kos tidak ada dirumah, begitu pula anak-anak kos yang lain juga sedang ada acara keluar. Leni sedang dikamarnya, sendirian.
Tiba-tiba, terdengar pintu kamarnya diketuk seseorang. Segera saja dibukanya pintu itu. Dilihatnya Ucok sudah berdiri didepan pintu. Mereka lalu masuk kedalam kamar, berdua saja. Tak ada seorangpun yang tahu apa yang mereka perbuat di kamar itu.
Tak ada yang tahu bahwa mereka berduaan di kamar itu, hingga salah seorang teman kos Leni, pulang lebih cepat dari rencana. Maka gemparlah berita itu. Dengan cepat, kabar tentang Ucok dan Leni berduaan didalam kamar kos itu pun tersebar seperti terbakarnya semak-semak kering yang tertiup angin.
Kabar itu akhir sampai juga ke telinga orang tua Leni. Hatinya menjadi panas mendengar anak perempuannya melakukan perbuatan yang dianggap mencoreng nama baik orang tua. Dengan cepat, orang tua itu mengambil sikap, “Panggil anak laki-laki itu kemari. Aku ingin berurusan dengannya!”.
Pesan orang tua itu dengan cepat pula sampai kepada Ucok. Ketika pertama mendengarnya, lututnya seolah lepas, tubuhnya lemas tak berdaya. Ketakutanpun menghantui pikirannya, ketakutan akan apa yang terjadi pada dirinya.
Kecemasan Ucok mulai reda ketika dia menyelesaikan ceritanya. Aku mampu memahami rasa cemasnya itu.
“Lalu, kapan kita akan kesana?”, tanyaku menegaskan.
“Kalau bisa sekarang, Mas. Bapaknya menunggu kita nanti malam”.
“Baiklah, tunggu sebentar. Aku siap-siap dulu”.
***
Waktu hampir menjelang magrib ketika kami tiba di Paraman Ampalu. Sebuah desa yang cukup jauh dari tempat kami. Kami beristirahat sejenak dirumah seorang teman yang tak jauh dari rumah Leni. Sambil mencoba mengatur strategi tentang apa yang akan kami katakan untuk menjawab pertanyaan dari orang tua Leni. Tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti.
Waktu berputar begitu cepat. Magrib telah usai. Kami bertiga menuju ke rumah Leni, sambil berjalan kaki beriringan. Tak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulut kami. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri. Akupun begitu, pikiranku berkecamuk. Aku membayangkan seolah-olah sedang dipanggil menghadap seorang penyidik polisi untuk dimintai keterangan yang akan dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan.
Jantung terasa berdegup lebih kencang, ketika kami telah tiba didepan pintu. Rumah itu berbentuk panggung, berlantai kayu. Ada tiga anak tangga yang terbuat dari kayu pula. Kami harus menaikinya agar bisa masuk kedalam rumah.
“Assalamu’alaikum”, kami mengucap salam.
“Waalaikumsalam”, terdengar jawaban dari dalam. Pendek saja, jawaban yang terkesan tak ramah.
Kami masuk setelah dibukakan pintu. Sepintas kulihat Leni duduk diruang sebelah. Orang tua Leni duduk dipojok ruangan. Duduk bersimpuh sambil kaki kanannya ditekuk dengan lutut keatas.
“Duduk”, katanya dengan ketus. “Kalian ini siapa”, lanjutnya memulai pembicaraan.
“Saya Ucok, Pak”, jawab Ucok memperkenalkan diri.
“Saya temannya Ucok, Pak. Ini juga temannya”, aku juga memperkenalkan diri lalu menepuk lutut temanku yang duduk disampingku.
“Jadi, kau yang masuk ke kamar Leni”, katanya, sambil menatap kearah Ucok yang terus menundukkan kepala. Amarah orang tua itu mulai naik. Kami terdiap sesaat.
“Mohon maaf, Pak. Mereka memang khilaf”, aku berusaha menetralkan suasana yang mulai tegang.
“Apa kalian kira perbuatan itu pantas dilakukan oleh anak yang berpendidikan. Apa kalian diajarkan seperti itu disekolah?”.
“Tidak, Pak”, jawabku pelan. Kepala kami semua tertunduk, tak berani lagi menatap kearah orang tua itu. Ucok semakin pucat pasi, wajahnya seolah tak dialiri darah.
“Aku ingin kau dan Leni berhenti sekolah sekarang juga. Lalu aku nikahkan saja kalian, agar tak bikin malu lagi”, kini amarahnya makin memuncak.
“Sekali lagi mohon maaf, Pak”, aku menjawab sesopan mungkin agar emosinya tak semakin memuncak. “Mereka masih muda, tolong beri mereka kesempatan. Kalau mereka harus dinikahkan dan tidak meneruskan sekolah, bagaimana dengan masa depan mereka”, lanjutku mencoba meyakinkan orang tua itu.
“Jadi, mau kalian apa?”, katanya sambil setengah berteriak.
Kami tak ada yang berani langsung menjawab. Aku yang sejak sebelum berangkat siang tadi memang diminta oleh Ucok, untuk menghadapi orang tua itu, tak punya pilihan lain. Aku melirik kearah Ucok untuk mengajukan penawaran yang memungkinkan untuk diambil jalan tengah. Ucok mengangguk pelan. Akupun memberanikan diri untuk kembali bersuara.
“Mohon maaf, Pak. Masa depan mereka berdua masih panjang. Kami mohon Bapak mengijinkan mereka untuk tetap meneruskan sekolah. Setidaknya sampai mereka lulus SMA. Setelah itu, terserah kepada Bapak untuk memutuskan”.
Negosiasi itupun berjalan begitu alot, negosiasi untuk meyakinkan orang tua Leni. Aku meyakini bahwa akan jauh lebih baik bila mereka menyelesaikan sekolah dulu. Kalaupun mereka harus dinikahkan, sebaiknya itu dilakukan setelah mereka lulus SMA. Tak ada alasan yang mendesak untuk menikahkan mereka sekarang. Begitu yang ada dalam pikiranku ketika itu.
Akhirnya, luluh juga hati orang tua itu. Setelah sekian lama diyakinkan. Perasaan kami lega, beban berat yang bertumpu pada pundak kami sejak siang tadi tiba-tiba lenyap seketika. Namun itu tak terlihat pada wajah Ucok. Walaupun tidak setegang tadi, diwajahnya masih tampak tanda-tanda kecemasan. Memang, Ucok bisa lega sekarang, tapi itu tak lama. Setahun lagi Ucok akan lulus SMA, dan dia tidak bisa mengelak dari tuntutan orang tua itu. Tuntutan untuk menikah dengan Leni.
***
Sepuluh tahun kemudian, baru aku bertemu dengan mereka lagi. Mereka telah menjalani kehidupan berumah tangga. Mereka terlihat bahagia.
Sayangnya, aku tak pernah bertemu mereka lagi, hingga kini….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar